Status Oral Higiene Dan Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Anak Autis Dan Normal Usia 6-18 Tahun Di Slb, Yayasan Terapi Dan Sekolah Umum Kota Medan

(1)

STATUS ORAL HIGIENE DAN KEBUTUHAN PERAWATAN

PERIODONTAL PADA ANAK AUTIS DAN NORMAL

USIA 6-18 TAHUN DI SLB, YAYASAN TERAPI

DAN SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

NADYA LOVIANDA NIM: 110600072

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Kedokteran Gigi Anak Tahun 2015

Nadya Lovianda

Status oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis dan normal usia 6-18 Tahun di SLB, Yayasan terapi, dan Sekolah umum Kota Medan ix+40 halaman

Beberapa tahun terakhir, prevalensi autis meningkat secara drastis di berbagai negara termasuk Indonesia. Kemampuan kognitif, komunikasi, dan motorik anak autis yang berbeda cenderung mengakibatkan anak tidak dapat membersihkan rongga mulutnya sendiri dengan efektif. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui status oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis dan anak normal usia 6-18 tahun di SLB, Yayasan terapi, dan Sekolah umum Kota Medan. Jenis penelitian adalah survei deskriptif yang dilakukan pada masing-masing 51 anak autis dan normal usia 6-18 tahun, yang diambil dari 2 SLB, 3 Yayasan terapi, dan 6 Sekolah umum di Kota Medan. Pengambilan subjek anak autis dilakukan dengan cara total sampling, sedangkan pada anak normal dilakukan teknik matching dengan anak autis berdasarkan usia dan jenis kelamin. Metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara orang tua dan pemeriksaan klinis pada anak yang dievaluasi menggunakan OHIS dan CPITN. Hasil pengolahan dan analisis data disajikan dalam bentuk persentase. Hasil penelitian menunjukkan rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun adalah 3,21 ± 1,17 (kategori buruk), sedangkan rerata skor OHIS anak normal adalah 1,75 ± 0,97 (kategori sedang). Status periodontal pada anak autis yang paling tinggi adalah kalkulus 49%, kemudian diikuti dengan gusi berdarah 19,6% dan 15,7% pada masing-masing status kedalaman poket 4-5 mm dan status periodontal sehat. Pada anak normal status periodontal yang paling tinggi adalah kalkulus dan periodontal sehat masing-masing 39,2%, kemudian diikuti dengan gusi berdarah 17,6% serta poket 4-5 mm 3,9%. Anak autis paling banyak membutuhkan instruksi oral higiene dan skeling profesional, yaitu sebanyak 64,7%, sedangkan pada anak normal sebanyak 43,1%. Berdasarkan hasil penelitian diketahui anak autis perlu segera dilakukan perawatan


(3)

skeling dan beberapa diantaranya membutuhkan tenaga profesional seperti kuretase. Selain itu juga dibutuhkan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut untuk mencegah terjadinya penyakit periodontal.


(4)

STATUS ORAL HIGIENE DAN KEBUTUHAN PERAWATAN

PERIODONTAL PADA ANAK AUTIS DAN NORMAL

USIA 6-18 TAHUN DI SLB, YAYASAN TERAPI

DAN SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

NADYA LOVIANDA NIM: 110600072

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 7 April 2015

Pembimbing Tanda tangan

Essie Octiara, drg., Sp.KGA ....…..……… NIP: 19721015 199903 2 001


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji Pada tanggal 2 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Siti Salmiah, drg., Sp.KGA

Anggota : 1. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA 2. Essie Octiara, drg., Sp.KGA


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT hanya karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Status oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis dan normal usia 6-18 tahun di SLB, Yayasan terapi, dan Sekolah umum Kota Medan” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta do’a dari berbagai pihak. Penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada Ayahanda Yuliardi dan Ibunda Zulmainis; dan Abang saya Jeffi Mardika dan Aldo Ferdika yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga selama penulis mendapatkan pendidikan akademik dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

2. Essie Octiara, drg., Sp.KGA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, pemikiran, tenaga, dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Yati Roesnawi, drg selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak serta seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Universitas Sumatera Utara.

4. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes dan Martina Amalia, drg selaku dosen wali yang telah banyak memberikan arahan, masukan, serta membantu dan membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(8)

5. Seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi FKG USU yang telah banyak membimbing dan membantu penulis dalam menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

6. Kepala sekolah, pengurus yayasan terapi dan murid serta orang tua dan wali murid di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, Yayasan Tali Kasih, Yayasan Anak Kita, Sekolah Angkasa, dan Sekolah T.P.I yang telah memberikan waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Para sahabat penulis Rahmi, Tilsa, Mutiara, Bep, Yulindia, Dina, Rahmy, Citra, Chai, Kiki, Yunishara, Dziah, Aflah, Roni, Ryan, Yessy, Sumery, Zilda serta MCFU, K-MUS FKG USU, IMAPALIKO-SU, IPANI Medan, ALAY, Cassiopeia dan teman-teman stambuk 2011 yang telah memberikan dukungan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat digunakan dan memberikan manfaat serta sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 2 April 2014 Penulis,

(Nadya Lovianda) NIM: 110600072


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN TIM PENGUJI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Autis ... 7

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Autis ... 7

2.1.2 Etiologi Autis ... 8

2.1.3 Gejala Klinis Autis ... 10

2.2 Keadaan Rongga Mulut pada Anak Autis ... 12

2.3 Indeks Pemeriksaan Klinis Penyakit Periodontal ... 13

2.3.1 Oral Hygiene Index Simplified (OHIS) ... 14

2.3.2 Community Index of Periodontal Treatment Needs (CPITN) ... 15

2.4 Kerangka Teori ... 17

2.5 Kerangka Konsep ... 18

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Jenis Penelitian ... 19


(10)

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 19

3.2.2 Waktu Penelitian ... 19

3.3 Populasi dan Sampel ... 20

3.3.1 Populasi ... 20

3.3.2 Sampel ... 20

3.4 Variabel Penelitian ... 20

3.5 Definisi Operasional ... 21

3.6 Cara Pengumpulan Data ... 25

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 26

3.7.1 Pengolahan Data ... 26

3.7.2 Analisis Data ... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 27

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian ... 27

4.2 Rerata Kebersihan Rongga Mulut pada Subjek Penelitian ... 28

4.3 Rerata Kebersihan Rongga Mulut Berdasarkan Kelompok Usia pada Subjek Penelitian ... 28

4.4 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Subjek Penelitian ... 29

4.5 Distribusi Status Periodontal pada Subjek Penelitian Berdasarkan CPITN ... 30

4.6 Distribusi Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Subjek Penelitian ... 31

4.7 Faktor Risiko Penyakit Periodontal ... 32

BAB 5 PEMBAHASAN... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1 Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Kriteria skor indeks debris dan kalkulus ... 15

2 Kriteria skor indeks periodontal komunitas untuk kebutuhan perawatan periodontal ... 16

3 Distribusi data demografi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin ... 27

4 Rerata kebersihan rongga mulut pada subjek penelitian ... 28

5 Rerata kebersihan rongga mulut berdasarkan kelompok usia ... 28

6 Distribusi status debris, kalkulus, dan kebersihan rongga mulut ... 29

7 Distribusi status periodontal CPITN pada subjek penelitian berdasarkan kelompok usia ... 30

8 Distribusi kebutuhan perawatan periodontal pada subjek penelitian ... ... 31


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Surat tanda penelitian dari sekolah 2. Surat persetujuan komisi etik penelitian 3. Hasil analisis data

4. Lembar penjelasan kepada orang tua / wali subjek penelitian 5. Lembaran persetujuan setelah penjelasan (informed consent) 6. Kuesioner dan lembar pemeriksaan klinis

7. Rencana anggaran penelitian 8. Data personalia diri


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Autis pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.1 Anak autis memiliki perkembangan neurologis berbeda dibandingkan anak normal lainnya.2,3 Gangguan autistik merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dengan gejala ketidakmampuan dan perbedaan dalam berbagai aspek seperti kemampuan motorik kasar dan halus, komunikasi, dan kemampuan interaksi sosial yang seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Tanda-tanda ini dapat diketahui ketika usia anak mencapai sekitar 3 tahun.2,4-6 Anak autis dapat dikatakan berada dalam kelompok yang heterogen, dimana sebagian dari mereka mampu berkomunikasi dengan lancar, dan mempunyai fungsi kognitif rata-rata sederajat dengan anak normal lainnya. Sebagian lainnya tidak dapat berkomunikasi dan menggunakan bahasa dengan baik, melakukan kebiasaan yang berulang-ulang (repetitive behaviors), dan menyakiti dirinya sendiri (self-injurious behaviors).4,6-8

Beberapa tahun terakhir, prevalensi autis meningkat secara drastis di berbagai negara. Center for Disease Control (CDC) menyatakan, 1 dari 110 anak dibawah umur 8 tahun adalah anak autis.9 Penelitian yang dilakukan oleh Kim YS di Korea Selatan menunjukkan 2,6% atau 1 dari 38 orang mengalami Autism Spectrum Disorders (ASD). Prevalensi autis di Korea Selatan mengalami peningkatan 57% sejak 2002.10 Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan 112.000 anak menderita autis.5 Pada tahun 2012, tercatat 1.000 orang yang menderita autis di provinsi Sumatera Utara, sedangkan di Medan, tercatat 386 orang yang menderita autis dan akan terus meningkat setiap tahunnya.11

Kemampuan kognitif, komunikasi, dan motorik anak autis yang berbeda cenderung mengakibatkan anak tidak dapat membersihkan rongga mulutnya sendiri dengan efektif.12 Lowe dan Lindemann melaporkan pada anak autis dibutuhkan instruksi dalam membersihkan rongga mulutnya, guna meningkatkan status oral higiene yang juga dapat


(14)

meningkatkan kemampuan motorik anak dalam membersihkan rongga mulutnya.13 Penelitian yang dilakukan oleh Oredugba FA dan Akindayomi Y tahun 2008 pada anak berkebutuhan khusus menunjukkan 46,3% anak mempunyai status oral higiene yang baik, 31,5% mempunyai status yang sedang, dan 22,2% mempunyai status oral higiene yang buruk. Pada penelitian ini, jumlah anak yang menderita autis adalah 20,4%. Perbedaan status oral higiene ini disebabkan oleh status ekonomi orang-tua, pola makan anak, dan kebiasaan membersihkan rongga mulut yang berbeda-beda antara setiap individu dan negara.12

Penelitian yang dilakukan oleh DeMattei R dkk tahun 2007 pada 55 anak autis menunjukkan tingginya penyakit periodontal yaitu, sebesar 62% anak mempunyai penyakit gingivitis dan plak sebesar 85%.14 Menurut survei yang dilakukan Murshid EZ di Saudi Arabia, 17,4% anak autis mengalami pendarahan gingiva.15 Penelitian yang dilakukan oleh Richa dkk tahun 2012 di India yang membandingkan oral higiene anak autis dengan anak normal menunjukkan, skor rerata OHIS pada anak autis jauh lebih tinggi yaitu 2,07 ± 0,83, sedangkan pada kelompok anak normal yaitu 0,46 ± 0,58.16

Di India, Vajawat M dan Deepika PC juga telah melakukan penelitian dengan membandingkan oral higiene pada 117 anak autis dan 126 anak normal. Dari hasil penelitian didapati hasil bahwa insiden penyakit periodontal jauh lebih tinggi pada anak autis dibandingkan anak normal sebagai kelompok kontrol. Sebanyak 20,6% anak autis membutuhkan perawatan kompleks dan skeling profesional, sedangkan hanya 0,9% anak normal yang membutuhkan perawatan kompleks dan skeling profesional.17 Di Bangkok, Luppanaporn-larp S dkk telah melakukan penelitian dengan membandingkan 32 anak autis dan 48 anak normal sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan 71,9% anak autis membutuhkan perawatan kompleks dan skeling profesional, sedangkan hanya 18,8% anak normal yang membutuhkan perawatan kompleks dan skeling profesional.18 Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Jaber MA tahun 2010 yang membandingkan 61 anak autis dan 61 anak normal menunjukkan, anak autis memiliki oral higiene dan gingivitis yang lebih buruk. Hasil penelitian Jaber MA menunjukkan, 59% anak autis memiliki oral higiene yang buruk dan hanya 14,8% anak normal yang memiliki oral higiene yang buruk.19


(15)

Berdasarkan hasil beberapa penelitian di berbagai negara dapat disimpulkan bahwa prevalensi anak yang mengalami autis meningkat drastis setiap tahunnya dan tingginya status OHIS pada anak autis dibandingkan anak normal. Seiring dengan meningkatnya status OHIS pada anak autis maka dibutuhkan perawatan yang sesuai dengan kondisi periodontalnya. Selain itu, data mengenai status OHIS dan kebutuhan perawatan periodontal anak autis untuk daerah Kota Medan belum ada. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis di Kota Medan. Disamping itu peneliti juga ingin membandingkan OHIS dan kebutuhan perawatan periodontal antara anak autis dan anak normal.

Sampel yang diambil adalah seluruh anak autis usia 6-18 tahun dengan jumlah 51 anak yang bersekolah atau menjalani terapi autis di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, Yayasan Tali Kasih, dan Yayasan Anak Kita dikarenakan hanya SLB dan Yayasan terapi tersebut yang memberi izin dilakukannya penelitian dan pendataan anak autis di SLB dan Yayasan terapi lebih mudah jika dibandingkan dengan pendataan dari rumah ke rumah. Pemilihan subjek anak normal berdasarkan lingkar luar dan lingkar dalam Kecamatan di Kota Medan. Untuk memudahkan penelitian, lingkar luar anak autis dan normal diambil pada sekolah yang sama, yaitu Sekolah T.P.I, dan lingkar dalam diambil Sekolah Angkasa karena memudahkan penelitian serta sekolah tersebut memiliki anak SD, SMP, dan SMA.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan Umum

1. Berapakah rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan?

2. Berapakah rerata skor OHIS pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan?

3. Bagaimana kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan?


(16)

4. Bagaimana kebutuhan perawatan periodontal pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan?

Rumusan Khusus

1. Berapakah rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan berdasarkan kelompok usia?

2. Berapakah rerata skor OHIS pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan berdasarkan kelompok usia?

3. Bagaimana kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan berdasarkan kelompok usia?

4. Bagaimana kebutuhan perawatan periodontal pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan berdasarkan kelompok usia?

5. Apakah faktor risiko penyakit periodontal pada anak autis dan anak normal?

1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan.

2. Untuk mengetahui rerata skor OHIS pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan.

3. Untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan.

4. Untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan.


(17)

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan berdasarkan kelompok usia.

2. Untuk mengetahui rerata skor OHIS pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan berdasarkan kelompok usia.

3. Untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan terapi Kota Medan berdasarkan kelompok usia.

4. Untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal pada anak normal usia 6-18 tahun di Sekolah Umum Kota Medan berdasarkan kelompok usia.

5. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit periodontal pada anak autis dan anak normal.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat terutama orang tua mengenai status oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal anak autis serta memotivasi orang tua untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan rongga mulut.

2. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

a. Untuk mendapatkan rerata skor OHIS anak autis di Kota Medan.

b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar program pemerintahan dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk meningkatkan kualitas hidup anak pada usia dini.

3. Manfaat kebutuhan klinis

Dengan diketahuinya rerata skor OHIS dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis di Kota Medan, maka dapat direncanakan usaha pencegahan dan perawatan gigi dan mulut anak autis.


(18)

4. Manfaat untuk Ilmu Kedokteran Gigi

Memberikan sumbangan atau kontribusi mengenai oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis, khususnya di bidang ilmu kedokteran gigi anak dan periodonsia.

5. Manfaat untuk peneliti atau peneliti lain

a. Bagi peneliti diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, wawasan baru mengenai mengenai oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis, dan menambah kemampuan peneliti dalam menulis.

b. Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan data untuk melakukan penelitian lebih lanjut atau penelitian lainnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autis

Autis pertama kali ditemukan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater bernama Leo Kanner.20-24 Menurut istilah ilmiah kedokteran dan psikologi, autis termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Pada anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif terdapat beberapa fungsi psikologis dasar anak yang terganggu, tidak hanya satu fungsi spesifik saja yang terkena.22 Selain autis, gangguan lainnya yang termasuk kedalam gangguan perkembangan pervasif ini adalah Asperger’s disorder, Rett’s disorder, childhood disintegrative disorder dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan (pervasive developmental disorder not otherwise specified).23,24 Autis merupakan gangguan terparah dibandingkan gangguan perkembangan pervasif lainnya dikarenakan, terdapat banyak area yang tidak berkembang seperti, sosial interaksi, komunikasi, perilaku, minat dan bahasa.23

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Autis

Autisme atau gangguan autistik merupakan gangguan yang dimulai dan dialami pada masa kanak-kanak dan bersifat kronis.22,24 Kata autis berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang psikiater dari Swiss, Eugen Bleuler pada tahun 1906 yang melihat adanya gaya berpikir aneh pada sekelompok anak.20,24,25 Pada tahun 1943, seorang psikiater di Johns Hopkins bernama Leo Kanner menerapkan diagnosis autis infantil awal kepada sekelompok anak yang terlihat mengalami gangguan dimana mereka tidak dapat berhubungan dengan orang lain dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Leo Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain dan sikap yang berulang (repetitive behaviors) dan stereotipik, rute


(20)

ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.21-26 Autis yang termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.21,22,24

Prevalensi autis mengalami peningkatan drastis di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hasil beberapa penelitian menunjukkan, tingkat prevalensi autis diperkirakan 2-5 dari 10.000 anak mengalami gangguan autis. Di Korea Selatan terdapat 2,6% atau 1 dari 38 orang mengalami Autism Spectrum Disorders (ASD). Prevalensi ini mengalami peningkatan 57% sejak 2002.10 Di Indonesia anak yang menderita autis diperkirakan berjumlah sebanyak 112.000 anak.5 Di provinsi Sumatera Utara, tercatat 1.000 orang yang menderita autis pada tahun 2012; sedangkan di Kota Medan tercatat 386 orang yang menderita autis dan akan terus meningkat setiap tahunnya.11 Gangguan autistik dimulai pada masa kanak-kanak dan dapat didiagnosis sekitar umur 3 tahun. Gangguan ini 3-5 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.22,24-29

2.1.2 Etiologi Autis

Hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya autis. Leo Kanner mengemukakan gangguan autistik disebabkan oleh faktor psikologi sehingga terjadi gangguan perkembangan pervasif pada anak. Beberapa penelitian terbaru mengemukakan faktor lainnya, yaitu:21,23,26,30,31

1. Faktor psikososial dan keluarga

Pada observasi awal, Leo Kanner menyatakan keluarga yang memiliki anak autis cenderung bersikap ramah dan suka mengekspresikan perhatiannya yang murni terhadap anaknya. Setelah 50 tahun terakhir, sikap orang tua yang tidak peduli mendorong terjadinya gangguan autistik pada anaknya. Namun teori ini hanyalah pendapat dari beberapa ahli yang belum dapat diuji kebenarannya.

2. Faktor genetik

Dari beberapa penelitian menunjukkan, 2-4% saudara kandung yang mengalami gangguan autistik juga mengalami gangguan autistik. McBride juga mengemukakan risiko


(21)

terjadinya autis pada saudara yang mengalami gangguan ini yaitu 75 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki saudara autis. Para peneliti menunjukkan DNA dari saudara kandung autis terdapat lebih dari 150 pasang yang membuktikan bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis. Kurang dari 1 persen penderita autis mengalami fragile X Syndrome, yaitu gangguan genetik pada kromosom X.26 Selain itu, anomali pada kromosom 15 juga berhubungan dengan terjadinya autis namun hubungan fragile X syndrome dengan autis jauh lebih kuat dibandingkan dengan kromosom 15.25

3. Faktor imunologis

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan imunologi yang inkompatibilitas dapat menyebabkan terjadinya gangguan autistik. Limfosit pada beberapa anak autis bereaksi dengan antibodi maternal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan pada jaringan neural atau ekstra embrionik selama kehamilan.

4. Faktor perinatal

Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada anak autis. Namun tidak ada komplikasi secara langsung yang menyatakan sebagai penyebabnya.

5.Faktor biologis

Anak autis menunjukkan lebih banyak tanda komplikasi perinatal dibandingkan kelompok anak normal dan gangguan lainnya. Sekitar 75% anak yang mengalami gangguan autistik juga mengalami retardasi mental dan hampir setengahnya mempunyai tingkat retardasi mental yang parah.

6. Faktor neuroanatomi

Bagian otak abnormal yang diperkirakan berhubungan dengan gangguan autistik adalah lobus temporalis. Perkiraan tersebut didasarkan pada laporan beberapa anak autis mengalami kerusakan lobus temporalis. Ketika lobus temporalis rusak, maka terjadi gangguan interaksi sosial, kegelisahan, dan perilaku motorik berulang-ulang. Suatu penelitian dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan, pada beberapa anak autime ditemukan ukuran otaknya lebih besar dibandingkan anak normal. Namun pada anak autis dengan retardasi mental yang parah lebih banyak ditemukan


(22)

memiliki ukuran kepala yang kecil. Otak mengandung sel saraf lebih dari 100 miliar neuron yang memiliki ratusan atau ribuan sambungan yang membawa pesan ke sel-sel saraf lainnya di otak dan tubuh. Neurotransmitter menjaga neuron bekerja sebagaimana mestinya, seperti melihat, merasakan, bergerak, berkomunikasi, emosi, dan hal penting lainnya. Pada anak autis, beberapa sel dan koneksinya tidak berkembang dan tidak terkoordinasi secara normal. Namun para ilmuwan belum mengetahui penyebab pasti dan bagaimana hal ini terjadi.

7. Faktor Biokimia

Beberapa penelitian menunjukkan sepertiga pasien autis mengalami peningkatan konsentrasi serotonin plasma. Penelitian ini tidak hanya menggunakan sampel autis saja, akan tetapi juga menggunakan sampel anak yang mengalami retardasi mental tanpa adanya gangguan autistik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk menguji kebenarannya.

2.1.3 Gejala Klinis Autis

Gejala anak yang mengalami autis sudah dapat timbul sejak lahir sehingga anak mengalami perkembangan perilaku yang tidak normal. Namun hal ini dapat terdeteksi sekitar umur 30 bulan pertama anak atau 3 tahun.24,27,29

Anak yang mengalami gangguan autistik menunjukkan kurangnya respon terhadap orang lain, ketidakmampuan berkomunikasi, menunjukkan respon yang aneh terhadap berbagai aspek lingkungan di sekitarnya, namun yang paling menonjol adalah sikap anak yang suka menyendiri dan cenderung tidak suka berinteraksi. Perilaku anak autis yang menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal ditandai dengan kurangnya respon dan kurangnya minat kepada orang-orang atau teman di sekitarnya. Anak dapat pula tidak bisa berbicara, atau bila berbicara anak menggunakan bahasa yang tidak lazim seperti ekolalia, yaitu mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton. Ciri utama dari autis adalah melakukan gerakan stereotip berulang-ulang yang tidak memiliki tujuan.21,22,24-32

Menurut Diagnostic and Statistic Manual 1994, (DSM-IV) gejala autis dibagi atas:21,23,26


(23)

I. Ada 6 gejala atau lebih dari gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru dengan minimal, adanya 2 gejala dari gangguan interaksi sosial dan masing-masing 1 gejala dari gangguan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru.

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial

a. Gangguan nonverbal, misalnya kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh.

b. Ketidakmampuan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya.

c. Kurangnya spontanitas dalam membagi kegembiraan, kesenangan, minat, atau prestasi dengan orang lain.

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional. 2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi

a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal.

b. Bila anak bisa berbicara, hal ini tidak digunakan untuk berkomunikasi. c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang.

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan berulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.

a. Mempertahankan satu minat atau kegiatan dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.

b. Cenderung terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.

c. Sering melakukan gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. d. Sering terpukau pada bagian suatu benda.

II. Terjadi keterlambatan/fungsi abnormal paling sedikit satu dari hal-hal berikut ini sebelum umur 3 tahun, diantaranya interaksi sosial, kemampuan berbicara/ berbahasa, bermain imajinatif ataupun simbolik.


(24)

Umumnya anak dengan gangguan autistik mempunyai keadaan rongga mulut yang tidak jauh berbeda dari anak normal, namun anak autis dapat memiliki penyakit gigi dan mulut yang lebih parah karena ketidakmampuan dalam menjaga kebersihan rongga mulutnya.14,33,34 Ketidakmampuan ini meliputi, tidak efektifnya menggosok gigi dan memakai benang gigi yang dikarenakan kurangnya minat anak dalam membersihkan rongga mulutnya sehingga dibutuhkan panduan, penjagaan, dan observasi dari keluarga maupun pengasuh ketika anak membersihkan giginya.13,16,17

Biasanya anak autis lebih memilih makanan yang lunak dan manis. Ketika makan, anak cenderung tidak menelan makanannya langsung, namun meletakkan makanannya di pipi dan mengemutnya dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan anak memiliki koordinasi otot yang buruk.13,15-17,19 Beberapa penelitian menunjukkan, akibat diet yang buruk maloklusi dan malposisi banyak terjadi pada anak autis, seperti overjet dan overbite yang tidak normal, crossbite, openbite dan lainnya.14,18,35 Peranan orang tua yang terbatas dapat memperburuk masalah kebersihan rongga mulutnya. Mengonsumsi obat-obatan seperti antikonvulsan untuk pengobatan epilepsi menyebabkan hiperplasia gingiva dan meningkatkan terjadinya perdarahan gingiva pada anak.36,37

Selain itu, kebiasaan buruk yang dilakukan anak autis menyebabkan dampak yang cukup besar pada keadaaan rongga mulutnya seperti, bruxism, menjulurkan lidah (tongue thrusting), menggigit objek seperti pulpen dan puntung rokok, dan kebiasaan melukai diri sendiri seperti menggigit bibir, lidah, dan pipi.2,13,14,17-19 Suasana hati abnormal yang dimiliki anak dengan gangguan autistik mempersulit penanganannya pada saat dilakukan perawatan ke dokter gigi. Anak cenderung menolak dan bersikap agresif terhadap perawatan yang akan dilakukan, hal ini dapat disebabkan lingkungan berbeda, dokter dan perawat gigi yang belum dikenalnya, bunyi suara bur, melihat alat kedokteran gigi seperti tang gigi, dan lainnya. Penolakan yang ditimbulkannya dapat mengakibatkan luka pada rongga mulut dan fraktur terutama pada gigi anterior karena membenturkan kepalanya saat mengamuk.3,17,32

Adanya pola makan dan perilaku membersihkan gigi anak yang buruk, kondisi psikologis anak yang menyebabkan anak cenderung tidak mempedulikan kebersihan gigi serta sulitnya manajemen anak di perawatan dokter gigi, konsumsi obat-obatan, dan


(25)

kebiasaan buruk yang sering dilakukan dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal pada anak autis.

Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi pada periodonsium yang disebabkan oleh bakteri yang terakumulasi dalam plak sehingga terjadi peradangan pada gingiva.38,39 Penyakit ini umumnya dibedakan atas gingivitis dan periodontitis. Perbedaannya terletak pada jaringan yang terlibat dalam proses inflamasi. Gingivitis hanya meliputi jaringan gingiva dan bersifat reversibel sedangkan periodontitis, kerusakan yang terjadi tidak hanya pada jaringan gingiva tapi juga pada ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolarnya. Periodontitis bersifat ireversibel.40-42

Gingivitis merupakan inflamasi pada jaringan gingiva. Karakteristik gingivitis biasanya terlihat pada warna, kontur, dan konsistensinya yaitu gingiva terlihat berwarna merah, membengkak, dan mudah berdarah. Pada gingivitis tidak ada migrasi apikal dari sel epitel penyatu maupun kehilangan tulang alveolar.40,41

Periodontitis merupakan inflamasi gingiva yang lebih parah dengan melibatkan struktur periodontal pendukung. Pada periodontitis terjadi migrasi apikal dari sel epitel penyatu, kehilangan perlekatan jaringan ikat dan kehilangan tulang alveolar. Sel epitel penyatu yang bergerak ke apikal menyebabkan terbentukanya poket periodontal selanjutnya plak subgingiva berkembang di daerah tersebut.40,41

2.3 Indeks Pemeriksaan Klinis Penyakit Periodontal

Pemeriksaan klinis dapat berupa pemeriksaan ekstra oral, intra oral, dan penunjang menggunakan radiografi. Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene meliputi oral hygiene index simplified (OHIS) oleh Greene dan Vermillion yang terdiri atas Indeks kalkulus dan Indeks debris. Indeks ini hanya memeriksa 6 gigi sehingga lebih memudahkan peneliti ketika dilakukan pemeriksaan. Selain itu indeks periodontal yang dapat digunakan adalah indeks plak oleh Ramfjord, indeks plak oleh Quigley dan Hein, indeks plak oleh Loe dan Silness, indeks kalkulus oleh Ramfjord, indeks permukaan kalkulus oleh Ennever, Sturzenberger, dan Radike, indeks gingiva oleh Loe dan Silness, indeks kebutuhan perawatan periodontal, dan lain-lain. Indeks kebutuhan perawatan periodontal menggambarkan tingkat kondisi periodontal dan kebutuhan perawatannya,


(26)

sehingga sangat bermanfaat kepada dokter gigi ketika akan di lakukan perawatan periodontal.42

2.3.1 Oral Hygiene Index Simplified (OHIS)

Oral higiene merupakan suatu kondisi dan sikap mengenai cara dalam memelihara kebersihan rongga mulut sebagai upaya mempertahankan jaringan dan struktur rongga mulut. Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene yaitu dengan menggunakan oral hygiene index simplified (OHIS) oleh Greene dan Vermillion. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan rongga mulut dengan menjumlahkan skor Indeks Debris (DI) dan skor Indeks Kalkulus (CI).42-47

Alat yang digunakan adalah sonde berbentuk sabit dan kaca mulut tanpa menggunakan pewarna plak. Gigi yang periksa adalah gigi 16, 11, 26, 46, 31, dan 36 dengan cara setiap permukaan gigi dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah, dan sepertiga insisal. Untuk mengukur indeks debris, sonde ditempatkan pada bagian sepertiga insisal gigi lalu sonde digerakkan ke arah gingiva. Pada gigi molar yang diperiksa, penilaian dilakukan pada sisi bukal molar atas dan sisi lingual molar bawah. Pada gigi anterior, permukaan sisi labial dari insisivus sentralis atas sebelah kanan dan insisivus sentralis bawah sebelah kiri yang diberi skor. Apabila gigi anterior yang di periksa tidak ada maka dapat digantikan oleh gigi pada sisi yang berlawanan dari garis midline.44-46

Pada pemeriksaan menggunakan oral hygiene index simplified (OHIS) terdapat kriteria skor untuk indeks debris dan indeks kalkulus. Perhitungan indeks debris dan indeks kalkulus adalah jumlah skor gigi permukaan bukal dan lingual pada maksila dan mandibula dibagi dengan jumlah permukaan yang diperiksa. Tingkat kebersihan debris dan kalkulus dapat dikategorikan baik apabila skor berada di antara 0,0 – 0,6, kategori sedang berada diantara 0,7 – 1,8, sedangkan kategori buruk berada di antara 1,9 – 3,0. Skor untuk oral higiene didapat dengan menjumlahkan skor rerata debris dan kalkulus. Kategori untuk skor OHIS adalah baik apabila skor berada di antara 0,0 – 1,2, kategori sedang apabila skor berada diantara 1,3 – 3,0, dan kategori buruk apabila skor berada diantara 3,1 – 6,0.42-44


(27)

Tabel 1. Kriteria skor indeks debris dan kalkulus42

Skor Indeks Debris Indeks Kalkulus

0 Tidak dijumpai debris atau stein. Tidak dijumpai kalkulus. 1 Debris menutupi tidak lebih dari

sepertiga permukaan gigi atau adanya stein ekstrinsik.

Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi.

2 Debris menutupi lebih dari

sepertiga permukaan gigi tapi tidak melebihi dua per tiga dari permukaan gigi.

Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari sepertiga tapi kurang dari dua per tiga permukaan gigi atau adanya butiran kalkulus subgingiva di sekeliling servikal gigi atau keduanya.

3 Debris menutupi lebih dari dua per tiga dari permukaan gigi.

Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari dua per tiga permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva mengelilingi serviks gigi.

2.3.2 Community Index of Periodontal Treatment Needs (CPITN)

Indeks kebutuhan perawatan periodontal yang dikenal dengan CPITN dikembangkan oleh Ainamo dkk yang merupakan anggota komite WHO pada tahun 1983. CPITN merupakan indikator penyakit periodontal yang digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kondisi periodontal dan kebutuhan perawatannya pada individu di suatu populasi. Alat yang digunakan untuk pemeriksaannya adalah prob WHO dengan ujung prob yang bulat berdiameter 0,5 mm dan terdapat area berwarna hitam sebagai skala berada pada daerah 3,5-5,5 mm.40,44,49,50

Gigi yang diperiksa dari keenam sektan berjumlah 6 gigi indeks yang meliputi seluruh gigi molar satu, insisivus sentralis atas regio satu, dan insisivus sentralis bawah regio tiga. Cara pengukurannya yaitu keenam gigi diukur menggunakan prob WHO untuk menentukan adanya perdarahan, karang gigi, dan poket periodontal. Tekanan yang diberikan tidak boleh lebih dari 25 gram. Untuk mengetahui besarnya tekanan dilakukan dengan cara menekankan ujung prob pada daerah kulit dibawah kuku tanpa menyebabkan rasa sakit. Kemudian ujung prob dimasukkan ke daerah distal saku gingiva lalu mengikuti konfigurasi anatomi dari permukaan akar gigi dari distal ke mesial pada permukaan labial maupun lingual. Catat skor sesuai hasil yang diperoleh. Hanya bagian terparah yang dicatat


(28)

pada setiap sektan. Skor tertinggi dari semua sektan digunakan untuk menentukan skor kebutuhan perawatan.40,44,49-51

Tabel 2. Kriteria skor indeks periodontal komunitas untuk kebutuhan perawatan periodontal48,49

Skor Status Periodontal Kebutuhan Perawatan Periodontal

0 Sehat. Tidak perlu perawatan.

1 Secara langsung atau dengan

bantuan kaca mulut terlihat perdarahan gingiva setelah probing.

Instruksi perbaikan oral higiene.

2 Sewaktu probing terasa adanya

kalkulus, tetapi seluruh bagian prob berwarna hitam masih terlihat.

Instruksi perbaikan oral higiene & skeling profesional.

3 Poket dengan kedalaman 4-5 mm dimana tepi gingiva berada pada bagian prob berwarna hitam. 4 Poket dengan kedalaman ≥ 6 mm

dimana bagian prob berwarna hitam tidak terlihat lagi.

Instruksi perbaikan oral higiene, skeling profesional & perawatan kompleks.


(29)

2.4 Kerangka Teori

Anak Autis

Indeks Kebutuhan

Perawatan Periodontal

(CPITN) Karies

Oral Higiene

Indeks Oral Hygiene Simplified

(OHIS)

Kebutuhan Perawatan Periodontal

Penyakit Periodontal Maloklusi Malposisi Trauma

Kondisi Psikologis Diet Perilaku

Membersihkan Gigi

Kebiasaan Buruk

Keadaan Rongga Mulut


(30)

2.5 Kerangka Konsep

Anak Autis

Anak Normal yang di-matching-kan

- Jenis Kelamin - Usia

Penyakit Periodontal

- Kebersihan Rongga Mulut -Indeks Oral

Hygiene Simplified (OHIS)

- Kebutuhan Perawatan Periodontal

- Indeks Kebutuhan Perawatan

Periodontal (CPITN) Faktor risiko

penyakit periodontal - Frekuensi

menyikat gigi - Waktu

menyikat gigi - Kunjungan ke

dokter gigi - Kunjungan ke

dokter gigi untuk skeling - Frekuensi

makan diluar jam makan utama


(31)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif. Jenis penelitian ini berguna untuk memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat. Subjek penelitian anak autis dilakukan di beberapa SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan, yaitu:

1. SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara di Jl. Karya Ujung – Helvetia Timur, Medan Helvetia.

2. SDSLB-ABC-TPI di Jl. Sisingamangaraja Km. 7 No. 5, Medan Amplas.

3. Kudos Kindle Center di Jl. Gladiol Blok L No. 34 Komplek Griya Riatur Indah, Medan Helvetia.

4. Yayasan Tali Kasih di Jl. Sei Alas No. 18, Medan Baru. 5. Yayasan Anak Kita di Jl. Sei Musi No. 23-27, Medan Baru.

Subjek penelitian anak normal dilakukan di Sekolah Angkasa Jl. Polonia Ujung No. 99, Kecamatan Medan Polonia dan Sekolah T.P.I Jl. Sisingamangaraja Km. 7 No. 5, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan, yaitu dari Agustus 2014 sampai dengan Maret 2015. Proposal 10 minggu, pengumpulan data 10 minggu, pengolahan dan analisis data 4 minggu, dan penyusunan laporan 4 minggu.


(32)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi sumber kasus dari penelitian ini adalah semua anak autis baik laki-laki maupun perempuan, yang mengunjungi Yayasan terapi dan SLB di Kota Medan bersangkutan selama periode penelitian. Populasi sumber kontrol merupakan anak normal usia 6-18 tahun dari Sekolah Angkasa dan Sekolah T.P.I Kota Medan.

3.3.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk anak autis adalah total sampling. Metode ini dilakukan dengan cara mengambil seluruh populasi, yaitu anak autis yang menjalani terapi atau sekolah di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, Yayasan Tali Kasih, dan Yayasan Anak Kita. Untuk kelompok kontrol, pengambilan sampel anak normal menggunakan teknik matching dengan menyesuaikan usia dan jenis kelamin anak autis dan dilanjutkan menggunakan teknik

random. Pengambilan sampel anak normal dilakukan di Sekolah Angkasa dan Sekolah

T.P.I Kota Medan. Kriteria inklusi:

1. Anak autis yang didiagnosis oleh dokter.

2. Anak normal dengan keadaan umum yang baik. 3. Usia 6-18 tahun.

4. Disetujui oleh orang tua atau wali dengan pengisian informed consent. Kriteria eksklusi :

1. Anak yang tidak mau diperiksa. 2. Kondisi gigi yang crowded.

3.4 Variabel Penelitian

Beberapa variabel dalam penelitian ini yaitu: a. Anak autis dan anak normal.


(33)

c. Usia anak 6-18 tahun.

d. Oral higiene berdasarkan skor OHIS.

e. Kebutuhan perawatan periodontal berdasarkan CPITN. f. Faktor risiko kebersihan rongga mulut.

3.5 Definisi Operasional

a) Anak autis adalah anak yang didiagnosis oleh dokter menderita autis dan sekolah atau sedang menjalani terapi autis di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, Yayasan Tali Kasih, dan Yayasan anak kita.

b) Anak normal adalah anak yang sehat jasmani, usia 6-18 tahun di Sekolah Angkasa dan Sekolah T.P.I Kota Medan dengan keadaan umum yang baik.

c) Jenis kelamin adalah penderita autis dan anak normal yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

d) Usia anak adalah usia yang dihitung sejak lahir sampai ulang tahun terakhir responden. Usia yang dipilih pada penelitian ini adalah 6-18 tahun. Kelompok usia anak diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kelompok usia 6-12 tahun dan kelompok usia 13-18 tahun. Klasifikasi ini berdasarkan tingkat pendidikan.

e) Oral higiene adalah tingkat kebersihan gigi dan mulut yang dinilai dari banyaknya debris dan karang gigi (kalkulus), dengan menggunakan skor OHIS (Oral Hygiene Index Simplified) oleh Greene dan Vermillion. Cara pengukurannya adalah dengan dilakukan pemeriksaan pada gigi. Tingkat oral higiene dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Baik: 0,0-1,2 b. Sedang: 1,3-3,0 c. Buruk: 3,1-6,0

f) Debris adalah deposit lunak pada permukaan gigi yang mudah dibersihkan. Cara pengukurannya adalah dilakukan pemeriksaan dengan menempatkan sonde pada gigi 16 (bukal), 11 (labial), 26 (bukal), 46 (lingual), 31 (labial), 36 (lingual).

Ketentuan:

1. Indeks ini dapat diukur bila paling sedikit terdapat 2 gigi diantara 6 gigi yang telah ditentukan.


(34)

2. Gigi yang diperiksa adalah gigi yang sudah mencapai oklusi sempurna. Bila yang diperiksa tidak ada, maka dapat diganti dengan gigi tetangga atau gigi yang bersebelahan (termasuk gigi sulung).

Kriteria indeks debris adalah seperti berikut: 0 = Tidak ada debris atau stein.

1 = a. Debris menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

b. Ada ekstrinsik stein yang tidak tergantung pada luas permukaan gigi yang ditutupi walaupun tanpa debris.

2 = Debris menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi.

3 = Debris menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Hasil indeks skor debris yaitu jumlah penilaian debris dibagi jumlah gigi yang diperiksa. Tingkat kebersihan oral debris dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Baik: 0,0-0,6 b. Sedang: 0,7-1,8 c. Buruk: 1,9-3,0

g) Kalkulus adalah deposit keras pada permukaan gigi yang berwarna kuning kejinggaan. Cara pengukurannya adalah dilakukan pemeriksaan dengan menempatkan sonde pada gigi 16 (bukal), 11 (labial), 26 (bukal), 46 (lingual), 31 (labial), 36 (lingual).

Ketentuan:

1. Indeks ini dapat diukur bila paling sedikit terdapat 2 gigi diantara 6 gigi yang telah ditentukan.

2. Gigi yang diperiksa adalah gigi yang sudah mencapai oklusi sempurna. Bila yang diperiksa tidak ada, maka dapat diganti dengan gigi tetangga atau gigi yang bersebelahan (termasuk gigi sulung).

Kriteria indeks kalkulus adalah seperti berikut: 0 = Tidak ada kalkulus gigi.


(35)

2 = Kalkulus gigi supragingiva yang menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi dan atau adanya butiran kalkulus subgingiva di servikal gigi.

3 = Kalkulus gigi supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi dan atau karang gigi subgingiva mengelilingi serviks gigi.

Hasil indeks skor kalkulus yaitu jumlah penilaian kalkulus dibagi jumlah gigi yang diperiksa. Tingkat kebersihan oral kalkulus dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Baik: 0,0-0,6 b. Sedang: 0,7-1,8 c. Buruk: 1,9-3,0

h) Indeks kebutuhan perawatan periodontal adalah indeks guna mengukur kebutuhan perawatan periodontal menggunakan prob WHO yang dilakukan dengan cara pemeriksaan pada gigi yang telah ditetapkan, yaitu seluruh gigi molar satu, insisivus sentralis atas regio satu, dan insisivus sentralis bawah regio tiga. Indeks yang digunakan adalah CPITN.

Ketentuan:

1. Bila dalam satu sektan tidak terdapat gigi yang ditentukan, maka gigi diperiksa dapat diganti dengan gigi sebelahnya (termasuk gigi sulung).

2. Untuk umur dibawah 15 tahun, pencatatan hanya dilakukan bila ada perdarahan daerah gusi dan karang gigi saja, yaitu dengan skor 0, 1, atau 2.

3. Skor tertinggi dari semua sektan digunakan untuk menentukan skor kebutuhan perawatan.

Kriteria indeks kebutuhan perawatan periodontal adalah seperti berikut: 0 = Sehat, tidak ada perdarahan, dan karang gigi.

1 = Perdarahan, perdarahan tampak secara langsung atau dengan kaca mulut setelah perabaan dengan sonde.

2 = Adanya karang gigi supra atau subgingiva perabaan dengan sonde terasa kasar, dan terlihat kalkulus supragingiva atau subgingiva.

3 = Poket dangkal 4-5 mm (tepi gingiva pada bagian prob berwarna hitam). 4 = Poket dalam ≥ 6 mm (bagian prob berwarna hitam tidak terlihat lagi). Tingkat kebutuhan perawatan periodontal dapat digolongkan sebagai berikut:


(36)

a. 0 = Tidak perlu perawatan.

b. 1 = Instruksi perbaikan oral higiene.

c. 2 & 3 = Instruksi perbaikan oral higiene & skeling profesional.

d. 4 = Instruksi perbaikan oral higiene, skeling skeling profesional & perawatan kompleks.

i) Faktor risiko penyakit periodontal adalah faktor yang dapat memperparah penyakit periodontal, yaitu:

a. Frekuensi menyikat gigi - ≥ 2 kali

- 1 kali

- Kadang-kadang/ tidak setiap hari - Tidak pernah

b. Waktu menyikat gigi

- Pagi setelah makan dan malam sebelum tidur - Pagi sebelum makan dan malam sebelum tidur - Malam sebelum tidur

- Pagi sebelum/sesudah makan/mandi sore - Tidak pernah

c. Kunjungan ke dokter gigi - Rutin

- Pernah - Tidak pernah

d. Kunjungan ke dokter gigi untuk skeling - Rutin

- Pernah - Tidak pernah

e. Frekuensi makan di luar jam makan utama - ≤ 3 kali


(37)

- 6-7 kali - > 7 kali

Faktor risiko penyakit periodontal, seperti frekuensi menyikat gigi yang benar dalam sehari adalah 2 kali sehari dengan waktu pagi sesudah makan dan malam sebelum tidur, kunjungan ke dokter gigi maupun untuk skeling yang benar adalah rutin, dan frekuensi makan diluar jam makan utama yang benar adalah maksimal 3 kali atau kurang dalam sehari.

3.6 Cara Pengumpulan Data

Peneliti meminta izin kepada pengurus yayasan autis dan kepala sekolah yang akan diteliti beserta ethical clearance, lalu memberikan informed consent kepada orang tua atau wali anak. Pemeriksaan debris dilakukan pada anak yang telah dipilih sebagai sampel dengan menggunakan sonde dan disertai penerangan yang baik untuk memeriksa debris pada gigi-geligi yang diperiksa. Pada pemeriksaan kalkulus, cukup dengan menggunakan penerangan yang baik. Kalkulus akan berwarna lebih kuning kejinggaan dibandingkan dengan permukaan gigi dan pada pemeriksaan kalkulus subgingiva menggunakan prob. Dalam menilai kebutuhan perawatan periodontal, digunakan prob WHO dengan penerangan yang baik. Kemudian, hasil pemeriksaan dicatatat sebagai indeks debris, kalkulus, dan kebutuhan perawatan periodontal di lembar pemeriksaan. Untuk mengetahui skor oral higiene, indeks debris dan kalkulus ditambah dan dihitung sehingga didapati Index Oral Hygiene Simplified (OHIS) dan untuk menilai kebutuhan perawatan periodontal menggunakan Community Periodontal Index Treatment Needs (CPITN) dari WHO, selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah secara komputerisasi yang meliputi:


(38)

a. Editing: Kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner. Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data untuk melihat kebenaran pengisian dan kelengkapan jawaban kuesioner dan isi lembar pemeriksaan.

b. Coding: Untuk mengubah data yang telah terkumpul ke dalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode. Proses pengkodean dilakukan berdasarkan variabel-variabel di dalam penelitian ini.

c. Data entry: mengisi kolom-kolom lembar kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Saving: proses penyimpanan data sebelum data diolah atau dianalisis.

e. Tabulasi: proses menyusun data dalam bentuk tabel, selanjutnya diolah menggunakan bantuan komputer.

f. Cleaning: kegiatan pengetikan kembali data yang sudah di entry untuk

mengetahui ada kesalahan atau tidak.

3.7.2 Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan program komputer dan selanjutnya data diolah secara deskriptif yaitu data univarian, dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dan dihitung dalam bentuk rata-rata dan persentase. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel.


(39)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai bulan Maret 2015 di beberapa Sekolah Luar Biasa, Yayasan Terapi, dan Sekolah Umum di kota Medan. Pengumpulan data anak autis dilakukan di SLB-E Negeri PTP Sumatera, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, dan Yayasan Tali Kasih, Yayasan Anak Kita Medan, sedangkan pengumpulan data anak normal dilakukan di Sekolah Angkasa dan Sekolah T.P.I Medan.

Data primer dari kedua kelompok subjek penelitian diperoleh melalui wawancara dan pemeriksaan klinis. Total subjek penelitian berjumlah 102 orang yang terdiri atas 51 anak autis dan 51 anak normal dengan menyesuaikan usia dan jenis kelamin yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian

Data demografi subjek penelitian terdiri atas usia dan jenis kelamin. Pada Tabel 3, diketahui bahwa subjek penelitian pada anak autis dan normal masing-masing berjumlah 51 orang. Mayoritas masing-masing subjek penelitian pada usia 6-12 tahun sebanyak 33 anak (64,7%) sedangkan pada usia 13-18 tahun sebanyak 18 anak (35,3%). Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian didominasi oleh laki-laki dengan jumlah 45 anak (88,2%) sedangkan perempuan sebanyak 6 anak (11,8%).

Tabel 3. Distribusi data demografi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin

Karakteristik Kelompok Total

n (%) Autis (n=51) Normal (n=51)

n (%) n (%)

Usia 6-12 tahun

13-18 tahun 33 (64,7) 18 (35,3) 33 (64,7) 18 (35,3) 66 (64,7) 36 (35,3) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 45 (88,2) 6 (11,8) 45 (88,2) 6 (11,8) 90 (88,2) 12 (11,8)


(40)

4.2 Rerata Kebersihan Rongga Mulut pada Subjek Penelitian

Pada Tabel 4, rerata skor kebersihan rongga mulut terlihat tinggi pada anak autis yaitu 3,21 ± 1,17 dibandingkan pada anak normal yaitu 1,75 ± 0,97. Rerata skor debris dan kalkulus pada anak autis (2,29 ± 0,50; 0,93 ± 0,84) terlihat lebih tinggi dibandingkan anak normal (1,46 ± 0,68; 0,28 ± 0,52).

Tabel 4. Rerata kebersihan rongga mulut pada subjek penelitian

Kelompok Indeks debris

(Rerata ± SD)

Indeks kalkulus (Rerata ± SD)

OHIS (Rerata ± SD)

Autis (n=51) 2,29 ± 0,50 0,93 ± 0,84 3,21 ± 1,17

Normal (n=51) 1,46 ± 0,68 0,28 ± 0,52 1,75 ± 0,97

4.3 Rerata Kebersihan Rongga Mulut Berdasarkan Kelompok Usia pada Subjek Penelitian

Pada Tabel 5, terlihat bahwa kelompok usia 13-18 tahun pada anak autis maupun anak normal mempunyai rerata skor OHIS lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun. Rerata skor OHIS kelompok usia 13-18 tahun pada anak autis yaitu 3,92 ± 1,03 dan pada anak normal yaitu 1,88 ± 0,92; sedangkan rerata skor OHIS kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis yaitu 2,82 ± 1,07 dan pada anak normal yaitu 1,68 ± 1,00.

Tabel 5. Rerata kebersihan rongga mulut berdasarkan kelompok usia

Kelompok Indeks debris

(Rerata ± SD)

Indeks kalkulus (Rerata ± SD)

OHIS (Rerata ± SD) Autis

6-12 tahun 13-18 tahun

2,27 ± 0,52 2,35 ± 0,46

0,58 ± 0,70 1,57 ± 0,71

2,82 ± 1,07 3,92 ± 1,03 Normal

6-12 tahun 13-18 tahun

1,53 ± 0,69 1,34 ± 0,65

0,14 ± 0,53 0,54 ± 0,41

1,68 ± 1,00 1,88 ± 0,92


(41)

4.4 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Subjek Penelitian

Distribusi kebersihan rongga mulut mencakup debris dan kalkulus pada subjek penelitian. Pada Tabel 6, indeks debris yang terbanyak pada subjek anak autis yaitu dengan kategori buruk sebanyak 38 anak (74,5%). Pada subjek anak normal, indeks debris yang terbanyak pada kategori sedang yaitu 25 anak (49%). Indeks kalkulus yang terbanyak pada anak autis dan anak normal masing-masing memiliki kategori baik, yaitu sebanyak 24 anak (47,1%) pada anak autis dan 45 anak (88,2%) pada anak normal. Indeks kebersihan rongga mulut (OHIS) yang terbanyak pada anak autis yaitu dengan kategori buruk, sebanyak 28 anak (54,9%) sedangkan pada anak normal yaitu kategori sedang sebanyak 30 anak (58,8%).

Tabel 6. Distribusi status debris, kalkulus dan kebersihan rongga mulut Kategori

Kebersihan Rongga Mulut

Kelompok

Autis (n=51) Normal (n=51)

n (%) n (%)

Debris Baik Sedang Buruk Kalkulus Baik Sedang Buruk OHIS Baik Sedang Buruk 1 (2) 12 (23,5) 38 (74,5) 24 (47,1) 23 (45,1) 4 (7,8) 3 (5,9) 20 (39,2) 28 (54,9) 11 (21,6) 25 (49) 15 (29,4) 45 (88,2) 5 (9,8) 1 (2) 14 (27,5) 30 (58,8) 7 (13,7)


(42)

4.5 Distribusi Status Periodontal pada Subjek Penelitian Berdasarkan CPITN

Pada Tabel 7 terlihat bahwa sebagian besar anak normal memiliki status periodontal yang sehat yaitu sebanyak 20 anak (39,2%) sedangkan anak autis yang memiliki status periodontal yang sehat adalah sebanyak 8 anak (15,7%). Pada kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis maupun anak normal lebih banyak yang memiliki status periodontal yang sehat dibandingkan anak kelompok usia 13-18 tahun. Pada kelompok usia 6-12 tahun, sebanyak 21,2% anak autis dan 57,6% anak normal yang memiliki status periodontal yang sehat, sedangkan pada kelompok usia 13-18 tahun hanya 5,6% anak autis maupun anak normal yang memiliki status periodontal yang sehat.

Tabel 7. Distribusi status periodontal CPITN pada subjek penelitian berdasarkan kelompok usia

Status Periodontal

Kelompok

Autis Normal

6-12 tahun (n=33) 13-18 tahun (n=18) Total (n=51) 6-12 tahun (n=33) 13-18 tahun (n=18) Total (n=51) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Sehat Gusi berdarah Kalkulus

Poket 4-5 mm

Poket 6+ mm

7 (21,2) 10 (30,3) 16 (48,5) - - 1 (5,6) - 9 (50) 8 (44,4) - 8 (15,7) 10 (19,6) 25 (49) 8 (15,7) - 19 (57,6) 8 (24,2) 6 (18,2) - - 1 (5,6) 1 (5,6) 14 (77,8) 2 (11,1) - 20 (39,2) 9 (17,6) 20 (39,2) 2 (3,9) -


(43)

4.6 Distribusi Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Subjek Penelitian

Pada Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar anak normal tidak membutuhkan perawatan periodontal, yaitu sebanyak 20 anak (39,2%) sedangkan anak autis yang tidak membutuhkan perawatan periodontal adalah sebanyak 8 anak (15,7%). Sebanyak 33 anak autis (64,7%) membutuhkan perbaikan oral higiene dan skeling profesional, sedangkan pada anak normal sebanyak 22 anak (43,1%). Pada kelompok usia 6-12 tahun, sebanyak 16 anak (48,5%) pada anak autis memerlukan perbaikan oral higiene dan skeling profesional, sedangkan hanya 6 anak (18,2%) pada anak normal. Pada kelompok usia 13-18 tahun sebanyak 17 anak (94,4%) yang memerlukan perbaikan oral higiene dan skeling profesional pada anak autis, sedangkan 16 anak (88,9%) pada anak normal.

Tabel 8. Distribusi kebutuhan perawatan periodontal pada subjek penelitian

Kebutuhan perawatan periodontal

Kelompok

Autis Normal

6-12 tahun (n=33) 13-18 tahun (n=18) Total (n=51) 6-12 tahun (n=33) 13-18 tahun (n=18) Total (n=51) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Tidak perlu perawatan Instruksi perbaikan oral higiene Instruksi oral higiene & skeling profesional Instruksi oral higiene, skeling profesional & perawatan kompleks 7 (21,2) 10 (30,3) 16 (48,5) - 1 (5,6) - 17 (94,4) - 8 (15,7) 10 (19,6) 33 (64,7) - 19 (57,6) 8 (24,2) 6 (18,2) - 1 (5,6) 1 (5,6) 16 (88,9) - 20 (39,2) 9 (17,6) 22 (43,1) -


(44)

4.7 Faktor Risiko Penyakit Periodontal

Faktor risiko penyakit periodontal berupa tindakan pemeliharaan kesehatan gigi terdiri atas: frekuensi, waktu menyikat gigi, kunjungan ke dokter gigi, kunjungan ke dokter gigi untuk skeling, dan frekuensi makan di luar jam makan utama dapat dilihat pada Tabel 9. Frekuensi menyikat gigi yang benar pada anak autis dilakukan oleh 66,7% anak, namun hanya 11,8% anak dengan waktu menyikat gigi yang benar. Pada anak normal, frekuensi menyikat gigi yang benar dilakukan oleh keseluruhan anak (100%) dan 31,4% diantaranya menyikat gigi dengan waktu yang benar.

Sebanyak 17,6% anak autis pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi dan tidak ada satupun yang rutin ke dokter gigi, sedangkan 39,2% anak normal pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi bahkan 5,9% lainnya rutin melakukan kunjungan ke dokter gigi, selain itu sebanyak 98,04% anak autis tidak pernah skeling dan pada anak normal, yaitu sebanyak 92,16%. Untuk frekuensi makan diluar jam makan utama terdapat 17,6% anak autis dengan frekuensi makan diluar jam makan utama yang salah, sedangkan pada anak normal sebanyak 19,6% (Tabel 9).

Tabel 9. Faktor risiko penyakit periodontal

Faktor risiko penyakit periodontal Autis (n=51) Normal (n=51)

n (%) n (%)

Frekuensi menyikat gigi a. ≥ 2 kali

b. 1 kali/ jarang c. Tidak pernah Waktu menyikat gigi

a. Pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur b. Waktu menyikat gigi salah

c. Tidak pernah Kunjungan ke dokter gigi

a. Rutin b. Pernah c. Tidak pernah

34 (66,7) 17 (33,3) - 6 (11,8) 45 (88,2) - - 9 (17,6) 42 (82,4) 51 (100) - - 16 (31,4) 35 (68,6) - 3 (5,9) 20 (39,2) 28 (54,9)


(45)

Tabel 9. Faktor risiko penyakit periodontal (lanjutan)

Faktor risiko penyakit periodontal Autis (n=51) Normal (n=51)

n (%) n (%)

Kunjungan ke dokter gigi untuk skeling a. Rutin

b. Pernah c. Tidak Pernah

Frekuensi makan di luar jam makan utama a. ≤ 3 kali

b.> 4 kali

- 1 (1,96) 50 (98,04)

42 (82,4) 9 (17,6)

- 4 (7,84) 47 (92,16)

41 (80,4) 10 (19,6)


(46)

BAB 5 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh status oral higiene dan kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis dan normal usia 6-18 tahun di beberapa SLB, Yayasan terapi, dan Sekolah umum di Kota Medan dengan masing-masing jumlah anak sebanyak 51 orang. Pada penelitian ini dijumpai tingginya jumlah anak autis berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu dengan rasio 7,5:1 (Tabel 3). Hasil ini sesuai ini dengan beberapa penelitian lain yang menyatakan anak laki-laki lebih berisiko menderita autis dengan rasio 4:1,16 2,8:1,19 3,5:1,18 2,25:114 dan 3,6:1.17 Hanya rasio pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian lain, hal ini mungkin disebabkan karena jumlah sampel pada penelitian ini lebih sedikit daripada penelitian lain.

Hasil penelitian menunjukkan skor rerata OHIS pada anak autis lebih tinggi dibandingkan anak normal yaitu 3,21 ± 1,17; sedangkan pada kelompok anak normal yaitu 1,75 ± 0,97 (Tabel 4). Penelitian yang dilakukan oleh Richa tahun 2012 di India, juga didapati skor rerata OHIS yang lebih tinggi pada anak autis dibandingkan anak normal yaitu 2,07 ± 0,83, sedangkan pada kelompok anak normal yaitu 0,46 ± 0,58.16 Perbedaan rerata skor OHIS pada kedua kelompok subjek penelitian mungkin terjadi akibat ketidakmampuan anak autis dalam menjaga kebersihan rongga mulutnya, seperti kurangnya minat dan tidak efektifnya anak autis dalam menggosok gigi dan memakai benang gigi sehingga dibutuhkan panduan, penjagaan, dan observasi dari keluarga maupun pengasuh ketika anak membersihkan giginya.13,14,16,17,33,34

Pada penelitian ini ditemukan tingginya rerata skor OHIS anak autis dan normal pada kelompok usia 13-18 tahun (3,92 ± 1,03; 1,88 ± 0,92) dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun (2,82 ± 1,07; 1,68 ± 1,00) (Tabel 5). Adanya peningkatan rerata skor OHIS yang disebabkan oleh kelompok usia, ditemukan pada beberapa penelitian lainnya yang mengemukakan perbedaan kelompok usia mempengaruhi OHIS dengan asumsi peningkatan skor OHIS seiring bertambahnya usia.52,53 Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh peningkatan indeks kalkulus dari akumulasi plak yang meningkat sering dengan


(47)

bertambahnya usia dan memperburuk OHIS.47 Data ini ditunjukkan dari hasil indeks kalkulus anak autis maupun normal pada kelompok usia 13-18 tahun (1,57 ± 0,71; 0,54 ± 0,41) dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun (0,58 ± 0,70; 0,14 ± 0,53) (Tabel 5).

Hasil penelitian menunjukkan OHIS yang terbanyak pada anak autis memiliki kategori buruk, sebanyak 28 anak (54,9%), sedangkan pada anak normal yang memiliki kategori buruk hanya 7 anak (13,7%) (Tabel 6). Hal ini juga dijumpai pada hasil penelitian Jaber yang menunjukkan, 36 anak autis (59%) memiliki OHIS yang buruk dan hanya 9 anak normal (14,8%) yang memiliki OHIS buruk.19 Adanya perbedaan kategori ini mungkin disebabkan karena anak autis membutuhkan orang lain dalam membersihkan rongga mulut.16,17 Disamping itu hanya 66,7 % anak autis yang menyikat gigi dengan frekuensi yang benar, dan hanya 11,8 % anak autis yang menyikat gigi dengan waktu yang benar (Tabel 9).

Frekuensi menyikat gigi yang benar (dua kali sehari) pada anak normal dimiliki keseluruhan anak (100%), namun anak normal paling banyak memiliki kategori OHIS sedang, yaitu 30 anak (58,8%) (Tabel 6). Hal ini mungkin disebabkan karena masih banyak anak normal yang menyikat gigi pada waktu yang salah (68,6%). Selain itu, frekuensi makan di luar jam makan utama anak normal masih banyak yang salah yaitu sebanyak 19,6% anak (Tabel 9). Hal inilah yang mungkin mempengaruhi masih banyak anak normal yang memiliki indeks debris pada kategori sedang dan buruk, yaitu sebanyak 49% dan 29,4%.

Hasil penelitian ini menunjukkan, sebagian besar anak normal memiliki status periodontal yang sehat yaitu sebanyak 20 anak (39,2%) sedangkan anak autis yang memiliki status periodontal yang sehat adalah sebanyak 8 anak (15,7%) (Tabel 7). Hal ini juga dijumpai pada penelitian Luppanaporn-lap S dkk yang menunjukkan banyaknya status periodontal yang sehat pada anak normal (29,2%) dibandingkan anak autis (9,4%). Hal tersebut mungkin disebabkan adanya konsumsi obat-obatan seperti antikonvulsan untuk pengobatan epilepsi yang dapat meningkatkan terjadinya perdarahan gingiva pada anak autis,36,37 disamping kebersihan rongga mulut yang kurang. Hanya disayangkan, status periodontal pada masing-masing anak autis dan normal masih banyak dijumpai kalkulus yang mungkin disebabkan karena waktu penyikatan gigi yang salah pada kedua subjek


(48)

penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga mungkin menyebabkan terjadinya penumpukan kalkulus, selain itu kunjungan rutin ke dokter gigi hanya dimiliki oleh anak normal sebesar 5,9% (Tabel 9).

Pada penelitian ini status periodontal yang sehat lebih banyak dijumpai pada kelompok usia 6-12 tahun baik pada anak autis (21,2%) maupun anak normal (57,5%), dibandingkan kelompok usia 13-18 tahun, yaitu sebanyak 5,6% pada masing-masing anak autis dan normal (Tabel 7). Adanya perbedaan status periodontal pada kelompok usia juga ditemukan pada hasil penelitian Machuca G dkk, yang menunjukkan 29,4% kelompok usia 12-13 tahun memiliki status periodontal yang sehat, sedangkan hanya 2% dari kelompok usia 14-17 tahun dengan status periodontal yang sehat. Hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya usia, maka kalkulus dari akumulasi plak akan meningkat.47 Disamping itu, dari hasil data menunjukkan pada anak autis sebanyak 44,4% anak memiliki poket 4-5 mm dan hanya sebanyak 11,1% anak normal yang memiliki poket 4-5 mm, hal ini menunjukkan kondisi kalkulus pada anak autis lebih banyak yang parah dibandingkan anak normal sehingga dalam perawatannya anak autis lebih banyak membutuhkan tenaga profesional (Tabel 9). Selain itu, pada kelompok usia 6-12 tahun tidak dilakukan pemeriksaan kedalaman poket, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan kedalaman poket pada kelompok usia 13-18 tahun.

Pada penelitian ini status periodontal gusi berdarah lebih tinggi sedikit pada anak autis (19,6%) dibandingkan anak normal (17,6%), hal ini mungkin disebabkan karena lebih tingginya skor debris pada anak autis dibandingkan anak normal. Keadaan ini dapat mempengaruhi kondisi periodontal seperti terjadinya gingivitis. Penelitian ini sesuai dengan penelitian di Bangkok yang mendapatkan persentase gusi berdarah pada anak autis (78,1%) lebih tinggi dibandingkan anak normal (14,5%).18

Pada kebutuhan perawatan periodontal, hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar anak normal tidak membutuhkan perawatan periodontal, yaitu sebanyak 20 anak (39,2%), sedangkan anak autis yang tidak membutuhkan perawatan periodontal adalah sebanyak 8 anak (15,7%) (Tabel 8). Sebanyak 33 anak autis (64,7%) membutuhkan perbaikan oral higiene dan skeling profesional, sedangkan pada anak normal yang membutuhkan perbaikan oral higiene dan skeling profesional adalah sebanyak 22 anak


(49)

(43,1%). Hal ini juga dijumpai pada penelitian Luppanaporn-lap S dkk yang menunjukkan 29,2% anak normal tidak membutuhkan perawatan periodontal, sedangkan persentase anak autis yang tidak membutuhkan perawatan periodontal adalah 9,4%.18 Hal ini mungkin dapat disebabkan dari perbedaan kunjungan ke dokter gigi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan kemungkinan perawatan yang telah dilakukan berupa tindakan skeling. Hasil penelitian menunjukkan 7,84% anak normal pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi untuk dilakukannya skeling, namun pada anak autis hanya 1,96% anak.

Pada penelitian ini ditemukan tingginya kebutuhan perawatan periodontal pada kelompok usia 13-18 tahun dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis maupun anak normal (Tabel 8). Pada kelompok usia 13-18 tahun, sebanyak 94,4% anak autis dan 88,9% anak normal yang memerlukan perbaikan oral higiene dan skeling profesional, sedangkan pada kelompok usia 6-12 tahun sebanyak 48,5% anak autis dan 18,2% anak normal yang memerlukan perbaikan oral higiene dan skeling profesional. Adanya peningkatan kebutuhan perawatan periodontal yang disebabkan oleh bertambahnya usia juga ditemukan pada hasil penelitian Machuca G dkk yang melakukan penelitian pada populasi berkebutuhan khusus di Spanyol.54 Pada penelitian tersebut dibuktikan kebutuhan perawatan peridontal meningkat seiring bertambahnya usia.

CPITN tidak hanya digunakan untuk mendapatkan data kesehatan periodontal dari suatu komunitas, namun juga dapat digunakan sebagai program perencanaan kebutuhan perawatan periodontal pada suatu populasi tertentu, yaitu anak autis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui anak autis perlu segera dilakukan perawatan skeling dan beberapa diantaranya membutuhkan tenaga profesional seperti kuretase. Selain itu juga dibutuhkan penyuluhan dan bakti sosial yang tidak hanya ditujukan pada anak autis namun juga pada orang tua dan pengawas anak autis sendiri, kegiatan ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai kebersihan rongga mulut dan perlunya kunjungan ke dokter gigi secara berkala, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit periodontal yang merupakan salah satu masalah utama kesehatan gigi dan mulut disamping karies gigi.


(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Rerata skor OHIS pada anak autis usia 6-18 tahun di beberapa SLB dan Yayasan terapi Kota Medan dari 51 anak adalah 3,21 ± 1,17. Rerata skor OHIS pada 51 anak normal usia 6-18 tahun adalah 1,75 ± 0,97.

2. Rerata skor OHIS kelompok usia 13-18 tahun lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis maupun anak normal.

3. Status periodontal pada anak autis dijumpai lebih tinggi dibandingkan anak normal. Status periodontal yang sehat pada anak autis adalah sebanyak 15,7%, dan kalkulus sebanyak 49%; sedangkan pada anak normal status periodontal yang sehat adalah sebanyak 39,2% dan 39,2% dijumpai adanya kalkulus.

4. Status periodontal pada kelompok usia 13-18 tahun dijumpai lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis maupun anak normal.

5. Kebutuhan perawatan periodontal pada anak autis yang tidak perlu perawatan adalah sebanyak 15,7% dan 64,7% lainnya membutuhkan instruksi oral higiene dan skeling profesional; sedangkan pada anak normal kebutuhan perawatan periodontal yang tidak perlu perawatan adalah sebanyak 39,2% dan 43,1% lainnya membutuhkan instruksi oral higiene dan skeling profesional.

6. Kebutuhan perawatan periodontal kelompok usia 13-18 tahun dijumpai lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 6-12 tahun pada anak autis maupun anak normal.

7. Pada anak autis dan normal dijumpai beberapa faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan rongga mulutnya, yaitu seperti waktu menyikat gigi dan kunjungan rutin ke dokter gigi.


(51)

1. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang sangat terbatas yang disebabkan sulitnya izin penelitian terhadap sekolah, yayasan terapi maupun izin dari orang tua subjek penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan cakupan yang lebih luas dan kerjasama dengan pemerintah maupun yayasan terapi sehingga diharapkan jumlah sampel dapat bertambah banyak.

2. Diharapkan melalui hasil penelitian ini, orang tua maupun pengawas anak dapat lebih memperhatikan kebersihan rongga mulut dan kondisi periodontal karena seperti yang telah diketahui, bahwa rongga mulut dapat menjadi tempat asal penyebaran infeksi dan berkumpulnya bakteri.

3. Ada baiknya bila sekolah luar biasa dan yayasan terapi melaksanakan suatu kegiatan sikat gigi bersama setiap pagi dengan memandu sekaligus mengajari anak menyikat gigi sehingga diharapkan status oral higiene anak menjadi lebih baik.

4. Diharapkan orang tua dapat lebih sering memeriksakan kesehatan gigi dan mulut anak ke dokter gigi agar dapat membiasakan anak sehingga kedepannya anak terbiasa dan tidak takut lagi ke dokter gigi. Hal ini bertujuan agar dapat dilakukan perawatan gigi dan rongga mulut pada anak.

5. Ada baiknya apabila pemerintah, tenaga medis, dan institusi kesehatan mempunyai program dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk melakukan penyuluhan berkala ke sekolah luar biasa dan yayasan terapi beserta orang tua maupun pengawas anak sehingga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang cara menjaga kesehatan gigi dan rongga mulut.

6. Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi bantuan bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian hubungan penyakit periodontal terhadap kualitas hidup anak autis.


(52)

1. Kanner L. Autistic disturbances of affective contact. Nervous Child 1943;2: 217-50. 2. Murshid EZ. Oral health status, dental needs, habits and behavioral attitude towards

dental treatment of a group of autistic children in Riyadh, Saudi Arabia. Saudi Dent J 2005; 17(3): 132-9.

3. Khatri A, Sugnani S, Kalra N, Tyagi R. Dental management of autistic child. J Case Reports 2012; 2(1): 1-3.

4. Stein LI, Lane CJ, Williams ME, Dawson ME, Polido JC, Cermak SA. Physiological and behavioral stress and anxiety in children with autism spectrum disorders during routine oral care. Biomed Research Int 2014; 2014: 1-10.

5. Depkes. Mari kenali dan peduli terhadap anak autisme. <http://buk.depkes.go. id/index.php?option=com_content&view=article&id=385:marikenalidanpeduli-

terhadap-anak-autisme&catid=1:latest-news> (16 Agustus 2014).

6. Amaral DG, Schumann CM, Nordahl CW. Neuroanatomy of autism. Trends Neurosci 2008; 31(3): 137-45.

7. Marshall J, Sheller B, Williams BJ, Mancl L, Cowan C. Cooperation predictors for dental patients with autism. Pediats Dent 2007; 29(5): 369-76.

8. Llaneza DC, Deluke SV, Batista M, Crawley JN, Christodulu KV, Frye CA. Communication, inerventions, and scientific advances in autism: A commentary. Physiol Behav 2010; 100(3): 268-76.

9. Autism Speaks. Treating children with autism spectrum disorders: a tool lit for dental professionals Agustus 2014).

10. Kim YS, Leventhal BL, Koh YJ, Fombonne E, Laska E, Lim EC, et al. Prevalence of autism spectrum disorders in a total population sample. Am J Psychiatr 2011; 168: 904-12.

11. Orbit. Sumut butuh sekolah negeri anak autis


(53)

12. Oredugba FA, Akindayomi Y. Oral health status and treatment needs of children and young adults attending a day centre for individuals with special health care needs. BMC Oral health 2008; 8(30): 1-8.

13. Klein U, Nowak AJ. Autistic disorder: a review for the pediatric dentist. Pediatr Dent 1998; 20(5): 312-7.

14. DeMattei R, Cuvo A,Maurizio S. Oral assessment of children with an autism spectrum disorder. J Dental Hygiene 2007; 81(3): 1-11.

15. Murshid EZ. Diet, oral hygiene practices and dental health in autistic children in Riyadh, Saudi Arabia. OHDM 2014; 13(1):91-6.

16. Richa, Yashoda R, Manjunath PP. Oral health status and parental perception of child oral health related quality-of-life of children with autism in Bangalore, India. J Indian Soc Pedodont Preventive Dent 2014; 32(2): 135-9.

17. Vajawat M, Deepika PC. Comparative evaluation of oral hygiene practices and oral health status in autistic and normal individuals. J Int Soc Preventive Com Dent 2012; 2(2):58-63.

18. Luppanaporn-larp S, Leelataweewud P, Putongkam P, Ketanont S. Periodontal status and orthodontic treatment need of autistic children. World J Orthodont 2010; 11(3): 256-61.

19. Jaber MA. Dental caries experience, oral health status and treatment needs of dental patients with autism. J Appl Oral Sci 2011; 19(30): 212-7.

20. Wenar C, Kerig E. Developmental psychopathology from infancy through adolescence. 5th ed., New York: McGraw Hill Co., 2006; 131-2.

21. Kring AM, Johnson SL, Davison GC, Neale JM. Abnormal psychology. 11th ed., Hoboken: John Wiley & Sons Inc., 2010; 450-9.

22. Safaria T. Autisme pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orang tua. Yogyakarta: Graha Ilmu., 2005; 1-7.

23. Hoeksema SN. Abnormal psychology. 2nd ed., New York: McGraw Hill Co., 2001; 474-84.

24. Nevid JS, Rathus SA, Greene B. Psikologi abnormal. Alih Bahasa. Murad J dkk. Jakarta: Erlangga, 2005: 145-9.


(54)

25. Alloy LB, Riskind JH, Manos MJ. Abnormal psychology. 9th ed., New York: McGraw Hill Co., 2005; 493-500.

26. Udhya J, Varadharaja MM, Parthiban J, Srinivasan I. Autism disorder (AD): an updated review for pediatric dentists. J Clinical Diagnostic Research 2014; 8(2): 275-9. 27. Scully C, Cawson RA. Medical problems in dentistry. 5th ed., New Delhi: Elsevier.,

2005; 422-3.

28. Halgin RP, Whitbourne SK. Abnormal psychology: the human experience of psychological disorders. Dubuque: Brown & Benchmark, 1997; 367-77.

29. Halgin RP, Whitbourne SK. Abnormal psychology: clinical perpectives on psychological disorders. 6th ed., New York: McGraw Hill Co., 2009; 344-7.

30. Wicaksono EN. Autisme

31. Hoeksema SN. Abnormal psychology. 4th ed., New York: McGraw Hill Co., 2007; 497-502.

32. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 3th ed., Canberra: Elsevier., 2009; 330-2.

33. Pareang J. Penanganan kesehatan gigi dan mulut pada anak yang menderita cacat menta

34. AltunC, Guven G, Akgun OM, Akkurt MD, Basak F, Akbulut E. Oral health status of disabled individuals attending special schools. European J Dent 2010; 4: 361-5.

35. Rekha CV, Arangannal P, Shahed H. Oral health status of children with autistic disorder in Chennai. European Arch Ped Dent 2012; 13(3): 126-31.

36. Wukansari. Penyakit gingiva

37. Amit B, Shalu BV. Gingival enlargement induced by anticonvulsants, calcium channel blockers and immunosuppressants: a review. Int Research J Phar 2012; 3(7): 116-9. 38. Lockhart PB, Bolger AF, Papapanou PN, Osinbowale O, Trevisan M, Levison ME, et


(55)

an independent association?: a scientific statement from the american heart association

39. National Institutes of Health. Periodontal disease

40. Elsevier Health. Periodontology

us/samplechapters/9780443102110/9780443102110.pdf> (14 September 2014).

41. Newman MG, Takei HH, Carranza FA. Carranza’s clinical periodontology. 9th ed., Philadelphia: WB Saunders Co., 2002; 63-70.

42. Wei SHY. Lang NP. Periodontal epidemiological indices for children and adoloscent: II. Evaluation of oral hygiene; III. Clinical applications. American Ac Pedodont 1982; 4(1): 64-73.

43. Khanna S, Gharpure AS. Determination of sel satisfaction with dental appearance and oral health status among a population of dentate adults in a referral institution. British J Medicine Medical Research 2014; 4(14): 2725-35.

44. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan pemeliharaan. Ed ke-3. Medan: USU Press. 2014:34-8.

45. Tagelsir A, Khogli AE, Nurelhuda NM. Oral health of visually impaired schoolchildren in Khartoum State, Sudan. BMC Oral Health 2013; 13(33): 1-8.

46. Marya CM. A textbook of public heatlh dentistry. 1st ed., New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers., 2011; 190-2.

47. Mbawalla HS, Masalu JR, Astrom AN. Socio-demographic and behavioural correlates of oral hygiene status and oral health related quality of life, the Limpopo – Arusha school health project (LASH): A cross-sectional study. BMC Pediatr 2010; 10(87): 1-10.

48. Mueller HP. Periodontology: the essentials. New York: Thieme., 2005;38-41.

49. Geneva. Epidemiology, etiology and prevention of periodontal disease. In: Moscow WHO scientific group. Switzerland, 1987.

50. Miyaki K, Masaki K, Naito M, Naito T, Hoshi K, Hara A, et al. Periodontal disease and atherosclerosis from the viewpoint of the relationship between community


(56)

periodontal index of treatment needs and brachial-ankle pulse wave velocity. BMC Public Health 2006; 6(131): 1-6.

51. Hiremath SS. Textbook of preventive and community dentistry. 2nd ed., Chennai: Elsevier., 2011; 207-9.

52. Abdellatif HM, Burt BA. An epidemiological investigation into the relative importance of age and oral hygiene status as determinants of peridontitis. J Dent Res 1987; 66(1): 13-8. (abstract)

53. Ragghianti MS, Greghi SLA, Lauris JRP, Sant ACP, Passanezi E. Influence of age, sex, plaque and smoking on periodontal conditions in a population from Bauru, Brazil. J Appl Oral Sci 2004; 12(4): 273-9.

54. Machuca G, Nieves E, Sanchez AF, Machuca C, Bullon P. Descriptive study of factors modifying the periodontal status of a population of people with a learning disability in Spain. J Disability and Oral Health 2007; 8(2): 73-80.


(57)

Lampiran

HASIL ANALISIS DATA

Frequency Table

Kelompok Usia Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

6-12 tahun 33 64,7 64,7 64,7

13-18 tahun 18 35,3 35,3 100,0

Total 51 100,0 100,0

Jenis Kelamin Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Laki-laki 45 88,2 88,2 88,2

Perempuan 6 11,8 11,8 100,0


(58)

Status Oral Higiene pada Anak Autis

Statistics

Indeks Debris Indeks Kalkulus OHIS

N

Valid 51 51 51

Missing 0 0 0

Mean 2,2994 ,9327 3,2124

Median 2,3300 1,0000 3,3200

Mode 2,16 ,00 2,16

Std. Deviation ,50342 ,84548 1,17454

Variance ,253 ,715 1,380

Skewness -1,064 ,325 -,159

Std. Error of Skewness ,333 ,333 ,333

Kurtosis 1,644 -1,128 -,870

Std. Error of Kurtosis ,656 ,656 ,656

Minimum ,66 ,00 ,66


(59)

Status Oral Higiene pada Anak Normal

Statistics

Indeks Debris Indeks Kalkulus OHIS

N

Valid 51 51 51

Missing 0 0 0

Mean 1,4694 ,2861 1,7555

Median 1,5000 ,0000 1,8200

Mode 1,50 ,00 1,83

Std. Deviation ,68156 ,52770 ,97529

Variance ,465 ,278 ,951

Skewness -,111 3,202 1,158

Std. Error of Skewness ,333 ,333 ,333

Kurtosis -,911 13,485 3,158

Std. Error of Kurtosis ,656 ,656 ,656

Minimum ,00 ,00 ,16


(60)

Status Oral Higiene pada Anak Autis Berdasarkan Kelompok Usia (6-12 tahun)

Statistics

Indeks Debris Indeks Kalkulus OHIS

N

Valid 33 33 33

Missing 0 0 0

Mean 2,2703 ,5839 2,8239

Median 2,1600 ,0000 2,8200

Mode 2,16 ,00 2,16

Std. Deviation ,52648 ,70072 1,07176

Variance ,277 ,491 1,149

Skewness -,917 ,799 ,307

Std. Error of Skewness ,409 ,409 ,409

Kurtosis 1,545 -,573 -,358

Std. Error of Kurtosis ,798 ,798 ,798

Minimum ,66 ,00 ,66


(1)

Lampiran

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

STATUS ORAL HIGIENE DAN KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA ANAK AUTIS DAN NORMAL USIA 6-18 TAHUN DI SLB, YAYASAN

TERAPI DAN SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

No. Tanggal pemeriksaan : Nama pemeriksa : A. Data Responden

Nama :

1.Jenis kelamin : Lk / Pr 1. Laki-laki 1

2. Perempuan

2.Usia : (tahun) 1. 6-12 tahun 2 2. 13-18 tahun

Nama orang tua/ wali :

Alamat :

Nama sekolah/ yayasan :

B. Status dan Tindakan Responden terhadap Pemeliharaan Gigi

3. Apakah anak menderita autisme? 3

a. Ya

b. Tidak

4. Berapa kali dan kapan saja anak menyikat gigi dalam sehari? 4 a. 2 kali/ lebih, waktu ………

b. 1 kali ………. c. Kadang-kadang/ tidak setiap hari


(2)

d. Tidak pernah

5. Pernahkah Ibu/Bapak (wali) membawa anak ke dokter gigi? 5 a. Rutin

b. Pernah, ... kali c. Tidak pernah

6. Pernahkan Ibu/ Bapak (wali) membawa anak ke dokter gigi 6 Untuk dilakukan skeling/ cuci karang gigi?

a. Rutin

b. Pernah, ..… kali c. Tidak pernah

7. Berapa kali anak makan di luar jam makan utama (cemilan) 7 dalam sehari?

a. ≥ 3 kali b. 4-5 kali c. 6-7 kali d. > 7 kali C. Pemeriksaan

kor CPITN kor

Kalkulus kor Debris

16 11 26

46 31 36

kor Debris kor

Kalkulus kor CPITN


(3)

Keterangan:

Untuk responden berusia dibawah 15 tahun, pengukuran kedalaman saku

periodontal tidak dilakukan. Sehingga skor yang didapati antara lain 0, 1 , atau 2 saja.

Skor Indeks Debris Indeks Kalkulus 0 Tidak dijumpai debris

atau stein.

Tidak dijumpai kalkulus. 1 Debris menutupi < 1/3

permukaan gigi atau adanya stein ekstrinsik.

Kalkulus supragingiva menutupi tidak > 1/3 permukaan gigi.

2 Debris menutupi > 1/3 permukaan gigi tapi tidak > 2/3 dari permukaan gigi.

Kalkulus supragingiva menutupi > 1/3 tapi < 2/3 permukaan gigi atau adanya butiran kalkulus subgingiva di sekeliling servikal gigi atau keduanya.

3 Debris menutupi > 2/3 permukaan gigi.

Kalkulus supragingiva menutupi > dari 2/3 permukaan gigi atau adanya kalkulus subgingiva mengelilingi serviks gigi.

Skor Status Periodontal Kebutuhan Perawatan Periodontal

0 Sehat. Tidak membutuhkan

perawatan. 1 Secara langsung atau dengan

bantuan kaca mulut terlihat perdarahan gingiva setelah probing.

Memerlukan perbaikan oral higiene.

2 Sewaktu probing terasa adanya kalkulus, tetapi seluruh bagian prob berwarna hitam masih

terlihat. Memerlukan perbaikan oral

higiene + skeling profesional. 3 Poket dengan kedalaman 4 atau

5 mm dimana tepi gingiva berada pada bagian prob berwarna hitam.

4 Poket dengan kedalaman 6 mm dimana bagian prob berwarna hitam tidak terlihat lagi.

Memerlukan perbaikan oral higiene + skeling profesional + perawatan komprehensif.


(4)

Skor Debris

8. 0 = 8

9. 1 = 9

10. 2 = 10

11. 3 = 11

12. Rerata Skor Debris: = 13. Kategori skor debris: ... 13

Skor Kalkulus 14. 0 = 14

15. 1 = 15

16. 2 = 16

17. 3 = 17

18. Rerata Skor Kalkulus: = 19. Kategori skor kalkulus: ... 19


(5)

20. Skor OHIS = Skor Debris + Skor Kalkulus = +

=

21. Kategori skor OHIS: ... 21

22. Skor kondisi periodontal = 22 23. Skor tingkat kebutuhan perawatan periodontal = 23


(6)

Lampiran

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

Status Oral Higiene dan Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Anak Autis dan Normal Usia 6-18 Tahun di SLB, Yayasan Terapi dan Sekolah Umum Kota Medan

Rincian biaya yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu: • Biaya persiapan proposal : Rp225.000,00

• Biaya kertas kuarto : Rp56.000,00 • Biaya tinta printer : Rp15.000,00 Biaya Pengumpulan Data

• Transportasi : Rp100.000,00 • Kuesioner @ 100 orang : Rp100.000,00 • Ahli terapi autis : Rp500.000,00 • Senter @ 3 buah : Rp105.000,00

• Souvenir : Rp300.000,00

Biaya Analisis Data dan Penyusunan Laporan

• Penjilidan dan penggandaan laporan : Rp100.000,00

Total biaya : Rp1.501.000,00