Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERILAKU PEMILIH ETNIS KARO DALAM

PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN KARO PERIODE

2010-2015

SKRIPSI Diajukan Oleh: Irma S. J Sebayang

080901063

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Irma S.J Sebayang

Nim : 080901063 Departemen : Sosiologi

Judul : Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten

Karo Periode 2010-2015

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen ,

(Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si) NIP.1960066141986011002 NIP.196603181989032001

Dekan FISIP USU,

(Prof.Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

NAMA : IRMA S . J SEBAYANG NIM :080901063

PERILAKU PEMILIH ETNIS KARO DALAM PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN KARO PERIODE 2010-2015

ABSTRAK

Pemilihan kepala daerah secara langsung terkait dengan peran masyarakat dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik atau pasangan calon yang ada. Pemilihan kepala daerah juga berkaitan dengan perilaku pemilih masyarakatnya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi preferensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu faktor tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku pemilih di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih etnis Karo dalam pemilihan Bupati Karo Tahun 2010. Peelitian ini dilakukan di Kabupaten Karo. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less design, dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominant (qualitative-dominant) sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant (quantitative-less). Untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dilakukan melalui wawancara dengan informan, observasi, jurnal dan internet yang masih berkautan dengan penelitian. Data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan melalui teknik analisis data.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sampai kepada interpretasi data dan analisis data, dapat diketahui bahwa masyarakat etnis Karo di Kabupaten Karo untuk menjadi Bupati atau Kepala Daerah harus sesuku atau dilihat dari orientasi budaya masyarakat Karo sebagai hal yang terutama dalam pemilihan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Pengasih karena atas berkat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015”, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar Sarjana Sosiologi.

Terimakasih yang tak terhingga kepada Orang tua saya, Papa I. Sebayang dan Mama N. Ginting yang selalu memberikan dukungan yang luar biasa dan motivasi serta selalu mendoakan Irma tiada henti. Semua itu menjadi penyemangat buat Irma untuk bisa menjadi lebih baik lagi Buat adek ku tercinta Maldini Julianta Sebayang jangan melawan dan jangan bandel lagi dek ku turuti apa kata orang tua ya. Juga buat keluarga besar Sebayang Mergana dan Ginting Mergana yang telah banyak membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terimaksih yang sebesarnya kepada: 1. Bapak Prof.Dr. Baddaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin M.SP selaku Sekretaris Jurusan.

4. Bapak Drs.Junjungan SBP Simanjuntak, M.Si. selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan dengan sabar dan petunjuk dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Seluruh dosen yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan dan memberikan pengetahuan yang lebih kepada saya selama ini.

6. Kak Feni dan Kak Beti yang telah banyak membantu selama ini terutama

dalam urusan administrasi di kampus.

7. Kepada pimpinan dan staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

8. Mama Fery dan Mami Catherine, yang telah banyak membantu dalam


(5)

9. Kepala Desa beserta perangkat desa yang ada di Kabupaten Karo yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk skripsi ini.

10.Seluruh Informan yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis sangat terbantu dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Kepada pimpinan dan Staf KPUD Kabupaten Karo yang telah membantu

penulis dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk skripsi ini.

12.Kepada sahabat-sahabatku (Dewi Sartika Sebayang, Sarah Latranita

Ginting) yang menjadi tempat keluh kesah dan tempat menghilangkan semua penat. Terimakasih juga buat motivasi yang kalian berikan buat penulis sehingga menjadi penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini

13.Kepada teman-temanku stambuk 2008 Eninta Barus, Yan Berlianta

Sembiring, Salmen Sembiring, Desi, Okta, Robby, Riama, Sylvia, Frina, Grace, Wistin, dll yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satuyang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan buat stambuk 2008 yang telah wisuda jangan sombong ya kalau sudah sukses dan yang belum wisuda tetap semangat, jangan menyerah.

14.Buat semua orang-orang yang mendoakanku dan mendukungku selalu di

setiap waktu yang mungkin belum bisa disebutkan satu per satu, terima kasih banyak. Doaku selalu menyertai kalian. Aku yakin dan percaya Semua Indah Pada Waktunya. Semoga keberhasilan selalu menyelimuti kita semua. Tuhan Memberkati.

Akhirnya peneliti hanya bisa memanjatkan doa kepada Tuhan Yesus semoga segala kebaikan dan kemurahan hati serta dukungan yang diberikan dibalas yang berlipat-lipat lagi dari Tuhan. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang bersifat membangun sanat diharapkan dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Medan, Mei 201


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR TABEL...viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah...1

I.2 Perumusan Masalah...7

I.3 TujuanPenelitian...8

I.4 Manfaat Penelitian...8

I.5 Definisi Konsep...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Parsons: Tindakan Sosial...11

II.2 Konsep Perilaku Pemilih...16

II.3 Konsep Etnisitas...18

II.3.1 Pengertian Etnik...18


(7)

II.4 Konsep

Pilkada...24

BAB III METODE PENELITIAN III.1 Jenis Penelitian...26

III.2 Lokasi Penelitian...26

III.3 Unit Analisis dan Informan ...27

III.3.1 Unit Analisis...27

III.3.2 Informan ... 27

III.4 Teknik Pengumpulan Data...27

III.5 Interpretasi Data...29

III.6 Bagan Penelitian ...30

III.7 Jadwal Kegiatan ...31

III.8 Keterbatasan Penelitian...31

BAB IV TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA IV.1 Sejarah Kekuasaan Kabupaten Karo...33

IV.2 Gambaran Umum Kabupaten Karo...41

IV.2.1 Letak Geografis Kabupaten Karo...41

IV.2.2 Data Kependudukan Kabupaten Karo...43

IV.2.3 Data Agama Kabupaten Karo...45


(8)

IV.2.5 Data Kesehatan Kabupaten Karo...49

IV.3 Lambang Kabupaten Karo...50

IV.4 Visi dan Misi Pembangunan Kabupaten Karo...52

IV.4.1 Visi Pembangunan Kabupaten Karo...52

IV.4.2 Misi Pembangunan Kabupaten Karo...52

IV.5 Profil Informan...53

IV.5.1 Informan Catherine Evalina Br Tarigan...53

IV.5.2 Informan Sehate Br Tarigan...61

IV.5.3 Informan Magdalena Br Tarigan...68

IV.5.4 Informan Roni Sembiring...75

IV.5.5 Informan Fery Purba...82

IV.5.6 Informan Mekmek Br Ginting...89

IV.5.7 Informan Raskami Br Sembiring...95

IV.5.8 Informan Karbetta Karosekali...102

IV.5.9 Informan Hasil Sitepu...109

IV.5.10 Informan Sugiarto Ginting...116

IV.5.11 Informan Jadi Malem Sebayang...123

IV.5.12 Informan Kasman Ginting...130

IV.5.13 Informan Baginda Ginting...138

IV.5.14 Informan Edy Sureta Sebayang...144

IV.5.15 Informan Agustina Br Sebayang...151


(9)

IV.5.17 Informan Timotius Ginting...165

IV.5.18 Informan Jaminta Sembiring...172

IV.6 Temuan Data Penelitaian Terhadap Perilaku Pemilih Etnis Karo...179

IV.6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerilakuPemilih...179

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan...188

V.2 Saran...191

DAFTAR PUSTAKA...193 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nama Pemimpin Kabupaten

Karo...40 Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kabupaten

Karo...43 Tabel 3 Jumlah Agama yang Dianut Masyarakat Kabupaten

Karo...45 Tabel 4 Jumlah Sarana Ibadah di Kabupaten

Karo...46 Tabel 5 Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten

Karo...48 Tabel 6 Jumlah Sarana Kesehatan di Kabupaten


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

NAMA : IRMA S . J SEBAYANG NIM :080901063

PERILAKU PEMILIH ETNIS KARO DALAM PEMILIHAN BUPATI KABUPATEN KARO PERIODE 2010-2015

ABSTRAK

Pemilihan kepala daerah secara langsung terkait dengan peran masyarakat dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik atau pasangan calon yang ada. Pemilihan kepala daerah juga berkaitan dengan perilaku pemilih masyarakatnya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi preferensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu faktor tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku pemilih di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih etnis Karo dalam pemilihan Bupati Karo Tahun 2010. Peelitian ini dilakukan di Kabupaten Karo. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less design, dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominant (qualitative-dominant) sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant (quantitative-less). Untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dilakukan melalui wawancara dengan informan, observasi, jurnal dan internet yang masih berkautan dengan penelitian. Data-data dan informasi yang telah diperoleh dari lapangan diinterpretasikan melalui teknik analisis data.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sampai kepada interpretasi data dan analisis data, dapat diketahui bahwa masyarakat etnis Karo di Kabupaten Karo untuk menjadi Bupati atau Kepala Daerah harus sesuku atau dilihat dari orientasi budaya masyarakat Karo sebagai hal yang terutama dalam pemilihan.


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam sistem politik yang menganut paham demokrasi, rakyat dipandang sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, hal ini terlihat dimanifestasikan melalui pemilihan umum dimana rakyat memilih langsung orang yang akan duduk memimpin pemerintahan sesuai dengan periode yang berlaku. Pemilihan Bupati secara langsung di kabupaten Tanah Karo pertama sekali dilaksanakan pada tahun 2005 dan berikutnya pada tahun 2010. Hal ini merupakan babakan baru dalam sejarah politik di Kabupaten Karo, dimana berbagai dinamika politik turut mewarnai wajah perpolitikan di kabupaten yang mayoritas penduduknya etnis Karo. Mulai dari propaganda politik, agitasi politik, sosialisasi politik bahkan kekerasan politik tidak jarang terjadi baik sebelum maupun sesudah pemilihan berlangsung.

Aksi-aksi politik ini kadangkala berlangsung secara halus sampai pada yang terlihat vulgar ataupun terang-terangan. Para kandidat tidak hanya melakukan pencitraan saja akan tetapi juga secara tertutup saling menjatuhkan popularitas lawan politiknya. Berbagai kekecewaan yang ada pada pihak yang kalah kadang kala juga diwujudkan dengan tindakan-tindakan yang kurang terpuji sebagaimana yang terjadi pada pemilihan kepala daerah kabupaten Tanah Karo pada tahun 2005, dimana pada saat itu kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo dibakar oleh massa yang keberatan terhadap hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Tanah


(13)

Karo), dimana pada masa itu KPUD Kabupaten Karo menetapkan DD Sinulingga sebagai Bupati terpilih Kabupaten Karo periode 20005-2010.

Sebenarnya segala sesuatu yang menyangkut pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara langsung ini telah diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 56 ayat (1) yang mengatakan bahwa:”Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini diperkuat dengan UU no 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU no. 22 tahun 2007 tentang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati , Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Pemberhentian, Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah.

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Karo, Sumatera Utara dilaksanakan secara serentak pada Rabu, 27 Oktober 2010 mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB di seluruh Kabupaten Karo. Hasil rekapitulassi dari pemilihan umum Bupati tersebut (berdasarkan nomor urut pemenang) adalah sbb: 1. Siti Aminah br Perangin-angin, SE dan Sumihar Sagala, SE 30.804, (19,49%) sebagai peringkat I, 2. Riemenda Ginting, S.H dan Drs. Aksi Bangun , 20.071 (12,70%) sebagai peringkat II, 3. Dr. Sumbul Sembiring, M.Sc dan Prof. DR.H. Paham Ginting, SE, MSc, 18.439 (11,67%) sebagai peringkat IV, 4. Roberto Sinuhaji, SE dan Firman Amin Kaban, BE 7.023 (4,44%) sebagai peringkat IX, 5. Drs. Abednego Sembiring dan Ir. Sanusi Surbakti, MBA 12.024 (7,61%) sebagai peringkat VII, 6. Drs. Nabari Ginting M.Si dan Drs. Paulus Sitepu 14.829 (9,42%) sebagai peringkat VI, 7. Dr. Ir. Petrus dan Komalius


(14)

Tarigan, ST, SH 15.389 (9,74%) sebagai peringkat V, 8. Drs. H.M.Ramli Purba, MM dan Rony Barus 6.965 (4,41%) sebagai peringkat X, 9. DR. (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti dan Terkelin Brahmana, SH 15.310 (16,01%) sebagai peringkat II, 10. Andy Natanael Ginting Manik, SH, MM dan Fakhry Samadin, S.Ag 7.133 (4,51%) sebagai peringkat VIII. (mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada 28/09/2011 pukul 14.00).

Sesuai dengan Peraturan Pemilihan Umum Bupati no 16 Tahun 2010 pasal 46 ayat yang mengatakan bahwa apabila tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, maka dilakukan pemilihan putaran ke II yang diikuti oleh pemenang I dan pemenang ke II. Sehubungan dengan itu pasangan calon yang berhak mengikuti putaran kedua adalah Siti Aminah Br. Perangin-angin dan Salmon Sumihar Sagala (nomor urut 1) yang meraih suara 30.804 suara atau 19.49% , kemudian pasangan Kena Ukur Surbakti (Karo Jambi) dan Terkelin Brahmana (no urut 9) dengan 25.310 suara atau 16.01%.

Putaran ke II pemilukada Kabupaten Karo dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 21 Desember 2010 jam 08.00 WIB sampai dengan jam 13.00 WIB. Hasil rekapitulasi putaran ke II ini adalah pasangan Kena Ukur Surbakti dan Terkelin Brahmana (9) meraih 85.343 suara atau 61.42% mengalahkan Siti Aminah dan Salmon Sumihar Sagala (1) yang meraih 53.598 suara atau 38.58% dari 156.841 jumlah suara yang sah dengan persentase pemilih sekitar (63%) dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) 251.323 Pemilukada Karo 2010. Dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 251.323 orang itu, berarti persentase partisipasi warga dalam pilkada pada putaran kedua tersebut 57.70% dan masyarakat yang tidak memilih sebanyak 42.30 %.


(15)

Hasil persentase pemilihan kepala daerah yang demikian ini sedikit banyak tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkembang di masyarakat, mulai dari kondisi politik dan ekonomi nasional sampai kepada kondisi sosial budaya pada masyarakat setempat. Hal ini akan membentuk perilaku politik masyarakat. Hal lain yang menarik adalah bahwa dari 20 orang calon Bupati dan Wakil Bupati sebagaimana yang disebutkan sebelumnya ternyata hanya 1 orang yang berlatar belakang etnis Batak Toba dan selebihnya berasal dari etnis Karo. Padahal menurut data statistik kabupaten Karo Tahun 2010, distribusi penduduk kabupaten Karo terdiri dari beberapa etnis yang antara lain, Jawa, Batak, Mandailing, Padang, Tionghoa, Tamil, Simalungun dan lain-lain. Mayoritas penduduk Tanah Karo adalah Etnis Karo dimana tentunya pengaruh budaya Karo pada pemilih, baik yang langsung terlibat dalam melaksanakan pilkada tersebut maupun yang tidak langsung akan menjadi signifikan.

Perilaku politik masyarakat pada pemilihan Bupati Kabupaten Karo periode 2010-2015 menarik untuk diapresiasi melalui suatu terlebih mengingat bahwa perilaku pemilih tersebut menentukan keberhasilan suatu pelaksanaan pilkada. Dalam konteks ini perilaku pemilih yang dimaksudkan antara lain adalah pada pelaksanaan kampanye, pada pelaksanaan pemberian suara, dalam keterlibatannya terhadap partai-partai politik, dan juga dalam pengamanan hasil hasil pilkada tersebut.

Pemungutan suara adalah salah satu proses penting dalam tahapan pilkada dimana dalam hal ini tentunya masyarakat mencurahkan pemikiran dan pertimbangan untuk menentukan siapa yang mereka pilih berdasarkan informasi dan data yang mereka peroleh selama ini. Biasanya informasi yang diterima


(16)

masyarakat selain dari mulut kemulut juga melalui informasi media massa ataupun informasi lain pada saat kampamye berlangsung. Bagi pemilih, pemberian suara atau voting merupakan proses yang sangat penting dalam suatu pemilihan umum.

Perilaku pemilih tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, dimana faktor internal antara lain status sosial yang terdiri dari pendidikan, penghasilan, pekerjaan masyarakat tersebut. Selain itu faktor internal itu juga seperti hubungan keluarga yang terdiri dari kedaerahan atau lokalitas, historis, agama dan suku (etnis) dari masyarakat yang bersangkutan. Pada sisi yang lain faktor eksternal antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas yang terdiri dari media kampanye yang digunakan saat sosialisasi, partai politik pendukung calon, dan sebagainya.

Sudijono Sastroatmodjo (1995) mengatakan bahwa kelompok etnis mempunyai peran besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dengan adanya rasa kesukuan atau kedaerahan sehingga dapat mempengaruhi dukungan atau loyalitas seseorang terhadap partai politik atau individu tertentu yang ikut didalam pemilihan umum. Etnis juga dapat mempengaruhi loyalitas terhadap partai tertentu. Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan apabila kita mengabaikan faktor etnis maka dapat menimbulkan kesalahan dalam memahami perpolitikan di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi


(17)

mengandung keterkaitan dengan aspek aspek lain yang diantaranya ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama.

Sehubungan dengan itu maka untuk menganalisis pilkada di Tanah Karo perlu dilihat juga hal hal yang berkaitan dengan budaya yang berkembang pada etnis Karo dewasa ini., dimana budaya pada masyarakat Karo tidak dapat dilepaskan dari: pertama, lima marga ( marga silima) tanpa mengenyampingkan marga-marga yang lainnya . marga silima itu yaitu Karo-Karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-Angin. Kedua , rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Ketiga, tutur siwaluh yang terdiri dari sipermen, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, dan puang kalimbubu.

Konsepsi budaya yang berkembang di masyarakat sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada persepsi maupun sikap politik masyarakat terlebih dalam menyikapi pelaksanaan pilkada di Kabupaten Tanah Karo. Sebagaimana diketahui bahwa pada kehidupan masyarakat terdapat tiga kebudayaan yang mempengaruhi terbentuknya perilaku yaitu : a. kebudayaan nasional, b. kebudayaan sukubangsa, dan c. kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional. Kebudayaan sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana suku bangsa. Kebudayaan


(18)

umum, berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakunya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak dan bersikap.

Berkaitan dengan itu maka dengan adanya kondisi tawar menawar sebagaimana yang berlaku pada prinsip kebudayaan umum dan hal demikian ini juga akan mempengaruhi sikap politik seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Karo. Berdasarkan kenyataan diatas maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis fenomena politik di Tanah Karo melalui penelitian yang berjudul: “Perilaku Pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan dilakukan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini


(19)

adalah: “Bagaimana perilaku pemilih etnis Karo dalam Pilkada di Kabupaten Karo Tahun 2010”?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dari permasalahan di atas adalah:

1. Untuk melihat bagaimana perilaku pemilih etnis Karo dalam pemilihan

Bupati Karo Tahun 2010.

2. Untuk dapat memahami dan menganalisis perilaku pemilih etnis Karo

dalam pemilihan Bupati tersebut.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan dapat menambah wawasan ilmiah bagi mahasiswa

khususnya mahasiswa sosiologi maupun akademis umumnya, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan perilaku pemilih dan etnisitas.

b. Dapat dijadikan model atau acuan dalam melakukan penelitian

yang berkaitan dengan Pemilihan Bupati serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang sosiologi poltik.


(20)

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan agar penulis lebih dapat meningkatkan kemampuan dalam menulus karya ilmiah tentang perilaku pemilih etnis karo dalam Pemilihan Bupati periode 2010-2015 di Kabupaten Karo.

b. Dapat dijadikan acuan atau alat dalam menggerakkan Pemilihan

Bupati di Kabupaten Karo.

c. Dapat dijadikan model atau alat dalam membuat strategi dalam

melaksanakan Pemilihan Bupati pada masa yang akan datang.

1.5 Definisi Konsep

1. Perilaku merupakan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan

kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suat manusia yang sangat mendasar. Menurut Veeger, 1985:3, perilaku selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama.

2. Pemilih merupakan untuk mereka pengaruhi dan meyakinkan agar

mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Dinyatakan sebagai pemilih dalam Pilkada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih.

3. Etnis merupakan golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan

identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. (Koentjaraningrat


(21)

1982:58). Basis sebuah etnis adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya.

4. Karo merupakan suku yang ada di Indonesia. Karo memiliki budaya

tersendiri dari suku lainnya yang merupakan identitas diri bagi masyarakatnya. Adapun aspek budaya Karo terdiri dari Merga, Bahasa, Kesenian dan Adat-istiadat.

5. Pilkada merupaka

wakil kepala daerah secara langsung di setempat yang memenuhi syarat. Pilkada diselenggarakan ol diawasi ol dan Panwaslu Kabupaten.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Parsons: Teori Tindakan Sosial

Tindakan sosial menekankan pada orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai atau standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya (Doyle Paul Johnson 1986: 113).

Prinsip-prinsip dasar ini bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia tanpa memandang konteks budaya tetentu. Untuk mencapai tujuan ini penting untuk membentuk suatu strategi dalam mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang membentuk gejala dan untuk mengembangkan seperangkat kategori dan untuk membahas tipe-tipe kasus yang berbeda khususnya elemen-elemen dasar apa saja yang terdapat, orientasi apa yang berbeda yang dapat ditujukan dengan strategi ini., bagaimana orientasi subjektif yang terdapat pada individu berbeda, cocok satu sama lain atau menghasilkan tindakan yang saling tergantung yang membentuk suatu sistem sosial

Untuk menjawab ini Parsons membuat sistem klasifikasi yang paling banyak dikenal atau sering dikutip adalah variabel berpola (pattern variables). Dalam konteks kerangka pilihan Parsons, variabel-variabel ini dilihat lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua (2) elemen dasar yaitu:


(23)

1. Orientasi motivasional

Orientasi ini menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasaan dan mengurangi kekecewaan.

Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu:

a. Dimensi Kognitif yaitu menunjuk pada pengetahuan orang

bertindak mengenai situasinya khususnya dihubungkan pada kebutuhan dan tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dengan satu rangsangan dengan rangsangan lainnya.

b. Dimensi katektif atau emosional yaitu menunjuk pada reaksi

katektif atau emosional dan orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek didalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan, dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan.

c. Dimensi evaluatif yaitu menunjuk pada dasar pilihan sesorang

antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Evaluatif ada karena individu selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan. Untuk itu kemungkinan banyak individu reaksi katektif maka kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif ini merupakan dimensi alternatif.


(24)

2. Orientasi nilai

Orientasi ini menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu:

a. Dimensi kognitif yaitu menunjuk pada standar-standar yang

digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interoretasi kognitif mengenai situasi.

b. Dimensi apresiatif yaitu menunjuk pada standar yang tercakup

pada pengungkapan perasaan atau keterlibatan emosi atau afektif.

c. Dimensi moral yaitu menunjuk pada standar-standar abstrak yang

digunakan unyuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan baik individual maupun sosial dimana tindakan itu berakar.

Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi individu. Dimensi-dimensi ini dapat juga digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Singkatnya, dimensi kognitif berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif, dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai (Doyle Paul Johnson 1986: 113-115).


(25)

Dalam kerangka umum ini, variabel-variabel berpola itu memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja. Pilihan-pilihan itu antara lain yaitu:

1. Afektivitas versus netralitas afektif.

Ini merupakan dilema mengenai apakah mencari atau mengharapkan kepuasaan emosional dari orang lain atau tidak, dalam suatu situasi sosial. Pilihan yang jatuh ke afektivitas akan berarti bahwa orang-orang yang terlibat itu akan berhubungan satu sama lain secara emosional, dan saling memberikan kepuasan secara langsung.

2. Orientasi diri versus orientasi kolektif

Dilema ini berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan. Orientasi diri akan berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas, sedangkan orientasi kolektif akan berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektivitas secara keseluruhan yang harus diprioritaskan. Artinya dimensi moral kolektiflah yang diutamakan.

3. Universalisme versus partikularisme

Dilema ini berhubungan dengan ruang lingkup dari standar-standar normatif yang mengatur suatu hubungan sosial. Pola universalistik mencakup standar-standar yang diterapkan untuk semua orang lain yang dapat diklasifikasikan bersama menurut kategori-kategori yang sudah dibatasi secara impersonal. Sebaliknya, pola partikularistik mencakup standar-standar yang didasarkan pada suatu hubungan


(26)

tertentu yang terdapat pada kedua pihak. Hubungan tertentu itu seperti kelompok, suku, agama ,dan sebagainya.

4. Askripsi versus prestasi

Parsons melihat variabel ini (dan yang berikutnya) berbeda dengan ketiga variabel sebelumnya dalam hal di mana yang diperlihatkan adalah persepsi orang yang bertindak atau klasifikasi orang lain dan bukan orientasi pribadinya. Intinya, orang lain dapat dilihat dan dinilai menurut siapa mereka atau apa yang mereka buat. Dalam askripsi, orang lain diperlakukan menurut mutu atau sifatnya yang khusus yang membatasi keterlibatannya dalam suatu hubungan sosial. Para anggota keluarga misalnya, diperlakukan lain dari orang lain hanya karena keanggotaannya dalam keluarga itu. Sama halnya sifat-sifat atau mutu askriptif seperti latar belakang etnis atau rasialmungkin dipertimbangkan sebagai dasar penilaian perbedaan itu. Sebaliknya, pola prestasi menekankan pada penampilan atau kemampuan yang nyata.

5. Spesifitas versus kekaburan

Seperti variabel diatas, variabel ini juga dilihat Parsons dalam hubungannya dengan persepsi orang lain. Pada dasarnya, variabel ini berhubungan dengan ruang linhgkup keterlibatan seseorang dengan orang lain. Kalau kewajiban timbal-balik itu terbatas dan dibatasi dengan tepat, pola ini bersifat spesifik. Sebaliknya, kalau kepuasan yang diterima atau diberikan kepada orang lain amat luas sifatnya, pola itu bersifat kabur atau tidak menentu.


(27)

Dalam suatu hubungan yang bersifat spesifik, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang yang memberi tuntutan pada orang lain untuk membenarkan tuntutan itu, sedangkan dalam hubungan yang ditandai oleh kekaburan, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang kepada siapa tuntutan itu dijatuhkan untuk menjelaskan mengapa tuntutan itu tidak terpenuhi (Doyle Paul Johnson 1986:116-119).

2.2 Konsep Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih memiliki hubungan erat dengan pemilih itu sendiri dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Ada 5 pendekatan yang digunakan untuk melihat perilaku pemilih yaitu :

1. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial sistem partai dan program-program yang ditonjolkan mungkin berbeda dari suatu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut.


(28)

2. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosilogis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.

3. Pendekatan Ekologis

Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik data kebupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan.

4. Pendekatan Psikologi Sosial

Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.


(29)

5. Pendekatan Rasional

Pendekatan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau penjabat pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untuk dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.

2.3Konsep Etnisitas 2.3.1 Pengertian Etnik

Menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”.(Ariyono Sunoyo: 1985). Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.( Koentjaranigrat 1982:58).


(30)

Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari: ( Payung Bangun 1998:63)

a. Memiliki wilayah sendiri

b. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada

c. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi

d. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri)

e. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman

f. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan

g. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.

Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.


(31)

2.3.2 Etnis Karo

Etnis Karo merupakan etnis yang mendiami salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yait suku Karo didominasi dengan warna perhias

Kehidupan kelompok etnis Karo tidak terlepas dari kebudayaannya sebab, kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Sebagai masyarakat yang terisolir dipedalaman dataran tinggi karo dan sekitarnya, ternyata sebagai sebuah komunitas disana terbentuk juga sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan sang pencipta alam berserta lainnya dan khususnya hubungan antara masyarakat didalamnya. Kesemuaan pola hubungan tersebut dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur disebut dengan budaya. Aspek budaya yang dimana menurut Singarimbun merupakan

identitas masyarakat Karo ada 4 yang meliputi yaitu Merga, Bahasa, Kesenian

dan adat istiadat.

Merga adalah identitas masyarkat Karo yang unik. Bagi orang Karo merga adalah hal yang paling utama dalam identitasnya (Sarjani Tarigan: 16). Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan adalah

merga. Merga berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks

budaya Karo berarti penting. Setelah ditanyakan merga kemudian ditanyakan bere-bere (merga = untuk perempuan disebut beru) yang dibawa ibunya. Setelah


(32)

merga dan bere-bere ditanyakan didapatkan identitas melalui terombo atau silsilah, selanjutnya masuk kepada tema pembicaraan berikutnya. Melalui merga maka masyarakat Karo dapat membuat rakut sitelu atau daliken sitelu, tutur siwaluh dalam kehidupan sehari-hari. Ada 5 merga dalam orang Karo yaitu Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Tarigan dan Sembiring.

Bahasa dan aksara Karo merupakan karya budaya yang memiliki budaya yang tidak ternilai harganya. Suku Karo memiliki aksara, berarti leluhur Karo dulunya sudah pandai baca-tulis alias tidak buta huruf. Menurut Profesor Hendry Guntur Tarigan bahwa Bahasa Karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa Kawi ( Sansekerta/Jawa Kuno).

Kesenian Karo adalah kesenian tradisional yang terdiri dari Gendang dan pakaian adat, bersamaan hadirnya orang Karo. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti adat perkawinan, kematian, dan mengket rumah. Gendang Karo terdiri dari gong, penganak, kecapi, serune surdam. Sedangkan pakaian adat karo terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, gelang sarong, uis arinteneng, uis emas-emas, ragi jenggi dan tapak gajah, kelam-kelam, anting kodang-kodang.

Sedangkan adat istiadat yang paling melekat dalam orang karo adalah

adanya pertama, rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Rakut sitelu atau daliken sitelu terdiri dari tiga puhak yaitu kalimbubu, senina (sembuyak) dan anak beru. Rakut sitelu atau daliken sitelu ini berfungsi sebagai musyawarah adat dan


(33)

kerjasama didalam keluarga. Kalimbubu merupakan sebagai tempat meminta dan tempat bertanya, selalu diperlukan restunya dalam adat dan penghormatan dalam

musyawarah adat. Senina merupakan sukut yang punya pesta. Dan anak beru

merupakan pekerja dalam pesta, yakni yang mengetahui keadaan senina dan kalimbubu, dan menjaga jangan sampai ada yang rusak dalam peradatan. (Sarjani Tarigan: 6-7). Kedua, tutur siwaluh yang artinya konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, terdiri dari delapan golongan yaitu :

1 Puang kalimbubu, yaitu kalimbubu dari kalimbubu seseorang. 2 Kalimbubu, yaitu kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.

3 Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan sub merga yang sama.

4 Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina

yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh

ipedeher (yang jauh menjadi dekat).

5 Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.

6 Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.

7 Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui


(34)

perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri lagi atas:

1. Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

2. Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere bere mama.

8 Anak beru menteri yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata menteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru menteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara


(35)

adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

1. Konsep Pilkada

Pilkada merupaka wakil kepala daerah secara langsung di yang memenuhi syarat untuk itu. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

2. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung.

3. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.

Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.

4. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi

rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran


(36)

kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

5. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.

Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.

6. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi

kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dominant-less design (Creswell,1994), dimana pendekatan kualitatif dijadikan sebagai dominant (qualitative-dominant) sedangkan pendekatan kuantitatif dijadikan sebagai less dominant (quantitative-less dominant). Pendekatan kualitatif yang menekankan pada prosesual di maksudkan agar peneliti dan proses penelitian tidak terjebak pada kerangka pemikiran teoritik yang kaku dan bersifat stereotip. Dengan penekanan pada proses, maka penelusuran data dan informasi secara diakronik akan dilakukan untuk mengetahui dan memahami secara runtun. Penelitian kualitatif ini digunakan dengan metode deskriptif. Maksud dari metode ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi dengan kata-kata dan tindakan-tindakan. Pendekatan deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha memberi gambaran yang jelas tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Dalam hal ini untuk melihat “Perilaku Pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015.”

3.2Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Karo. Adapun alasan memilih lokasi ini adalah karena mayoritas penduduk di Kabupaten Karo berasal dari


(38)

etnis karo dan dalam Pemilihan Bupati Karo 2010 yang lalu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih seperti faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit Analisis Data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek dari penelitian ( Arikunto. 1999:22). Adapun yang menjadi unit analisis ataupun objek kajian dalam penelitian ini adalah Perilaku Pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Bupati di Kabupaten Karo periode 2010-2015.

3.3.2 Informan

Yang menjadi informan pada penelitian ini adalah: Masyarakat Etnis Karo yang terdaftar sebagai pemilih pada Pemilihan Bupati periode 2010-2015.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang bersangkutan secara objektif. Dalam hal ini, untuk memperoleh data yang diperlukan maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan sekunder.

1.Data primer

a. Observasi, yaitu mengamati suatu objek penelitian. Sebagai alat

pengumpul data yang penting, wawancara tidak sepenuhnya memuaskan. Ada jenis-jenis masalah tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh kedua


(39)

alat pengumpul data tersebut. Adakalanya penting untuk melihat perilaku dalam keadaan (setting) alamiah, melihat dinamika, melihat gambaran perilaku berdasarkan situasi yang ada. Dalam hal ini observasi menjadi penting sebagai metode utama untuk mendapatkan informasi tentang “Perilaku Pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Bupati periode 2010-2015.”

b. Wawancara mendalam (depth interview), adalah suatu kegiatan verbal

dengan tujuan mendapatkan informasi. Wawancara merupakan sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Data ini berupa teks hasil wawancara dan diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan informan dalam penelitian. Di samping akan mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi yang penting mengenai “Perilaku Pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Bupati periode 2010-2015.”

7. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informan dari beberapa literature diantaranya, referensi buku-buku, jurnal, majalah ataupun data yang diperoleh dari internet yang dianggap relevan serta berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu, sumber data sekunder diharapkan dapat berperan dalam membantu mengungkapkan data yang diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai pelengkap dan bahan pembanding (Bungin, 2001:129).


(40)

Menurut Moleong (1993:103), analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisa selanjutnya.

Interpretasi data adalah sebuah tahap dalam upaya menyederhanakan data yang telah diperoleh dari hasil penelitian di lapangan maupun dari hasil yang diperoleh dari buku-buku, referensi, internet, jurnal, artikel dan dokumentasi. Data yang telah diperoleh dalam penelitian inilah yang akan diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam kajian pustaka yang telah ditetapkan sampai akhirnya disusun sebagai akhir laporan penelitian ini.

Proses analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara ataupun catatan-catatan lapangan serta hasil kajian pustaka kemudian tahap selanjutnya adalah mereduksi data melalui pembuatan abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan – satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lainnya dan diinterpretasikan secara kualitatif, yaitu proses pengolahan data mulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan.

3.6 Bagan Penelitian


(41)

3.7 Jadwal Kegiatan

Perilaku

pemilih

Agama

Orientasi

budaya

Lokalitas

Historis

Pekerjaa

n

Penghasi

lan

Media

Uang

Kampan

ye

Faktor eksternal

Faktor internal

Partai

politik


(42)

No. Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra survey √

2. Acc judul √

3. Penyusunan proposal

penelitian

√ √

4. Seminar proposal

penelitian

5. Revisi proposal penelitian √

6. Penelitian lapangan √ √

7. Pengumpulan data dan

analisa data

√ √

8. Bimbingan skripsi √ √

9. Penulisan laporan akhir √

10. Sidang meja hijau √

3.8 Keterbatasan Penelitian

Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengalami banyak kendala yang menjadi keterbatasan penelitian. Adapun yang menjadi keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Keterbatasan kemampuan dalam pengalaman yang dimiliki oleh peneliti

untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah.

b. Keterbatasan dalam mendapatkan teori dalam pemahaman analisis data c. Pemilihan teori yang cocok dan analisis yang agak rumit sehingga sangat


(43)

d. Keterbatasan waktu dengan informan karena dipagi dan siang hari para informan bekerja

BAB IV


(44)

4.1 Sejarah Kekuasaan Kabupaten Karo

Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari

kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P.

Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari

pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun

menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka

adalah pemerintahan kaum keluarga.

Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala

kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang

asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung.

Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.

Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu


(45)

dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni:

9. Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama

berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.

b. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan.

Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu


(46)

diper-modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja.

Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain

marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan


(47)

dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak, misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan.

Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan

kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. Seperti diuraikan di atas, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. Dengan sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo.

Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah

Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik


(48)

dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara tak semena-mena untuk jangka waktu 99 tahun (kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau.

Pada masa zaman Belanda , terdapat 5 pemerintahan swapraja pribumi tingkat kerajaan/Landschaap yang dipimpin oleh Sibayak dan 18 Kerajaan Urung yang dipimpin oleh Raja Urung yang merupakan pemerintahan pribumi bawahan atau bagian dari Kerajaan/Landschaap (Ke-Sibayaken).

Adapun kelima pemerintahan Swaja Pribumi atau Landschaap yang dipimpin oleh Sibayak itu adalah:

1. Landschaap Lingga yang berkedudukan di Kabanjahe yang membawahi enam urung yaitu Urung XII Kuta di Kabanjahe, Urung Telu Kuru di Lingga, Urung Lima Senina di Batu Karang, Urung Tiga Pancur di Tiga Pancur, Urung IV Teran di Naman dan Urung Tiganderket di Tiganderket.

2. Landschaap Kuta Buluh yang berkedudukan di Kuta Buluh membawahi dua urung yaitu Urung Namohaji di Kuta Buluh dan Urung Liang Melas di Sampe Raya.


(49)

3. Landschaap Sarinembah yang berkedudukan di Sarinembah membawahi empat urung yaitu urung XVII Kuta di Sarinembah, Urung Perbesi di Perbesi, Urung Juhar di Juhar dan Urung Kuta Bangun di Kuta Bangun.

4. Landschaap Suka membawahi empat urung yaitu urung Suka di Suka, Urung Suka Piring di Seberaya, Urung Ajinembah di Ajinembah dan Urung Tongging di Tongging.

5. Landschaap Barusjahe membawahi dua urung yaitu Urung Sipitu Kuta di Barusjahe dan Urung Sienam Kuta di Sukanalu.

Selain Belanda yang ingin menguasai Tanah Karo, Jepang juga memiliki keinginan yang sama. Pada masa penjajahan Jepang ini susunan pemerintahan di Tanah Karo adalah sama dengan masa penjajahan Belanda, dengan pergantian orang-orangnya yakni yang setia kepada penjajah Jepang.

Seiring berjalannya waktu, maka RI merdeka sehaingga membawa dampak besar bagi seluruh wilayah Indonesia khususnya wilayah Tanah Karo. Pada masa Kemerdekaan RI pemerintahan di Tanah Karo dikepalai oleh Sibayak Ngerajai Milala. Salah satu keputusan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah Kabupaten Karo terdiri dari dua kewedanan yang masing-masing membawahi lima kecamatan dengan susunan sebagai berikut:

Wedana Karo Utara Kendal Keliat membawahi lima camat yaitu:

1. Camat Kabanjahe : Nahar Purba


(50)

3. Camat Tiga Panah : Djamin Karo Sekali

4. Camat Simpang Empat: Nahar Purba

5. Camat Payung : Nitipi Payung

Wedana Karo Selatan Matang Sitepu membawahi lima camat:

1. Camat Tiga Binanga : Pulung Tarigan

2. Camat Juhar : Tandil Tarigan

3. Camat Munthe : Pangkat Sembiring Meliala

4. Camat Kuta Buluh : Masa Sinulingga

5. Camat Mardinding : Tuahta Barus

Dengan demikian setelah terbentuknya NKRI, daerah Karo Jahe (Deli Hulu) dan Silima Kuta (Cingkes) yang sejak revolusi sosial Maret 1946 masuk dari bagian Kabupaten Karo ‘dipaksa’ berpisah. Deli Hulu yang tadinya menjadi satu kewedanan dimasukkan ke dalam bagian Deli Serdang, sedangkan Kecamatan Silima Kuta dimasukkan kedalam wilayah Kabupaten Simalungun.

Adapun Ibu Negeri atau tempat berkantor kepala Pemerintahan Karo (Kabupaten Karo) sejak Indonesia merdeka 1945 hingga sekarang adalah:

1. Kabanjahe, 1945 – 31 Juli 1947

2. Tigabinanga, 31 Juli 1947 – 25 Nopember 1947

3. Lau Baleng, 25 Nopember 1947 – 7 Pebruari 1948

4. Kutacane, 7 Pebruari 1947 – 14 Agustus 1949


(51)

6. Kabanjahe, 17 Agustus 1950 hingga sekarang

Setelah Kabupaten Karo merdeka maka susunan pemerintahan Kabupaten Karo diatur menurut UU No. 22 Tahun 1999 bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legeslatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati dibantu oleh seorang Wakil Bupati.

Sejak terbentuknya Kabupaten Karo hingga saat ini tercatat yang memimpin Kabupaten Karo adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1

Nama PemimpinKabupaten Karo

No Nama Bupati Masa Bakti

1 Ngerajai Milala 1946

2 Rakutta Sembiring Milala 1946-1955

3 Abdulah Eteng

4 Baja Purba

5 Mayor Matang Sitepu

6 Baharudin Sembiring

7 Kol. Tampak Sebayang,

SH

1970-1981


(52)

9 Ir. Menet Ginting 1986-1991

10 Drs. Rupai

Perangin-angin

1991-1995

11 Kol. Drs. D.D.

Sinulinnga

1995-2000

12. Sinar Perangin-angin 2000-2005

13 Kol. Drs. D.D.

Sinulinnga

2005-2010

14 DR (HC) Kena Ukur

Karo Jambi Surbakti

2010-2015

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2010

4.2 Gambaran Umum Kabupaten Karo 4.2.1 Letak Geografis Kabupaten Karo

Secara Geografis letak Kabupaten Karo berada diantara 2º50’–3º19’ Lintang Utara dan97º55’–98º38’ Bujur Timur dengan luas 2.127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi. Dua gunung berapi aktif terletak di wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian 120–1420 M di atas permukaan laut.

Kabupaten Karo merupakan wilayah formal yang memiliki batas-batas secara administratif sebagai berikut:


(53)

• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang.

• Sebelah selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir.

• Sebelah timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

Simalungun

• Sebelah barat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.

Kabupaten Karo beriklim tropis dan mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan pertama mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Januari dan musim kedua pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei, sedangkan musin kemarau biasanya pada bulan Februari, Juni dan Juli. Curah hujan di Kabupaten Karo tahun 2009 tertinggi pada bulan Nopember sebesar 265 MM dan terendah pada bulan Pebruari sebesar 63 MM sedangkan jumlah hari hujan tertinggi pada bulan Nopember sebanyak 22 hari dan terendah pada bulan Juni sebanyak 6 hari. Suhu udara berkisar antara 15,8ºC sampai dengan 23,9ºC dengan kelembaban udara rata-rata setinggi 87,38 persen.

Secara Administrasi Kabupaten Karo terdiri dari 17 Kecamatan dan 262 Desa/kelurahan (252 Desa dan 10 Kelurahan). Pusat Pemerintahan Kabupaten Karo berada di Kabanjahe. Dari 262 Desa/Kelurahan di Kabupaten Karo, 10 desa diklasifikasikan Swadaya, 113 desa diklasifikasikan Swakarya dan 139 desa tergolong Swasembada. Jumlah Dana yang dialokasikanterhadap pembangunan desa pada tahun 2009 sebesar Rp 6.575.000.000,-


(54)

4.2.2 Data Kependudukan Kabupaten Karo

Hasil Sensus tahun 2009 penduduk Kabupaten Karo berjumlah 370.619 jiwa dengan kepadatan penduduk diperkirakan sebesar 174,22 jiwa/ Km² yang terdapat di 17 kecamatan yakni Mardinding, Laubaleng, Tigabinanga, Juhar, Munte, Kutabuluh, Payung, Tiganderket, Simpang Empat, Naman Teran, Merdeka, Kabanjahe, Berastagi, Tigapanah, Dolat Rayat, Merek, dan Barusjahe. Untuk lebih lengkapnya penulis membuat tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin dirinci menurut Kabupaten Karo Tahun 2009

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex rasio

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Mardinding 8323 8294 16 617 100,35

2 Laubaleng 10072 10283 20 355 97,95

3 Tigabinanga 10 033 9 869 19 902 101,66

4 Juhar 6 704 7 513 14 217 89,23

5 Munte 10 745 10 841 21 586 99,11

6 Kutabuluh 6 199 6 308 12 507 98,27

7 Payung 5 552 5 757 11 309 96,44

8 Tiganderket 7 124 7 455 14 579 95,56

9 Simpang

Empat

10 462 10 627 21 089 98,45


(55)

11 Merdeka 6 608 6 610 13 218 99,97

12 Kabanjahe 31 856 32 134 63 990 99,13

13 Berastagi 21 863 24 823 46 686 88,08

14 Tigapanah 16 291 16 811 33 102 96,91

15 Dolat Rayat 4 256 4 317 8 573 98,59

16 Merek 8 084 8 046 16 130 100,47

17 Barusjahe 11 977 12 130 24 107 98,74

Jumlah : Tahun 2009

182 497 188 122 370 619 97,01

Tahun 2008 177 637 183 243 360 880 96,94

Tahun 2007 172 862 178 506 351 368 96,84

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2010

Dilihat dari data kependudukan di atas, maka jumlah penduduk yang paling padat terdapat di kecamatan Kabanjahe dengan jumlah penduduk 63 990 jiwa. Sedangkan kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah kecamatan Dolat Rayat dengan jumlah penduduk 8573 jiwa. Jumlah laki-laki dengan jumlah perempuan dapat dilihat bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Laki-laki berjumlah 182 497 jiwa dan perempuan berjumlah 188 122 jiwa serta sex rasionya 97,01. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah perempuan mendominasi di kabupaten Karo.

Dengan lebih banyaknya junlah penduduk perempuan maka dapat diartikan bahwa pada Pilkada 2010 yang berpotensi menang adalah calon Bupati laki-laki. Hal itu disebabkan karena para wanita Karo lebih banyak memilih calon


(56)

Bupati laki-laki karena lebih memiliki kharisma, dan kepribadian yang baik, ganteng, dan budaya patriarki.

4.2.3 Data tentang Agama/ Kepercayaan Kabupaten Karo

Penduduk kabupaten Karo merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama yakni agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik Hindu dan Budha.Kehidupan keagamaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa semakin berkembang sehingga terbina hidup rukun diantara sesama umat beragama. Kerukunan antar umat beragama tersebut menjadikan penduduk merasa brsatu dan tetap memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Adapun komposisi mengenai tempat ibadah umat beragama diKabupaten Karo adalah Masjid, Gereja, Langgar dan kelenteng.

Untuk lebih lenkapnya penulis membuat tabel sebagai berikut Tabel 4.3

Jumlah Agama atau Kepercayaan yang Di anut Masyarakat Kabupaten Karo Tahun 2009

No Agama/Kepercayaan Jumlah Persentase

1 Islam 89495 jiwa 24,74%

2 Kristen Protestan 188 539 jiwa 52,12%

3 Kristen Khatolik 71 553 jiwa 19,78%

4 Hindu 7457 jiwa 2,06%

5 Budha 881 jiwa 0,24%

6 Lainnya 3845 jiwa 1,06%


(57)

Dilihat dari data agama atau kepercayaan pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa agama atau kepercayaan mayoritas yang dianut adalah agama Islam dengan jumlah 188 539 jiwa atau dengan persentase 52,12%. Sedangkan agama atau kepercayaan minoritas yang dianut adalah agama Budha dengan jumlah 881 jiwa atau dengan persentase 0,24%.

Tabel 4.4

Jumlah Sarana Ibadah di Kabupaten Karo Tahun 2009

No Kecamatan Mesjid Surau/

Langgar

Gereja Protestan

Gereja Khatolik

Pura Vihara

1 Mardinding 10 - 30 9 1 -

-

2 Laubaleng 8 4 37 9 1 -

3 Tigabinanga 14 2 41 13 - -

4 Juhar 7 - 33 13 - -

5 Munte 12 3 36 15 2 -

6 Kutabuluh 4 2 30 8 3 -

7 Payung 6 - 14 5 - -

8 Tiganderket 15 2 26 4 1 -

9 Simpang

Empat

9 1 29 5 - -

10 Naman

Teran


(58)

11 Merdeka 15 - 10 3 - 1

12 Kabanjahe 17 15 48 12 - 1

13 Berastagi 13 16 31 8 - -

14 Tigapanah 7 2 51 14 - -

15 Dolat Rayat 4 - 17 2 - -

16 Merek 4 3 35 9 - -

17 Barusjahe 7 1 48 15 - -

Jumlah 164 51 538 148 8 2

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2010

Rumah ibadah merupakan tempat masyarakat untuk bersembahyang atau berdoa menurut agama atau kepercayaan yang di anut. Hal ini dapat dilihat pada data dalam tabel diatas, bahwa Kabupaten Karo mempunyai tempat beribadah yang di dominasi oleh rumah ibadah atau Gereja Protestan yang berjumlah 538 bangunan. Sedangkan rumah ibadah lainnya seperti Mesjid berjumlah 164 bangunan , diikuti juga jumlah rumah ibadah Gereja Khatolik yang berjumlah 148 bangunan, dan rumah ibadah Langgar/Surau yang berjumlah 51 bangunan, dan rumah ibadah Pura yang berjumlah 8 bangunan, serta rumah ibadah Vihara yang berjumlah 2 bangunan. Data diatas juga menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Karo merupakan masyarakat yang beragama karena terdapat 911 tempat ibadah. Tempat ibadah merupakan salah satu simbol agama.


(59)

4.2.3 Data Pendidikan Kabupaten Karo

Sektor Pendidikan merupakan salah satu pilar yang mendukung program pembangunan daerah, disamping sektor kesehatan.Di bidang pendidikan, wilayah Kabupaten Karo merupakan daerah pendidikan. Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antar keluarga, masyarakat dan sekolah. Dibawah ini dapat dilihat tabel mengenai tingkat pendidikan di kabupaten Karo:

Tabel 4.5

Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Karo Tahun 2009

No Tingkat Pendidikan Unit

1 SD Negeri 253

2 SD Swasta 33

3 SLTP Negeri 39

4 SLTP Swasta 25

5 SLTA Negeri 17

6 SLTA Swasta 17

7 STM,SMEA,SMK Negeri + Swasta 11

8 Madrasah Negeri + Swasta 8

9 Perguruan Tinggi 5

Jumlah 408


(60)

Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di kabupaten Karo sudah berkembang. Jumlah sekolah ada sebanyak 408 unit . dengan demikian pendidikan yang diberikan kepada generasi penerus dapat berjalan dengan lancar di mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai pada pendidikan tingkat mahasiswa. Sehingga dengan tingkat pendidikan masyarakat yang cukup berkembang seharusnya nilai-nilai yang baik sudah tertanam dalam diri mereka.

4.2.4 Data Kesehatan Kabupaten Karo

Ketersediaan sarana kesehatan merupakan salah satu faktor untuk perbaikan kualitas hidup. Kesehatan merupakan hal yang terpenting bagi manusia. Tanpa kesehatan manusia tidak berarti. Oleh karena itu kesehatan merupakan tanggung jawab bersama bagi masyarakat. Dibawah ini dapat dilihat tabel mengenai data kesehatan di Kabupaten Karo:

Tabel 4.6

Jumlah Sarana Kesehatan di kabupaten Karo Tahun 2009

No Sarana Kesehatan Unit

1 Rumah Sakit 6

2 Puskesmas 19

3 Puskesmas Pembantu 258

4 Balai Pengobatan Umum 93

5 Posyandu 401

Jumlah 777


(61)

Tabel di atas menunjukkan bahwa sarana kesehatan di kabupaten Karo sudah berkembang. Jumlah sarana kesehatan ada 777 unit. Sehingga kesehatan yang diberikan kepada masyarakat dapat berjalan lancar. Jumlah rumah sakit di Kabupaten Karo tahun 2009 ada sebanyak 6 buah yang hanya berada dikecamatan Kabanjahe sebanyak 4 buah dan Berastagi sebanyak 2 buah. Pada kecamatan lainnya hanya terdapat sarana kesehatan berupa Puskesmas atau praktek dokter serta rumah bersalin.

Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kabupaten Karo sangat mementingkan kesehatan. Hal ini dapat dilihat di Penang banyak sekali masyarakat Karo yang berobat dan mengecek kesehatannya.

4.3 Lambang Kabupaten Karo


(62)

BINTANG LIMA, melambangkan bahwa suku Karo terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yang terdiri dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I

PADI, melambangkan Kemakmuran yang terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia (R.I)

BUNGA KAPAS, melambangkan keadilan sosial, cukup sandang pangan yang terdiri dari 8 buah sesuai dengan bulan kemerdekaan R.I

KEPALA KERBAU, melambangkan semangat kerja dan keberanian

TUGU BAMBU RUNCING, melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan R.I

MARKISA, KOL dan JERUK, melambangkan hasil pertanian spesifik Karo yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo

JAMBUR SAPO PAGE, melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung (tempat menyimpan padi)

UIS ARINTENENG, melambangkan kesentosaan


(63)

4.4Visi Dan Misi Pembangunan Kabupaten Karo 4.4.1 Visi Pembangunan Kabupaten Karo

Tewujudnya Masyarakat Karo yang Makmur dan Sejahtera Berbasis Pembangunan Pertanian dan Pariwisata yang Berwawasan Lingkungan.

4.4.2 Misi Pembangunan Kabupaten Karo

1. Meningkatkan kapasitas dan profesionalisme aparatur.

2. Meningkatkan produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian sektor

unggulan yang berdaya saing melalui dukungan agro industri.

3. Membangun dan atau meningkatkan kuantitas dan kualitas daerah tujuan

wisata yang mampu meningkatkan kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara.

4. Membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang menjangkau

sentra produksi, kawasan strategis dan wilayah terisolir yang memiliki dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi daerah.

5. Menjamin dan meningkatkan kuantitas serta kualitas pelayanan kesehatan

bagi masyarakat secara merata.

6. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan yang saling

bersinergi dan berkelanjutan.

7. Meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan.

8. Melakukan harmonisasi dan sinergitas hubungan antar tingkat pemerintahan dalam pembangunan kewilayahan melalui pemantapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) secara berkelanjutan.


(64)

9. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan SDM masyarakat.

4.5 Profil Informan

4.5.1 Catherine Evalina Br tarigan

Catherine merupakan perempuan yang berusia 24 tahun dan sudah menikah. Catherine lahir di Medan pada tanggal 19 April 1981. Catherine tinggal di desa Tigapanah bersama suaminya. Catherine bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Karo. Catherine adalah anak pertama dari 5 bersaudara. Catherine memiliki pendidikan terakhir D3 Akuntansi. Catherine menganut agama Kristen Protestan.

Catherine memiliki penghasilan Rp 1.800.000,00 per bulan. Menurutnya, dengan penghasilannya ia cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan masih bisa menabung karena suaminya juga berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Catherine tidak memiliki pekerjaan sampingan bahkan pekerjaannya tidak terkait dengan salah satu partai politik. Pekerjaan Catherine terkait dengan beberapa organisasi kemasyarakatan seperti KNPI, KONI, dan pengurus cabang olahraga di Kabupaten Karo.Organisasi yang di ikuti Catherine ini tidak aktif mengikuti dinamika politik lokal seperti pilkada. Menurutnya, tidak ada salah satu atau lebih calon Bupati yang berusaha mendapatkan dukungan dari organisasi yang di ikutinya. Ia senantiasa mengikuti ibadah agama dan ia pun mengetahui ada calon-calon Bupati yang meminta dukungan dari organisasi-organisasi keagamaan. Menurutnya, ada juga calon-calon Bupati yang memberikan bantuan


(65)

atau sumbangan kepada organisasi keagamaannya. Menurutnya juga bahwa ada tokoh-tokoh agama yang mendukung salah satu calon Bupati. Catherine memilih calon Bupati tidak sesuai dengan agama yang di anutnya karena agama apapun calon Bupati yang dipilihnya itu kalau memiliki kualitas dan kuantitas yang baik maka ia patut diberikan kesempatan untuk memimpin.

Catherine sangat setuju bahwa yang menjadi Bupati Karo harus berasal dari suku Karo karena menurutnya hanya orang yang sesuku yang mengerti masyarakatnya sendiri. Catherine mengetahui fungsi marga/beru di dalam setiap pergaulan dengan sesama etnis Karo. Menurutnya, fungsi marga/beru itu untuk mengetahui tutur kepada orang lain yang baru kita kenal sehingga kita bisa lebih akrab kepada orang lain. Selain itu, dia juga merasakan manfaat marga/beru dalam kehidupan sehari-hari. Catherine senantiasa menjalankan adat-istiadat dalam kehidupan sehari-hari dan mengetahui adat-istiadat dalam budaya Karo dari keluarganya dan buku budaya Karo yang dibacanya. Apalagi setelah menikah adat-istiadat Karo dan acara-acara adat itu penting sekali. Karena jika tidak mengetahuinya maka orang tua ataupun saudara-saudara mengatakan “la eradat”. Bagi Catherine ucapan itu sangat kasar sehingga ia dan suaminya berusaha untuk mempelajari adat-istiadat Karo. Catherine dan suaminya sering sekali mengikuti acara-acara adat seperti maba belo selambar, erdemu bayu (pernikahan), orang meningal, mesur-mesuri (7 bulanan). Menurutnya, acara-acara adat yang ia ikuti tidak merepotkannya karena pada saat acara adat yang ia ikuti itu ia bisa bertemu dengan saudara-saudaranya yang dekat maupun yang jauh sehingga hubungan persaudaraan itu lebih erat. Selain adat-istiadat dalam Budaya Karo juga ada aturan adat. Bagi Catherine, ia tidak selalu mengikuti aturan-aturan adat karena


(66)

masih ada aturan adat yang masih bertentangan dengan agama seperti kepercayaan terhadap mitos atau nenek moyang. Adat istiadat Karo itu juga ada dalam perpolitikan pada saat Pilkada. Apalagi ketika Pilkada putaran I dan Pilkada putaran II banyak tokoh-tokoh adat atau ketua-ketua marga yang berpengaruh dan ikut mengampanyekan dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2010 karena masyarakat pada umumnya yakin dengan yang dikatakan tokoh-tokoh adat ataupun ketua-ketua marga sebab mereka dianggap lebih berpengalaman.

Catherine mengetahui silsilah keluarganya dan ia sangat rajin

menghubungi/berhubungan dengan keluarga-keluarganya baik dalam keadaan suka maupun duka.

Catherine tidak mengetahui nama-nama seluruh calon Bupati pada Pilkada 2010. Dia mengetahui beberapa calon Bupati dari poster, spanduk, kartu nama yang diberikan, dan selebaran-selebaran. Catherine mengetahui fungsi dari rakut sitelu atau tutur siwaluh dalam masyarakat Karo. Catherine merasa perlu mengetahuinya karena rakut sitelu ataupun tutur siwaluh sangat penting dalam masyarakat Karo. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana cara kita menghormati dan menghargai orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Selain dalam pergaulan sehari-hari, dalam perpolitikan hubungan rakut sitelu atau tutur siwaluh terkadang ada. Ketika putaran Pilkada I dan putaran Pilkada II Catherine memilih calon Bupati yang ada hubungan rakut sitelu atau tutur siwaluh dengan dirinya walupun sebenarnya tidak mengenalinya secara lebih dekat dan bukan saudara.

Di desa Tigapanah ini ada acara kerja tahun. Menurut Catherine para calon Bupati ikut berperan atau memberi sumbangan baik materi maupun tenaga dalam


(1)

85.Apakah anda pernah mendengar istilah money politik?

86.Apakah anda mengetahui ada calon-calon bupati yang melakukan money politik?

87.Menurut anda apakah money politik tersebut berpengaruh terhadap pilihan calon Bupati?

88.Apakah anda memilih salah satu calon Bupati karena adanya uang yang diberikan?

89.Bila anda mengetahui adanya money politik, kapan uang itu diserahkan? 90.Pernahkah anda mendengar serangan fajar?

91.Menurut anda apakah serangan fajar tersebut bisa mempengaruhi pilihan masyarakat terhadap calon Bupati?

Media

92.Apakah anda selalu membaca Koran?

93.Kalau ada berita Koran tentang Tanah Karo apakah anda merasa tertarik membacanya?

94.Jika ya mengapa? Jika tidak mengapa? 95.Apakah anda selalu menonton TV?

96.Apakah anda tertarik menonton acara-acara/berita-berita yang berkaitan dengan politik?

97.Jika ya mengapa? Jika tidak mengapa?


(2)

100. Apakah anda tertarik juga dengan berita-berita seperti berita politik yang disiarkan melalui radio?

101. Jika ya mengapa? Jika tidak mengapa?

102. Menurut anda apakah ada pengaruh media dalam menentukan pilihan calon Bupati?

103. Menurut anda media apa saja yang paling berpengaruh dalam menentukan pilihan calon Bupati?

Kampanye

104. Apakah anda mengetahui apa itu kampanye?

105. Apa tanggapan anda ketika mendengar kampanye para calon Bupati?

106. Menurut anda apakah kampanye berpengaruh besar dalam memilih calon Bupati?

107. Apakah kampanye melalui media massa berpengaruh terhadap pilihan anda?

108. Apakah anda mengetahui visi-misi dari calon Bupati yang anda pilih pada pilkada?

109. Apakah anda memilih calon Bupati karena visi dan misinya yang dibawa dalam kampanye yang dianggap baik?

110. Menurut anda apakah visi-misi calon-calon Bupati tersebut berpengaruh terhadap pilihan anda dalam pilkada?


(3)

111. Pernahkah anda mengikuti selama proses kampanye Pilkada, berapa kali Saudara mengikuti kampanye tersebut, jenis kampanye apa yang anda ikuti?

112. Apakah anda hadir mengikuti kampanye untuk semua calon Bupati?

113. Jika ya, bentuk kampanye pasangan calon Bupati mana yang anda sukai?

114. Berapa kali anda mengikuti kampanye?

115. Apakah anda hadir mengikuti kampanye karena diundang/diajak oleh salah satu partai pendukung calon?

116. Anda mengikuti kampanye pasangan calon Bupati-wakil Bupati yang mana?

117. Apa yang mendorong anda untuk ikut dalam kampanye?

118. Apakah dengan mengikuti kampanye tersebut anda mendapat uang saku atau uang transport?

Partai politik

119. Apakah anda mengetahui apa itu partai politik? 120. Seberapa jauh anda mengetahui tentang partai politik? 121. Apakah anda ikut tergabung dalam partai politi

122. Anda ikut bergabung dalam partai politik apa? 123. Apa jabatan anda didalam partai politik tersebut?


(4)

125. Apa manfaat yang anda dapatkan ketika bergabung didalam partai tersebut?

126. Apakah ada pendidikan politik yang anda peroleh didalam partai politik?

127. Apakah anda memilih calon Bupati sesuai dengan dukungan partai politik yang anda pilih pada pemilu legislatif yang lalu?

128. Menurut anda apakah partai politik aktif mensosialisasikan calon bupati yang didukungnya?

129. Apakah anda memilih calon Bupati karena anda memiliki hubungan dengan partai politik ybs?

130. Bagaimana perasaan anda jika calon Bupati yang anda pilih menang?

131. Jika menang calon yang anda pilih, apa harapan anda?

132. Jika menang apakah ada dampak yang dibawa oleh parati yang mendukung calon Bupati ?

133. Bagaimana perasaan anda jika calon Bupati yang anda pilih kalah? 134. Jika kalah calon yang anda pilih, bagaimana anda mengekspresi

kekecewaan anda?

135. Apakah anda hadir di TPS tepat pada waktunya? 136. Apakah anda hadir di TPS karena dibawa orang lain? 137. Apakah anda hadir di TPS karena anjuran orang lain? 138. Apakah anda pergi ke TPS dengan membawa orang lain? 139. Setelah memilih di TPS apakah anda langsung pulang? 140. Jika ya mengapa langsung pulang? Jika tidak mengapa?


(5)

141. Apakah anda mengikuti perhitungan suara?

142. Mengapa anda mengikuti perhitungan suara? Mengapa pula anda tidak mengikuti perhitungan suara?

143. Apakah anda juga menganjurkan orang lain supaya memilih sesuai dengan pilihan anda?

144. Jika ya mengapa (apa alasannya), jika tidak mengapa (apa alasannya)

145. Apakah anda mengetahui Pilkada sebelum Pilkada 2010?

146. Kapan anda memutuskan untuk memilih salah satu dari calon yang ada?

a. Pada saat di TPS

b. 1 hari sebelum pemilihan c. 1 minggu sebelum pemilihan d. 2 minggu sebelum pemilihan e. 1 bulan sebelum pemilihan f. Dst

147. Apakah anda memahami bahwa pilkada akan memilih pemimpin yang akan memimpin masyarakat Karo dalam pembangunan 5 tahun mendatang?

148. Mengapa anda tidak ikut memilih pada saat pilkada? 149. Apakah calon bupati yang anda pilih menang?


(6)