PERENCANAAN PENDIDIKAN NONFORMAL SEBAGAI PENDEKATAN

PERENCANAAN PENDIDIKAN NONFORMAL SEBAGAI
PENDEKATANTERPADU
Prinsip Perencanaan Pendidikan nonformal
Terdapat sejumlah prinsip mengenai perencanaan pendidikan nonformal antara lain:
1. Perencanaan yang dikembangkan harus bersifat fleksibel, memadukan antara kualitas
dengan sifat khusus pendidikan nonformal dan keragaman program
2. Dalam kasus tertentu penekanan lebih pada kebermaknaan dalam upaya menunjang
efisiensi dan memberikan peluang sesuai dengan tujuan dan tuntutan dari program
pendidikan nonformal.
Sehubungan dengan itu para perencana pendidikan nonformal hendaknya lebih memahami
tuntutan khusus dan ciri serta kondisi dari pendidikan nonformal, serta memanfaatkan
sejumlah informasi yang mendesak dan strategi pembembangan pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal adalah bagian dari tantangan bagi perencana pendidikan. Sifatnya
yang beragam termasuk dalam proses pendidikan, menjadi tantangan tersendiri bagi
perencana yang akan memanfaatkan cara tradisional yang sudah sistemik untuk pendidikan
nonformal. Beberapa petimbangan yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan
pendidikan nonformal yaitu:
1. Apa tujuan yang akan diwujudkan dalam memberikan pelayanan pada pendidikan
nonformal ?
2. Kegiatan apa saja yang harus disertakan dalam kegiatan pendidikan ?
3. Begaimana hubungan dengan sistem pendidikan secara keseluruhan, termasuk pada

pendidikan formal dan informal ?
4. Dapatkah perencanaan pendidikan nonformal dikemabangkan secara efektif, dengan cara
bagaimana dan oleh siapa ?
Sesuai dengan perkembangan yang berlangsung pada lingkungan pendidikan nonformal saat
ini termasuk semakin meningkatnya sumber yang dipergunakan sedang pada sisi lain
ketersediaannya semakin langka, maka kompetensi dari tenaga perencana harus pula
ditingkatkan dan diperluas termasuk dalam mengembangkan metode kerja dalam membuat
perencanaan pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal memiliki variasi yang berbeda. Dari sejarah peradaban kita temukan
bahwa pendidikan yang paling asali yaitu pendidikan informal. Kegiatan ini berlangsung
sejalan dengan kehidupan yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat. Bahasa, perilaku

dan nilai-nilai untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok dipelajari dari orang-orang yang
ada dalam masyarakat. Model pembelajaran yang paling umum yaitu dengan meniru dan
diikuti dengan belajar sambil bekerja. Keterampilan khusus dipejajari melalui proses
permagangan. Model pembelajaran yang paling akhir yaitu pendidikan formal yang dikenal
pada beberapa ratus tahun yang lalu. Kegiatan persekolahan malah hanya berlangsung untuk
rentang waktu tertentu pada beberapa bagian dari penduduk. Sekolah yang sifatnya
menyeluruh dalam arti kewajiban bagi setiap orang tidak lebih dari lima puluh tahun lalu
mulai ditetapkannya. Untuk beberapa bagian dari negara sekolah yang sifatnya universal

masih dalam wacana dan belum dapat diwujudkan secara menyeluruh.
Baik negara maju maupun berkembang memiliki kesadaran bahwa hanya mengandalkan
salah satu satuan jenis pendidikan seperti mengandalkan secara berlebihan pada pendidikan
formal bukan satu-satunya cara. Kedati pendidikan formal memiliki kelengkapan yang
memadai untuk melaksanakan tugas pendidikan bagi generasi muda akan tetapi tidak semua
tugas perkembangan dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal. Karenannya perencana
sampai pada satu kesimpulan bahwa untuk memajukan pendidikan seharusnya dengan
memadukan antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal dan informal.
Dengan demikian tedapat tiga model pembelajaran dalam masyarakat, yaitu pendidikan yang
menyertai kehidupan manusia dilakukan melalui pendidikan informal; pendidikan untuk
jangka waktu relatif pendek umumnya diselenggarakan oleh lingkungan sekolah dan bentuk
pendidikan pola baru yang dilakukan melalui pendidikan nonformal. Konsep baru dari
pendidikan yang terakhir dikenal dengan sebutan pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam jaringan kerja baru, pendidikan nonformal harus dikembangkan dalam bentuk
perencanaan yang lebih lengkap menyertai kagiatan pendidikan yang berlangsung pada
lingkungan masyarakat. Pada pola ini pendidikan merupakan sejumlah kegiatan yang
berlangsung sejalan dengan perkembangan masyarakat yang melayani semua rentang usia
melalui penyediaan kesempatan untuk belajar melalui keragaman isi dan metode. Gaya
belajar anggota masyarakat dan bahan ajar yang dibutuhkan akan disesuaikan dengan
perkembangan waktu dan kebutuhan pada masyarakat sendiri.

Sesuai dengan sifatnya, maka perencanaan bukan merupakan tugas yang mudah. Perhatian
baru yang diberikan pada pendidikan nonformal demikian overlap dilihat dari terminologi
dan konsepnya. Banyak padanan yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai pendidikan
nonformal meliputi pendidikan orang dewasa, pelatihan literasi, pendidikan dasar, pendidikan
fundamental serta pendidikan berbasis masyarakat dan sejumlah lainnya. Berangkat dari
definisi yang demikian beragam maka terjadi pula pengelompokkan bentuk pendidikan yang

berlangsung di luar sekolah.
Perencanaan pendidikan nonformal demikian kuat tuntutannya sehubungan dengan semakin
meningkatnya kepercayaan pada desentralisasi dari proses pembangunan serta semakin
berkembangnya kepentingan partisipasi pada proses pembangunan. Terdapat banyak bukti
bahwa pembangunan terutama dipedesaan hanya mungkin bisa berkembang melalui
partisipasi dari masyarakatnya. Beberapa bentuk dari pendidikan nonformal lebih
menekankan pada peserta belajar dimana penekannya pada kemampun untuk memotivasi
sehingga anggota masyarakat menjadi lebih banyak terlibat dalam pembangunan yang sedang
dikukan. Cakupan pendidikan nonformal lebih menekankan pada motivasi dan peningkatan
kesadaran orang-orang untuk berpartisipasi dalam perencanaan pendidikan dan struktur
administrasi yang memungkinkan mereka berpartisipasi dan memberikan kontrol pada
penyelenggaraan. Prosedur perencanaan sangat menuntut pendekatan ini dan inilah yang
membedakan dengan perencanaan yang berlangsung pada pendidikan formal. Perencanaan

pendidikan dan struktur manajemen nonformal lebih menekankan pada upaya untuk merintis,
memfasilitasi, dan meningkatkan kerja sama dalam melakukan partisipasi yang merupakan
tantangan baru bagi perencana. Tuntutan ini berlaku bagi pendidikan formal maupun
nonformal, akan tetapi merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar pada pendidikan
nonformal.
Perencanaan untuk pendidikan nonformal menyertakan sejumlah isu. Isu-isu itu diantaranya:
Bagaimana mengembangkan pendidikan nonformal yang selama ini berlangsung dengan
kualitas rendah, yang dianggap kelas dua setelah pendidikan formal ? Apakah masyarakat
memberikan toleransi pada dual sistem yang berarti memberikan peluang untuk
mengelompokkan masyarakat atas dasar perbedaan ekonomi dan status sosial ? Sesuai
dengan permasalahan yang ada apakah dibutuhkan perubahan terutama bagi pendidikan
formal ? Atas dasar itu para pengambil kebijakan dan perencana harus melakukan pengkajian
kembali mengenai semua peluang pendidikan ini.
Pelaksanaan pendidikan nonformal dilihat dari lintasan perkembangannya lebih banyak
dilakukan oleh lembaga nonpemerintahan. Mereka terdiri dari lembaga swasta, lembaga
keagamaan, dan kelompok masyarakat yang banyak memberikan dukungan pada kegiatan
nonformal saat ini. Bagaimana masa depan kegiatan pendidikan nonformal? Apakah
keterbatasan dari program pendidikan nonformal berbasis masyarakat ? Bagaimana
pemerintah dan pihak swasta melakukan kerjasama dan koordinasi satu dengan lainnya ?
Apakah dibutuhkan dukungan dana dari pihak pemerintah dan bagaimana pengaruhnya bagi

kemandirian program yang sebelumnya merupakan ciri dari pendidikan nonformal ? Apakah

perencanaan dan kontrol yang dilakukan oleh pihak pemerintah akan cenderung untuk
mengurangi tingkat efektivitas dan responsifness pada kebutuhan ?
Siapa yang seharusnya membiayai pendidikan nonformal apakah pengguna ataukah
masyarakat ? Apakah pengguna harus memberikan dukungan dana sedangkan umumnya
yang menanggung biaya adalah masyarakat ? Pendidikan nonformal juga mencakup isu
kesempatan memperoleh pendidikan dan diharapkan peluang dan sumber-sumber juga
meningkat karenanya. Pertanyaan yang berkembang apakah betul pendidikan nonformal lebih
murah, sehingga negara dengan sumber yang terbatas dapat memanfaatkan pendidikan
nonformal untuk memberikan pelayanan pada kelompok miskin ?
Melalui pengkajian singkat ini, masalah yang dihadapi demikian beragam dan luas. Jawaban
pada pertanyaan itu hampir tidak ada. Hanya pengalaman memberikan petunjuk bahwa isu
yang berkembang menjadi semakin jelas. Jawabannya hanya terletak pada pemahaman yang
lebih luas dari isu-isu yang berkembang saat ini, sehingga dimungkinkan untuk memberikan
tanggapan yang lebih rinci.
Karakteristik Pendidikan Nonformal sebagai Basis Perencanaan
Pendidikan luar sekolah dalam bentuknya yang umum selalu eksis dalam suatu masyarakat.
Setiap masyarakat mengembangkan mekanisme sosialisasi untuk memberikan arahan bagi
pemuda pada sejumlah aturan (mores) yang berlaku dalam masyarakat yang besangkutan.

Kegiatan ini merentang dari bentuknya yang informal yang berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari sampai pada bentuk yang lebih terstrktur merupakan upacara-upacara yang
merupakan peralihan dari usia tertentu pada usia berikutnya. Istilah indigeneous acap
dipergunakan dalam proses pendidikan ini.
Pendidikan indigeneous masih berlangsung pada masyarakat saat ini. Dalam masyarakat
tertentu berkembang upacara dengan segala keragaman yang berlangsung dalam setiap
masyarakat. Dilihat dari waktunya ada yang hanya menghabiskan dalam hitungan hari sampai
pada hitungan yang cukup lamanya bila hal ini dianalogkan dengan kegiatan sekolah.
Pendidikan indigeneous acap memiliki kaitan erat dengan pembelajaran keagamaan. Yang
cukup dikenal yaitu berbagai bentuk pesantren dalam dunia Islam dan beberapa diantara bagi
Umat Budha di Asia Tenggara. Pelengkap dari kegiatan pendidikan yang turun temurun ini
yaitu diselenggarakannya pemagangan terutama dalam pengobatan orang yang sakit atau
praktek dalam kerajinan tertentu.
Dari pendidikan indigeneous kini berkembang menjadi pendidikan nonformal. Pengkajian
bentuk pendidikan ini didorong oleh kesadaran mengenai identitas nasional suatu negara,
yang membutuhkan proses pendidikan khusus bersumber dari akar budaya yang unik. Akan

tetapi amat terbatas pengkajian yang mendalam sekaitan dengan cara-cara untuk menurunkan
kebiasaan dari kelompok yang lebih tua pada kelompok muda.
Perkembangan terakhir dari pendidikan nonformal yaitu kepentingan dalam rangka

pendidikan untuk semua dimana pendidikan nonformal dapat memainkan peranan yang lebih
besar. Sehubungan dengan tuntutan baru ini para perencana dituntut untuk mengembangkan
perencanaan yang lebih terpadu. Pengetahuan mengenai akar pendidikan nonformal akan
memberikan dukungan bagi perencana untuk menetapkan pendekatan apa yang paling cocok
untuk mengatasi permasalahan pada tingkat global maupun regional. Paling tidak terdapat
tiga akar permasalahan yang menuntun kita pada pemahaman mengenai pendidikan
nonformal, yaitu: pelaksana dari pendidikan non formal, perencana pendidikan internasional
dan kritik pada sekolah.
Pertama menyangkut pelaksana pendidikan nonformal, terdapat sejumlah lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan nonformal, yaitu dilihat dari pemababakannya adanya yang
mengambil fokus pada usaha kesehatan, ekonomi dalam kehidupan dan pendidikan dalam
upaya memberdayakan kelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok kedua lebih
menekankan pada dilihat dari jumlah yang sangat terbatas akan tetapi demikian kuat
pengaruhnya pada tingkat pengambilan kebijaksanaan. Kelompok ini terdiri dari para
spesialis yang melihat secara kritis peran pendidikan nonformal dalam pembangunan. Sejalan
dengan perkembangan kedua kelompok ini lahir pada kritikus pada pendidikan nonformal
antara lain Illich dan Freire mengenai peranan sekolah dalam pembangunan. Berangkat dari
pemikiran ideologis dan keadilan sosial, kelompok ini mengembangkan konflik dan dialog
yang berbasis pada litelatur teknis dan mengembangkan diskusi lebih jauh untuk memperluas
spektrum pemikiran pada intelektual dan ahli ilmu sosial.

Kendati diramaikan oleh tulisan para perencana dan kritikus, akan tetapi kesadaran yang
sesungguhnya datang dari para praktisi. Pada praktisi bergabung dalam kegiatan: pendidikan
orang dewasa, keaksaraan, keaksaraan fungsional, pendidikan bagi petani, pendidikan
koperasi, penyuluhan pertanian, pendidikan kependudukan, pendidikan keluarga berencana,
pendidikan kesehatan dan pengembangan sosial. Sementara pada persimpangan terdapat juga
penyumbang dari pendidikan pemuda, para sukarelawan nasional dan internsional serta
kepramukaan dalam berbagai bentuknya. Lembaga-lembaga itu berlindung sebagian dalam
naungan lembaga internasional UNESCO, Unicef, FAO dan ILO. Sementara bagian terbesar
berada dalam cakupan dari lembaga swadaya yang tekah memberikan dukungan dan
penciptaan lembaga pada lingkup nasional dan lokal.
Berbasis pada pengalaman, bentuk-bentuk pendidikan nonformal atau semua bentuk

pendidikan luar sekolah dapat dikelompokkan pada salah satu dari bentuk pendidikan seperti
yang dikemukakan di atas. Dari dasar ini pula sejumlah teknik pembelajaran telah
dimanfaatkan dalam pendidikan nonformal saat ini.
Untuk membahas lebih lanjut dari pendidikan nonformal untuk kepentingan perencanaan
dapat dikelompokkan pendidikan yang sejenis sehingga memudahkan untuk melakukan
pengkajian. Salah satu bentuk penyederhanaan dari pendidikan nonformal yaitu dengan
melihat hubungannya dengan pendidikan formal. Dalam bentuk teramasuk pendidikan
nonformal sebagai komplemen, suplemen dan pelengkap dari pendidikan formal. Kendati

masih terdapat pemilahan yang melihat antara pendidikan formal dengan pendidikan
nonformal sebagai satu kesatuan seperti berkembang pada beberapa negara maju seperti
haknya di Jepang.
Pendidikan Nonformal sebagai Komplemen
Pendidikan nonformal sebagai komplemen dilakukan dalam upaya untuk melengkapi
pendidikan formal. Umumnya dilakukan pada pendidikan dasar dan lanjutan mengingat
ketidakmungkinan pendidikan nonformal untuk melakukan pendidikan pelengkap ini. Bentuk
kegiatan berupa tambahan pada pendidikan formal dalam bentuk pelatihan bagi mereka yang
telah lulus pada pendidikan dasar. Termasuk pada kelompok ini yaitu sejumlah kegiatan
pemagangan, program pelatihan vokasional, kursus pertanian yang memiliki kaitan dengan
praktek termasuk didalamnya pengembangan keterampilan bagi peserta belajar yang akan
segera dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan secara fisik berbeda satu dengan lainnya. Beberapa kegiatan seperti halnya
kelompok olah raga, kelompok hobi, kelompok masyarakat debat, drama yang umumnya
berbasis sekolah dan di bawah pengawasan sekolah. Namun semua kegiatan itu umumnya
tidak termasuk kedalam kurikulum sekolah.
Dalam penggunaan fasilitas mungkin dipersiapkan pihak sekolah maupun tidak sama sekali
yaitu yang berada dibawah pengawasan lembaga atau organisasi. Termasuk dalam kelompok
ini sejumlah kegiatan pemuda melalui kepramukaan, kelompok petani muda dan kegiatan
pelayanan sukarela lainnya yang mendapatkan dukungan dari lembaga swasta. Pada

bentuknya yang baru kegiatan mendapatkan dukungan dari lembaga pendidikan formal
seperti halnya kelas jauh. Sekolah komprehensif dimana peserta belajar dituntut untuk
langsung bekerja pada lingkungan masyarakat. Bentuk terakhirnya merupakan keterpaduan
antara peluang peserta belajar untuk mendapatkan pengetahuan dengan tuntutan untuk
menjadi manusia yang produktif. Terdapat gerakan bahwa pendidikan hendaknya
berlangsung di luar kelas, terutama pada lingkungan masyarakat dimana sekolah terkesan

mencetak kelompok elite dan terdapat usaha kearah pencetakan lulusan menjadi kelompok
pekerja fisik dalam pembangunan.
Pergeseran pendidikan nonformal sebagai komplemen merupakan bagian dari gerakan
descholling education. Dari sisi kajian perencanaan, pendidikan sebagai suplemen sangat
diutamakan bagi penduduk yang telah secara nyata ikutserta dalam pendidikan sekolah, akan
tetapi sesuai dengan perkembangan sangat mungkin untuk tidak diserap oleh lingkungan
kerja sehingga tekanan pada pihak perencana demikian tinggi. Bagi perencana keadaan
seperti ini perlu menjadi pertimbangan bagi mereka yang tidak sama sekali mendapatkan
pendidikan sekolah atau tidak sepenuhnya mendapatkan kesempatan ini.
Pendidikan Nonformal sebagai Suplemen
Kategori ini biasanya muncul pada saat usia peserta didik lewat usia sekolah dan
membutuhkan penambahan kemampuan dari pengetahuan yang pernah didapatkan pada
bangku sekolah. Dalam bentuknya, kebanyakan merupakan pelatihan bagi mereka yang telah

menyelesaikan pendidikan di sekolah. Dalam kelompok ini termasuk sejumlah kegiatan
pemagangan, pelatihan keterampilan, pelatihan bagi petani dan kegiatan home economic.
Bahan ajar umumnya berkaitan dengan keterampilan untuk hidup dalam masyrakat.
Bagi mereka yang telah menamatkan tingkat pendidikan tertentu akan tetapi tidak memiliki
peluang untuk melanjutkan pendidikan pada tahapan berikutnya, siberikan pelatihan seperti
pertanian, membangun rumah atau pengolahan kulit. Kegiatan merupakan gabungan antara
pendidikan umum, pelatihan keterampilan dan upaya produktif yang dapat diaplikasikan
dalam kehidupan. Kegiatan kerja dari peserta didik diharapkan dapat menutup biaya
pendidikan dan apda saat yang sama mereka akan mendapatkan pelatihan yang dibutuhkan
untuk kehidupannya. Pendidikan suplemen terdiri dari serangkaian pelatihan keterampilan
yang diselenggarakan di luar sekolah untuk penduduk di negara berkembang. Peserta belajar
sering menyertakan mereka yang drop-out dari pendidikan lanjutan atau mereka yang telah
lulus akan tetapi tidak terserap lingkungan kerja.
Dari sisi perencanaan, pendidikan nonformal sebagai komplemen, diarahkan pada mereka
yang telah menikmati pendidikan pada lingkungan pendidikan formal. Kelompok ini
memungkinkan untuk menjadi kelompok yang tidak memiliki pekerjaan segera setelah lulus
dari lingkungan sekolah. Sejalan dengan kepentingan politik maka tuntutan untuk
menyelenggarakan pendidikan untuk kelompok ini demikian kuat. Dalam perencanaan
hendaknya dipadukan antara mereka yang tidak mungkin memasuki lingkungan kerja dengan
memberikan peluang pada mereka untuk memperoleh pendidikan sekolah.
Pendidikan Nonformal sebagai Pengganti

Kategori ke tiga hubungan antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal yaitu
sebagai pengganti untuk pendidikan formal. Model ini merupakan layanan pada anak maupun
orang dewasa yang karena satu hal tidak dapat menyelesaikan pendidikan formal. Untuk
beberapa negara pendidikan keaksaraan yang diikuti secara bersama baik oleh anak maupun
orang dewasa. Peserta belajar yaitu mereka yang memiliki keterisolasian secara sosial karena
tinggal di pedesaan, kemiskinan dan tertinggal dari wilayah negara tertentu. Terjadi pula bagi
etnik tertentu yang karena satu hal tidak mungkin untuk mengikuti pendidikan sekolah.
Untuk beberapa kasus merupakan batu loncatan agar peserta didik bisa kembali ke
lingkungan sekolah.
Materi pembelajaran ditekankan pada kemampuan dasar membaca dan berhitung serta
keterampilan dasar lainnya yang secara fungsional dapat diterapkan untuk kepentingan
kesehatan, nutrisi dan pertanian. Pendukung kegiatan ini kecuali untuk pendidikan
keaksaraan umumnya adalah menteri pendidikan, selebihnya umumnya bukan dari pihak
pemerintah. Program lebih singkat dilihat dari waktu pelaksanaan, antara tiga bulan sampai
satu tahun, dan cenderung berlebih dilihat dari peserta maupun bahan yang diajarkan. Untuk
beberapa negara tertentu, pengajar umumnya guru pendidikan dasar atau sukarelawan dengan
tingkat kompetensi yang terbatas melalui sedikit pelatihan. Pembiayaan umumnya hanya
seadanya serta kurang memiliki kejelasan masa depan dari tipe pendidikan ini.
Pendidikan sebagai pengganti banyak menarik perhtian para perencana. Pendidikan ini
memiliki biaya rendah dan menggarap kelompok yang seharusnya menjadi bagian kerja
pendidikan formal akan tetapi kurnag terperhatikan sekolah untuk waktu dekat. Selebihnya
penggarapan melalui pendidikan nonformal juga menimbulkan isu tersendiri, dimana jumlah
yang demikian banyak sedangkan sumber yang tersedia umumnya terbatas. Kritik umumnya
memiliki tekanan pada kualitas pendidikan yang rendah serta akibat peserta belajar yang
umumnya terdiri dari kelompok miskin sebagai lapis kedua kelompok yang kurang
beruntung. Untuk perencana yaitu kegamanagan antara memperhatikan kelompok yang
kurnag beruntung dengan kualitas hasilan pendidikan.
Terlepas dari posisinya sebagai komplemen, suplemen maupun pengganti, selama ini
pelaksanaan pendidikannya merupakan tulangpunggung dalam menyelenggarakan
pendidikan di luar tembok sekolah. Kegiatan telah berlangsung demikian lama tanpa melihat
profeknya, penggunaan sumber seadanya dan dan kurang mendapatkan perioritas
dibandingkan dengan kebutuhan akan pendidikan formal.
Upaya inovatif dilakukan sebagai masukan baru dari model hubungan dengan pendidikan
formal, antara lain yang dianbgkat dari konferensi tahun 1960 mengenai : Krisis Pendidikan

Dunia: Sebuah Analisis Sistem yang ditulis Philip Coombs, yang terlahir akibat
ketidakpuasan pada pendidikan formal sementara pendekatan yang dilakukan demikian
terbatas. Pemikirannya menekankan pada tingginya biaya pendidikan formal akan tidak tetapi
tidak mampu memenuhi harapan terutama berkaitan dengan banyaknya calon peserta didik
yang tidak terlayani di dunia ketiga. Minat pada pendidikan nonformal demikian tinggi
sebagai upaya memecahkan masalah secara cepat, terutama bagi negara donor. Beberapa
negara telah mencurahkan danan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan dan
melakukan uji lapangan untuk melihat pengaruh dari pendekatan pendidikan nonformal.
Perhatian pada pendidikan nonformal terus berkembang diantara perencana, ahli
pengembangan dan universitas baik pada lingkungan kementerian pendidikan maupun
lembaga internasional. Kegiatan pendahuluan memfokuskan pada dua hal: Pertama,
memberikan definisi apa yang termasuk pada pendidikan nonformal dan apa pula yang tidak
termsuk pada pendidikan nonformal. Ke dua, menemukan, menterakan, menganalisis dan
membuat kodifikasi mengenai hakikat pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal
yang ditemukan pada beberapa negara berkembang. Para pemikir sampai pada kesimpulan
yang dapat diperdiksi di lapangan. Sesuai dengan debat dan perkembangan dicapai
kesepakatan mengenai makna dan terminologi. Hasilan kajian telah menjadikan bahan
berharga untuk perencanaan.
Kumpulan kasus telah memberikan dasar untuk diambil tindakan. Beberapa usaha lanjutan
telah dilakukan dengan mengumpulkan data lebih lanjut, melakukan analis dan membuat
kategorisasi sehingga mampu membantu dalam mendefinisikan mengenan pendidikan
nonformal dari kacamata praktisi. Beberapa bagian dari belahar bumi telah melakukan
kegiatan yang intensif termasuk: Non-formal education in African development (1972) yang
memuat hampir delapan studi kasus di negara tropis Afrika.
Kegiatan telah dianalisis secara terpisah: industri dan vocasional, pertanian dan pembangunan
masyarakat, program yang dilakuakn pada lingkungan pemuda di luar sekolah, dan program
untuk orang dewasa di pedesaan. Kelompok yang kelima merupakan sisa dari empat
kelompok sebelumnya yang tidak dapat dikategorisasikan pada empat bagian tersebut.
Penulisnya yaitu Sheffield and Diejomaoh, menjelaskan bahwa pengelompokkan dilakukan
melalui isi program, usia target dan lokasi kegiatan di kota dan desa. Kendati kasus sangat
terbatas, namun demikian dinilai telah dapat membuat klasifikasi mengenai proyek
pendidikan nonformal. Dari hasil kajian bermakna untuk perencana terutama dalam
memahami keragaman yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan makna pada hakikat
pendidikan nonformal.

Pengkajian berikutnya dilakukan oleh Manzoor Ahmed and Philip Coombs,dalam judul
Education for rural development (1975). Hasil studi telah membagi sesuai tujuan dari setiap
program. Pengelompokkan juga dibagi atas sasaran yang dilayani. Pada setiap kasus dilihat
dari isu organisasi, staf dan kegiatan yang dididiskusikan dalam kerangka pembangunan
umum dimana kegiatan dilakukan. Hasil kajian bermakna untuk perencana terutama pada
penekanan kebutuhan untuk melakukan koordinasi dalam pembangunan sebagai kontras dari
pendidikan yang dianggap sebagai sumber pembangunan. Analisis lebih lanjut bermakna bagi
perencana untuk menetapkan pendekatan yang paling cocok sesuai situasi yang dihadapi.
Analisis yang paling akhir yaitu dilakukan yaitu kajian regional seperti yang dilakukan oleh
South-East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) terutama usaha yang
dilakukan oleh Pusat Kajian Pembangunan pendidikan nonformal, lembaga penelitian di
Columbia, Amerika Selatan. Hasil penelitian memberikan gambaran lengkap bagi perencana
untuk daerah tertentu. Seperti halnya pemetaan peluang untuk perencanaan sistemik dan
koordinasi dari sektor-sektor pendidikan. Perencana pendidikan telah berhasil dalam
meningkatkan kesadaran melalui pendidikan nonformal dan ditunjang penelitian untuk
pembangunan. Hasil kajian terdiri dari bahan dasar perencanaan pada negara dimana
perhatian pada pendidikan nonformal tergolong tinggi.
Pilar ke tiga dari usaha dan kajian pendidikan nonformal yaitu kelompok kritik pada
persekolahan, yang menjadi populer pada tahun 60-an. Pemikiran utama lahir dari Ivan Illich
yang memaparkan sekolah sebagai lembaga pendukung pembangunan. Tulisannya
merupakan garis berseberangan untuk melakukan perbaikan sekolah, yang harus segera
diganti dengan jaringan belajar yang terdiri dari kecakapan untuk melakukan pertukaran,
sistem pembelajaran melalui peer dan saran pelayanan yang berhubungan sesuai tujuan
pendidikan dan ketenagaan. Pendidikan hendaknya merupakan bagian dari atuaran baru yang
harus merubah pola konsumsi menjadi pola interaksi bermakna untuk pemangku
kepentingan. Pendidikan harus merupakan pembebasan yang dikontrol oleh peserta belajar
bukan oleh lembaga yang memandang manusia sebagai bagian dari lembaga.
Senada dengan permikiran terdahulu yaitu Paulo Freire yang telah memberikan pemikiran
yang ditanggapi luas mengenai penekanan (oppressed) dari pendidikan formal. Perbedaan
dengan Illich, Freire lebih menekankan pada pengembangan model teori untuk memahami
proses pendidikan formal, yang intinya bertindak sebagai penekan dimana murid berada pada
pihak yang harus dibantu. Dia bekerja bersama pengikutnya untuk mengembangkan praktek,
studi lapangan untuk menentang penekanan dan memulai dengan suatu dialog dalam
menghilangkan penakanan. Freire sendiri tidak menyebut pendidikan nonformal sebagai

tandingan dari pendidikan formal, akan tetapi metode yang dimanfaatkan lebih banyak pada
usaha merangsang dan model-model yang kreatif dalam memecahkan pendidikan keaksaraan.
Konsepnya yang menaknakan pada kesadaran diri (consciousness)merupakan alat kerja untuk
sejumlah pendidik pada PNF dan secara utuh telah mengganti tujuan proyek pendidikannya.
Bagi sejumlah pekerja sosial yang enggan menggunakan kesadaran sebagai tujuan,
memanfaatkan kesadaran sebagai etika kerjanya. Makna dari etikanya bahwa pembangunan
bukan merupakan hasil usaha pendidikan selama tidak mampu memberikan kesadaran pada
peserta belajar mengenai kehidupan dan lingkungannya.
Makna dari kedua pemikir ini sebegitu jauh telah memberikan gambaran bagi perencana
PNF. Mereka meyakini bahwa melalui PNF biaya pendidikan bisa ditekan sementara krisis
keuangan yang dihadapi pendidikan formal bisa diatasi. Pada sisi lain pemikirna telah
membangkitkan kesadaran pada nilai keadilan dan kemanusiaan, yang selama ini diabaikan
oleh para ekonom kapitalis dengan cara menyebar rata hasil pembangunan. Selanjutnya
terdapat kemajuan pemikiran dari PNF yang semulakurang terperhatikan menjadi kegiatan
PNF sebagai unsur utama dari pembangunan dan merupakan investasi yang tidak ternilai.
Perpaduan dari tiga akar PNF, menyebabkan semakin populernya PNF melalui sejumlah
penelitian dan diskusi mengenai pentingnya dalam menunjang pembangunan. Bagi
perencana, hal ini merupakan tekanan dari agen eksternal dan kementerian untuk secepatnya
melakukan perancangan PNF untuk mengambil manfaat dari sejumlah keuntuntungan dan
memanfaatkan sistem koordinasi dengan sektor pendidikan lainnya dalam menunjang
pembangunan. Dalam memulai pemikiran ini, perencana hendaknya memahami benar
cakupan dari PNF.
Makna Pendidikan Nonformal
Dari sejumlah dialog yang berkembang terlalu sedikit pemahaman mengenai batasan PNF,
serta demikian terbatas aspek-aspek yang diharapkan dari PNF yang bermanfaat untuk
kepentingan berbagai sektor pembangunan. Pembicaraan yang berlangsung selama ini
memiliki kesulitan pula untuk menyederhanakan kegiatan pendidikan yang bersifat umum
menjadi bagian-bagian. Kadang penggunaan pendidikan nonformal yang sering juga disebut
sebagai pendidikan luar sekolah masih sering overlap dan menimbulkan konflik. Diskusi
berikut ini diharapkan dapat memberikan konsep yang bermanfaat bagi para perencana.
Perdebatan demikian bermanfaat terutama bagi mereka yang ingin mengembangkan jaringan
teoretikal untuk kepentingan analisis. Hampir semua bahan diperoleh dari praktisi pendidikan
sesuai dengan tugas mereka dalam upaya memecahkan permasalahan pendidikan.

Sebagai batasan dari PNF terutama diarahkan pada terminologi yang tidak mungkin. Hal ini
mengingat didasarkan pada kesadaran akan potensi yang dimiliki PNF serta upaya untuk
melegitimasi usaha yang dilakukan PNF. Baru pada giliran berikutnya bisa membedakan
antara pendidikan formal dengan PNF. Hasil pemikiran sampai pada definisi kerja yang
mampu meningkatkan pemanfaatan dari PNF.
Definisi yang dikemukakan Coombs dan kawan-kawannya umumnya dapat diterima yaitu: “
kegiatan pendidikan yang terorganisir yang berlangsung di luar pendidikan sekolah, baik
dalam kegiatan yang nyata berbeda maupun dimasukkan dalam kegiatan yang lebih laus,
yang ditujukan untuk melayani peserta belajar yang jelas dan memiliki seperangkat tujuan
pendidikan.
Definisi lebih ditekankan pada kegiatan yang berkangsung di luar sekolah, dengan asumsi
kegiatan dapat dibedakan dari pembelajaran yang umum terjadi pada lingkungan sekolah dan
dari rentang pendidikan sekolah yang biasa berlkangsung. Terdapat tiga ciri lainnya yang
menyatu dalam definisi, pendidikan nonformal harus merupakan kegiatan terorganisir untuk
sasaran yang jelas dan diarahkan untuk tujuan kegiatan belajar yang jelas pula. Kriteria
mungkin ditemukan pula pada kegiatan pendidikan lain akan tetapi penekanan yang
bermanfaat bagi perencana yaitu cakupan kegiatan yang memungkinkan peserta belajar
merasa memiliki tanggungjawab di dalamnya.
Proses pengembangan definisi mengenai PNF merangsang pada pembuatan analisis dari
rentangan pendidiakjn saat ini dalam upaya membedakan antara pendidiakn formal dengan
kegiatan lainnya. Terdapat sejumlah skema variasi untuk melihat spektrum seting
pembelajaran seperti halnya yang dikemukakan oleh Michigan State University, yang
membaginya menjadi empat kategori, yaitu:
1. pendidikan insidental, pembelajaran belangsung tanpa kesadaran penuh baik dari sisi
sumber belajar maupun peserta belajar,
2. pendidikan informal, belajar sebagai hasilan dari situasi dimana salah satu baik sumber
belajar maupun peserta belajar merasa sadar untuk mengembangkan suasana belajar akan
tetapi tidak keduanya.
3. pendidikan nonformal, salah satu bentuk pembelajaran di luar sekolah dimana baik sumber
belajar maupun peserta belajar menyadari untuk mengembangkan suasana belajar,
4. pendidikan formal, dibedakan dari pendidikan nonformal ditandai dengan penggunaan
tingkatan kelas pemuda dan diajari menggunakan kurikulum yang telah baku dilakuakn oleh
pendidik yang memiliki sertifikat menggunakan metode pengajaran standar.

Keempat kategori memberikan kerangka konseptual yang memadai yang
menunjukkan adanya proses belajar bagi umat manusia. Sehingga dapat dibedakan bila
pembelajaran dilakukan oleh orang tua kendati dalam suasana kelas, maka
pengkategoriannya dimasukkan ke dalam pendidikan insidental atau pendidikan informal.
Selanjutnya yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa, perilaku budaya yang khusus,
sikap dan keyakinan yang umum serta pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari, semua
kegiatan ini hampir tidak mengenal lingkungan belajar dan mengajar yang terstruktur.
Hampir semua kegiatan belajar berlangsung melalui observasi, imitasi dan penguatan yang
selektif oleh anggota lain dalam masyarakat. Dalam hal pendidikan insidental baik peserta
belajar maupun pendidik tidak dalam keadaan sadar untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran.
Pendidikan informal lebih menekankan pada pembelajaran dimana salah satu dari peserta
belajar maupun pendidik menyadari sedang brekangsung proses pembelajaran, seperti halnya
yang dilakukan oleh individu maupun bagian dari lembaga. Seperti halnya radio pendidikan
mereka memiliki keyakinan untuk melakukan pembelajaran, akan tetapi bisa sadar ataupun
tidak peserta belajar sedang melakukan proses pembelajaran dari pesan yang diterimanya.
Atau seseorang yang menginginkan untuk belajar mengenai otomotif dapat saja bertanya
pada dari seorang mekanik dan berlangsung di garasi dan ketika sedang memperbaiki mobil.
Dalam hubungan ini peserta belajar memiliki keperdulian untuk belajar akan tetapi situasi
benar-benar tidak terstruktur yang memungkinkan untuk melakukan proses pembelajaran
yang sungguh-sungguh. Pendidikan informal memberikan peluang untuk melakukan
perbaikan diri bagi peserta belajar yang tidak memiliki peluang untuk memasuki sekolah.
Keadaan ini sering dikenal dengan berpikir sendiri (self tought)
Pemilahan pendidikan informal dengan nonformal terletak pada situasi dimana peserta belajar
maupun pendidik secara sadar berkehendak untuk menyelenggarakan kegiatan belajar.
Semisal radio menyelenggarakan kegiatan dengan membuat kelompok yang terstruktur, maka
kegiatan jelas termasuk pada PNF. Demikian pula dalam peristiwa pembelajaran otomotif,
bila dari pihak peserta belajar memiliki kesadaran akan pemegangan dalam kerangka belajar
demikian pula ada kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan dari sisi instruktur ini pun
termsuk pada PNF. Batasannya dalam hal tertentu tidak terlalu jelas, seperti halnya sadar
tidaknya seseorang untuk belajar mengenai otomotif atau seorang dewasa yang datang ke
perpustakaan untuk meminjam buku dalam memperbaiki rumahnya. Dari sisi perencanaan
dapat pula dilihat sejauh mana seseorang berperanserta dalam proses perencanaan maka hal
ini dapat diketegorikan pada PNF.

Batasan antara pendidikan formal dengan PNF sangat jelas ditentukan oleh kegiatan yang
dilakukan oleh pendidikan secara reguler dan menjalankan kurikulum yang normal dan baku
maka hal ini termasuk pada pendidikan formal. Bila ciri-ciri ini tdiak ditemukan akan tetapi
terdapat usaha yang sungguh-sungguh baik dari sisi peserta belajar maupun dari pihak
pendidik maka kegiatan ini diklasifikasikan pada PNF. Kadang perbedaannya tidak demikian
tegas pada saat sekolah mengundang seorang ahli musik tradisional dan memberikan
tambahan pembelajaran setelah selesai kegiatan kelas. Bagi seorang perencana pendidikan
kegiatan ini tidak dapat diklasifikasikan pada pendidikan formal. Dengan demikian bagi
perencana ukuran yang paling mudah jaitu dengan melihat pengorganisasian kegiatan,
kegiatan pengawasan dan keuangan dan ini dapat membantu untuk mengkategorikan pada
pendidikan formal atau PNF.
Dengan empat kategori seperti yang dipaparkan tidak secara utuh memberikan batasn untuk
perencanaan pendidikan nonformal. Perencana dengan demikian tidak hanya memberikan
asumsi akan tetapi harus penuh keyakinan kedalam bentuk mana kegiatan akan
dikategorikan. Dengan demikian amat mungkin dalam perencanaan PNF menyertakan pula
pendidikan yang sifatnya insidental dan informal. Pada bagian lain kita akan sampai isu-isu
pokok yang harus menjadi bagian dari perencanaan PNF. Karenanya pembelajaran sepanjang
hayat yang memiliki cakupan empat kategori pendidikan, kurang membantu untuk dijadikan
perencanaan PNF. Namum demikian pemikiran Coombs maupun pemilahan pendidikan
menjadi empat kelompok sedikit membantu untuk menetapkan perencanaan PNF.
Permasalahan untuk mengungkap definisi dan kriteria taksonomi untuk melihat rentangan
pendekatan PNF tidak dapat lain keculai dilihat secara alami. Skema dikembangkan untuk
mendekripsikan dan menganalisis program dan mempelajarinya. Perencana, sementara
memanfaatkan hasil-hasil ini dapat menemukan perbedaan yang nyata dari: kebutuhan
pendefinisian pendidikan, menetapkan perioritas, pengalokasian sumber yang terbatas
diantara penggunaan yang bersaing pula, dan merencanakan pemecahan khusus yang paling
mungkin dalam kerangka hambatan yang ada. Perencana juga harus memahami tugas untuk
melihat rentangan pilihan, memahami biaya dan keuntungan dan usaha untuk menetapkan
kriteria dalam menentukan pilihan diantara sejumlah alternatif. Mengunakan pendekatan ini
maka pembahasan definisi dapat tergeser dengan proses perencanaan yang dapat
dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan prinsip utama perencanaan yang aktif, kreatif dan
prekriptif serta membutuhkan alat yang memadai untuk mengerjakan tugas-tugas
perancangan.
Beberapa perencana mulai bertindak realistis dengan tidak hanya memperhatikan hakikat

PNF dengan memperhatikan pendefinisian, dan bergerak pada analitis dimensi jaringan yang
bisa membantu perencana menganalisis program yang sedang berlangsung dan
mengembangkan perencangan baru. Salah satu hasilan berbasis produk melihat bahwa PNF
terdiri dari satu atau dua dimensi. Yang membuat kejelasan juga misalnya kurikulum formal
hanya merupakan bagian dari perancangan lingkungan belajar untuk sasaran belajar tertentu,
dalam upaya mendapai tujuan belajar. Keunikan dari perencanaan PNF yaitu terbebas dari
hanya sebatas satu set alternatif yang kerap ditunjukkan kinerja pendidikan formal.
Perancangan PNF merupakan perancanaan berbasis aternatif yang terbuka dalam rentangan
yang luas. Perencanaan PNF akan terdiri dari sejumlah alternatif, terutama dalam melihat
lingkungan belajar, atau kurikulum yang dirahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan.
Dengan demikian apa yang seharusnya menjadi pembahasan ? Jawabannya lebih banyak
berkaitan dengan analisis dimensi dari PNF. Bagian berikut terdiri dari sejumlah dimensi
beserta ragam alternatif dalam dimensi ini. Contoh yang dikembangkan untuk memperkaya
dimensi akan tetapi kita dituntut untuk menambah sesuai dengan pengalaman yang dimiliki
perencana sendiri.
1. Tujuan Pembelajaran
Hal ini merupakan dimensi paling mendasar yang menjadi jawaban pada pertanyaan
mengenai dimensi. Mengapa program pendidikan membutuhkan tujuan pembelajaran. Dalam
beberapa kasus program PNF lebih banyak didominasi oleh alasan politik dan sosial,
sehingga yang timbul lebih banyak tujuan program dan bukan tujuan belajar. Selanjutnya apa
tujuan pendidikan dari proyek pendidikan nonformal ?
Sabagai misal yang berkembang pada pendidikan dasar, maka tujuan program yaitu
keaksaraan atau kefungsian atau mengenai angka, kesehatan dasar dan nutrisi, motivasi untuk
melakukan perubahan dan pengembangan, dalam beberapa kasus menimbulkan kesadaran
kritik. Maka dalam kenyataan kita akan menghadapi beberapa tujuan yang saling berkaitan
satu dengan lainnya, kendati penekanan akan diberikan pada satu atau lebih tujuan sesuai
dengan dari mana datangnya sumber-sumber yang dicurahkan untuk keberlangsungan proram
tersebut. Program pendidikan orang dewasa yang mendapatkan dukungan dana dari
departemen pendidikan aka lebih menekankan pada keaksaraan dan perhitungan. Kendati
dikehendaki dieksplisitkan tujuan lain, akan tetapi kemampuan petugas lapangan dalam hal
ini memiliki keterbatasan dan dilihat dari praktek pendidikan menyulitkan untuk mewujudkan
tujuan pembelajaran. Sebagai imbangannya kampanye nasional mengenai keaksaraan lebih
banyak menekankan pada motivasi dan partisipasi secara meluas dari kelompok penduduk
atau generasi dalam mendukung pemerintahan atau filasafat nasional. Dalam hal kasus yang

mendapat dukungan dari departemen pertanian atau pembangunan pedesaan, maka
keaksaraan dan penghitungan merupakan perioritas ke dua dalam upaya mendukung paset
pertama untuk mendukung perorangan atau kelompok untuk mengadopsi metode baru
produksi dan pemasaran hasil pertanian, serta mendukung pemikirna yang kritis serta
kepercayaan diri sebagai bagian dari kebutuhan akan partisipasi. Program keaksaraan dan
penyertanya kurang populer akan tetapi merupakan potensi untuk berhasil mengingat
diperlukan keterpaduan dalam pendekatan untuk memenuhi kebutuhan belajar dan
meningkatkan pembangunan.
Selain itu dalam pengembangan proyek pembelajaran yang menunjang tujuan pendidikan
umum, terdapat tujuan yang lebih khusus. Dalam beberapa hal proyek menyertakan tujuan
yang pendidikan umum dengan pelatihan keterampilan vokasional. Hanya ditunjukkan pada
pembelajaran paket A yang menyertakan beberapa keterampilan seperti komputer. Tujuan
merupakan keterpaduan dalam upaya memelihara dan memperluas kemampuan dasar yang
umumnya dilakukan pada pendidikan formal dengan mempersiapkan kertampilan vokasional
yeng memungkinkan peserta belajar menjadi anggota produktif dalam masyarakatnya.
Akhirnya beberapa terdapat program dengan cakupan yang luas yang membahas mengenai:
pertanian untuk petani, kerajian dan perdagangan untuk artisan, keterampialn dalam
kehidupan keluarga untuk gadis dan ibu-ibu dan kewiraswastaan dan keterampilan
manajemen untuk usahawan kecil.
Harus diperhatikan oleh perencanan PNF yaitu pertanyaan mengenai bagaimana dan oleh
siapa tujuan pendidikan seharusnya ditetapkan. Penetapan tujuan yang sifatnya sebtralistis
untuk semua pada dasarnya menjadi ciri dari pendidikan formal yang kurang tepat dilakukan
untuk PNF. Beberapa proyek memang didorong agar anggota kelompok peserta belajar
mampu menetpakan sendiri tujuan belajar dan berusaha untuk mencapainya. Penetapan
tujuan yang dilakukan oleh peserta belajar sendiri dalam hal tertentu memiliki kaitan dengan
partisipasi dan kepercayaan diri peserta. Untuk hal ini para perencana membutuhkan waktu
untuk menetapkan tujuan sehingga tujuan pendidikan benar-benar merupakan bagian dari
partisipasi peserta belajar. Keseimbangan antara tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
dengan proses pembuatan tujuan sangat tergantung pada karakteristik dari peserta belajar.
Karateristik peserta belajar
Dalam beberapa proyek tertentu penetapan tujuan peserta belajar ditetapkan oleh faktor
politik dan sosial dan merupakan rintangan tertentu untuk perencana. Tujuan dan aspek lain
program banyak ditentukan oleh ciri warga belajar. Peserta belajar ditentukan oleh umur dan

keterlibatan sebelumnya pada sekolah, seperti halnya kasus drop-out dan mereka yang
berhenti pada kelas awal dari pendidikan dasar yang dipertimbangkan menjadi hambatan
tersendiri. Pemilahan lain bisa berdasar pada jenis kelamin dan peranan, seperti ditunjukkan
oleh gadis dan ibu-ibu yang dibedakan dari anak-anak. Atau mungkin juga ditentukan oleh
peran dalam pekerjaan, sebagai petani atau mekanik otomotif, pengusaha kecil atau pimpinan
desa. Jelasnya ciri peserta belajar merupakan faktor utama dalam menetapkan tujuan belajar,
tempat belajar, keterbatasan dalam waktu dan pemanfaatan metode.
Perencana memiliki sejumlah pilihan sehubungan dengan ciri dari peserta belajart. Perhatian
hendaknya diberikan pada terlalu berorientasi pada pendidikan sekolah, dimana peserta
belajar memiliki latar belakang yang relatif homogen yang memungkinkan untuk
mendapatkan pelayanan yang standar. Peserta belajar yang beragam membuka kemungkinan
untuk keberagaman strategi pembelajaran dimana kelompok belajar dapat dimanfaatkan
sebagai sumber belajar bagi anggota lain dalam kelompok. Anak dapat mengajar orang
dewasa dalam melakukan perhitungan, kakek mengajari cucu mengenai sejarah budaya,
petani belajar dari pelayan toko, penduduk kota dan desa bisa saling membelajarkan, suami
belajar dari istri; semua ini memungkinkan untuk dilakukan dalam dalam kelompok yang
beragam. Pemanfaatan pendekatan ini juga menuntut kejelian dalam menetapkan staf yang
mampu mengelola pembelajaran.
Proses pembelajaran yang berbasis pada peserta belajar juga memiliki hubungan dengan
struktur pembelajaran dan keberlanjutan dari proses pembelajaran. PNF hendaknya lebih
memberikan peluang pada masukan yang beragam dan memungkinkan untuk saling belajar
antara sesama mereka. Arahan pembelajaran lebih diarahkan pada motivasi dibandingkan
dengan pada kecakapan. Untuk perancangan jangka penjang memungkinkan untuk multi entri
dan eksit yang memungkin pihak pemangku kepentingan untuk memulai, keluar dan masuk
tergantung pada kebutuhan dan kepentingan lain pada waktu yang bersangkutan. Pilihan ini
dapat merupakan modal dalam membantu mereaka yang tidak bekerjasama. Perencana
hendaknya lebih banyak untuk bertanya pada diri sendiri apakh dibutuhkjan persyaratan bagi
peserta belajar benar-benar dibutuhkan atau dukungan bukan merupakan peluang untuk
memndapatkan tingkat fleksibilitas yang lebih besar.
Struktur Organisasi
Dimensi ini memiliki cakupan mengenai struktur internal dan hubungan antara program
dengan lembaga yang lebih luas. Isu-isu organisasi internal memiliki cakupan sekitar staf,
metode pembelajaran dan pembiayaan. Yang berhubungan organisasi ekternal yaitu dalam

hubungan antara menteri pendidikan dengan lainnya. Pemilihan hal ini memiliki pengaruh
langsung pada sumber pembiayaan dan hal lain yang seharusnya menjadi bagian dari
perencanaan program. Kadang dibutuhkan makna fleksibilitas, kepekaan lokal dan
efektivoitas yang seharusnya lebih ditingkatlkan program yang lebih kecil diluar administrasi
pemerintahan yang lebih luas. Dalam beberapa hal adanya kerjasama dengan keagamaan dan
lembaga sukarelawan lainnya demikian bermanfaat, sedangkan program mungkin dimotori
dan mendapatkan pengelolaan masyarakat.
Bila demikian banyak dana yang dipergunakan untuk cakupan wilayah penggunaan yang
demikian luas maka diperlukan penawasan dari pihak pemerintah. Bila benar dibutuhkan
supervisi dari pemerintah pusat, maka usaha seharusnya dilakukan dengan memberikan
delegasi pada tingkat regional atau tingkat kabupaten/kota. Rekomendasi ini dilakukan untuk
mensiasati pentingnya pelksibilitas dan tingkat responsif dalam PNF. Selain dari itu dana
yang dipergunakan untuk administratif lebih rendah dengan menyederhanakan hierarkhi
pengawasan dan menempatkan administrasi pada tingkat lokal. Berikutnya yang harus
menjadi perhatian perencana, lebih banyak melakukan kerjasama dengan pihak lain seperti
halnya militer, industri, pertanian komersial dan usaha yang lebih besar sepertei halnya
progam irigasi atau pemukiman penduduk pedesaan. PNF yang efektif memiliki keragaman
dapat dilalui melalui kelembagaan yang demikian beragam dan seringkali memiliki manfaat
dari interaksi yang lebih lekat dengan beberapa asosiasi dengan kegiatan lain yang saling
berhubungan.
Staf.
Staf merupakan merupaka aspek yang sangat menentukan dalam PNF, sekaitan pertimbangan
terbatasnya pendanaan untuk menunjang program kegiatan. Mengingat dana utama
dipergunakan pada pembayaran tenaga pendidik, apakah pelaksanaan PNF dapat
dilaksanakan dengan sempurna tanpa memperhatikan alternatif dalam penetapan staf. Salah
satu ciri yang paling banyak ditunjukkan dalam upaya mengatasi keterbatasn staf yaitu
melalui upaya sukarena dan staf paruh waktu. Upaya awal yang umum dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan staf yaitu dengan merekrut guru-guru sekolah dasar sebagai pekerjaan
tambahan pada tugas utamanya. Dengan banyaknya guru sekolah dasar yang dimanfaatkan
untuk memenuhi kebituhan staf di kota maupun di desa merupakan sumber yang demikian
menarik untuk memenuhi kebutuhan staf. Pada sisi lain terdapat permasalahan dimana terjadi
penumpukan peran guru dalam menambah tanggungjawabnya. Dampaknya cukup nyata
dimana penambahan tugas tidak terlalu memberikan dam[ka yang diharapkan sehubungan
terbaginya waktu mereka dan rendahnya motivasi.

Upaya lain yaitu dengan menggunakan pihak lain yang tidak memiliki kaitan dengan
pendidikan formal. Keluarga, pimpinan desa, petani dan siswa baik pada pendidikan formal
maupun PNF, dan anggota dari kelompok belajar yang beragam merupakan potensi dalam
mengembangkan staf. Pernyataan bagi perncana yaitu yaitu identifikasi, memotivasi dan
memberikan dukungan pada staf. Sumber di luar guru merupakan sumber yang potensil untuk
pengemangan staf. Permasalahan yang menjadi pertimbangan PNF juga pada kisaran dana
yang perlu dihemat pada penetapan staf merupakan kunci keberhasilan. Perencana juga perlu
memperhatikan faktor yang demikian mendesak dalam upaya meningkatkan profesionalisasi
staf dengan memberikan pelatihan, sertifikat dan pemberian penghargaan yang merupakan
keuntungan bagi staf. Untuk sementara penggunaan pendidik pada pendidikan formal dalam
hal penghematan pembiayaan.
5. Biaya
Biaya untuk PNF umumnya diperuntukkan untuk pembayar-an staf, fasilitas, transport dan
berbagai pengeluaran untuk bahan sarana dan prasarana. Setelah pembiayaan staf banyak
didiskusi-kan maka giliran berikutnya membahas lebih jauh yang berhu-bungan dengan
fasilitas yang tidak begitu banyak diperhatikan dilihat dari pembiayaan baik pada pendidikan
formal maupun PNF. Umumnya pembiayaan untuk fasilitas mandapat dukungan dari lokal.
Untuk transport, misalnya merupakan masalah, terutama untuk kepentingan suppervisi dan
dukungan operasional. Beberapa pihak mengusulkan dengan cara memberikan pelatihan pada
personal lokal akan mengurangi dana supervisi.
Strategi utama bagi perencana lebih banyak pada mengu¬rangi pembiayaan dibanding
dengan membuang energi untuk usaha mencari tambahan dana. Usaha berikutnya yaitu
mengurangi dana lain yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan organisasi bila
masih memungkinkan, misalnya melalui kegiatan swadaya dalam pembelajaran di
lingkungan masyarakat. Mengingat peningkatan dana lokal membutuhkan struktur organisasi
dan