BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Chikungunya - Hubungan Pengetahuan, Sikap, Sarana Dan Prasarana Serta Dukungan Petugas Kesehatan Dengan Pencegahan Penyakit Chikungunya Menggunakan Metode Pemberantasan Sarang Nyamuk (Psn) Oleh Kepala Keluarga Di Wilay

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Chikungunya

  Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), menyebutkan bahwa Chikungunya berasal dari suatu penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti, Aedes Albopictus dengan gejala utama demam mendadak, bintik-bintik kemerahan, nyeri sendi terutama sendi lutut dan pergelangan kaki sehingga orang tersebut tidak dapat berjalan untuk sementara waktu. Biasanya menyerang sekelompok orang dalam suatu wilayah tertentu.

  2.1.1. Penyebab

  Demam Chikungunya disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV). CHIKV termasuk keluarga Togaviridae, Genus alphavirus, dan ditularkan oleh nyamuk Aedes

  Aegypti (Depkes RI, 2007).

  2.1.2. Gejala

  Gejala utama terkena penyakit Chikungunya adalah tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian. Bahkan, karena salah satu gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang. Dalam beberapa kasus didapatkan juga penderita yang terinfeksi tanpa menimbulkan gejala sama sekali atau

  

silent virus chikungunya . Untuk lebih rinci gejala penyakit chikungunya antara lain,

  yaitu (Depkes RI, 2007): a.

  Demam. Biasanya demam tinggi, timbul mendadak disertai mengigil dan muka kemerahan. Panas tinggi selama 2-4 hari kemudian kembali normal.

  b.

  Sakit persendian. Nyeri sendi merupakan keluhan yang sering muncul sebelum timbul demam dan dapat bermanifestasi berat, nyeri, sehingga kadang penderita ” merasa lumpuh ” sebelum berobat . Sendi yang sering dikeluhkan: sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang.

  c.

  Nyeri otot. Nyeri bisa pada seluruh otot atau pada otot bagian kepala dan daerah bahu. Kadang terjadi pembengkakan pada pada otot sekitar mata kaki.

  d.

  Bercak kemerahan ( ruam ) pada kulit. Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering pada hari ke 4-5 demam. Lokasi biasanya di daerah muka, badan, tangan, dan kaki. Kadang ditemukan perdarahan pada gusi.

  e.

  Sakit Kepala: sakit kepala merupakan keluhan yang sering ditemui.

  f.

  Kejang dan Penurunan Kesadaran. Kejang biasanya pada anak karena panas yang terlalu tinggi, jadi bukan secara langsung oleh penyakitnya.

  g.

  Gejala lain. Gejala lain yang kadang dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher.

  Demam chikungunya sering rancu dengan penyakit demam dengue. Pada demam berdarah dengue terjadi perdarahan hebat, renjatan (shock) maupun kematian sedangkan pada Chikungunya tidak, namun chikungunya memiliki gejala nyeri sendi yang tidak terjadi pada penderita demam berdarah dengue.

  2.1.3. Pemeriksaan Laboratorium

  Untuk memastikan penyakit ini dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan teknik ELISA, maupun pemeriksaan virusnya (Depkes RI, 2007).

  2.1.4. Tempat Nyamuk Berkembang Biak

  Nyamuk Aedes berkembang biak di tempat penampungan air bersih didalam rumah maupun di sekitar rumah seperti bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, ban bekas, drum, kaleng, pecahan botol, potongan bambu dan lain- lain. Pada musim hujan lebih banyak lagi tempat-tempat yang menampung air (Depkes RI, 2007).

  2.1.5. Diagnosa

  Untuk memperoleh diagnosis akurat perlu beberapa uji serologik antara lain uji hambatan aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM capture ELISA. Tetapi pemeriksaan serologis ini hanya bermanfaant digunakan untuk kepentingan epidemiologis dan penelitian, tidak bermanfaat untuk kepentingan praktis klinis sehari-hari (Depkes RI, 2007).

  2.1.6. Pengobatan

  Menurut Depkes RI (2007) demam Chikungunya termasuk penyakit yang sembuh dengan sendirinya. Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk penyakit ini.

  Pengobatan yang diberikan hanyalah terapi simtomatis atau menghilangkan gejala penyakitnya, seperti obat penghilang rasa sakit atau demam seperti golongan ntibiotika tidak diperlukan pada kasus ini. Penggunaan antibiotika memperbaiki keadaan umum penderita dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar atau minum jus buah segar.

  Pemberian vitamin peningkat daya tahan tubuh mungkin bermanfaat untuk penanganan penyakit. Selain vitamin, makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit. Minum banyak juga disarankan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat saat terjadi demam.

2.1.7. Pencegahan

  Menurut Departemen Kesehatan RI (2007), cara menghindari penyakit ini adalah membasmi nyamuk pembawa virusnya. Nyamuk ini, senang hidup dan berkembang biak di genangan air bersih seperti bak mandi, vas bunga, dan juga kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih.

  Nyamuk bercorak hitam putih ini juga senang hidup di benda-benda yang menggantung seperti baju-baju yang ada di belakang pintu kamar. Selain itu, nyamuk ini juga menyenangi tempat yang gelap dan pengap. Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes Aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut, sebagaimana sering disarankan dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue.

  Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari dipakai dengan cara pengasapan, bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini karena Aedes Aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung. Namun, pencegahan yang murah dan efektif untuk memberantas nyamuk ini adalah dengan cara menguras tempat penampungan air bersih, bak mandi, vas bunga dan sebagainya, paling tidak seminggu sekali, mengingat nyamuk tersebut berkembang biak dari telur sampai menjadi dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari.

  Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan menampung air bersih, terutama pada musim hujan. Pintu dan jendela rumah sebaiknya dibuka setiap hari, mulai pagi hari sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut.

  Pencegahan individu dapat dilakukan dengan cara khusus seperti penggunaan obat oles kulit (insect repellent) yang mengandung DEET atau zat aktif EPA lainnya.

  Penggunaan baju lengan panjang dan celana panjang juga dianjurkan untuk dalam keadaan daerah tertentu yang sedang terjadi peningkatan kasus.

2.1.8. Penanganan Kasus

  Bila menemukan kasus chikungunya lakukan (Depkes RI, 2005) : a. Segera laporkan ke Puskesmas/Dinas Kesehatan setempat.

  b.

  Hindari penderita dari digigit nyamuk (tidur memakai kelambu) agar tidak menyebarkan ke orang lain.

  c.

  Anjurkan penderita untuk beristirahat selama fase akut. e.

  Lakukan Pemeriksaan Jentik di rumah dan sekitar rumah.

2.1.9. Karakteristik Penyakit Chikungunya

  2.1.9.1. Cara Penularan

  Penyakit chikungunya boleh dikatakan ‘bersaudara’ dengan penyakit demam denggi dan demam denggi berdarah karena dibawa oleh pembawa yang sama yaitu nyamuk Aedes Aegypti maupun albopictus. Masa inkubasi virus ini ialah dua sampai empat hari, sementara manifestasinya tiga sampai sepuluh hari. Bedanya, jika virus denggi menyerang pembuluhdarah, virus chikungunya menyerang sendi dan tulang. Nyamuk aedes lazimnya akan menggigit seseorang yang telah dijangkiti oleh virus chikungunya dan memindahkan darah berkenaan kepada seorang mangsa lain yang sehat (Dwitagama, 2008).

  Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang berperan sebagai vektor/pembawa, seperti Aedes Aegypti (merupakan vektor utama CHIKV), Aedes Albopticus yang mungkin juga berperan dalam penyebaran penyakit di kawasan Asia. Kera dan beberapa binatang buas lainnya juga diduga dapat sebagai perantara penyakit ini karena hewan-hewan inilah yang sebenarnya menjadi target awal penyakit ini.

  2.1.9.2. Faktor Penyebab Chikungunya

  Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu Alphavirus dan ditularkan lewat nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk yang sama juga menularkan penyakit demam berdarah dengue. Meski masih “bersaudara” dengan demam berdarah, penyakit ini tidak mematikan. Penyakit Chikungunya disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti (Dwitagama, 2008).

2.1.9.3. Pencegahan dan Pengendalian Chikungunya

  Satu-satunya cara menghindari gigitan nyamuk Chikungunya adalah dengan mencegah digigit nyamuk Aedes Aegypti. Selain itu bisa dilakukan pemberantasan vektor nyamuk dewasa maupun membunuh jentik nyamuk. Pemberantasan vektor nyamuk dewasa bisa dilakukan dengan racun serangga atau pengasapan/fogging dengan malathion sedangkan abatisasi digunakan untuk memberantas jentik pada TPA (tempat penampungan air). Sarang nyamuk diberantas dengan cara PSN (Dwitagama, 2008).

  a.

  Abatisasi Tujuan abatisasi agar kalau sampai telur nyamuk menetas, jentik nyamuk tidak akan menjadi nyamuk dewasa. Semua TPA yang ditemukan jentik Aedes Aegypti ditaburi bubuk abate sesuai dengan dosis satu sendok makanan peres (10 gram) abate untuk 100 liter air. Bubuk abate juga dituang di bak mandi.

  b.

  Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam membasmi jentik nyamuk Aedes dengan cara 3M, yaitu sebagai berikut :

  1. Menguras secara teratur, terus-menerus seminggu sekali, mengganti air secara teratur tiap kurang dari seminggu pada vas bunga, tempat minum burung, atau menaburkan abate ke TPA

  2. Menutup rapat-rapat TPA 3.

  Mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik dan barang- barang lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi sarang nyamuk.

  4. Khusus di tempat pasca-kebakaran harus segera dibersihkan dari wadah- wadah yang bisa menampung air.

2.1.9.4. Proteksi diri dengan salep atau gunakan kawat nyamuk

  Tidak seperti nyamuk-nyamuk yang lain, nyamuk itu menggigit pada siang hari. Untuk mencegahnya kita bisa menggunakan salep atau minyak yang dioles di bagian tubuh yang terbuka. Selain menggunakan salep untuk mencegah gigitan nyamuk, bisa juga menggunakan minyak sereh. Cara lain adalah dengan menggunakan kawat nyamuk di pintu-pintu dan jendela rumah (Dwitagama, 2008).

  Dengan melakukan hal-hal di atas, sebenarnya sudah dilakukan perlindungan tidak hanya pada demam Chikungunya tetapi juga demam berdarah yang lebih fatal dan mematikan. Tidak mustahil penyakit Demam Chikungunya datang bersama-sama dengan penyakit demam berdarah.

2.1.10. Mata Rantai Infeksi Chikungunya

  Berdasarkan penjelasan oleh Dwitagama (2008)Dalam penularan penyakit Chikungunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni : a.

  Agen Agen dalam penyakit chikungunya adalah nyamuk Aedes Aegypti betina (dominan) dan Aedes Albopictus. Arbovirus famili Togaviridae genus Alpha virus, dengan perantaraan nyamuk Aedes.

  b.

  Reservoir Habitat berkembang biak di genangan air bersih seperti bak mandi, vas bunga, dan juga kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih. Kedua, Serangga bercorak hitam putih ini juga senang hidup di benda-benda yang menggantung seperti baju-baju yang ada di belakang pintu kamar. Ketiga, nyamuk ini sangat menyukai tempat yang gelap dan pengap. Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes Aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut, sebagaimana sering disarankan dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue. Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation, sedangkan themopos untuk mematikan jentik- jentiknya. malation dipakai dengan cara pengasapan, bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini karena Aedes Aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung.

  c.

  Portal of exit Penderita penyakit chikungunya seharusnya dirawat di rumah sakit agar kondisinya selalu dikontrol. d.

  Portal of entry Lingkungan harus dibersihkan terutama pada barang-barang yang dapat digenangi air. Hindari gigitan nyamuk pada pagi sampai dengan sore hari karena nyamuk penyebab chikungunya aktif pada saat itu.

  e.

  Kerentanan penjamu Daya tahan tubuh yang lemah dan kekebalan tubuh yang lemah saat terkena gigitan nyamuk.

  2.1.11. Peran Keluarga dalam Pencegahan Chikungunya

  Keluarga adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan melalui ikatan perkawinan, adopsi atau kelahiran. Keluarga memiliki peran yang sangat pentingdalam upaya pencegahan penyakit chikungunya. Keluarga berperan dalam hal menjaga pola hidup agar tetap bersih dan sehat. Selain itu, makanan yang dimakan pun harus memenuhi 4 sehat 5 sempurna agar tubuh tetap sehat dan tidak mudah terkena penyakit. Lingkungan rumah pun harus bersih. Lakukan gerakan 3 M secara teratur yaitu menutup tempat penampungan air, mengubur barang bekas agar tidak digenangi air dan menguras bak secara teratur agar terhindar dari nyamuk penyebab chikungunya ini (Dwitagama, 2008).

  2.1.12. Penanggulangan KLB Chikungunya

  Penyakit Chikungunya seringkali menjadi permasalahan tersendiri jika menyerang masyarakat, Chikungunya menjadi salah penyakit yang terjadi dengan cara KLB (kejadian luar biasa), hal ini dikarenakan jika salah satu masyarakat Sehingga untuk menanganinya dilakukan berdasarkan metode berikut (Depkes RI, 2005).

  Deteksi Dini STP Jejaring SE Kondisi Rentan KLB

  Identifikasi Kasus berpotensi KLB Kajian Epidemiologi

  PWS Penyakit Deteksi Dini KLB berpotensi KLB Penyelidikan dugaan

  Peningkatan Peringatan KLB Kewaspadaan &

  Kewaspadaan Kewaspadaan dini Kesiapsiagaan KLB KLB Masyarakat

  Kesiapsiagaan Menghadapi KLB Upaya Pencegahan (Program)

  Penanggulangan Kewaspadaan KLB Cepat & Tepat Prov/Nasional

  Upaya Pencegahan (Sektor) Advokasi & Kewaspadaan Antar

  Asistensi SKD-KLB Daerah Upaya Pencegahan (Masyarakat)

  Pengembangan teknologi SKD- KLB & Penangulangan

  KLB

Gambar 2.1. Skema Penyelenggaraan SKD-KLB Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Sumber : Depkes RI, 2005. Ditjen PPM & PL. Jakarta.

2.2. Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Chikungunya

  Pemberantasan nyamuk demam Chikungunya seperti penyakit menular lainnya, didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Beberapa cara untuk memutuskan rantai penularan penyakit demam Chikungunya yaitu (Depkes RI, 2002): a.

  Melenyapkan virus dengan cara mengobati semua penderita dengan obat anti virus.

  b.

  Solusi penderita agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain c. Mencegah gigitan nyamuk/vektor.

  d.

  Immunisasi terhadap orang sehat.

  e.

  Membasmi/ memberantas sarang nyamuk.

  Cara yang biasa dipakai adalah memberantas sumber nyamuk, penyehatan lingkungan ataupun chemical control. Penyehatan lingkungan merupakan cara terbaik. Untuk mencapai tujuan ini di perlukan usaha yang terus - menerus secara berkesinambungan. Hasil yang diharapkan memang tidak tampak dengan segera.

a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa

  Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan (fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap di benda-benda tergantung karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular penyakit demam Chikungunya (Depkes RI, 2002).

  Insektisida yang digunakan adalah insektisida golongan organophospat misalnya malathion dan feritrothion, pyrectic syntetic misalnya lamda sihalotrin dan

  

parmietrin , dan karbamat. Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog

  atau mesin ultra low volume (ULV), karena penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan, maka tidak mempunyai efek residu (Suroso, 2003).

  Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk membatasi penularan virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk mengandung virus Chikungunya (nyamuk inaktif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi nyamuk dapat ditekan serendah-rendahnya (Suroso, 2003).

b. Pemberantasan Larva (Jentik)

  Pemberantasan terhadap jentik A. Aegypti dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan tiga cara yaitu kimia, biologi dan fisik.

  a). Cara kimia Cara pemberantasan jentik A. Aegypti secara kimia dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larva) atau dikenal dengan abatisasi. Larvasida yang biasanya digunakan adalah temephos. Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (lebih kurang atau satu sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Bentuk fisik temephos yang digunakan ialah granula (sand granula). Abatisasi dengan temephos b). Cara Biologi Pemberantasan cara biologi dengan memanfaatkan predator alami seperti memelihara ikan pemakan jentik misalnya ikan kepala timah, ikan gufi, ikan nila merah dan ikan lega. Selain itu dapat pula dengan golongan serangga yang dapat mengendalikan pertumbuhan larva (Depkes RI, 2004).

  c). Cara Fisik Pemberantasan cara fisik melalui kegiatan 3 M + 1 T yaitu mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat terisinya air hujan, menguras tempat penampungan air minimal 1 kali seminggu, menutup tempat penampungan air, dan menelungkupkan barang – barang yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti (Depkes RI, 2004).

  Keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk hanya dapat diperoleh dengan peran serta masyarakat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu dilakukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara kontinu dalam waktu lama, sebab keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 1992).

2.2.1. Jenis Kegiatan Pemberantasan Nyamuk

  Jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penular demam Chikungunya meliputi:

  a. Penyemprotan massal Desa/kelurahan rawan dapat merupakan sumber penyebarluasan penyakit ke wilayah lain. Kejadian luar biasa/wabah demam Chikungunya sering kali dimulai dari desa/kelurahan ini, pada tahun-tahun berikutnya akan terjadi kasus demam Chikungunya. Oleh karena itu penularan penyakit di wilayah ini diperlukan segera diatasi dengan penyemprotan insektisida dan diikuti PSN oleh masyarakat untuk membasmi jentik-jentik penular demam Chikungunya. Penyemprotan ini dilaksanakan sebelum musim penularan penyakit demam Chikungunya di desa rawan agar sebelum terjadi puncak penularan virus Chikungunya, populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya sehingga KLB dapat dicegah (Depkes RI, 2004).

  b. Pemantauan Jentik Berkala (PJB) Pemantauan jentik berkala adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk A. aegypti untuk mengetahui adanya jentik nyamuk yang dilakukan di rumah dan di tempat umum secara teratur sekurang- kurangnya tiap 3 bulan untuk mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit demam Chikungunya.

  c. Pemberantasan Sarang Nyamuk Pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat tempat umum dengan melaksanakan PSN meliputi: a)

  Menguras tempat penampungan air sekurang kurangnya seminggu sekali atau menutupnya rapat-rapat.

  b) Mengubur barang bekas yang dapat menampung air.

  c) Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi).

  d) Memelihara ikan dan cara-cara lain untuk membasmi jentik (Soedarmo,

2.3. Perilaku

2.3.1. Pengertian Perilaku

  Dari aspek biologis, perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Mulai dari binatang sampai manusia mempunyai aktivitas masing-masing (Notoatmodjo, 2007).

  Secara singkat aktivitas manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

  a. Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, misal: berjalan, bernyanyi, tertawa, dan sebagainya.

  b. Aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain, misalnya: berfikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (tidak langsung) (Notoatmodjo, 2003).

  Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku kesehatan (healthy behavior) adalah merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

  Pemeliharaan kesehatan ini meliputi mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.

  Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat di bedakan menjadi dua, yaitu : a. Perilaku tertutup (covert behavior)

  Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup (covert). Respon ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/ kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.

  b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam tindakan yang nyata atau terbuka.

  Respon ini sudah jelas dalam tindakan atau praktek (practice), yang dapat diamati oleh orang lain dengan jelas.

2.3.2. Pengetahuan

  Pengetahuan dapat diartikan secara luas mencakup segala sesuatu yang diketahui (Tim Penyusun, 2005). Pengertian lain menjelaskan bahwa pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu (Suriasumantri, 2007).

  Pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar ini sejalan dengan pernyataan Soekanto (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indera dan akan menimbulkan kesan dalam pikiran manusia.

  Menurut Bakhtiar (2006) dalam Afdhal (2009), pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: a.

  Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  b.

  Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

  c.

  Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). d.

  Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

  e.

  Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  f.

  Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.

  Menurut Notoatmodjo (2005), dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

  a. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara ini antara lain: a) Cara coba-coba (Trial and Error) Melalui cara coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error”.

  Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain.

  b) Cara kekuasaan atau otoritas

  Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

  c) Berdasarkan pengalaman pribadi

  Dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

  d) Melalui jalan pikiran

  Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia menggunakan jalan pikirannya.

  b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”, atau lebih popular disebut metodologi penelitian (research methodology). Menurut Deobold van Dalen, mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yaitu: a.

  Segala sesuatu yang positif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan pengamatan.

  b.

  Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul pada saat dilakukan pengamatan.

  c.

  Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada kondisi-kondisi tertentu.

  Menurut Syah (2003) ditinjau dari sifat dan cara penerapannya, pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni : declarative knowledge dan procedural knowledge.

  

Declarative knowledge lazim juga disebut propositional knowledge. Pengetahuan

  deklaratif atau pengetahuan prososisional ialah pengetahuan mengenai informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat dijelaskan secara lisani atau verbal. Sebaliknya pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang mendasari kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung bersifat dinamis.

  Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a.

  Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.

  Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. b.

  Tingkat Pendidikan Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

  c.

  Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bias mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

  d.

  Fasilitas Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku.

  e.

  Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang.

  Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

  f.

  Sosial Budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

  Piaget menyatakan bahwa proses dasar yang terjadi pada penyusunan pengetahuan adalah adaptasi (assimilasi dan akomodasi) yang diatur oleh ekuilibrasi menggabungkannya dengan cara berpikir yang dimiliki sehingga pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah komponen lain dari proses adaptasi. Ekuilibrasi meregulasi proses berpikir individu pada tiga arah fungsi kognitif yang berbeda, ketiganya adalah hubungan antara (1) asimilasi dan akomodasi dalam kehidupan individu sehari-hari, (2) sub-sub sistem pengetahuan yang timbul pada diri individu dan (3) bagian-bagian dari pengetahuan individu dan sistem pengetahuan sosial.

2.3.3. Sikap atau Attitude

  Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan pencetus (predisposisi) tindakan atau perilaku. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).

  Dalam bagian lain, menurut Allport (1954) dalam Notoadmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: a) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

  b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

  Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut Notoatmodjo (2003) sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: a.

  Menerima (Receiving) Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian terhadap ceramah-ceramah.

  b.

  Merespons (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengejakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

  c.

  Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  d.

  Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

  Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan- pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoadmodjo, 2003).

2.3.4. Praktek atau Tindakan (Practice)

  Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior.) Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain: fasilitas. Disamping fasilitas juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain (Nototmodjo, 2003). Menurut Notoadmodjo (2003) tingkat- tingkat praktek sebagai berikut: a.

  Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

  b.

  Respon Terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua.

  c.

  Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

  d.

  Adaptasi (Adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi

  Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.4. Faktor yang Memengaruhi Perilaku

  Menurut Notoatmodjo (2005), perilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama , yaitu : a. Faktor eksternal

  Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun nonfisik dalam bentuk sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

  a) Sosial Setiap individu sejak lahir berada di dalam suatu kelompok, terutama kelompok keluarga. Kelompok ini akan membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Setiap kelompok memiliki aturan dan norma sosial tertentu, sehingga perilaku setiap individu anggota kelompok berlangsung dalam suatu jaringan normatif.

  b) Ekonomi Keadaan ekonomi juga berpengaruh terhadap suatu penyakit. Misalnya, angka kematian lebih tinggi di kalangan masyarakat yang status ekonominya rendah dibandingkan dengan masyarakat dengan status ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan karena masyarakat dengan ekonomi rendah tidak memiliki biaya untuk berobat sehingga tidak ada suatu penanganan yang baik dalam menghadapi suatu penyakit.

  c) Budaya Setiap daerah pasti memiliki budaya yang berbeda-beda. Misalnya dalam suatu komunitas yang masyarakatnya menganut agama islam, tidak akan mau memakan daging babi karena bagi mereka daging babi adalah haram, dan tidak baik bagi kesehatan. Maka dari itu mereka tidak akan mau memakan daging babi tersebut demi menjaga kesehatan mereka.

  b. Faktor internal Faktor internal yang menentukan seseorang itu merespon stimulus dari luar yaitu: a. Perhatian

  Ada dua batasan tentang perhatian, yaitu energi psikis yang tertuju pada suatu obyek dan banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas yang sedang dilakukan.

  b. Pengamatan Pengamatan adalah pengenalan obyek dengan cara melihat, mendengar, meraba, membau, dan mengecap. Sedangkan mendengar, meraba, membau, dan mengecap itu sendiri disebut sebagai modalitas pengamatan.

  c. Persepsi Setelah melakukan pengamatan maka akan terjadi gambaran yang tinggal dalam d. Motivasi Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.

  Motif tidak dapat diamati. Yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut.

  e. Fantasi Fantasi adalah kemampuan untuk membentuk tanggapan-tanggapan yang telah ada. Tanggapan baru ini tidak harus sama dengan tanggapan yang telah ada.

  Menurut Green (1991) dikutip oleh Notoatmodjo (2003), faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu : a). Faktor-faktor predisposisi (disposing factors)

  Merupakan faktor-faktor yang mempermudah dan mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan dan sikap atau masyarakat tersebut terhadap apa yang dilakukan. Misalnya perilaku warga untuk mencegah penularan Chikungunya akan lebih mudah apabila warga tersebut tahu apa manfaat dari pencegahan tersebut. Disamping itu, kepercayaan, tradisi, system nilai di masyarakat setempat juga sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku.

  b). Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) Merupakan faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Maksud faktor pemungkin adalah sarana dan masyarakat. Dari segi kesehatan masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat harus terakses (terjangkau) sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan.

  c). Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Merupakan faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi ia tidak melakukannya. Dalam hal ini dukungan atau dorongan dari orang lain sangat dibutuhkan untuk pencegahan suatu penyakit. Selain itu sikap dan perilaku petugas kesehatan juga menjadi panutan bagi seseorang atau masyarakat.

2.5. Tenaga Kesehatan

  Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Wijono, 1999).

  Tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis (Wijono, 1999).

  Secara terperinci, tenaga medis adalah tenaga dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Tenaga Kesehatan Masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian. Tenaga Gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis (Wijono, 1999).

  Menurut Wijono seorang tenaga kesehatan harus memenuhi syarat-syarat, yakni: a.

  Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

  b.

  Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki izin dari Menteri.

  c.

  Dikecualikan dari pemilikan izin sebagaimana dimaksud, bagi tenaga kesehatan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, diatur oleh Menteri.

  d.

  Selain izin sebagaimana yang dimaksud, tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi, diatur oleh Menteri (Wijono, 1999).

2.6. Sarana dan Prasarana

  Salah satu komponen penting dalam penyelenggaraan pembangunan adalah sarana kesehatan yang mampu menunjang berbagai upaya pelayanan kesehatan baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Untuk masa mendatang kebutuhan sarana kesehatan akan disusun dengan memperhatikan beberapa asumsi dasar, yaitu : a)

  Terjadinya pergeseran peran pemerintah dari penyelenggara pelayanan yang dominan, menjadi penyusunan kebijakan dan regulasi dengan tetap memperhatikan kebutuhan pelayanan bagi penduduk miskin.

  b) Makin meningkatnya potensi sektor swasta dalam penyediaan pelayanan kesehatan, khususnya yang bersifat kuratif dan rehabilitatif c)

  Teratasinya krisis ekonomi dan politik dalam waktu yang tidak terlalu lama (Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, 1999) Pembangunan sarana dan prasarana kesehatan ke depan akan diselenggarakan secara bersama-sama oleh pemerintah dan swasta dengan memperhatikan faktor efisiensi dan ketercapaian bagi seluruh penduduk. Selain itu langkah peningkatan kuantitas pembangunan sarana dan prasarana kesehatan harus diikuti dengan peningkatan kemampuan manajerial yang professional dan didukung oleh peningkatan kemampuan teknis tenaga pemberi pelayanan untuk menjamin keberhasilan dan kelestrian upaya pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

2.7. Landasan Teori

  Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non behavioral factors atau faktor non perilaku, selanjutnya perilaku ditentukan atau terbentuk oleh 3 faktor yaitu Predisposing, Reinforcing and Enabling.

  Teori model Lawrence Green ini dapat tercantum pada gambar berikut.

  Faktor Predisposisi

  • - Pengetahuan - Sikap >Keyakinan - Nilai-nilai kehidupan
  • Kepercayaan Faktor Enab>- Sarana dan Prasarana Perilaku Masyarakat >Perundang-undangan
  • Prioritas Kesehatan - Keterampilan Petugas Faktor Reinfor>- Upaya Petugas
  • Dukungan Kelurga - Teman sebaya
  • Dukungan Guru - Tokoh Masyarakat - Pelayanan Kesehatan - Pengambil Kebijakan

Gambar 2.2. Teori perilaku model Green Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa kesehatan dipengaruhi oleh perilaku. Untuk membangun perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni faktor

  

predisposing, enabling dan reinforcing. Faktor predisposing meliputi pengetahuan,

  sikap, keyakinan, nilai-nilai kehidupan, dan keyakinan. Faktor enabling meliputi ketersediaan sarana, kemudahan sarana, perundang-undangan. prioritas kesehatan, dan keterampilan petugas. Sedangkan untuk faktor reinforcing meliputi dukungan petugas, dukungan keluarga, teman sebaya, guru, tokoh masyarakat, pelayanan kesehatan dan pengambil kebijakan.

  Jika mengacu pada teori Lawrence Green diatas dalam proses pencegahan penyakit chikungunya oleh petugas kesehatan, maka dalam proses penangulangannya tidak terlepas dari pembentukan perilaku petugas kesehatan itu sendiri. Dalam pencegahan penyakit chikungunya di masyarakat dipengaruhi oleh faktor

  

predisposing, enabling dan reinforcing, yang meliputi pengetahuan, sikap,

ketersediaan sarana dan dukungan petugas.

2.8. Kerangka Konsep Penetian

  Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini:

  Variabel independen Variabel dependen

  Faktor Predisposing (predisposisi) Pengetahuan

  − Sikap

  − Faktor Enabling (pendukung) Pemberantasan Sarang

  Nyamuk Chikungunya oleh − Sarana & prasarana kepala keluarga

  Faktor Reinforcing (pendorong) − Dukungan petugas kesehatan

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan, Sikap, Sarana Dan Prasarana Serta Dukungan Petugas Kesehatan Dengan Pencegahan Penyakit Chikungunya Menggunakan Metode Pemberantasan Sarang Nyamuk (Psn) Oleh Kepala Keluarga Di Wilayah Kerja Puskesmas Nurussalam Kabupaten Aceh Timu

0 74 106

Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk Di Dusun Kecicang-Ngerong Kecamatan Gempol

0 37 1

Model Matematika Penyebaran Penyakit Demam Chikungunya Dengan Dua Jenis Nyamuk Ades( Aedes Aegepty dan Aedes Albopictus)

0 2 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Keluarga 1.1 Definisi Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja 2.1.1. Definisi Kinerja - Determinan Kinerja Petugas Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Di Puskesmas Kota MedanTahun 2014

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cedera Kepala 2.1.1. Definisi - Hubungan Antara Cedera Kepala Ringan dan Kelainan Intrakranial Berdasarkan CT-Scan Kepala Pada Tahun 2013

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi - Tingkat Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Masyarakat Kabupaten Langkat Kecamatan Secanggang Desa Cinta Raja Dusun Ii Emplasemen PT. Buana Estate Tentang Faktor Risiko Terjadinya Penyakit Jantung Kor

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengolahan Citra - Mendeteksi Penyakit Gigi Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Dengan Menggunakan Metode Backpropagation Dan Metode Hopfield

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chikungunya 2.1.1. Definisi Chikungunya - Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara

0 0 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga 2.1.1. Konsep Keluarga - Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pencegahan Sekunder pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjung Pura Kabupaten Langkat

0 0 30