BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif - Pengalaman Dan Kebutuhan Perawatan Karies Pada Anak Autis Umur 6-18 Tahun Di Slb Dan Yayasan Terapi Kota Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif

  Gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorder) terjadi pada masa kanak-kanak dan dikarakteristikan dengan gangguan yang lama dan berat pada beberapa area perkembangan, seperti interaksi sosial, komunikasi dengan orang

  10,11

  lain, perilaku sehari-hari, kesukaan, dan aktivitas. Gangguan perkembangan pervasif terdiri atas autis, gangguan Asperger, gangguan Rett, gangguan disintegratif masa kanak-kanak, dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan

  11,12 (pervasive developmental disorder not otherwise specified).

  Tipe mayor gangguan perkembangan pervasif adalah gangguan autis yang dikarakteristikan dengan gangguan pada kemampuan berbicara dan hubungan

  12

  emosional terhadap orang lain. Gangguan Asperger merupakan bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasif, ditunjukkan dengan memiliki gangguan dalam berinteraksi sosial, pola perilaku dan aktivitas yang terbatas serta

  10,13

  berulang-ulang. Berbeda dengan autis, gangguan Asperger tidak melibatkan

  13

  gangguan yang signifikan pada kemampuan bahasa dan kognitif. Tipe gangguan perkembangan yang lebih jarang muncul, yaitu gangguan Rett yang hanya terjadi pada wanita dan gangguan disintegratif masa kanak-kanak yang biasanya muncul

  13 pada laki-laki.

2.1.1 Autis dan Prevalensi Autis

  Autis berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri. Autis (autism) adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan berhubungan dengan orang lain, keterbatasan kemampuan berbahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam

  13,14 lingkungan. Autis diperkenalkan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater dari Universitas John Hopkins, Leo Kanner. Dia menerapkan diagnosis autis infantil awal kepada sekelompok anak yang mengalami gangguan, yang kelihatannya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka

  13 sendiri.

  Gangguan autis timbul sebelum umur 3 tahun, walaupun terdapat beberapa

  15

  kasus yang diduga gangguan autis terjadi pada umur yang lebih tua. Sebagian besar penderita autis juga mengalami retardasi mental. Kira-kira 60% penderita autis memiliki IQ di bawah 50,20% memiliki IQ antara 50 sampai 70, dan hanya 20%

  16

  memiliki IQ di atas 70. Gangguan autis 4-5 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Perempuan yang menderita autis memiliki retardasi yang

  15 lebih parah.

  Studi awal menunjukkan anak dengan gangguan autis lebih banyak pada keluarga yang berstatus sosio ekonomi tinggi. Akan tetapi, selama 25 tahun terakhir tidak terdapat studi epidemiologi yang menunjukkan hubungan autis dengan status

  15 ekonomi.

  Prevalensi autis terjadi pada 5 orang per 10.000 anak-anak (0,05%). Laporan

  15 mengenai jangkauan nilai gangguan autis adalah dari 2-20 kasus per 10.000 orang.

  Di Indonesia, prevalensi anak autis adalah sebesar 11,7 per 10.000 orang. Penelitian ini yang dilakukan oleh Wignyo-Sumarto dkk. pada 5120 anak dengan umur 4-7 tahun menunjukkan anak yang menderita autis adalah sebanyak 6 orang dengan menggunakan kriteria diagnostik CARS (Childhood Autism Rating Scale). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa gangguan autis 2 kali lebih besar pada anak laki-

  

17

laki dibandingkan dengan anak perempuan.

2.1.2 Etiologi Autis

  Penyebab autis belum diketahui, tetapi kemungkinan penyebab autis lebih dari

  13,18

  satu. Awalnya, hipotesis Leo Kanner mengenai penyebab autis adalah orang tua dari penderita autis itu dingin, tidak perhatian, dan tidak ramah yang disebut sebagai

  15,11 Ada beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autis:

  1. Faktor biologi Terdapat bukti kuat yang menunjukkan gangguan autis merupakan gangguan perkembangan otak yang berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak.

  150 pasang, mereka mendapatkan bukti kuat mengenai bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis.

  Faktor neuroanatomi Anak-anak gangguan autis dilahirkan dengan ukuran otak yang normal. Akan tetapi, ukuran otak signifikan bertambah besar ketika berumur 2-4 tahun.

  15 4.

  Faktor imunologi Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian immunologi dapat berkontribusi pada gangguan autis. Limfosit anak-anak autis bereaksi dengan antibodi ibu dapat menyebabkan saraf embrio, extraembrio, dan jaringan mengalami kerusakan selama kehamilan.

  16 3.

  fragile X syndrome berhubungan dengan gangguan mental.

  Gangguan ini lebih rentan pada laki-laki sebab mereka hanya memiliki satu kromosom X dan sebesar 30-50%

  11 Lebih kurang 1% penderita autis juga mengalami fragile X syndrome, gangguan genetik pada lengan panjang kromosom X. 15,16

  15 Selain itu, ditemukan juga penyimpangan pada lengan panjang kromosom 15 dan kromosom sex.

  2. Faktor genetik Beberapa hasil survei didapatkan 2-4% saudara kandung penderita autis juga mengalami autis. Para peneliti menampilkan DNA saudara kandung autis lebih dari

  Faktor ini dikarakteristikan sebagai berikut:

  Ukuran struktur batang otak, vermis otak, serta komponennya signifikan lebih kecil pada penderita autis dibandingkan dengan grup kontrol.

  d.

  Hipoplasia pada lobulus otak ke VI, VII.

  c.

  Kecacatan pada dendrit dan perkembangan saraf di sistem limbik.

  b.

  Penurunan jumlah sel purkinje pada bagian posterior inferior belahan otak.

  

18

a.

  12 Studi MRI bahwa volume otak anak autis lebih besar, meskipun pada umumnya penderita autis yang mengalami retardasi mental yang berat memiliki ukuran kepala yang lebih

  15 kecil.

  Rata-rata kenaikan ukuran terjadi pada lobus occipital, lobus parietal, dan lobus temporal dan tidak terdapat perbedaan pada lobus frontal. Pembesaran spesifik pada hal ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat muncul mungkin dari 3 mekanisme yang berbeda, yaitu peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan peningkatan produksi jaringan otak nonneural, seperti sel glial ataupun

  15 pembuluh darah.

  Lobus temporal dipercaya merupakan daerah yang penting terhadap abnormalitas pada penderita autis, hal ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan beberapa orang penderita autis mengalami kerusakan pada lobus temporal. Pada hewan-hewan bila terjadi kerusakan bagian temporal akan mengalami kehilangan perilaku sosial yang normal, kegelisahan, tingkah yang berulang – ulang, dan

  15 keterbatasan tingkah laku.

  5. Faktor Biokemikal Beberapa studi melaporkan individu autis tanpa retardasi mental memiliki insidensi hiperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak gangguan autis juga terdapat konsentrasi tinggi asam homovanillik (metabolisme utama dopamin) di cairan otak (CSF) yang berhubungan dengan tingkah laku meniru- niru dan menarik

  15 diri.

  6. Faktor prenatal Infeksi virus pada intrauterin dan gangguan metabolisme memiliki peranan penting dalam patogenesis gangguan autis. Intrauterin yang terpapar obat teratogenik,

  18 thalidomide, dan valproate implikasi menyebabkan gangguan autis.

2.1.3 Kriteria Diagnostik Autis

  Gangguan autis bila didiagnosis sejak awal, pendidikan intensif sejak dini, dan terapi tingkah laku akan lebih baik sebab secara signifikan meningkatkan fungsi

  3,18 kesehatan, seperti tes darah ataupun biopsi, melainkan dengan melihat tingkah laku dan perkembangan anak tersebut.

18 Menurut American Psychiatric Association

  c.

  d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

  c. Menunjukkan gerakan-gerakan stereotip (misalnya menjentikkan jari-jari, membenturkan kepala, berayun ke depan dan belakang, berputar).

  b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada fungsinya.

  Menunjukkan minat yang terbatas.

  3. Pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru a.

  Kemampuan bermain kurang variatif, kurang spontan.

  d.

  Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan meniru-niru.

  kriteria diagnostik gangguan autis:

  13,15,18

  Keterlambatan pada perkembangan bahasa verbal.

  2. Gangguan komunikasi a.

  d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.

  c. Kurangnya spontanitas membagi kebahagiaan, minat, ataupun hasil yang dicapai dengan orang lain.

  b. Tidak mampu mengembangkan hubungan dengan teman sebayanya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

  a. Gangguan pada perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak isyarat yang biasanya mengatur interaksi awal.

  1. Gangguan interaksi sosial

  I. Terdapat 6 gejala dari gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru dengan minimal 2 gejala dari gangguan interaksi sosial dan masing-masing 1 gejala dari gangguan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru.

  b. Bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan untuk memulai dan mempertahankan percakapan dengan orang lain.

  II.Terjadi keterlambatan/fungsi abnormal paling sedikit satu dari hal-hal berikut ini: interaksi sosial, kemampuan berbicara/ berbahasa, bermain imajinatif ataupun simbolik sebelum umur 3 tahun.

2.2 Keadaan Gigi dan Rongga Mulut Penderita Autis

  Pada dasarnya penderita autis tidak memiliki masalah rongga mulut yang spesifik, tetapi cenderung memiliki indeks karies dan penyakit periodontal yang tinggi. Keadaan ini mungkin karena kesulitan para orang tua dan pengajar ketika menghadapi mereka saat menyikat gigi serta kurangnya ketrampilan pada anak-anak

  3,19

  autis. Masalah rongga mulut anak autis dapat muncul karena keterbatasan anak dalam berkomunikasi, mengabaikan diri sendiri, self-injurious behaviours, resisten

  20

  menerima perawatan gigi, dan hiposensitif terhadap rasa sakit. Ada beberapa hasil penelitian dan teori yang menggambarkan keadaan gigi dan rongga mulut penderita autis: 1.

  Karies gigi Pada umumnya, anak-anak autis lebih menyukai makanan lunak dan manis, mereka cenderung menyimpan makanan di dalam mulut dibandingkan menelannya sebab lemahnya koordinasi terhadap lidah. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya

  16,20

  kerentanan karies gigi. Selain itu, diduga resiko karies tinggi pada penderita autis

  18 sebab kesulitan mereka dalam menyikat gigi dan menggunakan dental floss.

  Tahun 2014, Richa dkk., menunjukkan hasil penelitian mereka bahwa anak- anak autis secara signifikan memiliki skor DMFT, dmft yang lebih tinggi

  7

  dibandingkan dengan anak-anak yang tidak menderita gangguan autis. Hasil penelitian lain, Rashid Mayyadah, Al-Jubouri Raja mengevaluasi status kesehatan rongga mulut anak laki-laki penderita autis dengan jumlah sampel 29 orang dan 29 anak kontrol yang di matching umur dan jenis kelaminnya, hasil menunjukkan anak- anak gangguan autis lebih banyak bebas karies dan memiliki skor DMFT/dmft yang

  2 rendah.

  Banyak penulis yang menemukan bahwa prevalensi karies pada anak autis

  1,6,7

  lebih tinggi dibandingkan individu normal. Ada beberapa kasus, prevalensi karies

  2,4,9 anak autis lebih rendah dibandingkan anak normal.

2. Status periodontal

  Kebanyakan anak-anak autis memiliki kebersihan mulut yang buruk dan hampir semua menderita gingivitis, hal ini mungkin berhubungan dengan kebiasaan menyikat gigi yang tidak teratur karena kesulitan para orang tua dan pengajar saat menyikat gigi anak tersebut serta kurangnya ketrampilan anak autis. Kemungkinan lain gingivitis adalah efek samping dari penggunaaan obat-obatan pada anak autis,

  18 seperti obat antikonvulsan, antidepressan, stimultan, dan antipsikotik.

  3. Kebiasaan rongga mulut (Oral habits) Pada umumnya, kebiasaan rongga mulut pada anak autis adalah bruxism, mendorong lidah, menggigit bibir, dan menusuk gingiva. Bruxism merupakan masalah yang biasa ditemukan pada anak autis saat tidur. Dokter gigi menganjurkan

  18 mouthguard untuk menghindari self injuries behaviour (SIB) pada anak autis.

  4. Erupsi gigi Erupsi gigi pada anak autis mungkin terlambat karena obat phenytoin. Obat yang biasa diresepkan pada anak autis, menginduksi terjadinya hiperplasia

  18,21 gingiva.

  5. Kecelakaan pada gigi Kecelakaan pada gigi anak autis sangat tinggi, terutama fraktur enamel. Gigi

  18 yang sering mengalami injuri adalah gigi permanen insisivus satu rahang atas.

  6. Maloklusi Anak-anak dengan gangguan autis tidak memiliki maloklusi yang spesifik. Anak autis memiliki sedikit kecendrungan pada maloklusi tertentu, misalnya anterior

  18 open bite .

2.2.1 Karies Gigi dan Indeks Karies Gigi

  Karies gigi merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu enamel, karbohidrat yang diragikan. Karies gigi disebabkan oleh multifaktorial, yang kondisi setiap faktor tersebut saling mendukung. Ada tiga faktor utama yang memegang peranan, yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme, substrat atau

  22 diet dan ditambah dengan faktor waktu.

  Pengalaman karies gigi pada anak autis dari beberapa hasil penelitian ada yang menunjukkan lebih tinggi dibandingkan anak normal dan sebaliknya juga, ada yang menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok anak normal. Penelitian yang dilakukan di Bangalore, India menunjukkan prevalensi karies pada anak autis lebih tinggi dibandingkan anak normal, meskipun dari klasifikasi

7 WHO termasuk kategori rendah. Penelitian Namal Necmi, dkk., menunjukkan anak-

  anak autis memiliki status karies yang lebih baik dibandingkan anak-anak tanpa

  4 gangguan autis pada umur muda.

  Penelitian yang dilakukan Lynch menunjukkan pada masa gigi bercampur, gigi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap karies. Gigi yang sedang erupsi, sulit untuk dibersihkan karena gusi terasa sakit bila disentuh, hal ini menyebabkan anak

  23

  tidak mau menyikat gigi. Pada penelitian Kassawara juga menunjukkan pada masa gigi bercampur, gigi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap karies karena gigi yang sedang erupsi belum memiliki kontak oklusal sehingga terjadi peningkatan

  24 akumulasi biofilm.

  Untuk mengukur pengalaman karies seseorang dapat menggunakan indeks karies gigi, yaitu indeks DMF. Terdapat beberapa indeks karies gigi, yaitu DMFT/deft menurut WHO (1997), DMFT/deft menurut Klein, dan DMFT menurut Mohler. Indeks karies gigi umumnya banyak digunakan untuk survei epidemiologi karies gigi adalah indeks DMFT/deft menurut WHO (1997) karena indeks tersebut

  25,26 sederhana dan diterima secara global.

  Pemeriksaan pengalaman karies meliputi pemeriksaan pada gigi (DMFT/deft) dan permukaan gigi (DMFS/defs). Semua gigi diperiksa, kecuali molar tiga karena

  22 gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak berfungsi.

  Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat sonde, kaca mulut serta senter

  Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan semua DMF atau def. Komponen DT/dt (decayed) meliputi penjumlahan kode 1 dan 2, komponen MT/et (missing)

  22 untuk kode 4, dan komponen FT/ft (filling) untuk kode 3 (Tabel 1).

  22 Tabel 1. Indeks DMFT/deft Menurut WHO,1997 Kode Kondisi / Status Gigi Sulung Gigi Permanen Mahkota Mahkota Gigi Akar Gigi Gigi

  A Permukaan gigi sehat/tidak karies

  B

  1

  1 Gigi karies C

  2

  2 Gigi dengan tumpatan, ada karies D

  3

  3 Gigi dengan tumpatan baik, tidak ada karies E -

  4 Gigi yang hilang karena karies

  • 5 Gigi yang hilang karena sebab

  lain

  6 Gigi dengan tumpatan silen - F G

  7

  7 Jembatan, mahkota gigi atau viner / implan 8 - 8 Gigi yang tidak erupsi

  • T T Trauma / fraktur

  9 - 9 Dan lain – lain : gigi yang memakai pesawat cekat ortodonti atau gigi yang mengalami hipoplasia enamel yang berat Indeks DMFS/defs merupakan indeks yang digunakan pada permukaan gigi, yaitu 5 permukaan gigi posterior dan 4 permukaan gigi anterior, untuk mengukur keparahan karies gigi. Cara menghitung skor DMFS/ defs adalah dengan menjumlahkan semua skor DMF atau def pada permukaan gigi. Skor maksimum indeks DMFS per individu adalah 128 untuk 28 gigi permanen, sedangkan untuk skor

  27 maksimum indeks defs per individu adalah 88 untuk 20 gigi sulung.

  22 Kriteria pemeriksaan gigi dengan indeks DMFS/ defs:

  • tumpatan permanen memiliki karies (karies sekunder), tumpatan sementara.

  DS/ds (Decayed) = permukaan gigi yang mengalami karies dan gigi dengan

  Ms/es (Missing/extracted) = permukaan gigi yang hilang karena karies.

  • FS/fs (Filling) = permukaan gigi dengan tumpatan permanen.
  • 28

  DMFT dapat dibagi menjadi 5 kategori menurut WHO: Sangat rendah (0,0 – 1,1)

  • Rendah (1,2-2,6)
  • Sedang (2,7-4,4)
  • Tinggi (4,5-6,5)
  • Sangat tinggi (>6,6)
  • 2.2.2 Kebutuhan Perawatan Gigi Anak Autis

  Kebutuhan perawatan gigi anak autis perlu diketahui. Dengan data kebutuhan perawatan gigi anak tersebut dapat diketahui dasar kebutuhan yang diperlukan dan perkiraan biaya yang diperlukan untuk program kesehatan rongga mulut. Penilaian kebutuhan perawatan dapat menggunakan indeks kebutuhan perawatan yang

  29 dilakukan setelah pencatatan status gigi tersebut.

  Tahun 2011, Jaber Mohamed Abdullah melakukan penelitian pada 61 anak autis dan 61 anak normal mengenai kebutuhan perawatan gigi pada anak autis. Penelitian tersebut menunjukkan kebutuhan perawatan anak autis sebesar 100% memerlukan oral profilaksis, 77% memerlukan perawatan restorasi, 5% memerlukan perawatan ekstraksi, dan 11,4% memerlukan perawatan endodontik, sedangkan perawatan restorasi, tetapi hanya 9,5% anak autis yang menerima perawatan restorasi. Keadaan ini mungkin disebabkan keterbatasan melakukan perawatan gigi pada anak

  1 autis ataupun kesulitan dalam mengontrol anak autis.

  Penelitian Namal Necmi, dkk. melaporkan anak-anak autis kebanyakan kehilangan gigi permanen dibandingkan anak normal, sedangkan restorasi pada gigi permanen lebih banyak pada anak-anak yang normal. Studi tersebut menunjukkan anak-anak autis lebih mendapatkan perawatan ekstraksi gigi, hal ini mungkin karena kesulitan dalam melakukan perawatan gigi pada anak autis. Dilaporkan juga,

  4 kebutuhan perawatan gigi anak-anak autis masih banyak yang belum terpenuhi.

  Penelitian Chadha Gagandeep M., dkk. melaporkan kebutuhan perawatan pada anak gangguan autis adalah sebesar 77,1% memerlukan aplikasi fluor, sebesar 65,7% memerlukan pit dan fissur silen, 68,6% memerlukan restorasi ataupun perawatan pulpa, 42,9% memerlukan pemasangan crown, 22,9% memerlukan

  8 ekstraksi gigi, dan sebesar 31,4% memerlukan perawatan ortodontik.

2.2.2.1 Indeks Kebutuhan Perawatan Gigi

  Pengukuran kebutuhan perawatan gigi dapat menggunakan beberapa indeks kebutuhan perawatan gigi, yaitu Treatment Need Index (TNI) menurut WHO (1997),

  1,8

Met Need Index (MNI), dan Restorative Index (RI). Dalam TNI menurut WHO

  (1997), mencakup kebutuhan perawatan dengan 0-9 kriteria, sedangkan Met Need

  

Index (MNI) merupakan indikasi perawatan yang diperlukan dihitung dengan cara

  jumlah M (missing) ditambah F (filled) dibagi dengan jumlah DMF dan Restorative

  

Index (RI) yang mencerminkan kebutuhan restorasi yang dihitung dengan cara

1,29

  membandingkan F (filled) dengan jumlah D (decayed) dan F (filled). Penilaian kebutuhan perawatan yang umumnya digunakan adalah Treatment Need Index (TNI) menurut WHO (1997). Dalam pemilihan indeks kebutuhan harus dipilih yang sederhana dan mudah digunakan. Penilaian kebutuhan perawatan gigi dilakukan pada seluruh gigi, termasuk karies pada mahkota ataupun akar gigi. Kode dan kriteria

  29

  kebutuhan perawatan gigi adalah sebagai berikut:

  0 =Tidak ada perawatan. Bila gigi dalam keadaan sehat. P = Preventif, perawatan untuk karies yang terhenti, seperti kumur-kumur fluor.

  F = Fissur silen. Bila pada gigi terdapat pit dan fisur yang dalam. 1 = Restorasi 1 permukaan. Bila terdapat karies pada satu permukaan gigi. 2 = Restorasi 2 atau lebih permukaan. Bila terdapat karies pada dua atau lebih permukaan gigi. 3 =Crown. Bila terdapat karies yang luas. 4 =Veneer. Untuk tujuan estestis, misalnya pada gigi yang mengalami diskolorisasi. 5 = Perawatan pulpa dan restorasi. Bila terdapat karies yang luas dan dalam atau karena yang gigi yang mengalami trauma.

  6 = Ekstraksi. Bila gigi sudah tidak dapat direstorasi, penyakit periodontal yang menyebabkan gigi tersebut kehilangan fungsi, sakit, bergerak (mobility), kebutuhan ruang (ortodontik), atau alasan estetis atau gigi impaksi.

  7/8 = Kebutuhan perawatan lainnya. Pemeriksa menilai kebutuhan lain (selain kriteria diatas) yang diperlukan oleh sampel penelitian, misalnya perawatan ortodontik.

  9 = Tidak ada catatan. Bila terdapat gigi yang tidak dapat dinilai, misalnya gigi yang mengalami severe hypoplasia , maka perawatan gigi juga tidak ada.

2.3 Tantangan Merawat Anak Autis oleh Dokter Gigi

  Manajemen gigi anak autis merupakan tantangan terbesar bagi dokter gigi anak disebabkan gangguan tingkah laku dan komunikasi anak tersebut. Masalah yang

  18,30

  biasa berhubungan dengan perawatan gigi anak autis meliputi: a.

  Gangguan komunikasi, seperti keterbatasan berbahasa dan mengerti.

  b.

  Tingkah laku yang tidak menentu dan tidak terprediksi.

  c.

  Hiperaktivitas.

  d.

  Memiliki ambang sakit yang tinggi.

  e. Hipersensitivitas atau hiposensivitas pada sensasi taktil, cahaya, bau, dan suara.

  f. Tidak menyukai perubahan lingkungan, membutuhkan kesamaan dan kesinambungan g.

  Marah meskipun dengan perubahan lingkungan yang sangat sedikit.

  h. Tingkah laku mencelakakan diri sendiri (self injurious behaviour/SIB). SIB terjadi 4-5% pada individu yang berbeda kondisi psikiatriknya, terutama pada anak autis dan gangguan otak. Perubahan rutinitas keseharian akan mengawali atau meningkatkan SIB tersebut, seperti mencubit diri sendiri, mencakar sampai mengigit diri sendiri, dan memukul kepala sendiri. Injuri ini terjadi mungkin untuk menarik perhatian anggota keluarga atau klinisi ataupun untuk mencegah sesuatu yang tidak

  18 diinginkan.

  Ilmu pengetahuan dan pemahaman yang dalam mengenai dasar pola perilaku anak autis penting dalam mengatasi anak autis. Anak autis memiliki variasi yang luas dalam kemampuan, kepintaran, dan penampilan, oleh sebab itu seorang praktisi

  27

  memerlukan cara-cara pendekatan pada anak tersebut. Berikut ini cara-cara

  18,31,32,33

  manajemen tingkah laku anak autis:

  a. Komunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, dan jelas pada anak tersebut. Gunakan pendekatan tell, show, do ketika menjelaskan prosedur perawatan. b. Memulai pemeriksaan rongga mulut dengan perlahan, menggunakan jari tangan terlebih dahulu. Bila berhasil, maka mulai menggunakan alat-alat kedokteran gigi.

  c. Jauhkan alat-alat kedokteran gigi dari penglihatan anak tersebut dan hindari cahaya langsung pada mata anak autis. Meminimalkan input sensori, seperti suara pergerakan dan pengeboran yang dapat menganggu anak autis. Studi awal menunjukkan musik ritmis, cahaya yang santai meningkatkan partisipasi anak autis dalam tindakan profilaksis.

  d. Memberikan pujian atas kerja sama anak tersebut dengan reinforcement positif, misalnya dengan ungkapan kata, memberikan hadiah pada akhir perawatan sebagai tanda senang atas tingkah laku yang baik.

  e. Mengamati pergerakan tubuh yang tidak biasa/aneh dan antisipasi pergerakan kedepannya serta daerah sekitar dental unit bersih.

  f. Menggunakan teknik restraint dengan persetujuan orang tua yang bertujuan menghindari kecelakaan.

  g. Menggunakan staff dan operator yang sama, membuat perjanjian di setiap pertemuan, waktu tunggu tidak boleh melebihi 10-15 menit dan perawatan yang dilakukan cepat untuk menghindari kemarahan anak tersebut.

  h. Sedasi dapat digunakan bila sesuai tindakan pencegahan dan konsultasi dengan dokter. i. Anestesi umum digunakan bila pembedahan dan perawatan restoratif yang kompleks. j. Visual pedadogy, memperlihatkan gambar-gambar, misalnya gambar- gambar yang menunjukkan metode dan teknik menyikat gigi, gambar yang mengenalkan ruang dental. Dilaporkan, bahwa teknik visual pedadogy lebih baik dibandingkan menggunakan kata-kata.

2.4 Kerangka Teori

  Anak Autis Keterbatasan kemampuan berbahasa

  Koordinasi yang lemah terhadap lidah

  Diet Kurangnya ketrampilan dalam menyikat

  Penyakit periodontal (gingivitis)

  Karies gigi Pengalaman

  Karies Gigi

  Kebutuhan Perawatan Gigi

  Indeks DMFT/ deft menurut WHO (1997)

  Indeks DMFT/deft menurut

  Klein Indeks

  DMFT/deft menurut Mohler

  Treatment Need Index menurut

  WHO (1997)

  Met Need Index Restorative Index

2.5 Kerangka Konsep

  Prevalensi Karies Pengalaman karies

  Faktor risiko Anak autis karies

  • Anak normal yang
  • Frek. sikat

  Indeks

  Karies DMFT/deft

  • Waktu sikat di-matching-kan gigi - Frek.

  Indeks

  • Umur - makan

  DMFS/defs

  • ke dokter gigi
  • Kunjungan Jenis kelamin

  Kebutuhan perawatan

Dokumen yang terkait

Pengalaman Dan Kebutuhan Perawatan Karies Pada Anak Autis Umur 6-18 Tahun Di Slb Dan Yayasan Terapi Kota Medan

8 107 70

Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

7 101 82

Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua Dan Perilaku Membersihkan Gigi Dengan Pengalaman Karies Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun Di Sekolah Luar Biasa C (Slb-C) Kota Medan

0 71 58

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi dan Prevalensinya - Hubungan Pengalaman Karies dan PUFA dengan Indeks Massa Tubuh pada Anak Usia 12-14 Tahun di Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi - Persepsi Orangtua Tentang Kualitas Hidup Anak Dihubungkan Dengan Pengalaman Karies Anak Usia 6-7 Tahun Di SD Namira Dan SDN 060922

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Pencarian Pengobatan - Pengaruh Faktor Sosiodemografi, Sosioekonomi Dan Kebutuhan Terhadap Perilaku Masyarakat Dalam Pencarian Pengobatan Di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi - Hubungan Karies Dan Karies Tidak Dirawat Dengan Kualitas Hidup Pada Masyarakat Dewasa Usia 20-40 Tahun Di Desa Deli Tua Kecamatan Namorambe

0 3 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 2 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies - Perbandingan Hasil Radiografi Periapikal Dan Bitewing Dalam Mendeteksi Karies Proksimal

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa - Kondisi Kebersihan Mulut dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Penderita Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Tuntungan

0 1 10