BAB I PENDAHULUAN - Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari kajian utamanya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara. Dalam pembagian kewenangan ini mengenai susunan Pemerintah Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan pemerintahan Daerah terdiri dari eksekutif daerah yang dipegang oleh pemerintah daerah (kepala daerah), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah, yang selanjutnya akan disebut DPRD. Sebagai suatu organ yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kedua organ tersebut (Kepala Daerah dan DPRD) memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing.

  Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUDNKRI 1945, yakni ketentuan Pasal 18 yang semula hanya terdiri dari satu pasal berubah menjadi tiga pasal. Sejalan dengan perubahan Pasal 18 tersebut, tampak sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Paradigma yang dimaksud

  

  adalah : 1.

  Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Yang diharapkan di masa depan tidak ada lagi pemerintahan 1 dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah.

  

Bagir Manan,Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,

  2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas-luasnya.

  Semua fungsi pemerintahan dibidang adminsistrasi negara (administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh pemerintahan daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.

  3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan

  rumah tangga tidak perlu seragam atau sama. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar cultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

  4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati satu

  kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap) dan berbagai hak teradisionalnya. Satuan pemerintahan yang asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.

  5. Pemerintahan daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan

  khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara), kesejahteraan (seperti D.I Yogyakarta) atau karena keadaan sosial cultural (seperti D.I Aceh).

  6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum.

  7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan selaras dan adil.

  Ketujuh pokok pikiran dari paradigma yang di gariskan dalam Pasal 18, 18A dan Pasal

  18B. Perubahan kedua UUDNKRI 1945 tersebut diatas sama sekali tidak dijumpai pengaturan tentang hubungan kewenangan DPRD dengan Kepala Derah.Selain UUD 1945 (sebelum dan Pasca Perubahan) belum mengatur hubungan kewenangan antara organ pemerintah daerah dimaksud secara jelas, juga beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah ada menunjukkan pasang-surut sehingga dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu mengalami perubahan. Artinya pada suatu saat masa atau periode lainnya terjadi perubahan yaitu kewenangan DPRD yang lebih kuat (dominan) dibandingkan dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Indria Samego mensinyalir bahwa dengan posisi menguatnya fungsi DPRD, DPRD dengan relatif mudah melakukan “pemerasan” terhadap pihak eksekutif. Hal ini

   bisa saja mengakibatkan terhalangnya proses otonomi daerah yang diharapkan.

  Berangkat dari otonomi daerah tersebut,dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang disoroti dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemberhentian Kepala Daerah, jika Kepala Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjut DPRD mengusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD. Dalam hal melakukan pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan dalam dua mekanisme yaitu Pertama, kepala daerah diberhentikan dengan usulan dan atau keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disetujui oleh presiden, kedua pemberhentian kepala daerah oleh presiden tanpa usulan dan atau keputusan DPR. Apabila kepala daerah diperkirakan telah melakukan penyelewengan, maka, harus diadakan penyelidikan dengan persetujuan presiden. Pemberhentian kepala daerah dapat dilaksanakan hanya berdasarkan atas hukum dan peraturan yang diberlakukan tanpa adanya kepentingan. Pemberhentian atas usulan DPRD apabila terjadi krisis kepercayaan maka DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya, penggunaan hak angket setelah mendapat persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya3/4 dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

2 Indria Samego, “Masalah Good Govermance di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah”. Jurnal Demokrasi & HAM

  Pemberhentian kepala daerah atas usulan DPRD tersebut diatas baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan, setelah DPRD Karo membuat surat permohonan kepada Mahkamah Agung untuk memberhentikan DR (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Kabupaten Karo masa jabatan 2010-2015. Kena Ukur Karo Surbakti terpilih melalui pemilihan umum secara demokratis di Kabupaten Karo, hasil pemilihan ini di sahkan setelah mengadakan pemilihan putaran kedua pada Kamis 23 Desember 2010 di Berastagi. Kena Ukur yang berpasangan dengan Terkelin Berahmana menang dengan perolehan suara sebanyak 86.938

  

  suara (61,9%) yang unggul di 14 Kecamatan dari 17 Kecamatan di Karo. Masa jabatan Kena Ukur Surbakti akhirnya harus diberhentikan karena banyaknya tuntutan dari masyarakat atas kepemimpinan Karo Jambi Surbakti, kekecewaan dari masyarakat Kabupaten Karo ini akhirnya disalurkan melalui wakil mereka yaitu DPRD karena mereka lah yang dikira mempunyai wewenang dalam pengambilan keputusan secara pemerintahan.

  Kekecewaan yang berujung pemberhentian ini dilatar belakangi berbagai masalah termasuk lambatnya penanganan pengungsi bencana alam letusan Gunung Sinabung. Ada lima hal mendasar yang menjadi alasan dari pemberhentian Bupati ini, yaitu tentang adanya dugaan perselingkuhan sang Bupati dengan Mendang br Ginting Alias Molek, wanita yang selama ini dikenal dekat dengan bupati. Kedua kasus tuduhan jual beli jabatan di Pemkab Karo. Ketiga, tentang pelanggaran sumpah jabatan dalam pendirian Yayasan Pendidikan Karo Jambi. Keempat, pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh Bupati Karo atas surat panggilan DPRD Karo dan yang kelima adalah terkait sumbangan pihak ketiga ke kas Pemda Karo dari penambang Dolomit

3 Adhif, “Karo Jambi unggul Pemilukada Karo Putaran Kedua”[Koran online],(Karo: KAROPress, 2010), tersedia

  

  yang terindikasi korupsi. PRD Karo diketahui membentuk pansus hak angket untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran jabatan dan etika yang dilakukan Bupati Karo setelah mendapat tekanan hebat dari publik. Keputusan pemberhentian ini diambil melalui Rapat Paripurna Hak Angket yang dilaksanakan oleh anggota DPRD Kabupaten Karo yang dihadiri oleh 33 anggota dari 35 anggota DPRD. Panitia hak angket kemudian membuat usulan pemberhentian, lalu ditindaklanjuti DPRD dengan mengajukannya ke MA pada 13 Januari

   2014.

  Pada prinsipnya pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan pada masa jabatannya dan pada akhir masa jabatan. Namun dalam hal ini yang perlu dikaji adalah jika seorang kepala daerah diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai, sebab jika seorang kepala daerah diberhentikan apabila memenuhi alasan pada pasal 29 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam hal Pemberhentian Kepala Daerah yang diatur dalam

  pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah berhenti karena : a. Meninggal dunia, b. Permintaan sendiri c. Diberhentikan karena: Dalam pembahasan ini yang dipersoalkan jika seorang kepala Daerah diberhentikan. Sebagai mana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah 4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena :

  “Lima Alasan DPRD Rekomendasikan Pemakzulan Bupati Karo”[Harian online], (Medan:

MEDANBAGUS.COM,2013), tersedia di: diakses 5 10 Mei 2014. a.

  Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.

  b.

  Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan.

  c.

  Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau Kepala Daerah.

  d.

  Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau wakil kepala Daerah.

  e.

  Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau kepala Daerah.

  f.

  Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala Daerah.

  Apabila salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang 32 Tahun 2004 dilanggar oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini DPRD mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi maupun ditingkat kabupaten dan kota, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada

  

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota ”. Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD

  diberi kewenangan dalam mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah, dengan mekanisme sebagai berikut:

  1. Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung Atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat melanggar sumpah dan janji/jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan.

  2. Pendapat DPRD diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

  3. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima mahkamah agung dan putusan bersifat final.

  4. Apabila mahkamah agung memutuskan bahwa Kepala daerah dan / atau kepala daerah terbukti melanggar sumpah / janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban. DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang- kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/wakil kepala daerah kepada presiden.

5. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala

   daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.

  Berbicara dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu.Namun, Undang-undang No 32 Tahun 2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi, tetapi langsung ke Mahkamah Agung.

  Proses pemberhentian kepala daerah, menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, lama, berbelit, dan agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa benar kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan tidak melaksanakan kewajibannya maka tindaklanjutnya oleh DPRD mengadakan rapat paripurna untuk menindaklanjuti Putusan

  Mahkamah Agung, apakah putusan Mahkamah Agung dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum.

  Saat ini Bupati Karo, Kena Ukur Karo Surbakti sudah resmi di berhentikan oleh Presiden menjabat pada saat itu yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dengan Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 57/P Tahun 2014 tanggal 1 Juli 2014, dimana hal ini merupakan tindak lanjut atas usulan pemberhentian atau pemakzulan Bupati Karo periode 2010-2015 Kena Ukur Jambi Surbakti oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Karo berdasarkan hasil Sidang Paripurna DPRD

  

  pada Maret 2013 lalu. Hal inilah yang ingin menjadi fokus penelitian peneliti, yaitu untuk melihat dan dapat mendeskripsikan dengan data dan fakta serta informasi yang akurat tentang bagaimana sebenarnya proses pemberhentian Bupati Kena Ukur Surbakti di lingkungan DPRD Kabupaten Karo.

1.2 Rumusan Masalah

  Pemberhentian Bupati di Kabupaten Karo ini merupakan kali pertama dalam sejarah pemerintahan Kabupaten Karo.Dimana, tampuk kekuasaan tertinggi disebuah Kabupeten berhasil dilengserkan melalui kekuasaan (hak) DPRD dengan dorongan dan dukungan masyarakat setempat. Banyak asumsi yang bermunculan di kalangan masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Kabupaten Karo mengenai alasan pemberhentian maupun proses pemberhentian dari Bupati Periode 2010-2015 ini. Sehingga diperlukan data dan fakta mengenai proses pemberhentian ini. Hal inilah yang dianggap menarik oleh peneliti sehingga muncul rumusan masalah yaitu: bagaimana proses pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi 7 Surbakti Periode 2010-2015 oleh DPRD Kabupaten Karo ?

  ”Bupati Karo diberhentikan Presiden” [Harian Online], (Medan: KOMPAS.com, 2014) tersedia di:

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mendeskripsikan profil lengkap Kabupaten Karo, pemerintahan Kabupaten Karo, Keadaan Penduduk serta data Anggota DPRD Kabupaten Karo.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti oleh DPRD Kabupaten Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak secara umum, yaitu :

  1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai pemerintahan daerah khususnya yang berkenaan dengan pemberhentian Kepala Daerah.

  2. Bagi dunia penelitian, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dalam kajian ilmu Pemerintahan Daerah, serta dapat memberi pengembangan dalam penulisan karya ilmiah bagi para peneliti selanjutnya.

  3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. Tulisan ini juga diharapkan mampu menjadi masukan bagi pemerintah daerah, dan DPRD khusunya dalam rangka mewujudkan fungsi kontrol antara DPRD dan Kepala Daerah.

1.5 Kerangka Teori

  Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana menyoroti masalah yang telah dipilih. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu

  

  fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subaygo pada buku Metode Penelitian

  

dalam Teori dan Praktek , teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang berhubungan satu

  sama lain, satu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari

   fenomena.

1.5.1 Teori Kekuasaan Politik

  Kalau konsep kekuasaan itu ditempatkan dalam atau sebagai pemikiran politik, dan sekaligus dengan itu menunjukkan bahwa kekusasaan dilihat sebagai hakekat politik dan dengan demikian, proses politik adalah serentetan atau serangkaian peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau tekhnik menjalankan kekuasaan atau masalah-masalah pelaksanaan kontrol kekuasaan atau

   pembentukan dan penguasaan kekuasaan.

  Interpretasi politik dengan berdasarkan pada konsep kekuasaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, memberikan sifat kepada ilmu politik sebagai ilmu tentang kekuasaan.Cara penafsiran ilmu politik sebagai ilmu yang mempelajari tentang kekuasaan dianggap relatif baru; 8 yang secara khusus, di sini ditekankan peranan kekuasaan sebagai konsep politik dalam ilmu 9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997. hal.20.

  

  politik, atau dalam kehidupan sosial. ikalau demikian halnya, pada akhirnya politik itu hanya merupakan sejumlah teori tentang golongan yang berkuasa.Teori tentang elite, kelas-kelas politik (rulling class). Maka oleh sebab itu kekuasaan dapat dipandang sebagai gejala (fenomena) yang senantiasa terdapat di dalam proses politik. Konsep kekuasaan dengan menempatkannya dalam proses politik atau dalam konteks proses politik maka konsep kekuasaan yang berkaitan erat dengan perilaku politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert Dahl dalam mana (A) memiliki kekuasaan atas (B). Apabila (A) dapat mempengaruhi (B) untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh (B).Maksudnya, apabila (A) mempengaruhi (B) untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kehendak (B), hubungan tersebut tidak dapat dikatakan

   sebaai hubungan kekuasaan.

  Maka dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Robert A Dahl itu, tentang kekuasaan adalah persoalan bagaimana kita dapat mengetahui secara empirik apakah peilaku yang dipengaruhi tersebut sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Dengan demikian, kekuasaan politik itu adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber, pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain itu berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Atau dalam pengertian yang lebih sempit bahwa yang diartikan dengan kekuasaan politik adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan tersebut

   menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya.

  Kekuasaan merupakan suatu kemampuan (kapabilitas) untuk menguasai atau 11 mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi 12 Ibid.,hal. 39 P Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.hal.51 perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan, khususnya umtuk mempengaruhi perilaku orang lain. Sementara paksaaan adalah kemampuan untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan dengan melalui cara yang tidak sah atau tidak memiliki legitimasi.

  Sedangkan otoritas (kewenangan) merupakan suatu legitimasi (hak) atas dasar suatu kepercayaan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Jadi, kewenangan adalah merupakan suatu bentuk kekuasaan yang sah atau memiliki legitimasi.Legitimasi atau keabsahan atas kekuasaan merupakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif, tidak bisa seperti itu. Artinya, tanpa adanya legitimasi kekuasaan, tindakan seseorang

   baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, tidak akan dapat dilaksanakan.

  Ada 6 (enam) sumber daya kekuasaan menurut Wahidin khususnya secara formal adminsitratif sebagaimana yang dikutip oleh Antonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul

  Teori-teori Politik , yaitu sebagai berikut: 1.

  Kekuasaan balas jasa (reward power) yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier,janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketudukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.

  2. Kekuasaan paksaan (coercive power) berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan.

  Kekuasaan akan menjadi motivasi bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.

  3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power) kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai-nilai intern yang sah untuk memengaruhi bawahannya.

  Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seseorang lain ditentukan sebagai pimpinannya petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bias juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang yang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan.

  4. Kekuasaan pengendalian atas informasi ( control of information power)kekuasaan

  ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan di mana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.

  5. Kekuasaan panutan (refent power), kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai pemimpin.

  Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaanya.

6. Kekuasaan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari

  tempahan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam keahliannya itu, seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiiknya karena ada

   kepentingan terhadap kelahlian sang pemimpin.

  Montesquieu mencetuskan trias politica yang tidak semata-mata membagi-bagi kekuasaan di dalam Negara akan tetapi dalam waktu bersamaan ia menyampaikan ide-ide yang lebih tegas yakni dengan memisahkan kekuasaan di dalam Negara itu secara nyata menjadi tiga bagian dengan otoritas masing-masing. Ketiga kekuasaan yang dimaksud oleh Montesquieu itu berkesetaraan, dalam arti tidak ada kekuasaan yang bersifat sub-ordinat antara satu kekuasaan dengan kekuasaan lainnya. Kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah,

  1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang (UU) yang natinya dijadikan sebagai patokan utuk berinteraksi baik secara kelembagaan ataupun individual di dalam Negara; 2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang (UU) yang memiiki kekuasaan untuk melaksanakan penerapan Undang-Undang (UU) tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakannya.

3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar yang menegakkan

  Undang-Undang (UU) serta mengadili yang melanggar Undang-Undang (UU) dengan segala konsekuensinya.

  Dengan melalui teori ini Charles-Louis de Secondat de Montesque (1689-1755), mengharapkan agar ada jaminan untuk kemerdekaaan individu terhadap tindakan sewenang- wenang Raja atau pihak penguasa.Pemikiran ini sering dinamakan teori “pemisahan kekuasaan dalam Negara” atau Trias Politica.Maka untuk lebih memperjelas persoalannya perlu diberikan teori atau konsep dan doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation of

  

power ).Mengenai konsep atau teori trias politika ini, di dalam perkembangan pemikirannya,

  bahwa konsep atau teori Trias Politika itu adalah merupakan sebuah doktrin tentang pembagian kekuasaan (distribution of power).Baik pemisahan kekuasaan (separation of power) mempunyai maupun pembagian kekuasaan (distribution of power) mempunyai argumentasi yang didasarkan kepada kontekstualitas yang berbeda.Oleh karena itu yang diperlukan dalam hubungan ini bukan kebenaran atau baik yang mengartikan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power)

   ataupun yang mengartikannya sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power).

1.5.2 Komunikasi Politik

  Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga

  

  politik. Dalam komunikasi politik ini (political communication) Rusadi Kantaprawira 16 sebagaimana dikutip oleh Drs. Sumarno AP pada buku Dimensi-dimensi Komunikasi

  

Politik memfokuskan pada kegunaannya, yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup

  dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, ataupun sector kehidupan politik masyarakat dengan sector kehidupan politik pemerintah. Dengan demikian segala pola pemikiran, ide atau upaya untuk mencapai pengaruh, hanya dengan komunikasi dapat tercapainya segala sesuatu yag diharapkan, karena pada hakekatnya segala pikiran atau ide dan kebijaksanaan (policy) harus ada yang menyampaikan dan ada yang menerimanya, proses tersebut adalah komunikasi.

  Dilihat dari tujuan politik “an sich”, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya kelompok manusia yang mempunyai orientasi pemikiran politik atau ideologi tertentu didalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan, dengan kekuasaan mana tujuan pemikiran

  

  politik dan ideologi tersebut dapat diwujudkan. Dr Astrid mengungkapkan bahwa komunikasi politik merupakan suatu kegiatan prapolitik melalui kegiatan mana akan terjadiah realisasi penghubungan atau pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup Negara, disamping itu komunikasi politik merupakan sarana pendidikan politik atau sosialisasi politik dalam

   hubungannya dengan kehidupan kenegaraan.

  Disinilah letak pentingnya politik, karena melalui pendidikan politik, dapat dibentuk suatu pola tingkah laku dan pola berfikir politik sesuai dengan tujuan politik itu sendiri. Selanjutnya karena komunikasi politik itu tidak hanya dalam kegiatan secara internal dalam lingkup Negara, tapi juga meliputi kegiatan komunikasi secara eksternal dalam hubungannya dengan komunikasi internasional, maka perlu dikemukakan pula suatu pengertian apa itu komunikasi politik internasional. Dalam hal ini dapat dikemukakan pendapat dari W. Philips Davison dan Alexander 18 L. George melalui suntingan Drs. Sastropoetro dalam judul buku Komunikasi Internasional yang menyatakan sebagai berikut: “By International Political Communication we refer to the use by

  

national states of communication to influencethe politically relevant behavior of people in other

   nation state”

  Apa yang dikemukakan oleh Philips dan Alexander pada intinya menunjukkan bahwa komuikasi politik internasional yaitu komuikasi yang dilakukan oleh suatu Negara nasional (national states) untuk mempengaruhi tigkah laku politik Negara lain. Dari uraian dan pendapat para ilmuwan tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa komunikasi politik mempunyai lingkup pembahasan yang sangat luas, tidak hanya membahas bagaimana komunikasi dapat digunakan di dalam mencapai kekuasaan dan tujuan politik secara internal tapi juga bagaimana suatu system yang berlangsung dapat dipertahankan dan dialih generasikan. Dan dalam kehiatan keluar, bagaimana komunikasi dapat digunakan dalam upaya mempengaruhi Negara lain di dalam mencapai tujuan politik negaranya, atau secara minimal dapat terwujudnya suatu hubungan yang saling menguntungkan diantara dua atau lebih Negara yang mengadakan

   komunikasi.

1.6 Studi Terdahulu Pemberhentian Kepala Daerah

  Dalam penelitian ini peneliti memaparkan dua penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang pemberhentian Kepala Daerah. Pertama, Nadia Mashita (2010) dalam skripsinya yang berjudul "Proses Pemberhentian Kepala Daerah Oleh DPRD (Studi Kasus Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kampar Tahun 2004)". Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui 20 latar belakang terjadinya pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten Kampar dari awal permasalahan sampai kepada pengambilan keputusan dan untuk mengetahui faktor pendukung diambilnya keputusan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten Kampar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer.Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), sedangkan data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode wawancara.Narasumber wawancara terdiri dari Anggota DPRD, Bupati dan Wakil Bupati, dan pihak-pihak lain yang terlibat langsung dan berkompeten tentang permasalahan yang diangkat.Data sekunder dan data primer di atas dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam

   bentuk deskriptif.

  Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa latar belakang terjadinya sengketa tentang pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD diawali dengan tuduhan pengusiran oleh PGRI terhadap A.Latief Hasyim oleh Bupati Jefry Noer dalam suatu rapat. Pengusiran ini dianggap oleh para guru sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap profesi guru. Akibatnya timbul protes dari para guru dengan cara melakukan demonstrasi besar-besaran. Selain memprotes pengusiran tersebut para guru menuntut bupati dan wakil bupati mundur dari jabatannya. Aspirasi para guru, murid, elemen dan komponen masayarakat lainnya direalisasikan oleh DPRD dengan mengusulkan pemberhentian Jefry Noer dan A.Zakir, SH.MM kepada Mendagri melalui Gubernur sebagai bupati dan wakil bupati Kampar periode 2001-2006 dengan alasan bahwa telah terjadi krisis kepercayaan publik yang luas terhadap kepemimpinan Jefry Noer dan A.Zakir, SH.MM. Proses yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Kampar sampai pada keputusan, tidak dijalankan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini terlihat 22 bahwa keputusan DPRD bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 22 tahun

  

Nadia Mashita, Proses Pemberhentian Kepala Daerah Oleh DPRD (Studi Kasus Pemberhentian Bupati dan Wakil

  1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. DPRD terkesan hanya mengedepankan unsur politis dan mengenyampingkan unsur hukumnya.Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten Kampar subtansinya adalah terjadinya krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, maka aturan yang seharusnya diberlakukan adalah Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000.

  Kedua , Mujahid Akbar Suneth (2014) dalam skripsinya yang berjudul " Pemberhentian

  Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Studi Kasus Bupati Garut).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberhentian Kepala Daerah Kabupaten Garut dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Peraturan Perundang-undangan. Selain itu juga untuk mengetahui kesesuaian pemberhentian Kepala Daerah Kabupaten Garut dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Peraturan Perundang-undangan.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menelusuri artikel-artikel, peraturan perundang undangan, buku-buku, internet, pendapat para sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Dari keseluruhan data yang diperoleh, diolah lalu dianalisis secara kualitatif.Data yang diperoleh dan diolah tersebut kemudian diuraikan secara deskriptif dengan menguraikan, menjabarkan dan

   menjelaskan permasalahan yang erat kaitannya dengan penulisan.

  Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, pemberhentian H.Aceng H. M. Fikri, S.Ag.sebagai Bupati Garut masa jabatan 2009-2014 telah sesuai dengan sistem ketatanegaraan 23 menurut UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan konstitusi dilanggar antara lain Pasal 1 ayat (3) UUD

  Mujahid Akbar Suneth, Pemberhentian Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dalam Sistem NRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Kemudian Pasal 18 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota yang mana mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang. Dan UU No 32Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

  Pemberhentian Bupati Garut dimulai dengan surat Keputusan DPRD Kab. Garut Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pendapat DPRD Kabupaten Garut Terhadap Dugaan Pelanggaran Etika Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Dilakukan Oleh H. Aceng H. M Fikri, S.Ag.Sebagai Bupati Garut yang diajukan untuk diuji pada Mahkamah Agung, yang kemudian dalam Putusannya No. 1 P/Khs/2013 mengabulkan permohonan DPRD dan kemudian DPRD Kab.

  Garut melalui surat Nomor 131/133-DPRD tanggal 1 Februari 2013 sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD KabGarut Nomor 01 Tahun 2013 tanggal 1 Februari 2013 menyampaikan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri tentang usul pemberhentian H. Aceng H.M Fikri, S.Ag. sebagai Bupati Garut. Dan kemudian Presiden melalui Menteri Dalam Negeri memutuskan mengesahkan pemberhentian tersebut melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17/P Tahun 2003 tanggal 20 Februari 2013.

1.7 Metode Penelitian

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan- pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema khusus ke tema-tema yang umum, dan

  

  menafsirkan makna data. etode ini digunakan agar dapat mengumpulkan data dan fakta secara jelas dan akurat sehingga pada pembahasan dapat dideskripsikan dan diinterpretasikan masalah yang diteliti secara jelas dan gamblang tanpa manipulasi.

1.7.1 Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian dalam penelitian ini dilakukan di lingkungan Kantor DPRDKabupaten Karo yang beralamat di Jalan Veteran No. 10 Kabanjahe.Lokasi ini dipilih oleh peneliti mengingat narasumber utama dari penelitian ini adalah anggota DPRD yang berperan langsung dalam pemutusan pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti.

1.7.2 Tekhnik Pengumpulan Data

  Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (obcervation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka peneliti dalam penelitian ini menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut :

  a) Data Sekunder, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research) Library Research atau Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara menghimpun

  buku-buku, makalah-makalah, dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tekhnik wawancara sistematik.Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, berupa buku bacaan, artikel, makalah, jurnal, majalah/surat kabar serta website yang berkaitan dengan penelitian.

  b) Data Primer, yaitu Penelitian Lapangan (Field Research)

  Penelitian ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan yang mengetahui benar masalah yang diteliti, atau yang terlibat langsung dengan masalah yang diteliti. Adapun informan atau narasumber dalam penelitian ini adalah Effendy Sinukaban, SE (Ketua DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014),Onasis Sitepu, ST (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014), Jidin Ginting, SH (Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kabupaten Karo Periode 2014- 2019), Julianus Paulus Sembiring, S.Pd (Perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Karo), Irwan Sitepu (Wakil Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo), dan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti .Ketua dan Wakil Ketua DPRD Periode 2009-2014 ini dipilih sebagai narasumber karena merekalah yang berperan langsung dan aktif dalam pemberhentian Bupati Karo Kena Ukur Jambi Surbakti sehingga mereka dikira yang paling layak untuk diwawancarai sebagai narasumber utama. Bapak Julianus Sembiring juga dipilih sebagai narasumber karena ia selaku ketua Gerakan Masyarakat Peduli Karo (GMPK) yang juga sebagai garda terdepan yang memobilisasi massa dalam proses pemberhentian Bupati Kena Ukur Karo Jambi, Bapak Jidin Ginting sebagai Ketua Fraksi dari Partai Demokrat (Partai Kena Ukur saat ini) yang sedang duduk di DPRD Kabupaten Karo. Bapak Irwan Sitepu sebagai Wakil Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo, Partai Mantan Bupati Karo Jambi dan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sendiri sebagai oknum yang diberhentikan.

1.8 Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II PROFIL KABUPATEN KARO Bab ini terdiri dari Profil Kabupaten Karo, Profil Pemerintahan Kabupaten Karo, Profil DPRD Kabupaten Karo, dan Profil DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo serta Profil Kena Ukur Karo Jambi Surbakti. BAB III PROSES PEMBERHENTIAN BUPATI KARO, KENA UKUR KARO SURBAKTI OLEH DPRD KABUPATEN KARO Bab ini akan mendeskripsikan serta menganalisis proses pemberhentian Bupati Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015 oleh DPRD Kabupaten Karo. BAB IV PENUTUP Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran yang diperlukan setelah dilakukannya penelitian.