Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan (Studi Pada Otoritas Jasa Keuangan)

(1)

FUNGSI DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN DISEKTOR PERBANKAN (STUDI PADA OTORITAS JASA KEUANGAN CABANG MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

M. SYAHPUTRA LUBIS NIM : 100200429

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FUNGSI DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN DISEKTOR PERBANKAN

(STUDI PADA OTORITAS JASA KEUANGAN CABANG MEDAN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

M. SYAHPUTRA LUBIS NIM : 100200429

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.,M.Hum Nip.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello,SH. MS Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum NIP: 196204211988031004 NIP: 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : M. Syahputra Lubis

Nim : 100200429

Departemen : Hukum Perdata Dagang

Judul Skripsi : Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam

Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan (Studi Pada

Kantor Otoritas Jasa Keuangan Cabang Medan)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hariskripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihakmanapun.

Medan,

M. Syahputra Lubis


(4)

M. Syahputra Lubis*

Tan kamello**

Puspa Melati Hasibuan***

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan secara stabil, dan mampu melindungi konsumen dan masyarakat. Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.

Penulis akan membahas mengenai fungsi dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan, bagaimana pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan bagaimana pengaturan tentang kegiatan jasa keuangan di perbankan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Otoritas Jasa Keuangan dalam sektor perbankan tugasnya mencakup pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, serta pemeriksaan bank. Pada hakekatnya tujuan pengaturan dan pengawasan tersebut adalah menciptakan sistem lembaga jasa keuangan yang sehat, yang memenuhi kriteria yaitu lembaga jasa keuangan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik dan lembaga jasa keuangan yang berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Kata kunci : Otoritas Jasa Keuangan. Perbankan, Bank Indonesia

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa semua ini dapat diselesaikan bukan hanya karena kepintaran dan kemampuan, tetapi semata-mata karena pertolongan-Nya.

Skripsi yang berjudul “Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa

Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan (Studi Pada Otoritas Jasa Keuangan)” ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa selama proses belajar dan menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu. Oleh karenanya Penulis pada kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH., M.H, D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum


(6)

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dan membimbing Penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II

yang telah membantu dan membimbing Penulis dalam menulis skripsi ini. 9. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah banyak membantu Penulis dalam masa perkuliahan.

10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmu dan pengajaran selama Penulis mengikuti perkuliahan.

11. Terima kasih kepada Bapak Yovie, SE selaku Humas Otoritas Jasa

Keuangan Medan

12. Kepada kedua orangtuaku tercinta : Ayahanda H. Fachruddin Lubis dan

Ibunda Hj. Ermalina Nasution.

13. Terima kasih untuk kakak kandungku tersayang Ferunnissa Amalia Lubis

S. Farm., Apt dan Etrie Septiani Lubis Skm, yang sudah mendoakan dan memarahiku untuk mengerjakan skripsi ini dan juga semua saudaraku yang telah mendukung dan memberikan semangat sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Terima kasihku kepada Nurul Dwi Oktari Sitepu yang telah

menyemangati saya dan mengantar saya ketempat riset.

15. Terima kasihku untuk teman-temanku Grup F dan juga teman satu klinisku


(7)

16. Semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 02 Juli 2014

Penulis,


(8)

Halaman

ABSTRAK ... ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. ... Lat ar Belakang ... 1

B... Per masalahan ... 10

C.... Tuj uan Penelitian ... 10

D. ... Ma nfaat Penelitian ... 10

E. ... Met ode Penelitian ... 11

F. ... Kea slian Penulisan ... 14

G. ... Sist ematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DI INDONESIA ... 17


(9)

vi

A. ... Def

enisi Dan Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan ... 18

B.... Pih

ak-Pihak Dalam Otoritas Jasa Keuangan ... 23

C.... Fun

gsi, Tugas, Dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ... 29

D. ... Tuj


(10)

A. ... Def

enisi Dan Dasar Hukum Perbankan ... 42

B.... Pih

ak-Pihak Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan ... 46

C.... Seja

rah Dan Asas Hukum Perbankan ... 53

D. ... Teo

ri Hukum Tentang Bank Sentral Dan Pengawasan Bank ... 58

BAB IV FUNGSI DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN DI SEKTOR PERBANKAN (OTORITAS JASA KEUANGAN) ... 65 A. ... Per

an Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Di Perbankan ... 67 B.... Fun

gsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Perbankan ... 71 C.... Hub

ungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Perbankan 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. ... Kes impulan ... 86


(11)

viii

B... Sar an ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN


(12)

M. Syahputra Lubis*

Tan kamello**

Puspa Melati Hasibuan***

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan secara stabil, dan mampu melindungi konsumen dan masyarakat. Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.

Penulis akan membahas mengenai fungsi dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan, bagaimana pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan bagaimana pengaturan tentang kegiatan jasa keuangan di perbankan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Otoritas Jasa Keuangan dalam sektor perbankan tugasnya mencakup pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, serta pemeriksaan bank. Pada hakekatnya tujuan pengaturan dan pengawasan tersebut adalah menciptakan sistem lembaga jasa keuangan yang sehat, yang memenuhi kriteria yaitu lembaga jasa keuangan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik dan lembaga jasa keuangan yang berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Kata kunci : Otoritas Jasa Keuangan. Perbankan, Bank Indonesia

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungsi pengawasan Lembaga Keuangan baik Bank maupun bukan Bank akan diambil alih Otoritas Jasa Keuangan. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan Otoritas Jasa Keuangan akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan Asuransi, Pasar Modal, Perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan saat ini.

Tugas Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yaitu: Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan


(14)

keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini Otoritas Fiskal (Menteri Keuangan) dan Otoritas Moneter (Bank Indonesia).

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi Bank yang dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan adalah tugas

pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan Microprudential, sedangkan

Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan Perbankan terkait

Macroprudential. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas pengaturan Perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh Otoritas Jasa Keuangan,

karena pengaturan Microprudential dan Macroprudential akan sangat berkaitan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa Otoritas Jasa Keuangan masih memiliki ”hubungan khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan

pengawasan Perbankan.1

Krisis ekonomi 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor Perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Untuk mengatasi permasalahan ini maka muncul gagasan untuk mendirikan suatu lembaga pengawasan yang mandiri. Lembaga pengawasan ini dinamai Otoritas Jasa Keuangan atau disingkat dengan OJK. Sebelum mengenal lebih lanjut tentang Otoritas Jasa Keuangan kita harus lebih dahulu mengerti apa yang dimaksud dengan jasa keuangan. Jasa keuangan secara umum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jasa yang disediakan oleh industri atau organisasi keuangan salah

1

Zulfi Diane Zaini, ”Hubungan Hukum Bank Indonesia Dengan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk), Http://Zulfidianezaini.Blogspot.Com/, Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2014 Pukul 19.00


(15)

3

satu bentuk perusahaan yang menyediakan jasa keuangan adalah Bank, Asuransi, Kartu Kredit, dan Sekuritas.

Otoritas Jasa Keuangan Indonesia lahir berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang disahkan pada tanggal 22 November 2011, sehingga jelas sekarang landasan kerja, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan hal-hal lain tentang lembaga ini diatur oleh Undang-Undang tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang-Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan, pengertian “Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang ini”2

Di lihat dari sistematika lingkup Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya dibatasi untuk melakukan pengawasan terhadap Bank, namun juga pengawasan terhadap Lembaga Keuangan lain yang bukan merupakan kewenangan Bank Indonesia seperti Lembaga Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas (Pasar Modal), Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia terdapat pembagian tugas dalam melaksanakan pengawasan Perbankan, yaitu tugas mengatur Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sementara tugas mengawasi Bank dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adanya Otoritas Jasa Keuangan,

2

Zulaikakita,“Ojkdalamketatanegaraanindonesia”,Http://Zulakita.Blogspot.Com/2012/12/ Ojk-Dalam-Ketatanegaraan-Indonesia.Html, Diakses Pada Tanggal 30 Mei 2014 Pukul 20.00


(16)

fungsi pengawasan Lembaga Keuangan baik Bank maupun bukan Bank akan diambil alih Otoritas Jasa Keuangan. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator Kebijakan Moneter untuk menjaga

stabilitas moneter.3

1. Membuat peraturan di bidang jasa keuangan.

Di samping itu, tujuan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini agar Bank Indonesia fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan Bank karena Bank itu merupakan sektor dalam perekonomian. Untuk mencapai tujuan, Otoritas Jasa Keuangan punya kewenangan yang luas yaitu :

2. Memberi dan mencabut izin persetujuan dan lain-lain, memperoleh

laporan periodik dan informasi industri jasa keuangan.

3. Mengenakan sanksi administratif, melakukan pemeriksaan.

4. Melakukan penyidikan atas pelanggaran Undang-Undang.

5. Memberikan arahan atau perintah tertulis.

6. Menunjuk pengelolaan statuter, mewajibkan pengalihan usaha demi

menjaga kepentingan nasabah.

7. Mencegah kejahatan di bidang keuangan, dan mengatur pengendalian

Lembaga Keuangan.4

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

3

Zulfi Diane Zaini., Loc.Cit.

4

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan”, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2014, Hal.43.


(17)

5

berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada

Lembaga Jasa Keuangan.5

1. Terkait khusus pengawasan dan pengaturan Lembaga Jasa Keuangan

bank yang meliputi :

Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang :

a. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.

b. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

5


(18)

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan Bank yang meliputi: Likuiditas, Rentabilitas, Solvabilitas, Kualitas Aset, Rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan Bank, Laporan Bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja

Bank, Sistem informasi Debitur, pengujian kredit (Credit

Testing), dan Standar Akuntansi Bank.

d. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian Bank,

meliputi: manajemen risiko, tata kelola Bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan Perbankan, dan pemeriksaan Bank.

2. Terkait pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank)

yang meliputi :

a. Menetapkan peraturan dan keputusan Otoritas Jasa Keuangan.

b. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa

keuangan.

c. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas Otoritas Jasa

Keuangan.

d. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah

tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.

e. Menetapkan peraturan tata cara penetapan pengelola statuter pada


(19)

7

f. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.

g. Menetapkan peraturan mengenai cara pengenaan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.

3. Terkait pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank)

yang meliputi :

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap Kegiatan

Jasa Keuangan.

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh

Kepala Eksekutif.

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan

atau kepada pihak tertentu.

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter.

f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter.

g. Menetapkan sanksi administratif kepada pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.


(20)

h. Memberikan dan/atau mencabut : izin usaha, izin perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau

penetapan pembubaran dan penetapan lain.6

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan atas asas-asas sebagai berikut :

1. Asas Independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan

dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Asas Kepastian Hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

3. Asas Kepentingan Umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.

4. Asas Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

6


(21)

9

5. Asas Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Asas Integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai

moral dalam setiap tindakan dan putusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

7. Asas Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap

kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.

Sejalan dengan asas-asas diatas maka Otoritas Jasa Keuangan harus

memiliki struktur dengan prinsip “Check and Balances”, hal ini diwujudkan

dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan dan pengawasan.7

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan yang ingin penulis bahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan?

2. Bagaimana Pengaturan tentang Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan?

3. Bagaimana Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam

Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan?

C. Tujuan Penelitian

7


(22)

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang Otoritas Jasa Keuangan.

b. Untuk mengetahui hubungan antara Lembaga Perbankan dengan

Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengganti Bank Indonesia.

c. Untuk mengetahui Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

dalam Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi Perguruan Tinggi dan dapat dipergunakan sebagai referensi bagi perpustakaan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.

b. Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan

manfaat tentang gambaran umum mengenai fungsi dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan.

c. Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan Otoritas Jasa

Keuangan dalam penyelenggaraannya dapat mewujudkan sistem keuangan yang lebih Struktur, Sistematis, dan Akuntabel sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011.


(23)

11

Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan tertentu di dalam penulisan skripsi. Hal ini agar terhindar dari suatu penilaian bahwa penulisan skripsi dibuat dengan cara sembarangan dan tanpa di dukung dengan data yang lengkap. Oleh karena itu, dalam melakukan penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan juga penelitian empiris yang dilaksanakan pada kantor Otoritas Jasa Keuangan kota Medan:

1. Sifat Penelitian.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat Deskripstif Analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek

penelitian.8

2. Sumber Data.

Data dapat dibagi ke dalam dua jenis berdasarkan sumber data yang diperoleh, yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk

laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.9

8

Zainuddin Ali, “Metode Penelitian Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 105-106

9


(24)

Di dalam penulisan skripsi ini, data sekunder yang digunakan berupa:

a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.

Yaitu dokumen peraturan mengikat yang telah ditetapkan oleh pemerintah antara lain Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang “Otorita Jasa Keuangan (OJK)”.

b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Yaitu buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk

atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Yaitu yang berasal dari kamus, majalah, surat kabar, internet dan bahan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik pengumpulan data adalah cara atau teknik untuk memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam penulisan skripsi ini, digunakan teknik pengumpulan data melalui kepustakaan. Teknik pengumpulan data dengan cara ini yaitu mengumpulkan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang “Otoritas Jasa Keuangan”, buku-buku, literatur, makalah, dan lain sebagainya. Selain


(25)

13

itu dilakukan juga wawancara terstruktur pada Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang terdapat di Kota Medan.

4. Analisis Data.

Penelitian pada penulisan skripsi ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dengan melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara

bertingkat (Hierarki). Teknik analisis data kualitatif ini tidak

membutuhkan populasi dan sampel melainkan dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data sekunder yang dibutuhkan baik itu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan telah dituliskan sebelumnya oleh beberapa penulis. Diantaranya adalah:


(26)

Menuliskan skripsi yang berjudul “Aspek Hukum Kepailitan Dan Likuidasi Ditinjau Dari Otoritas Pengawas Perbankan (Studi Kasus Putusan PN Niaga Jakarta Pusat)”.

Penulisan skripsi dengan judul “FUNGSI DAN KEWENANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN DI SEKTOR PERBANKAN (STUDI PADA OTORITAS JASA KEUANGAN CABANG MEDAN)” belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan perumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran sendiri, referensi dari buku-buku, Undang-Undang, makalah-makalah, serta media elektronik yaitu internet dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman atas isi dari skripsi ini, penulis membuat sistematika pembahasan secara teratur yang semuanya mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain. Dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan sejumlah sub bab.


(27)

15

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang landasan dan dasar pemikiran bagi penyusun skripsi, baik mengenai Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia

Bab ini menguraikan tentang Pengertian dan Dasar Hukum Otoritas Jasa Keungan, Pihak-Pihak dalam Otoritas Jasa Keuangan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dan Tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan.

BAB III : Tinjauan Umum Tentang Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan Di Indonesia

Bab ini membahas mengenai Pengertian dan Dasar Hukum Perbankan, Pihak-Pihak dalam Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan, Sejarah dan Asas hukum Perbankan, dan Teori Hukum tentang Bank Sentral dan Pengawasan Bank.

BAB IV : Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan (Studi Pada Otoritas Jasa Keuangan Medan)

Bab ini membahas mengenai Profil Otoritas Jasa Keuangan, Pelaksanaan Fungsi, Tugas, Wewenang Otoritas Jasa Keuangan, Efektifitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.


(28)

Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran yang menjadi pokok-pokok pikiran penulis berdasarkan atas uraian-uraian yang telah di kemukakan.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

DI INDONESIA

Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (Pasal 34). Pasal 34 menyatakan bahwa Bank Indonesia merupakan respons dari krisis asia yang terjadi pada 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia khususnya sektor Perbankan.

Krisis pada 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya Bank yang mengalami kebangkrutan sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank-Bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum Perbankan diharapkan menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus menciptakan

penangkal dalam pemikiran permasalahan-permasalahan di masa depan.10

Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping

10


(30)

itu, adanya Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar Lembaga Jasa Keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuagan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggung jawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).11

A. Defenisi Dan Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan

Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Pasal 1, Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana

dimaksud dalam undang–undang ini.12

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti Industri Perbankan, Pasar Modal, Reksadana, Perusahaan Pembiayaan, Dana Pensiun, dan Asuransi. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yang perlu di perhatikan, hal

11

Ibid., Hal. 109-110.

12

Republik Indonesia, “ Undang-Undang Ri No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”.


(31)

19

ini karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung

keberadaan Otoritas Jasa Keuangan tersebut.13

Langkah Indonesia membentuk Otoritas pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang terintegrasi mengikuti jejak berbagai negara di dunia yang terlebih dahulu melakukannya. Norwegia contohnya, sejak Tahun 1986 telah mendirikan Kredittilsynet yang berperan sebagai regulator atas kegiatan Perbankan, Investasi non-Bank, Asuransi, Real Estate maupun Audit. Pada Tahun 2000 lembaga ini Indonesia yang pada awalnya menerapkan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi sistem pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan oleh satu institusi, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan terbentuk dengan lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku tanggal 22 November 2011.

Pembentukan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan itu sejalan dengan pendapat Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere yang mengatakan bahwa pembentukan Undang-Undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Pembentukan Otoritas

Jasa Keuangan merupakan bentuk atau model “single–regulator supervision”

dimana kontrol atas sektor keuangan diserahkan pada satu otoritas tunggal yang terpisah dari Bank Sentral. Otoritas ini bertanggung jawab atas semua pasar dan

intermediaries finansial, dan mengemban tugas untuk mewujudkan semua sasaran regulasi (stabilitas, transparansi dan perlidungan investor).

13


(32)

diberikan kewenangan untuk mensupervisi Oslo Stock Exchange. Di Swedia, lembaga yang serupa dibentuk pada Tahun 1991 dan diberi nama Finansipektionen, begitu pula dengan Korea yang memiliki Financial Supervisory Services (FSS). Briault mengemukakan bahwa manfaat dari pembentukan Unified Regulator, antara lain :

- Harmonisasi, konsolidasi dan rasionalisasi prinsip-prinsip, aturan-aturan

dan pedoman yang dikeluarkan oleh berbagai regulator atau tercantum dalam legislasi yang sudah berlaku, dan pada saat yang sama tetap memperhatikan bahwa apa yang tepat bagi satu jenis usaha, pasar atau pelanggan belum tentu tepat untuk yang lain.

- Proses tunggal untuk berbagai urusan seperti perizinan, dengan standar

dan database yang sama.

- Pendekatan yang lebih konsisten dan koheren atau supervisi berbasis

resiko dalam industri jasa keuangan, yang memungkinkan sumber daya dan berbagai beban yang diberikan kepada semua perusahaan dalam Regulated Industry untuk dialokasikan secara lebih efektif dan efisien berdasarkan resiko-resiko yang dapat diderita oleh konsumen jasa keuangan.

- Pendekatan yang lebih konsisten dan koheren dalam penegakan dan

disiplin namun pada saat yang sama tetap memperhatikan kemungkinan atau kebutuhan atas diferensiasi.


(33)

21

- Selain regulator tunggal juga adanya skema tunggal dalam penanganan

komplain dan kompensasi konsumen/nasabah.14

Pendirian Otoritas Jasa Keuangan sebenarnya sudah direncanakan sejak Tahun 1999, dimana Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah memerintahkan pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) yang berfungsi mengawasi seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan di Indonesia. Sebagai tindak lanjut Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tersebut, didirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor Jasa Keuangan di Indonesia .

Sejak Desember 2012, Otoritas Jasa Keuangan mulai melaksanakan fungsi sebagai lembaga pengawas pasar modal dan industri keuangan non-Bank (IKNB) menggantikan fungsi Bapepam-LK dan mulai 31 Desember 2013, Otoritas Jasa Keuangan juga akan berfungsi sebagai pengawas industri Perbankan. Pasal 6 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menetapkan bahwa fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor Jasa Keuangan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

14

Bismar Nasution, Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan”, 29 November 2013, Hal 1-3.


(34)

Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut meliputi :

- Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Perbankan.

- Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal.

- Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, lembaga

pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Pendirian lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi memiliki latar belakang dan alasan berbeda di setiap negara. Beberapa faktor berikut sering dijadikan sebagai faktor pemicu diterapkannya sistem pengawasan secara

terintegrasi. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai

diterapkannya Universal Banking System. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang

didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi perbedaan dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga

pengawas menjadi komponen utama Good Governance, untuk meningkatkan

Good Governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara

melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya.15

B. Pihak-Pihak Dalam Otoritas Jasa Keuangan

Setelah adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, pengaturan dan pengawasan sektor Perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia sebagai BankSentral dialihkan pada Otoritas Jasa

15

Zulkarnain Sitompul, “Sosialisasi Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan Kepada Otoritas Jasa Keuangan (Ojk)”, 29 November 2013, Hal 1-2.


(35)

23

Keuangan. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan Perbankan dari Bank Sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar Bank Sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tersebut, yaitu Pasal 34 Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan:

- Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor

jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang.

- Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Sementara itu pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan

tugasnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (Supervisory Board) melakukan

koordinasi dan kerja sama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan


(36)

meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.

Keindependenan Otoritas Jasa Keuangan berkaitan dengan beberapa hal, pertama, independen yang berkait dengan pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya

administrative agencies yang dapat sewaktu-waktu oleh Presiden karena jelas merupakan bagian dari eksekutif. Kedua, selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi Presiden, sifat independen juga tercermin dari :

- Kepemimpinan lembaga yang bersifat kolektif, bukan hanya satu orang

pimpinan. Kepemimpinan kolegial ini berguna untuk proses internal dalam pengambilan keputusan-keputusan, khususnya menghindari kemungkinan politisasi keputusan sebagai akibat proses pemilihan keanggotaannya.

- Kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai

politik tertentu.

- Masa jabatan para pemimpin lembaga tidak habis secara bersamaan, tetapi

bergantian (staggered terms).

Dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, pimpinan tertinggi terletak pada Dewan Komisioner. Mengenai struktur Dewan Komisioner terdiri atas sembilan orang anggota yang ditetapkan dengan keputusan Presiden, dengan susunan sebagai berikut :


(37)

25

a. Seorang Ketua merangkap Anggota.

b. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua komite etik merangkap Anggota.

c. Seorang Kepala Eksekutif pengawas Perbankan merangkap Anggota.

d. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap

Anggota.

e. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, Lembaga Jasa Keuangan lainnya merangkap Anggota.

f.Seorang Ketua Dewan Audit merangkap Anggota.

g. Seorang Anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan

konsumen.

h. Seorang anggota ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan

anggota dewan gubernur Bank Indonesia.

i.Seorang anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan

pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.16

Syarat untuk menjadi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan antara lain :

- Warga Negara Indonesia.

- Memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik.

- Cakap melakukan perbuatan hukum.

- Tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus

perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit.

- Sehat jasmani.

16


(38)

- Berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) Tahun pada saat ditetapkan.

- Mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan.

- Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) Tahun atau lebih.

Dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang No.21 Tahun 2011 hanya menyebutkan panitia seleksi beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas

unsur pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat.17

- Meninggal dunia.

Sementara itu pengaturan tentang masa kerja Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam mengukur independensi. Pasal 17 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menetapkan bahwa anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan sebagai berikut :

- Mengundurkan diri.

- Masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali.

- Berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau

dipekirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut – turut.

17

Wahiduddin Adams, Jurnal Legislasi Indonesia Otoritas Jasa Keuangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan Ham Ri”, Jakarta, 2012, Hal 340.


(39)

27

- Tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih

dari 3 (tiga) bulan berturut – turut tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

- Tidak lagi menjadi anggota dewan gubernur Bank Indonesia bagi anggota

ex–officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h.

- Tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan

bagi anggota ex–officio Dewan Komisioner yang berasal dari

Kementerian Keuangan sebagaimana di maksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i.

- Memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/ atau semenda

dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya.

- Melanggar kode etik.

Dengan pengaturan sebagaimana diatas, dapat disimpulkan bahwa anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan tidak diberhentikan berdasarkan alasan politik. Ketentuan seperti ini akan memberikan keamanan bagi Dewan

Komisioner dalam mengambil kebijakan yang tidak populer secara politik.18

1. Prof. Dr. Ilya Avianti, S.E., M.Si., Ak, CPA, Ketua Dewan Audit

merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Struktur keanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan masa periode 2012 – 2017 yaitu :

18


(40)

2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA., wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai Ketua Komite Etik merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

3. DR. Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono,S.H. LLM, Anggota

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen.

4. Nelson Tampubolon, SE, MSM, Kepala Eksekutif Pengawas

Perbankan merangkap anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

5. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Sc, wakil Menteri Keuangan, Republik

Indonesia anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ex– officio Kementerian Keuangan.

6. Muliaman D. Hadad, Ph.D, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa

Keuangan.

7. Ir. Nurhaida, MBA., Kepala Eksekutif pengawas pasar modal

merangkap anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

8. DR. Firdaus Djaelani, MA, Ketua Eksekutif pengawas industri

keuangan non Bank merangkap anggota Dewan Komisioner.

9. DR. Halim Alamsyah, SH, SE, MA, Deputi Gubernur Bank Indonesia,

anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ex–officio Bank

Indonesia.19

19

Adler Haymans Manurung, Ojk : Tujuan, Fungsi, Tugas, Dan Wewenang, Layanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, PT. Adler Manurung Press, Jakarta, 2013, Hal. 24


(41)

29

C. Fungsi, Tugas, Dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan tugas pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Untuk beroperasi sebagai lembaga pengawas yang terintegrasi, Otoritas Jasa Keuangan perlu memastikan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya dilakukan secara terpadu. Di Indonesia, tugas tersebut menjadi tanggung jawab Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang memastikan bahwa ketentuan tertentu perlu diharmonisasi dan ketentuan yang tetap dibiarkan berbeda untuk mengakomodir perbedaan karakteristik indutri keuangan. Terintegrasinya peraturan juga penting dalam

kaitannya terpisahnya antara pengawasan microprudential dan pengawasan

macroprudential sebagaimana yang diatur Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa

Keuangan.

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan definisi tentang

pengawasan microprudential ataupun definisi tentang pengawasan

macroprudential. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan hanya menetapkan

bahwa pengawasan microprudential difokuskan pada kesehatan individu Bank dengan melakukan analisis kesehatan neraca Bank, khususnya terkait dengan kecukupan modal dalam menghadapi siklus usaha. Tujuan pengawasan

microprudential adalah melindungi nasabah dan menurunkan ancaman efek

menular kebangkrutan Bank terhadap perekonomian. Lingkup pengawasan

microprudential yang dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan mulai 1 januari 2014 adalah tugas pengaturan dan pengawasan Perbankan yang meliputi hal-hal berikut:


(42)

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan Bank yang meliputi:

1. Perizinan untuk pendirian Bank, pembukaan kantor Bank,

anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan, dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi Bank, serta pencabutan izin usaha Bank.

2. Kegiatan usaha Bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan Bank yang meliputi :

1. Likuiditas, Rentabilitas, Solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan Bank.

2. Laporan Bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja Bank.

3. Sistem informasi debitur.

4. Pengujian kredit (credit testing).

5. Standar Akuntansi Bank.

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian Bank,

meliputi:

1. Manajemen risiko.

2. Tata kelola Bank.

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.


(43)

31

d. Pemeriksaan Bank

Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa selain lingkup pengawasan diatas, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang disebut sebagai pengaturan dan pengawasan

macroprudential. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan

macroprudential tersebut peran Otoritas Jasa Keuangan adalah

membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral kepada industri Perbankan. Konsepsi dan transformasi Otoritas Jasa

Keuangan keterikatan antara kebijakan macroprudential dengan

kebijakan microprudential yang mana terdapat pada Pasal 39

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan dan pengawasan di bidang Perbankan antara lain :

1. Kewajiban pemenuhan modal minimum Bank.

2. Sistem informasi Perbankan yang terpadu.

3. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana

valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri.

4. Produk Perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha Bank

lainnya, antara lain kartu kredit, kartu debet, dan internet Banking.

5. Penentuan institusi Bank yang masuk kategori systemically


(44)

6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan

informasi.20

Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia beserta penjelasaanya dapat disimpulkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan bertugas mengawasi Bank, lembaga-lembaga usaha perasuransian, lembaga – lembaga usaha Pasar Modal, Dana Pensiun, lembaga-lembaga usaha pembiayaan, Modal Ventura, dan lembaga-lembaga-lembaga-lembaga lain yang mengelola dana masyarakat. Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan akan mengambil alih sebagian tugas dan wewenang Bank Indonesia, direktorat jenderal Lembaga Keuangan, badan pengawas pasar modal, dan institusi-institusi pemerintah lain yang selama ini mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan :

1. Asas Kepastian Hukum

Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

2. Asas Kepentingan Umum

Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.

3. Asas Keterbukaan

Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan dengan tetap

20


(45)

33

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

4. Asas Profesionalitas

Adalah asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Asas Akuntabilitas

Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut :

1. Mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa

keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa Keuangan .

Yang termasuk mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa Keuangan adalah :

- Membuat peraturan di bidang jasa keuangan.

- Melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan.

- Mewajibkan penyampaian informasi, dokumen, dan laporan

kepada Otoritas Jasa Keuangan.

- Mengeluarkan perintah tetulis.


(46)

- Menunjuk pengelola statuter dan melakukan tindakan dalam rangka pemberesan.

- Mengalihkan sebagian atau seluruh porto folio usaha.

- Melakukan penyidikan.

2. Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif sehingga peraturan tersebut berdaya guna dan berhasil guna.

3. Melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan

memelihara kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan. Pemahaman publik yang baik terhadap sektor jasa keuangan akan membuat masyarakat dapat lebih mampu mengendalikan dan melindungi diri sendiri dalam bertransaksi di bidang jasa keuangan. Kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan akan tumbuh dan terpelihara apabila sektor jasa keuangan tersebut menjadi sehat, kompetitif, stabil, dan aman.

4. Melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan yang

wajar terhadap konsumen dari sektor jasa keuangan. Pemberian perlindungan kepada konsumen sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Otoritas Jasa Keuangan.


(47)

35

Dalam melaksanakan tugasnya , Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk:

1. Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan peraturan

perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

Dalam rangka melaksanakan tugasnya Otoritas Jasa Keuangan dapat membuat peraturan pelaksanaan yang mencakup secara luas mengenai sektor jasa keuangan dan kegiatannya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dirancang untuk memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan, termasuk juga peraturan untuk mengurangi kejahatan keuangan.

2. Memberi dan mencabut izin untuk melakukan kegiatan di bidang jasa

keuangan.

Yang dimaksud dengan izin meliputi persetujuan, pengesahan, pendaftaran dan pernyataan pendaftaran kegiatan di bidang jasa keuangan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

3. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan kegiatan sektor jasa

keuangan.

4. Melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi pelanggaran terhadap

peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan dan tingkat kejahatan keuangan.

Yang dimaksud dengan “melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi kejahatan keuangan”, antara lain :


(48)

- Pemberian perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk membuat dan menerapkan sistem pengendalian internal yang mampu mendeteksi, mencegah atau mengurangi kejahatan

keuangan, misalnya memonitor nasabah dengan prinsip “know

your customers”.

- Menunjuk dan menetapkan pengelola statuter untuk mengambil

alih pengendalian dan pengelolaan Lembaga Jasa Keuangan yang terindikasi terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam kejahatan keuangan.

5. Melakukan wewenang lain yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

6. Mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap peraturan perundang–

undangan di bidang jasa keuangan.

Sementara itu, wewenang Otoritas Jasa Keuangan di bidang Perbankan adalah wewenang pembuatan dan penetapan ketentuan yang bersifat microprudential, antara lain :

1. Untuk bidang kelembagaan Bank, antara lain mengenai perizinan

untuk pendirian, pembukaan kantor, kepemilikan, kepengurusan, merger, konsolidasi dan akuisisi Bank, pencabutan izin usaha, pembubaran, likuidasi Bank, termasuk pengaturan kelembagaan terhadap money changer.


(49)

37

2. Untuk bidang kegiatan usaha Bank, antara lain mengenai sumber

dana, penyediaan dana, dan aktivitas bidang jasa.

3. Untuk pengelolaan Bank, antara lain mengenai Likuiditas,

Rentabilitas, Solvabilitas, laporan-laporan, permodalan Bank dan

kecukupan modal (capital adequacy ratio), dan penunjukan Bank

untuk melakukan kegiatan tertentu.

4. Untuk pembinaan dan pengawasan Bank, antara lain mengenai

penilaian tingkat kesehatan Bank dan tindak lanjut pembinaan dan pengawasan Bank.

5. Ketentuan microprudential lainnya, seperti pemeringkatan Bank

umum, pengaturan kualitas aset, cadangan piutang, penetapan batas maksimum pemberian kredit, sistem informasi debitur, restrukturisasi utang, kerahasiaan Bank, penetapan pemenuhan persyaratan

kelayakan dan kepatutan.21

Dalam hal fungsi pengawasan sektor keuangan secara umum dapat dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

1. Macroprudential supervision, bertujuan membatasi krisis keuangan

yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil, berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar keuangan antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi

21


(50)

dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.

2. Microprudential supervision, bertujuan untuk menjaga tingkat

kesehatan Lembaga Keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yaitu analisis laporan

Bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk

menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan Lembaga Keuangan terhadap peraturan yang berlaku.

3. Conduct of business supervision, menekankan pada keselamatan

konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi.

Sementara itu, fungsi dasar-dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawas meliputi :

a. Prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan Lembaga

Keuangan.

b. Stabilitas dan integritas sistem pembayaran.

c. Prudential supervision Lembaga Keuangan.

d. Pengelolaan regulasi bisnis, seperti peraturan mengenai bagaimana

perusahaan mengelola bisnis dengan pelanggannya.

e. Pengelolaan pengawasan bisnis.

f.Penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan


(51)

39

g. Bantuan Likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan Likuiditas

bagi lembaga tidak solven.

h. Penanganan lembaga yang tidak solven.

i.Resolusi krisis.

j.Isu-isu terkait dengan integritas pasar.22

D. Tujuan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2011, Pasal 4 yang berbunyi “Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil.

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.23

Pengawasan Bank pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong Bank-Bank untuk ikut menunjang pertumbuhan

ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro-economic supervision), dan

pengawasan yang mendorong agar Bank secara individual tetap sehat serta

mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential

supervision).24

22

Ibid., Hal. 236 – 238.

23

Republik Indonesia, Undang-Undang Ri No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”

24


(52)

Sasaran yang ingin dicapai oleh macroeconomic supervision adalah bagaimana mengarahkan dan mendorong Bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat ikut berperan dalam berbagai program pencapai sasaran ekonomi makro, baik yang terkait dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemantapan neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter maupun upaya pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha.

Tujuan dari prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap Bank

secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri Perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, Bank perlu dipagari dengan berbagai peraturan yang membatasi atau sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan resiko secara seksama, dan

bahkan jika perlu melarang Bank melakukan kegiatan tertentu resiko tinggi.25

25


(53)

BAB III

Tinjauan Umum Tentang Hukum Perbankan Di Indonesia

A. Definisi Dan Dasar Hukum Perbankan

Dalam perkembangan Perbankan saat ini istilah Bank dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga,

dan membiayai usaha-usaha perusahaan.26

Hukum yang mengatur masalah Perbankan disebut dengan Hukum

Perbankan (Banking Law). Hukum ini merupakan seperangkat kaidah hukum

dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah Perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu Bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis Perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Bank, eksistensi Perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia Perbankan tersebut.

Dalam suatu kamus, kata “Bank” diartikan sebagai menerima deposito uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan cek, notes, dan lain-lain, dan juga Bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga.

26


(54)

Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum Perbankan adalah sebagai berikut :

1. Asas-asas Perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan

Bank, profesionalisme pelaku Perbankan, maksud dan tujuan lembaga Perbankan, hubungan, hak, dan kewajiban Bank.

2. Para pelaku bidang Perbankan, seperti dewan komisaris, direksi, dan

karyawan, maupun pihak terafiliasi mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT Persero, perusahaan daerah, koperasi atau perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan seperti milik pemerintah, swasta, patungan dengan asing atau Bank asing.

3. Kaidah-kaidah Perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur

perlindungan kepentingan umum dari tindakan Perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat, anti trust, perlindungan nasabah, dan lain- lain.

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan

dengan bidang Perbankan, seperti eksistensi dari dewan moneter, Bank Sentral, dan lain-lain.

5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak

dicapai oleh bisnis Bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif,

pengawasan, prudent Banking, dan lain-lain.27

Ruang lingkup bahasan hukum Perbankan Indonesia secara luas, diuraikan dalam buku hukum Perbankan di Indonesia, yaitu:

27

Munir Fuady., “Hukum Perbankan Modern”,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 14-15.


(55)

43

“Hukum yang mengatur masalah-masalah Perbankan yang berlaku sekarang di Indonesia. Dengan demikian, berarti akan membicarakan aturan-aturan Perbankan yang masih berlaku sampai saat ini, sedangkan peraturan Perbankan yang berlaku pada masa yang lalu, hanya dibahas apabila mempunyai keterkaitan dengan ketentuan yang berlaku saat ini atau pembahasan dalam kerangka sejarah Perbankan di Indonesia.”

Di atas merupakan gambaran ruang lingkup pembahasaanya, sedangkan rumusan pengertian dari hukum Perbankan itu sendiri, yaitu: “Hukum Perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan Lembaga Keuangan Bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. Dari rumusan tersebut, akan terungkap bahwa pengaturan dibidang Perbankan akan meyangkut, diantaranya:

1. Dasar-dasar Perbankan, yaitu meyangkut asas-asas kegiatan

Perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan Bank, profesionalisme pelaku Perbankan, maksud dan tujuan lembaga Perbankan, serta hubungan, hak, dan kewajibannya.

2. Kedudukan hukum pelaku dibidang Perbankan, seperti kaidah-kaidah

mengenai pengelolaanya, seperti Dewan Komisaris, Direksi, karyawan, maupun pihak yang terafiliasi juga mengenai bentuk badan hukum pengelolaannya serta kepemilikannya.

3. Kaidah-kaidah Perbankan yang secara khusus yang memperhatikan

kepentingan umum, seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan yang tidak wajar, antitrust. Perlindungan terhadap konsumen


(56)

(nasabah), dan lain-lainnya. Di Indonesia, bahkan mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu bahwa Perbankan nasional harus memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.

4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi, yang

mendukung kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah, seperti Dewan Moneter, dan Bank Sentral.

5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kehidupan perekonomian yang

berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya.

6. Keterkaitan satu sama lainnya dari ketentuan kaidah-kaidah hukum

tersebut sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, malahan keterkaitannya merupakan hubungan logis dari bagian-bagian lainnya.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa begitu luasnya aspek pengaturan hukum di bidang industri Perbankan sehingga begitu pentingnya faktor hukum dalam kegiatan Perbankan, maka dapat dimengerti apabila dibandingkan dengan jenus industri yang lain, bidang Perbankan ini merupakan

bidang yang paling banyak peraturannya sehingga disebut sebagai “the most

highly regulated industry”.28

28

Muhammad Djumhana., Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, Hal.24-25.

Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai kegiatan Perbankan di Indonesia yang masih berlaku terdiri atas:


(57)

45

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia serta

Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan

2. Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 serta Undang-Undang

No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan.29

B. Pihak-Pihak Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Perbankan

Pengertian pihak terafiliasi pada Bank adalah pihak yang mempunyai hubungan dengan kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang diberikan oleh Bank. Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada Bank

tersebut, tetapi dengan tidak kehilangan identitasnya.30

29

Ibid., Hal. 21

30

Kasmir, “Dasar-Dasar Perbankan”, PT. Raja Grafindo Persada, Bandung, 2006, Hal. 125

Penggabungan diri tesebut karena keterikatan kepemilikan, bahkan adanya keterikatan hubungan keluarga dengan pihak tertentu, pengurusan, ataupun karena hubungan kerja biasa, seperti karyawan atau karena hubungan kerja dalam rangka memberikan pelayanan jasa kepada Bank, seperti konsultan hukum. Untuk mengetahui pihak-pihak yang terafiliasi pada lembaga perbankan, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketentuan tersebut menentukan pihak-pihak yang terafiliasi, yaitu:


(58)

-Anggota Dewan Komisaris, Pengawas, Direksi, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank.

-Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau

karyawan Bank, khusus bagi Bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

-Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, Antara lain akuntan publik,

penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya.

-Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi

pengelolaan Bank, Antara lain, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, dan keluarga pengurus.

1. Dewan Komisaris dan Direksi Bank.

Pengaturan Dewan Komisaris dan Direksi diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu pada Pasal 38 dan Pasal 39. Ketentuan Pasal 38 mengatur hal-hal sebagai berikut:

- Pengangkatan keanggotaan Dewan Komisaris dan Direksi Bank

wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

- Perubahan keanggotaan Dewan komisaris dan Direksi wajib

dilaporkan kepada Bank Indonesia.

a. Dewan Komisaris Bank.

Lembaga perbankan merupakan lembaga yang memerlukan pengawasan yang lebih ketat karena


(59)

47

menyangkut kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, badan usaha yang melakukan pengerahan dana masyarakat tersebut memerlukan pengawasan intern yang ketat pula. Dalam ketentuan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Dewan Komisaris tersebut merupakan hal yang perlu ada dalam kelengkapan organisasi perusahaan (Bank).

Dengan melihat bentuk hukum Banknya, maka pengertian dan posisi Komisaris tersebut mengacu pada ketentuan yang melandasi bentuk Bank yang bersangkutan. Bagi Bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas, Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan, yaitu sebagaimana diberikan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Yang dimaksud Komisaris bagi Bank yang berbentuk hukum perusahaan daerah adalah pengawas bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 5 1992 tentang Perusahaan Daerah sedangkan Bank yang berbentuk hukum koperasi, Komisaris adalah pengawas yang dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat


(60)

anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian.

Ketentuan menjadi Anggota Dewan Komisaris sebuah Bank secara umum harus memenuhi persyaratan :

- Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang

perbankan sesuai dengan ditetapkan oleh Bank Indonesia.

- Memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya.

- Menurut penilaian Bank Indonesia yang

bersangkutan memiliki integritas yang baik, yaitu memiliki akhlak dan moral yang baik, mematuhi Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, memiliki komitmen yang tinggi terhadap perkembangan operasional Bank yang sehat, serta dinilai layak dan wajar untuk menjadi Anggota Dewan Komisaris.

Jumlah Anggota Dewan Komisaris sekurang-kurangnya dua orang dan sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah Direksi. Untuk Bank yang didirikan secara kemitraan dengan pihak asing maka sekurang-kurangnya terdapat satu orang Anggota Dewan Komisaris dan harus warga negara Indonesia serta berkedudukan di Indonesia.


(61)

49

b. Direksi Bank.

Direksi merupakan kepala penggerak roda jalannya perusahaan. Setiap perusahaan memiliki satu atau lebih Direksi sesuai kebutuhan organisasi perusahaan tersebut. Direksi menjalankan suatu perusahaan karena diberi kuasa oleh perusahaan untuk dapat menjalankan kegiatannya. Berbeda dengan perwakilan biasa, dasar wewenang

seorang Direksi Bank bukanlah Power of attorney (surat

kuasa), melainkan anggaran dasar perusahaannya.

Direksi merupakan pelaksana tertinggi yang menjalankan pengelolaan kegiatan berjalannya suatu Bank tersebut. Kewajiban adanya Direksi pada Bank, juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas, yaitu khususnya pada Pasal 79 ayat (2) yang menetapkan bahwa : “ perseroaan yang dibidang usahanya menyerahkan dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang Direksi”.

c. Dewan Pengawas Syariah.

Khusus untuk Bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, maka selain Anggota Dewan Komisaris dan Anggota Direksi, juga ada lembaga lain yaitu Dewan Pengawas Syariah. Dalam ketentuan Pasal 21 peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank


(62)

Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah diatur bahwa Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :

- Integritas

- Kompetensi

- Reputasi keuangan

2. Pejabat dan Karyawan Bank.

Pejabat dan karyawan Bank adalah pegawai Bank, yaitu pihak pelaksana menjalankan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank sehingga mereka mempunyai akses tertentu terhadap informasi mengenai keadaan Bank. Pejabat Bank adalah mereka yang memiliki tanggung jawab penuh sebagai pimpinan atau pelaksana atau pengawas pada Bank tersebut, yaitu meliputi Direksi dan Anggota Dewan Komisaris, sedangkan Karyawan adalah mereka yang melaksanakan seluruh kegiatan operasional Bank termasuk juga Direksi.

3. Pengelola dan Karyawan Bank yang berbentuk Koperasi.

4. Konsultan, Akuntan Publik, dan Penilai

− Konsultan Hukum.

Konsultan hukum adalah operasional Bank berada di luar pengurusan Bank yang bersangkutan. Tugasnya berupa memberikan nasihat kepada pengurus ataupun dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Bank yang bersangkutan juga dapat


(63)

51

memberikan suatu penelitian hukum (Legal audit) guna menentukan legitimasi hukum (legal opinion) dalam prospektus sebagai salah satu persyaratan untuk go publik.

Konsultan hukum sangat diperlukan untuk meneliti :

- Ada tidaknya perbuatan-perbuatan perusahaan, atau

Direksinya melawan hukum

- Bagaimana kelengkapan dokumen-dokumen yang wajin

dimiliki perusahaan seperti perizinan usaha, sertifikat-sertifikat dan lain-lain.

− Akuntan Publik.

Pengertian secara hukum akuntan publik dapat ditemukan dalam Pasal 1 huruf c surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/41/KEP/DIR/Tentang Laporan Tahunan Bank Umum tanggal 9 Juni 1998, yaitu akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha melakukan kegiatan pemberian jasa audit yang dikeluarkan oleh menteri keuangan serta terdaftar di Bank Indonesia.

− Penilai.

Penggunaan jasa penilaian dalam kegiatan perbankan modern merupakan hal yang biasa, jasanya diperlukan dalam estimasi dan pendapat atas nilai ekonomis suatu harta pada saat tertentu sesuai standar penilai Indonesia. Penilaian seperti itu dipakai dalam rangka pelaksanaan revaluasi atau aset atau aktiva perusahaan. Pemberi jasa penilaian disebut penilai, yaitu orang


(64)

perseorangan yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian. Guna menjalankan profesinya dalam jasa penilaian, maka penilai wajib terlebih dahulu mendapat izin dari menteri

keuangan.31

Membicarakan suatu masalah hukum tidak akan terlepas dari perjalanan awal dan perkembangannya. Hal ini tidaklah mengherankan sebab dalam ilmu pengetahuan hukum, kita mengenal adanya “aliran sejarah”. Inti pemikiran dari aliran tersebut yaitu bahwa hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Mengetahui perkembangan dan sejarah Perbankan memiliki manfaat yang besar. Hal tersebut sesuai dengan asas dari segala keilmuan, yaitu bahwa untuk memperoleh pemahaman sesuatu gejala tidak akan mengkin dengan tidak mengetahui hubungan-hubungannya. Melalui sejarah pula kita mengenal keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari yang biasa kita hadapi dan dengan demikian kita bisa memahami bahwa yang kini ada bukanlah satu-satunya yang mungkin. Dari pemahaman tersebut, maka kita dapat mengenal faktor-faktor apa saja yang melahirkan suatu lembaga tertentu.

C. Sejarah Dan Asas Hukum Perbankan

32

1. Perbankan Zaman Penjajahan Belanda

Sejarah Perbankan di Indonesia dapat kita bagi beberapa periode, yaitu:

Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai Bank di

Indonesia yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang

31

Muhammad Djumhana, Op Cit., Hal 278-300.

32


(65)

53

secara resminya adalah perusahaan dagang. Adapun yang benar-benar

diresmikan untuk menjalankan usaha Bank, yaitu NV De Javasche Bank.

Bank tersebut didirikan pada abad ke-19, terlihat dari materi besluit Nomor

28 tertanggal 11 Desember 1827 mengenai Octrooi Reglement Voor De

Javasche Bank. Adapun modal pertamanya sebesar satu juta gulden

tercantum dalam besluit Nomor 25 tertanggal 24 januari Tahun 1828. Modal

tersebut berasal dari setoran pemerintah hindia belanda dan De

Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Dengan telah berdirinya De

Javasche Bank oleh pemerintah hindia belanda, Bank tersebut diberikan

monopoli untuk mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani oleh pemerintah sendiri. Sejak itu Bank tersebut dikenal dengan Bank

sirkulasi atau Bank of issue. Dari fungsinya seperti itu, maka Bank tersebut

merupakan Bankir bagi pemerintah hindia belanda meskipun belum menjadi Bank Sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa tugas yang biasa dilakukan oleh Bank Sentral diantaranya, mengeluarkan dan mengedarkan uang, kertas, mendiskonto wesel, surat utang jangka pendek, dan obligasi negara, menjadi kasir pemerintah, menyimpan dan menguasai dana-dana devisa, dan bertindak sebagai pusat kliring sejak Tahun 1909.

Dengan berkembangnya perkebunan serta perdagangan luar negeri berupa ekspor hasil-hasil perkebunan, timbul kebutuhan pembiayaan untuk kegiatan tersebut. Kemudian, sekitar Tahun 1857 berdirilah pula sebuah

Bank swasta yang dikenal dengan NV Escompto Bank, yang bergerak

dibidang usaha Bank umum, yang setelah dinasionalisasi oleh pemerintah maka sekarang dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN).


(66)

Perkembangan selanjutnya maka mulai tumbuh adanya kebutuhan sebuah bentuk perkreditan yang terorganisasikan dalam suatu lembaga. Melihat kebutuhan tersebut dibentuklah Bank yang khusus dapat melayani

penduduk golongan pribumi, yaitu Bank Priyayi (De Poerwokertosche

Hulpen Spaarbank der Inlandsche Hoofden, artinya Bank penolong dan

tabungan bagi priyayi purwokerto). Bank priyayi ini didirikan pada tanggal 16 Desember 1895 oleh patih raden wiriaatmadja, sedangkan modalnya berasal dari kas mesjid.

Pendirian Bank yang melayani masyarakat pribumi, kemudian

bertambah dengan didirikannya “volksbank” di garut pada Tahun 1898,

sedangkan di bukit tinggi dan manado pada Tahun 1899 yang oleh masyarakat minang disebut lumbung pitih. Pada Tahun 1898 pemerintah hindia belanda bekerja sama dengan jawatan pos berdasarkan stbl. 1897

Nomor 296 oprichting eener postpaarbank in nederlandsch indie

mendirikan Bank tabungan pos, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)-nya Bank tersebut berkedudukan di jakarta. Dasar hukum pendirian Bank tabungan pos ini mengalami perubahan pula pada Tahun 1934 melalui postpaarBank ordonnantie stbl. 1934 Nomor 653 dan selanjutnya diubah

berdasarkan stbl. 1937 Nomor 176 dan 197 serta stbl. 1941 Nomor 295.33

Krisis ekonomi dunia yang hebat pada periode 1929-1932

mengakibatkan beberapa volksbank menjadi macet, maka pada Tahun 1934

di jakarta berdasarkan ordonansi Nomor 82 (stbl.1934) tanggal 19 februari

1934 didirikanlah suatu Bank yang dikenal dengan de algemeene

33


(1)

Di samping itu, Pasal 9 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang:

-Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan.

-Mengawasi pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

-Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau

pihak tertentu.

-Melakukan penunjukan pengelola statuter. -Menetapkan penggunaan pengelola statuter.

-Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

-Memberikan dan/atau mencabut:

1. Izin usaha.

2. Izin orang perseorangan.

3. Efektifnya pernyataan pendaftaran. 4. Surat tanda terdaftar.

5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha. 6. Pengesahan.


(2)

B. Saran

Menurut hasil riset yang Penulis lakukan di kantor Otoritas Jasa Keuangan Cabang Medan, dalam kegiatan Otoritas Jasa Keuangan sektor perbankan sudah independen artinya lembaga ini sudah berdiri sendiri tanpa adanya intervensi dari pemerintah ataupun dari pihak lain. Dengan adanya hal tersebut Penulis berharap agar lembaga ini dapat tercapai tujuannya yaitu untuk memastikan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Sehingga dalam pelaksanaan tersebut dapat tercapai tujuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2011.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Referensi Buku

Adrian Sutedi, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta.

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika , Jakarta. Adler Haymans Manurung, 2013, Ojk : Tujuan, Fungsi, Tugas, Dan

Wewenang, Layanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, Pt. Adler Manurung Press, Jakarta.

Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Pt. Mandar Maju, Jakarta. Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad Djumhana, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kasmir, 2006, Dasar-Dasar Perbankan, Pt. Raja Grafindo Persada, Bandung.

Malayu Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Pt. Bumi Aksara, Jakarta.

Marhainis Abdul, 1997, Hukum Perbankan, Pt. Pradia Paramita, Jakarta. Hermansyah, 2007, Hukum Perbankan Indonesia, Pt. Kencana, Jakarta. Rahmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jainal Asikin, 1997, Pokok-Pokok Hukum Perbankan Di Indonesia, Pt. Rajawali Perss, Jakarta.


(4)

II. Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1946 Tentang Bank Negara Indonesi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Republik Indonesia, Perundang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral.

Republik Indonesia, Perundang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesi.

III. Artikel

Bismar nasution, Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, 29 November 2013 Zulkarnain Sitompul, Sosialisasi Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 29 November 2013 Wahiduddin Adams, Jurnal Legislasi Indonesia Otoritas Jasa Keuangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan HAM RI, jakarta, 2012

IV. Internet

Zulfi Diane Zaini, Hubungan Hukum Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 29 Mei 2014 pukul 19.00

Zulaikakita, OJK Dalam Ketatanegaraan Indonesia,


(5)

DAFTAR PERTANYAAN 1.

: Pewawancara

Bagaimana fungsi pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap Lembaga Keuangan Bank maupun Non-Bank?

:

2. Pewawancara

Apa perbedaan tugas pengaturan dan pengawasan Microprudential dengan Macroprudential?

:

3. Pewawancara

Apakah masih dilakukan pembagian tugas kerja dalam melaksanakan pengawasan Perbankan?

:

4. Pewawancara

Undang-Undang apa saja yang masih berlaku setelah OJK dilaksanakan? :

5. Pewawancara

Bagaimana wewenang OJK dalam hal perizinan Bank (pembukaan dan pendirian) Bank baru?

:

6. Pewawancara

Bagaimana hubungan OJK dengan Lembaga Perbankan? :

7. Pewawancara

Apa saja tugas OJK dalam hal mengatur dan mengawasi Lembaga Keuangan?

:

8. Pewawancara

Apa tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan? :


(6)

9. Pewawancara

Apa perbedaan tugas antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia?

:

10. Pewawancara

Bagaimana tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank gagal yang berdampak sistemik?

:

11. Pewawancara

Bagaimana bentuk sanksi terhadap Bank yang bermasalah, contohnya: Bank Century?

:

12. Pewawancara

Mengapa perlu diadakan peralihan tugas dan tanggung jawab dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan?

:

13. Pewawancara

Menurut Bapak/Ibu setelah didirikannya Otoritas Jasa Keuangan apakah fungsi pengawasan di sektor Perbankan sudah berjalan dengan baik?