BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Masalah kesehatan sangat memerlukan perhatian karena dengan terwujudnya masyarakat yang sehat maka akan terwujud pula kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan negara yang sehat. Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan nasional. Oleh karena itu, kesehatan diupayakan dapat menjangkau dan dimanfaatkan oleh setiap warga negara.

  Undang-undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan, setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau serta setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Dalam pasal 20 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

  Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan jaminan untuk terpenuhinya hak hidup sehat setiap warga negaranya dengan memberlakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk menjangkau setiap warga negaranya (Universal Health Coverage).

  Program jaminan kesehatan ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan bagi peserta yang telah membayar iuran (Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014). JKN ini diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

  Dalam pelaksanaannya sering terjadi Moral Hazard dimana orang yang sudah memiliki asuransi kesehatan cenderung akan merasa terjamin untuk mengakses layanan kesehatan sesuka hati mereka. Kepemilikan asuransi memang baik untuk menjamin ekuitas tapi itu menyimpan efek buruk di sisi lain. Ini membuat seseorang merasa terjamin mengenai masa depan layanan kesehatannya. Mau sakit apapun bisa mudah berobat. Tak ada lagi kepedulian berapa harganya yang penting terjangkau dan terpenuhi. Perilaku berisiko yang kerap terus dilakukan karena merasa akses layanan kesehatan bagi dirinya sudah terjamin (ex-

  

ante moral hazard ) atau berulangkali datang ke layanan kesehatan untuk

  mendapatkan pelayanan yang sebenarnya tak benar-benar ia perlukan (ex-post moral hazard ) (Fuady, 2012).

  Merokok adalah salah satu perilaku hidup tidak sehat yang dapat merugikan dan sangat mengganggu bagi diri sendiri maupun orang lain disekelilingnya. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan berencana melarang setiap rumah sakit menerima pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang terkena penyakit akibat rokok. Kemenkes mencatat, negara akan menghemat anggaran sebesar Rp 2,11 triliun setiap tahunnya jika ada larangan bagi perokok untuk menerima layanan Jamkesmas. Larangan ini menyangkut moral karena perokok memilih untuk menerima risiko penyakit ketika merokok dan sudah diingatkan pemerintah. Setiap tahunnya, pengeluaran negara untuk Jamkesmas mencapai Rp 6,7 triliun hingga Rp 7,4 triliun. Sedangkan, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan bagi pasien yang sakit akibat rokok mencapai Rp 2,11 triliun per tahun (Wicaksono, 2013).

  Menurut Kemenkes, bantuan dari pemerintah berupa Jamkesmas hanya ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan dan telah melaksanakan kewajiban menjaga kesehatan. Saat ini Kemenkes sudah meminta pengelola program Jamkesmas, seperti PT Askes untuk mendata secara lengkap penyakit yang dilayani akibat rokok. Hal ini untuk memastikan kelengkapan data pendukung peraturan larangan perokok mendapatkan Jamkesmas atau layanan BPJS Kesehatan nantinya. Rencana pemerintah menerapkan larangan perokok mengantongi Jamkesmas juga untuk mendukung keberadaan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Wicaksono, 2013).

  Rokok di Indonesia menjadi masalah nasional karena menyangkut berbagai bidang kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di Asia diperkirakan sangat terpengaruh oleh epidemik merokok apalagi konsumsi rokok di negara ini cukup tinggi (Murti, 2005). Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya akibat buruk dari rokok bukanlah akibat yang bisa dirasakan dalam jangka waktu yang pendek tetapi akan baru terasa setelah beberapa tahun bahkan setelah berpuluh-puluh tahun (Utama, 2004).

  Dari hasil kajian Badan Litbangkes tahun 2013, dampak buruk akibat tembakau/merokok pada kesehatan di Indonesia menunjukkan kenaikan kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau dari 190.260 di tahun 2010 menjadi 240.618 kematian di tahun 2013, serta kenaikan penderita penyakit akibat konsumsi tembakau dari 384.058 orang tahun 2010 menjadi 962.403 orang tahun 2013. Kondisi ini berdampak pula pada peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau. Jika dinilai dengan uang, kerugian ekonomi naik dari 245,41 trilyun rupiah tahun 2010 menjadi 378,75 trilyun rupiah tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014).

  Menurut Tobacco Control Support Center (TCSC), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) 2007, pada tahun 2005 jumlah kematian akibat 3 kelompok penyakit utama yaitu kanker, penyakit jantung dan penyakit pernafasan kronik obstruktif diperkirakan sebesar 400.000 orang yang menyebabkan kerugian total sebesar 167 triliun rupiah atau setara dengan 5 kali lipat pendapatan pemerintah dari cukai tembakau pada tahun yang sama sebesar 37 triliun rupiah. Merokok mengurangi separuh usia hidup penggunanya dan 50% dari kematian tersebut terjadi pada usia 30-69 tahun. Pada tahun 2005, kematian dini akibat merokok mencapai 5 juta penduduk dunia (Wijaya, 2011).

  Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Richard D. Semba et al (2006), di Indonesia tahun 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan, ternyata terdapat perbedaan bermakna angka kematian bayi dan angka kematian balita antara keluarga yang ayahnya merokok dan keluarga dengan ayah tidak merokok. Terlihat bahwa angka kematian bayi dan balita pada keluarga yang ayahnya merokok lebih tinggi daripada pada keluarga dengan ayah yang tidak merokok. Sementara itu, menurut WHO

  

(World Health Organization) 2011, pada abad ke-20 yang baru lalu, ada 100 juta

  penduduk dunia meninggal dunia akibat rokok. Diperkirakan pada tahun 2030 angka kematian akibat rokok akan melebihi 8 juta orang pertahun dan akan ada 1 milyar kematian akibat rokok selama abad 21 ini bila tidak dilakukan upaya- upaya intervensi yang efektif.

  Pada tingkat dunia berbagai usaha untuk menanggulangi resiko kesehatan oleh perilaku merokok telah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. WHO telah mengeluarkan Framework Convetion on Tobacco Control (FCTC) yang berlaku sejak tanggal 27 Februari 2005. Tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan, kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2000 mengatur tentang tata cara iklan produk iklan rokok di media cetak dan media televisi, dan kembali direvisi menjadi Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 yang direvisi antara lain berisi keharusan pabrik rokok mencantumkan peringatan pada kemasan produk (Chamin, 2011). Undang- undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 juga mengatur Kawasan Tanpa Rokok yang terdapat pada pasal 115 yang menyatakan bahwa Kawasan Tanpa Rokok antara lain : fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lain yang telah ditetapkan.

  Peraturan penanggulangan rokok yang telah ada belum berjalan secara efektif, terbukti masih tingginya prevalensi perokok. Di seluruh dunia, prevalensi orang yang merokok mengalami penurunan tetapi jumlah perokok meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hasil temuan dari tim peneliti Amerika bahwa jumlah perokok di seluruh dunia meningkat menjadi hampir satu milyar orang (dikutip dari BBC dalam Journal Of The American Medical

  Association ).

  Menurut WHO 2008, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia (61,4 juta perokok) setelah Cina dan India.

  Sementara itu, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University

of Washington memperkirakan jumlah perokok Indonesia sebanyak 52 juta orang.

  Jumlah perokok pria di Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat 57%. Peningkatan ini merupakan jumlah tertinggi kedua di dunia berdasarkan hasil penelitian The Institute for Health Metrics and Evaluation (IMHE) dalam Jurnal

  Kesehatan Amerika (Hafid. 2014).

  Berdasarkan data dari The ASEAN Tobacco Control Support tahun 2007 menyebutkan jumlah perokok ASEAN mencapai 124.691 juta orang dan Indonesia menyumbang perokok terbesar yakni 57. 563 juta orang atau sekitar 46,16%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari tahun 2007 sampai tahun 2013 malah cenderung meningkat dari 34,2% (2007) menjadi 36,3% (2013). Hasil GATS (Global Adaults Tobacco Survey) 2011 dan Riskesdas 2013 menunjukkan proporsi perokok pria dari 67% tahun 2011 menjadi 64,9% tahun 2013. Selain itu ditemukan juga 9,9% perokok pada kelompok tidak bekerja dan 32,3% pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah.

  Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sekitar 12,3 batang, untuk terendah 10 batang dan tertinggi 18,3 batang.

  Hasil penelitian Darwati 2009 adalah anggota asuransi kesehatan yang merokok lebih banyak yaitu 70,4% dibandingkan dengan yang tidak merokok sebanyak 29,6%. Berdasarkan pendidikan, lulusan SMP/SMA 1,2 kali lebih banyak yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan dengan yang lulusan SD/Tidak Sekolah, untuk usia, responden yang berumur diatas 29 tahun memiliki dua kali lipat kemungkinan kebiasaan merokok dibandingkan dengan yang berusia kurang atau sama dengan 29 tahun, responden yang berpendapatan lebih tinggi dari UMK memiliki 0,4 kali kemungkinan kebiasaan merokok dibanding yang berpendapatan lebih kecil daari UMK serta pria dan wanita memiliki kemungkinan kebiasaan merokok yang sama.

  Menurut WHO 2011, 80% perokok di dunia berdomisili di negara-negara berkembang. Di Indonesia terdapat lebih dari 50 juta orang yang membelanjakan uangnya secara rutin untuk membeli rokok. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kebiasaan merokok akan menurunkan kemampuan ekonomi keluarga miskin yang banyak terdapat di negara-negara berkembang. Sedangkan menurunnya kemampuan ekonomi akan berakibat lebih lanjut pada menurunnya kemampuan menyediakan kebutuhan akan makanan bergizi bagi keluarga, pendidikan dan upaya memperoleh pelayanan kesehatan (Wijaya, 2011).

  Kebutuhan masyarakat Indonesia adalah 72% kebutuhan pokok atau beras, 11,5% rokok, 11% ikan, daging, susu, dan sejenisnya, pendidikan 3,2% dan kesehatan 2,3%. Artinya, ikan, daging, susu, pendidikan, dan kesehatan masih kalah penting daripada rokok (KPMAK FK UGM). Data di Lembaga Demografi FE UI tahun 2006 tercatat pengeluaran rokok sebesar 11,89%, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi-padian yang mencapai 22,1%. Namun, lebih tinggi dari pada listrik, telpon, BBM yang sebesar 10,95% serta lebih tinggi dari pada sewa dan kontrak yang mencapai 8,82%. Hasil wawancara Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Politik Kebijakan Kesehatan, Bambang Sulitomo di Desa Cibereum, Jawa Barat, menyebutkan setidaknya dalam sehari kepala keluarganya menghabiskan 2 bungkus rokok dan dalam sebulan mereka hanya membeli telur setengah kilo (0,5 Kg) saja.

  Di Indonesia kelompok keluargatermiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebihtinggi dari pada kelompok pendapatan terkaya.

  Proporsipengeluaran bulanan untuk belanja rokok pada rumahtangga termiskin (12%) juga lebih tinggi dari rumahtangga terkaya (7%).Proporsi belanja bulanan rokok keluarga termiskinperokok adalah kedua terbesar (12%) setelah beras(22%). Belanja bulanan rokok keluarga termiskin setara dengan 15 kali biaya pendidikan (0,8%) dan 9 kali bagikesehatan (1,3%). Dibandingkan pengeluaran makananbergizi, jumlah itu setara 5 kali pengeluaran untuk telurdan susu (2,3%), 2 kali pengeluaran untuk ikan (6,8%)dan 17 kali pengeluaran membeli daging (0,7%). Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok sekitar Rp 117 ribu per bulan, pada keluarga termiskin rata-rata Rp 52 ribu yang dihabiskan membeli rokok. Program pengurangan kemiskinan akan terhambat apabila keluarga miskin masih terperangkap adiksi rokok (TCSC-IAKMI, 2009).

  Perilaku kesehatan menurut Skiner (Notoadmojo, 2007) adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yaitu : makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, mengendalikan stress, perilaku dan gaya hidup. Menurut Notoadmojo 2007, perilaku dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, persepsi dan sebagainya.

  Menurut Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada tahun 2011 tercatat 50,8% penduduk yang terlindungi program jaminan dalam berbagai bentuk seperti Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk kelompok miskin. Artinya, dengan banyak masyarakat miskin industri asuransi tidak berjalan sesuai mekanisme yang telah diatur dipasar. BPJS Kesehatan (JKN) merupakan transformasi dari PT. Askes. Kepesertaan JKN ini terdiri dari kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), Bukan Pekerja (BP) dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk masyarakat miskin/peralihan dari Jamkesmas.

  Jumlah peserta peralihan (warga miskin yang tidak mampu menanggung iuran) tercatat sebanyak 116.122.065 peserta (50%) yang akan ditanggung pemerintah melalui kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI). Di seluruh Indonesia jumlah peserta PBI mencapai 86,4 juta orang. Di Provinsi Sumatera Utara PBI tercatat sebanyak 4.192.297 orang (30%). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013, penduduk yang memiliki askeskin/jamkesmas sebanyak 175. 187 peserta (42,63%) yang otomatis akan menjadi peserta PBI.

  Dari hasil penelitian Siyoto tahun 2013 bahwa rata-rata unur kepala keluarga adalah 49,5 tahun, pengeluaran rata-rata 122,331>UMR, mayoritas pekerjaannya adalah buruh tani, buruh bangunan, pendidikan mayoritas SMP/SMA serta aktif mengikuti kegiatan RT di lingkungan tempat tinggalnya dan sebagian besar merokok 63% dengan pengeluaran sebesar Rp. 268.948,-.

  Pengeluaran terbesar kepala keluarga penerima Jamkesmas/PBI di Kota Kediri ternyata didapatkan nilai yang melebihi UMR Kota Kediri (Rp. 850.000 tahun 2012 dan Rp. 1.040.000 tahun 2013). Pengeluaran terbesar keluarga untuk makan kemudian untuk rokok atau tembakau. Baru kemudian untuk pendidikan anak, listrik, komunikasi, arisan , dll (Siyoto, 2013).

  Puskesmas Kotanopan berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal dengan wilayah kerja sebanyak 36 desa/kelurahan dan jumlah penduduk 28.281 jiwa. Pekerjaan mayoritas penduduk adalah petani, pedagang dan buruh harian. Dari pengumpulan data puskesmas ditemukan sepuluh penyakit terbesar di Puskesmas Kotanopan dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebagai urutan pertama (Profil Puskesmas Kotanopan, 2013).

  Jumlah peserta PBI di wilayah kerja Puskesmas Kotanopan sebanyak 10.110 peserta. Namun dari penuturan petugas puskesmas sebagian besar dari peserta PBI ini memiliki kebiasaan merokok. Dari penuturan beberapa warga, mereka juga mengatakan sudah lama merokok dan bisa menghabiskan rokok antara 6 sampai 15 batang per hari. Harga rokok berkisar antara Rp. 9.000 s/d Rp.

  11.000 per bungkus dengan penghasilan rata-rata Rp. 1.500.000 per bulan. Mereka merokok disela-sela istirahat dari aktivitasnya, diwaktu luang, sehabis makan dan konsumsi rokok akan meningkat jika sedang suntuk. Mereka juga mengatakan sudah pernah mencoba berhenti merokok apalagi saat mereka sakit tetapi hanya bertahan sementara karena bagi mereka merokok adalah salah satu kenikmatan apalagi setelah makan.

  Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014”.

  1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah Apakah Ada Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Untuk mengetahui apakah ada Hubungan Karakteristik Peserta

  Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan

  Perilaku Merokok Di Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014.

  1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1.

  Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Dinas Kabupaten Mandailing Natal dan Puskesmas Kotanopan dalam pembuatan atau penyusunan program kesehatan lainnya dan sebagai informasi pelaksanaan dan kepesertaan JKN di wilayah kerjanya.

1.4.2. Diharapkan bisa menjadi referensi bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

  1.4.3. Diharapkan bisa dijadikan masukkan dan menerima manfaat terhadap perbaikan program JKN sekaligus masyarakat sebagai kontrol dalam pelaksanaan program kesehatan.

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

7 64 124

Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014.

1 58 114

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karateristik Dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikusertaan Menjadi Peserta JKN Di Kota Medan Tahun 2014

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 1 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 0 11

Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Perilaku Ibu Dengan Peran Petugas Kesehatan dalam Pemberian Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Namorambe Kecamatan Delitua Tahun 2012

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

0 0 7

1. Nomor Responden - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014.

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku 2.1.1. Pengertian Perilaku - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014.

0 0 27