BAB II PERANAN OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI REGULATOR KEGIATAN JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL A. Latar Belakang Pendirian Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia - Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Regulator dan Pengawas Kegiatan Jasa Ke

  BAB II PERANAN OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI REGULATOR

KEGIATAN JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL

A. Latar Belakang Pendirian Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

  (BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

  Menurut penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, OJK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelum OJK dibentuk, maka Undang-undangnya harus dibuat terlebih dahulu. Jika mau

  19 dibentuk, UU nya harus dibuat dulu, jika tidak OJK tidak punya dasar hukum.

  Alasan pembentukan OJK antara lain adalah makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu 19 Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Pengawasan Lembaga Perbankan alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan BI, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia mulai

  20 pertengahan tahun 1997, sejumlah bank yang ada pada saat itu dilikuidasi.

  Pada akhirnya yang paling penting itu pengawasannya efektif atau tidak. Karena pada prinsipnya dibentuk OJK agar supaya pengawasan itu menjadi terintegrasi dan koordinasinya menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi efektif, karena sekarang kecenderungannya perbankan juga terlibat dalam berbagai transaksi misalkan di pasar modal, industri asuransi, artinya industri finansial kita sudah terjadi konvergensi, dimana antara lembaga keuangan itu kemudian melakukan berbagai sinergi. Bank juga memiliki berbagai anak perusahaan termasuk di dalamnya asuransi kemudian lembaga investasi, broker saham, dan lain-lain. Kebutuhannya memang adalah untuk menyatukan

  21 pengawasan, karena nanti diharapkan pengawasan ini lebih terkonsolidasi.

  Jika Rancangan Undang-undang (RUU) OJK disahkan menjadi UU, maka tugas, fungsi, dan wewenang pembinaan dan pengawasan atas sektor jasa keuangan beralih ke institusi baru yang disebut OJK. Ini berarti OJK akan mengambil alih sebagian tugas dan wewenang BI, Pasar Modal, Ditjen Lembaga Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, dan institusi pemerintah lain yang memang mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat. Tugas yang tetap dipegang BI adalah pengaturan kegiatan bank yang terkait dengan kewenangan

  22 otoritas moneter.

  Berdasarkan RUU OJK, secara normatif tujuan pendirian OJK adalah pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang- undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa

  23 keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan.

  Di samping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor dalam perekonomian. Untuk mencapai tujuan itu, OJK punya kewenangan yang luas, yaitu membuat peraturan di bidang jasa keuangan, memberi dan mencabut izin persetujuan dan lain-lain, memperoleh laporan periodik dan informasi industri jasa keuangan; mengenakan sanksi administratif, melakukan pemeriksaan, melakukan penyidikan atas pelanggaran UU, memberikan arahan atau perintah tertulis, menunjuk pengelola statuter, mewajibkan pengalihan usaha demi menjaga kepentingan nasabah, mencegah

  24 kejahatan di bidang keuangan; dan mengatur pengendalian lembaga keuangan.

  Pembentukan OJK ini perlu memperhatikan berbagai macam aspek,

  25

  diantaranya ialah:

  1. Aspek Pembagian Tugas Terkait dengan regulasi, tampak jelas kaitan eratnya antara OJK dan BI 22 23 Ibid., hal. 153 Ryan Kiryanto, OJK dan Kepentingannya, Kompas,, 14 Juni 2003. sebagai otoritas moneter sekaligus bank sentral. Dengan demikian, UU OJK semestinya dibuat dengan memperhatikan sepenuhnya pasal demi pasal di dalam UU BI. Tujuannya adalah untuk memastikan terdapatnya pembagian bidang tugas secara jelas dan rinci sehingga dapat lebih koordinatif dan komunikatif dalam eksekusinya, khususnya dalam arus informasi. Dengan adanya pembagian tugas, maka akuntabilitas dan responsibilitas kedua lembaga yang membawahi sistem keuangan dan moneter di Indonesia dapat diukur. Pembagian tugas secara jelas antara BI dan OJK mutlak diperlukan, mengingat keterkaitan yang sangat erat antara sistem keuangan (kavling OJK) dengan sistem moneter dan pembayaran (kavling BI).

  2. Aspek Koordinasi dan Sinkronisasi Efektivitas pelaksanaan fungsi BI sebagai otoritas moneter memerlukan dukungan sistem keuangan yang kokoh dan stabil. Sebaliknya efektivitas pelaksanaan fungsi OJK sebagai otoritas keuangan yang sehat dan stabil juga membutuhkan dukungan sistem pembayaran yang aman dan efisien.

  Kebijakan yang mengatur sistem keuangan berdampak pada pelaksanaan kebijakan moneter. Demikian pula sebaliknya. Mengingat bertali temalinya secara erat antara tugas dan wewenang OJK dan BI, maka koordinasi dan komunikasi yang sinergis di antara keduanya mutlak diperlukan. Ilustrasi di atas ingin menggambarkan, betapa organisasi yang besar seperti BI dan OJK kelak memerlukan koordinasi dan sinkronisasi dalam gerak langkah dan dalam menyusun kebijakan karena implikasi yang ditimbulkan saling berpengaruh. Bercermin di masa lalu, tak jarang kebijakan BI yang dirumuskan secara cermat pun ternyata tak acceptable dan tidak aplicable sehingga hasilnya kurang memuaskan karena proses penyusunannya tidak memperhitungkan implikasi kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah lainnya.

  3. Aspek Pertanggungjawaban Aturan soal pertanggungjawaban OJK harus dipikirkan sebab tanpa ada aturan yang secara eksplisit menjelaskan kepada siapa OJK harus bertanggungjawab dan bagaimana mekanismenya, maka kejadian serupa di masa lalu di mana banyak pihak yang menyalahkan independensi BI telah ”kebablasan” akan terjadi lagi pada OJK yang dibayangkan bakal menjadi lembaga super regulator.

  4. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) Sesuai dengan bidang tugasnya, OJK memerlukan sejumlah besar SDM dengan kompetensi di bidang pengaturan dan pengawasan keuangan. Ini mengingat banyaknya bank umum, bank syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lembaga asuransi, lembaga pembiayaan, modal ventura, anjak piutang, dana pensiun, dan asuransi yang secara keseluruhan mencapai ratusan buah, bahkan mungkin ribuan, dengan puluhan ribu kantor layanan. Selain kompetensi, maka integritas yang tinggi juga merupakan syarat yang harus dipenuhi. Karena bidang tugas yang digeluti selain cukup rawan juga sensitif sehingga membutuhkan integritas SDM yang tinggi. Pertanyaannya: dari mana ribuan SDM ini akan didatangkan? Apakah dari BI? Kalau mau diambil dari BI, dari direktorat mana? Lalu, bagaimana pola pengalihannya (exit policy)? Apakah secara sukarela atau mandatory? Juga, apakah standar imbalannya akan sama atau setara dengan standar imbalan BI? Dan, dari anggaran mana untuk mendukung operasi OJK ini? Apakah dari APBN atau dari iuran anggota OJK meliputi perbankan, asuransi, pasar modal, modal ventura, dan dana pensiun? Semua ini harus dipikirkan secara seksama agar pendirian OJK dapat berlangsung smooth dan mencapai tujuan secara optimal. Sementara kalau SDM-nya direkrut dan diseleksi dari masyarakat, tentu dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang dan lama serta anggaran yang sangat besar. Ini pun belum tentu menjamin bahwa operasi OJK akan dapat berjalan dengan baik dan efektif. OJK hanya dapat berjalan dengan baik kalau sumber daya manusianya tangguh dan memadai. Untuk menciptakan SDM yang tangguh dan memadai memerlukan waktu yang sangat panjang.

  5. Aspek Teknologi Informasi (TI) OJK dengan bidang tugas yang lebih luas, tentunya harus didukung oleh kesiapan TI yang lebih baik agar lembaga ini dapat bekerja dengan baik.

  Haruslah disadari, sistem pengawasan keuangan membutuhkan dukungan perangkat atau infrastruktur TI yang tepat guna untuk memudahkan pengiriman data dan laporan secara elektronik dari lembaga keuangan kepada otoritas keuangan.

  6. Aspek Anggaran/Keuangan Untuk menjalankan fungsi dan perannya, OJK memerlukan sumber dana yang salah satunya diperuntukkan bagi pembayaran imbalan pengelola dan tenaga kerjanya. Di negara-negara di mana OJK sudah beroperasi, umumnya sumber dana diperoleh dari iuran lembaga-lembaga keuangan di bawah pengawasan

  OJK, dengan catatan, sebatas untuk menutup anggaran yang telah direncanakan oleh OJK dan tanpa keuntungan. Kebutuhan dana akan menjadi lebih besar lagi jika OJK juga menjalankan peran sebagai lender of the last

  

resort terhadap bank-bank (dan mungkin juga lembaga keuangan nonbank)

  yang mengidap problem likuiditas yang akut sebagaimana sudah dijalankan oleh BI tempo dulu. Melihat kondisi obyektif industri keuangan nasional saat ini, khususnya perbankan nasional yang tengah recovery, rasanya tidak mungkin dan tidak tepat untuk membebankan biaya itu kepada mereka.

  Masih ada aspek-aspek lain yang juga harus diperhatikan diantaranya, Aspek Yuridis, Pembentukan OJK ini mengakibatkan perubahan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang pengawasan yang sebelumnya diemban oleh institusi terkait seperti BI untuk sektor perbankan dan Bapepam-LK untuk sektor jasa keuangan lainnya di luar sektor perbankan, dengan demikian otomatis diperlukan perubahan Undang-undang yang terkait dengan sektor jasa keuangan yang lama tersebut seperti Undang-undang mengenai Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, Independensi OJK, Independensi OJK ini harus disebutkan secara tegas dan jelas dalam UU yang membentuknya sehingga ia menjadi lembaga yang independen yang bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, Cakupan objek Pengawasan OJK, cakupan objek pengawasan OJK juga harus secara tegas dan jelas disebutkan dalam Undang-

  26 undang yang membentuknya untuk menjamin kepastian hukum. Pembentukan OJK harus dipahami sebagai suatu challenge yang besar dan memerlukan beberapa prakondisi atau prasyarat, seperti : Pertama, perubahan itu tidak dilakukan pada saat sistem keuangannya belum kuat. Semua lembaga keuangan saling terkait, asuransi, perbankan, dan sebagainya. Kedua, berkaitan dengan bagaimana pembiayaan lembaga ini (OJK). Kalau suatu lembaga pengawasan independen, maka dia jangan tergantung dengan pihak yang diawasinya. Rencana sekarang, OJK itu dari yang diawasinya. Memang ada contoh seperti itu. Di Inggris Financial Services Authority (FSA) dibiayai oleh

  27 iuran dari bank-bank, asuransi, dan lembaga keuangan yang diawasinya.

  Tetapi di sana legal infrastructure jelas, peraturan jelas, sehingga sesuatu yang kurang sehat yang membuat FSA tak bisa mengawasi dengan benar dapat dihindari. Ketiga, pada saat koordinasi menjadi luxurious dan mahal, maka sebetulnya mengeluarkan perbankan misalnya dari suatu kebijakan pengawasan bank sentral, bisa mengurangi manfaat maksimal yang diperoleh kalau pengawasan itu ada di dalam bank sentral, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat diperlukan untuk pengambilan kebijakan moneter. Karena ini sangat terkait, pada dasarnya kebijakan moneter itu terlaksananya melalui perbankan.

  Kalau informasi mengenai kondisi perbankan tidak dapat kita peroleh dengan segera, maka ada kemungkinan kebijakan yang dihasilkan terlambat atau salah arah. Keempat, OJK hanya dapat berjalan dengan baik kalau sumber daya manusianya tangguh dan memadai. Untuk menciptakan SDM yang tangguh dan memadai memerlukan waktu yang sangat panjang. FSA memahami hal itu, maka mereka menempuh ”bedol desa”. Jadi, dalam pembentukan FSA, 500 orang dari

  

securities exchange -nya, 500 dari bank sentralnya dibawa pindah ke situ. Di

  Indonesia, kita tidak bisa jamin hal itu bisa dilakukan. Kalau ada pegawai BI ditanya mau pindah atau tidak, dia akan memilih yang dia rasa aman. Tentunya dia akan merasa lebih aman kalau di BI. Sedangkan kalau human resources-nya tidak ikut pindah (ke OJK), maka untuk menciptakan (menjadi andal) akan membutuhkan waktu yang lama. Soal inilah yang menjadi inti masalah (menjelang pembentukan OJK). Dibandingkan dengan tiga prasyarat tadi. Jadi diperlukan waktu beberapa tahun bagi kita menyiapkannya sebaik mungkin

  28 supaya kita dapat memperoleh hasil yang semaksimal mungkin.

  Aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan sebelum OJK terbentuk. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menyehatkan sektor keuangan nasional dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.

  Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan pada tanggal 22 November 2011. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa definisi dari Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK ini. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun sebelum diamandemen Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002”

  Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997-1998 yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank- bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini akan mengambil alih kewenangan pengawasan perbankan yang selama

  29 ini dipegang oleh Bank Indonesia (BI).

  Dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 disebutkan, lembaga-lembaga yang akan berada di bawah pengawasan OJK adalah perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan ini mencakup pergadaian (PT Pegadaian), lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, yaitu penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.

  Akan tetapi OKJ sebagai lembaga baru tentunya tidak luput dari sejumlah pro dan kontra. Sebagian kalangan melihat OJK masih memiliki banyak kelemahan yang sangat berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini terutama ditunjukkan dalam sumber pembiayaan dan susunan dewan komisioner OJK.

  Dalam aturan penjelasan OJK, disebutkan bahwa sumber pembiayaan OJK berasal dari APBN dan pungutan. OJK berhak mengambil pungutan dari lembaga perbankan yang diawasi. Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan masalah. Ketika lembaga pengawasan menerima pembiayaan dari bank-bank yang diawasi maka tidak akan menutup kemungkinan materi pengawasan akan sesuai dengan ‘order’ dari lembaga atau bank yang diawasi. Pengawasan akan lebih bersifat tebang pilih tergantung dari jumlah pungutan yang diterima.

  Selanjutnya, masih terkait dengan pendanaan, aturan OJK menyebutkan bahwa kelebihan dana yang diperoleh OJK akan diserahakan kepada pemerintah.

  Hal ini akan membuka peluang yang sangat besar bagi pemerintah untuk menempatkan OJK sebagai sumber pendapatan. Dengan adanya keganjilan dalam hal pendanaan ini mengakibatkan independensi OJK yang akan semakin dipertanyakan.

  Permasalahan selanjutnya terkait struktur susunan dewan komisioner OJK. Dewan komisioner OJK berjumlah 9 orang yang dipimpin oleh satu orang anggota. Adapun susunannya adalah seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota, seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota, seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen, seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

  Permasalahannya adalah ketika anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pejabat Kementrian Keuangan terlibat secara langsung dalam struktur OJK.

  Sistem ini tentunya akan mempengaruhi independensi OJK yang tadinya diharapkan akan mampu bebas dari segala bentuk intervensi. Aturan hukum yang menjadi acuan OJK sendiri juga masih menjadi bahan perdebatan. Walaupun telah memiliki sistem pengawasan yang terintgrasi akan tetapi landasan hukum belum sepenunya mendukung sistem tersebut. Akibatnya hal ini akan memunculkan kesalahan interpretasi yang memungkinkan perbedaan tafsiran atas aturan hukum.

  Tidak akan menutup kemungkinan beberapa pihak akan memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi.

  Sebagai lembaga baru, tentunya OJK tidak luput dari beberapa kelemahan. Untuk itu penting untuk meninjau kembali OJK, baik dalam aturan hukum maupun implementasi tugas dan fungsinya. Adanya pengalihan tugas pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK diharapkan menjadi dorongan bagi kedua

  30

  lembaga untuk dapat bekerja dengan optimal dan professional. OJK bertugas untuk mengatur dan mengawasi semua kegiatann yang berhubungan dengan jasa keuangan di sektor berbankan. Diharapkan dengan adanya pengawasan yang serius dari OJK tersebut, tidak ada lagi penyelewengan pada jasa keuangan di sektor perbankan. Selain bertugas untuk mengawasi jasa keuangan di sektor perbankan, tugas lain yang tidak kalah penting yang harus diemban oleh OJK adalah melakukan pengawasan pada kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. Pengawasan lain yang juga merupakan tanggung jawab dari OJK adalah pengawasan pada lembaga peransuransian, lembaga pembiayaan, lembaga dana

  31

  pensiun, dan jasa keuangan lain. Dalam melaksanakan kewenangan pengawasannya, OJK bertanggung jawab kepada publik melalui DPR sebagai reprentatif atau perwakilan publik. Berdasarkan UU 21 tahun 2011, OJK dibekali kewenangan pemeriksaan dan penyidikan, baik secara rutin maupun insidentil,

  32 onside maupun offside.

  .

  Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan melihat 30

  http://cwts.ugm.ac.id/2013/04/implikasi-pembentukan-otoritas-jasa-keuangan-terhadap- pengaturan-dan-pengawasan-perbankan-indonesia/ diakses tgl 3 Oktober 2014 31 http://azarasidi.blogspot.com/2013/10/peran-ojk-dalam-pengaturan-keuangan.html diakses tgl 3 Oktober 2014 ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi

  33 sektor jasa keuangan.

  Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh beberapa institusi. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasai oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa institusi. SEC misalnya mengawasi perusahaan sekuritas sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral (the Fed), FDIC dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam konvergensi diantara lembagalembaga keuangan. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku yaitu commercial

  

banking system dan universal banking system. Commercial banking, seperti yang

  berlaku di negara kita dan di Amerika Serikat, melarang bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara lain negara-negara Eropa dan Jepang, yang membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti

  34 investmen banking dan asuransi.

  Secara empiris, survey yang dilakukan oleh Central Banking Publication Tahun 1999 menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan pengawasan industri perbankan kepada bank sentral.

  Hal ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang. Khusus untuk negara berkembang alasannya adalah masalah sumber daya (resources). Bank sentral dianggap memadai dalam hal sumber daya. Dari kaca mata politik, dicabutnya kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecenderungan pemberian independensi kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan independennya bank sentral maka apabila bank sentral juga berwenang mengawasi bank maka bank sentral akan memiliki kewenanagan yang sedemikian besar. Bank of England misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan keindependenennya dan dua minggu kemudian kewenangan pengawasan bank

  35 diambil alih dari bank sentral tersebut.

  OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan

  http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang- , diakses pada 10 September 2014. ojk.html tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan.

  OJK memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan itu meliputi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

  Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai

  36

  wewenang:

  1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi : a.

  Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.

  b.

  Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

  c.

  Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank.

  d.

  Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.

  2. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : a. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

  b. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; c.

  Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK d. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; e.

  Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; f.

  Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan g.

  Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

  3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala

  Eksekutif; c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

  Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e.

  Melakukan penunjukan pengelola statuter; f.

Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

  g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

  h. Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.

  Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip- prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).

  Pasal 6 Undang -Undang nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan tugas pengaturan dan pengawasan OJK. Pengaturan dan pengawasan OJK berlaku terhadap :

  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

  37 Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

  Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya OJK merupakan lembaga yang independen seperti yang telah di jelaskan pada Pasal 2 ayat 2 Undang- Undang nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut tersirat arti bahwa OJK merupakan lembaga non-pemerintahan atau independen. Berarti OJK dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah.

  OJK dapat melakukan kerja sama dengan otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya, antara lain pada bidang dan/atau kegiatan sebagai berikut:

  1. Pengembangan kapasitas kelembagaan, antara lain pelatihan sumber daya manusia di bidang pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan;

  2. Pertukaran informasi; dan

  3. Kerja sama dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan serta pencegahan

  38 kejahatan di sektor keuangan.

  Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

  1. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

  2. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

  3. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

  4. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

  5. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan

  39 6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. 38 Terkait dengan Independensi antara Bank Indonesia dan OJK, secara Ibid. hakikat independensi antara Bank Indonesia dengan OJK adalah sama sama. Kedua lembaga ini diamanatkan dalam undang-undang sebagai lembaga independen yang bebas dari intervensi dalam melaksanakan tugas dan wewenag dari pihak lain atau pemerintah. Independensi Bank Indonesia disebutkan dalam

  Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

  Dalam penjelasan Undang -Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan bahwa secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.

  Singkatnya dalam ketatanegaraan Indonesia OJK mempunyai kedudukan sekunder dengan adanya dindepedensi institusional atau disebut juga sebagai

  

political atau goal indepedence karena dalam masalah kedudukan ini berarti status

  OJK sebagai lembaga secara mendasar terpisah dari eksekutif atau pemerintah, bebas dari pengaruh legislatif atau parlemen, bebas untuk merumuskan tujuan atau saran dari kebijakannya tanpa pengaruh dari lembaga politik maupun pemerintah.

  Lembaga pengawas sektor jasa keuangan dalam Undang-undang OJK yang memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola yang baik (good

  

governance) dari lembaga dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan

  pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, termasuk diantaranya perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan lainnya. Penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik merupakan salah satu upaya yang cukup signifikan untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Penerapan prinsip tata kelola yang baik dalam dunia usaha di Indonesia merupakan tuntutan zaman agar perusahaan-perusahaan yang ada jangan sampai tertinggal oleh persaingan global.

  Akuntabilitas menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pasal 38 UU OJK OJK bertanggung jawab kepada publik dan bentuk pertanggungjawaban tersebut diberikan OJK kepada DPR. OJK hanya menyampaikan laporan kepadaDPR, jadi bukan bertanggung jawab kepada DPR, karena tugas DPR-RI mengawasi, bukan mempengaruhi dalam memberikan keputusan. Sehingga OJK menjaga keterbukaan pasar modal secara penuh kepada masyarakat investor dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat

  40 investor dari malpraktik dan kecurangan-kecurangan di pasar modal.

  

D. Peranan Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Regulator Kegiatan Jasa

Keuangan di Sektor Pasar Modal

  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memulai tugasnya sebagai lembaga pengawasan pasar modal Indonesia dan lembaga non bank menggantikan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Hal Ini merupakan tugas berat Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat memperbaiki industri keuangan yang menjadi harapan bagi semua pelaku pasar.

  Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan di industri pasar modal Indonesia serta akan agresif mengadakan edukasi kepada masyarakat Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan akan membantu otoritas Bursa untuk mendorong perusahaan melakukan pelepasan saham ke publik melalui mekanisme penawaran umum saham perdana (IPO). Otoritas Jasa Keuangan juga merencanakan pendekatan ke sejumlah perusahaan yang dianggap potensial untuk menggelar IPO.

  Selain itu, lembaga ini akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aturan yang sesuai bagi pelaku pasar. Ada tiga strategi yang disebutkan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia.

  1. Pendalaman pasar (market deepening) dengan menambah likuditas di pasar serta jumlah emiten. upaya yang dilakukan OJK saat ini yakni dengan melakukan pendalaman pasar (market deepening). Hal itu merupakan salah satu aspek terpenting untuk menjaga pasar keuangan. Market deepening dilakukan dengan menambah likuiditas di pasar dan tingkatkan jumlah emiten, basis investor, jenis produk, infrastruktur yang memadai, serta perkembangan pasar utang dan sukuk.

  2. Market integrity yang disiapkan untuk membuat pelaku pasar lebih kompetitif dengan infrastruktur memadai. Infrastruktur merupakan public service obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah karena infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara. Ketersediaan infrastruktur juga sangat menentukan tingkat keefisienan dan keefektifan kegiatan ekonomi serta merupakan prasyarat agar berputarnya roda perekonomian berjalan dengan baik.

  3. Otoritas Jasa Keuangan akan berupaya menegakan hukum (law enforcement) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pasar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memegang pengawasan atas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank. Peralihan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pasar modal

  .

  Indonesia Strategi untuk meningkatkan investasi pasar modal diantaranya, melakukan pendalaman pasar untuk meningkatkan likuiditasnya, membuat aturan-aturan baru, integrasi pasar untuk membuat pelaku pasar modal lebih

  dan 41 kompetitif meningkatkan pengawasan agar kualitas dan kuantitas.

  Dengan tiga strategi itu, diharapkan tidak akan ada banyak pelanggaran dan investor menjadi lebih aman. Tugas Otoritas Jasa Keuangan akan bertambah 41 Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, “Alternatif Struktur OJK Yang

  

Optimum: Kajian Akademik”, Melalui http://xa. yimg.com/kq/groups/ 24063110/2095520493 dengan menggantikan peran Bank Indonesia (BI) untuk mengawasi lembaga perbankan. OJK akan menjadi otoritas baru pengawasan sektor keuangan Indonesia. Sebelumnya, otoritas pengawas sektor keuangan terbagi dua, yakni Bank Indonesia (BI) selaku pengawas perbankan dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sebagai pengawas lembaga keuangan non-bank.

  OJK sebagai pengawas industri keuangan yang baru, diharapkan membuat kebijakan dan peraturan jauh lebih baik dari saat ini, sehingga bisa mendorong kemajuan industri keuangan nasional. Keberadaan OJK tidak bisa dilepaskan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal. Sebagai otoritas moneter, BI membutuhkan akses data perbankan yang cepat dan tepat. Bagi bank sentral, kewenangan menggunakan informasi data OJK sangat penting untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat terhadap keadaan perbankan nasional.

  Agar lembaga ini kredibel, Otoritas Jasa Keuangan diharapkan pelaku industri keuangan mengupayakan beberapa langkah:

  1. Menerapkan secara konsisten prudential regulation yang berlaku secara internasional.

  2. Meregulasi instrumen keuangan dan pasarnya, bukan hanya institusinya.

  3. Mengembangkan transparansi dan membangun pendukung untuk menciptakan

  42 market discipline .

  Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan diharapkan membangun industri keuangan yang sehat, yakni stabil, kuat dan efisien. Mempunyai daya tahan terhadap gejolak, terutama akibat faktor eksternal. OJK dibentuk dengan konsep

  

Form Follows Function (bentuk mengikuti fungsi) menjadi dasar filosofi

  modernisme, untuk itu kehadiran OJK sangat diharapkan dapat membangun

  43 industri keuangan yang sehat, stabil, kuat dan efisien.

  Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan ditopang kerangka kerja institusi, baik kebijakan maupun operasi. Ada regulasi dan supervisi industri keuangan terintegrasi yang memungkinkan Otoritas Jasa Keuangan mengamati perilaku industri secara utuh. Ada mandat untuk melakukan koordinasi antar-otoritas, seperti Otoritas Jasa Keuangan, BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Kementerian Keuangan, melalui pertukaran data dan informasi keuangan, pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk sistem peringatan dini dan protokol manajemen krisis (CMP).

  Kebutuhan publik terhadap lembaga keuangan saat ini memiliki banyak jenisnya: sebagai penyimpan dan meningkatkan kekayaan, sebagai juru bayar dan menerima pembayaran, sebagai sebagai proteksi atas risiko bisnis maupun perorangan, dan sebagai lembaga yang membantu proses akuisisi aset. Tingkat pemanfaatan dari layanan dan jasa keuangan ini di Indonesia masih rendah. Namun seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, intensitas pemanfaatan jasa keuangan terus meningkat.

  Peningkatan intensitas ini memang positif, namun akan semakin meningkatkan risiko keparahan dampak (impak) yang ditimbulkan apabila terjadi kegagalan dari layanan jasa lembaga keuangan. Untuk mewujudkan lembaga keuangan yang amanah dan sehat tidak cukup mengandalkan mekanisme pasar. Kehadiran dari lembaga pengawas menjadi keharusan agar lembaga keuangan tetap amanah. Sebab industri keuangan bersifat highly regulated atau diatur secara ketat, karena merupakan bisnis penitipan atau bisnis amanah.

  Secara umum, regulasi atau peraturan OJK itu harus meliputi beberapa

  44

  sasaran, yaitu sebagai berikut: 1.

  Melindungi investor untuk membangun krepercayaan terhadap pasar.

  2. Memastikan bahwa pasar yang terbentu adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan.

  3. Mengurangi risiko sistemik.

  4. Melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money Laundering).

  5. Menjaga kepercayaan konsumen dalam sistim keuangan.

  Rambu-rambu tata kelola dan hasil kelola perlu ditetapkan secara jelas. Sayangnya, kini lembaga keuangan banyak menilai sebuah aturan sebagai beban. Padahal, aturan itu memberikan manfaat bisnis kepada industri. Bahkan sekarang ada satu fenomena bahwa semakin besar peranan regulator, maka akan semakin diakui oleh mitra bisnis dan pengakuan dari pelaku pasar. Saat ini, arus global untuk membuat standar internasional terhadap penilaian kualitas lembaga keuangan semakin kencang. Melalui penerapan standar internasional, lembaga keuangan Indonesia akan mudah bergaul dan bertransaksi secara global dengan protokol yang sama. Dan peranan ini dapat berjalan melalui regulator yang baik.

  Peran regulator juga diperlukan karena krisis keuangan kini bersifat tidak bisa dihindari. Lembaga keuangan hanya dapat diminimalisasi dampaknya berupa membatasi ongkos dan mempercepat proses pemulihan. Yang terpapar dari krisis tidak hanya masyarakat, tapi juga para pelaku industri keuangan. Sulit membayangkan menghadapi krisis tanpa kehadiran otoritas atau regulator. Regulator beroperasi menggunakan kebijakan, kebijakan yang akan dihasilkan dibuat melalui riset dan kajian. Otoritas harus memiliki paling tidak tiga kewenangan, yaitu power to license (pemberian izin), power to regulate (mengatur), dan power to impose sanction (penegakan aturan). Yang harus dihindari adalah terjadinya kelelahan regulasi (regulatory fatigue) yang ditandai dengan seretnya pertumbuhan industri. Dosis regulasi harus berkadar cukup dan berimbang. Peraturan yang baik harus efektif dan memiliki legitimasi. Efektif artinya sesuai dengan cita-cita peraturan ini diterbitkan. Legitimasi berkaitan dengan kewenangan penerbitan peraturan dan didasari oleh kebutuhan dan kepentingan perekonomian secara luas. Pengawasan juga harus berkadar cukup. Jangan bersifat overkill yang dampaknya akan mahal bagi industri serta biaya

  45 untuk pelaporan dan memenuhi permintaan audit.

  OJK akan menjadi satu-satunya regulator bidang jasa keuangan. Artinya ada kemungkinan fungsi pengawasan lembaga yang bergerak di bidang jasa

  46

  keuangan dan pasar modal akan dikoordinir di bawah satu atap. Di sinilah pentingnya peran sebuah struktur regulasi dalam membentuk trust dari para pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila 45

  http://www.ojk.go.id/pungutan-yang-ramah-kepada-publik diakses tgl 4 Oktober 2014 sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keuangan lainnya. suatu hal yang sangat penting untuk mendesain sebuah struktur regulasi yang tepat sesuai dengan keadaan perekonomian di Indonesia. Makalah ini akan membahas isu independensi secara umum dengan titik berat khusus ke masalah independensi di bidang penyidikan. Bab Pertama, membahas tujuan pengaturan OJK. Bab Kedua, dari makalah ini akan membahas secara singkat mengenai independensi OJK. Bab Ketiga, membahas pentingnya struktur regulasi yang independen. Bab Keempat, menganalisis secara singkat pada struktur regulasi dalam UUOJK ditinjau dari kacamata panduan umum mengenai struktur regulasi yang independen. Bab Kelima, mengalisis permasalahan dalam struktur regulasi di tingkat penyidikan dan beberapa masukan untuk mengatasinya.

  Untuk itu, fungsi OJK sebagai regulator adalah menyelenggarakan sistim pengaturan dan pengawasan (audit) yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Berdasarkan itu, seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistim pengaturan dan pengawasan OJK. Seperti sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

  Keberadaan OJK sebagai regulator tersebut harus dapat melakukan fungsi pengawasan untuk mengendalikan penyalahgunaan pasar (market abuses) dengan mencegah tindakan-tindakan perusahaan dan nasabah atau konsumen di dalam sektor jasa keuangan yang berpotensi merugikan kepentingan-kepentingan perusahaan, nasabah atau konsumen, dan investor dari keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Seperti, keterbukaan yang melanggar hukum dan keterbukaan yang tidak sah atau pernyataan menyesatkan (misleading statement), insider dealing, dan money laundering.

  Untuk itu, OJK harus membuat regulasi dengan suatu standarisasi yang mengandung stability dan predictabilty atas peraturan-peraturan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Hal itu sejalan dengan apa yang diinginkan oleh UUOJK, dimana OJK dimaksudkan untuk mewujudkan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan

  47 akuntabel.

Dokumen yang terkait

Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan (Studi Pada Otoritas Jasa Keuangan)

1 100 104

Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Regulator dan Pengawas Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal

6 110 111

Aspek Hukum Pengalihan Pengawasan Perbankan Kepada Otoritas Jasa Keuangan

0 8 5

PERAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi pada Kantor Otoritas Jasa Keuangan Perwakilan Lampung)

0 2 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Pengawas Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Bpjs Kesehatan

0 0 17

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 3 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18

BAB II PENGATURAN PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT OLEH INDUSTRI JASA KEUANGAN A. Ruang Lingkup Industri Jasa Keuangan Bank - Tanggung Jawab Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pencegahan Dan Penghimpunan Dana Ilegal Di Masyarakat

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penanganan Dugaan Penyimpangan Kredit Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

0 0 18

BAB II STANDAR PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN DIREKSI DI INDUSTRI KEUANGAN BANK A. Pengaturan dan Pengawasan Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan - Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Direksi Di Industri Keuangan Bank Oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan

0 0 30