Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

(1)

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

Studi kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

Desya Caronina Cibro 110906082

Dosen Pembimbing : Husnul Isa Harahap S.Sos., M.Si.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DESYA CARONINA CIBRO (110906082)

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015).

Rincian isi skripsi, 103 halaman, 9 tabel, 1 gambar, 19 buku, 2 jurnal, 2 skripsi, 2 dokumen, 6 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis tentang proses pemberhentian Kepala Daerah, Bupati Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti. Dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang disoroti dalam pasal 29 ayat 4 Tentang Pemberhentian Kepala Daerah, jika Kepala Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjut DPRD mengusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD. Pada tahun 2014 DPRD Kabupaten Karo memberhentikan atau memakzulkan Kena Ukur dari jabatannya karena dinilai melanggar etika dan moral, akan tetapi tidak semua orang mengetahui bagaimana proses dari pemakzulan ini sendiri.

Teori pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kekuasaan dari Robert Dahl.Teori ini dipakai untuk menganalisis bagaimana DPRD maupun Kena Ukur sebagai Bupati mampu menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimilikinya yang mana pengaruh ini berdampak bagi dirinya, kelompok atau masyarakat umumnya.Teori kedua adalah teori komunikasi politik dari Rusadi Kantaprawira.Teori ini digunakan untuk menganalisis bagaimana penyampaian orientasi pemikiran politik yang dimiliki DPRD maupun Kena Ukur dalam rangka meraih atau mempertahankan kekuasaan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.

Proses pemberhentian Kepala Daerah dalam hal ini Kena Ukur Surbakti sebagai Bupati Karo berawal dari adanya pengaduan masyarakat ke DPRD Karo, pengaduan ini kemudian dibawa dalam rapat dan disetujui untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk mengajukan pemberhentian Kena Ukur ke Presiden melalui Mahkamah Agung. Hingga akhirnya putusan Mahkamah Agung ini menghasilkan Surat Keterangan Presiden untuk memberhentikan Kena Ukur melalui Gubernur, Kemendagri dan Sesneg.


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DESYA CARONINA CIBRO (110906082)

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015).

Content,

103 pages, 9 tabels, 1 graphich, 19 books, 2 journals, 2 thesis, 2 document, 6 websites.

ABSTRACT

This study describes and analyzes about the dismissal of the Head of Region,

Regent Karo Karo Taxable Measure Surbakti Jambi. In Law No. 23 Year 2004 on

Regional Government, one of which is highlighted in article 29, paragraph 4 On

Dismissal of Regional Head, if the Regional Head violated the oath and promise

then follow up Parliament propose to the President of the Supreme Court decision

based on the opinion of Parliament. In 2014 Parliament Karo dismiss or impeach

Taxable Measure from his position because it is considered unethical and morally,

but not everyone knows how the process of impeachment itself.

The first theory used in this research is the theory of the power of Robert

Dahl. This theory is used to analyze how the Parliament nor taxable Measure as

regent able to use the resources of its influence which has implications for his

influence, group or society in general. The second theory is the theory of political

communication of Rusadi Kantaprawira. This theory is used to analyze how the

delivery of political thinking owned orientation Parliament and Taxable Measure

in order to gain or maintain power. The method used is a method of qualitative

research with descriptive data analysis techniques. Data was collected by interview

and literature study.

Regional Head dismissal process in this case Taxable Measure Surbakti as

Regent of Karo originated from the public reports to Parliament Karo, this

complaint was taken in a meeting and agreed to exercise the right of interpellation,

the right of inquiry, and freedom of expression to propose the dismissal of Taxable

Measure to the President through Supreme Court. Until the Supreme Court's

decision ultimately produce a Certificate of Taxable Measure the President to

dismiss the Governor, Ministry of Home Affairs and the secretary of state.

(Keywords: Dismissal, Regional Head, Process, DPRD).


(4)

Karya ini dipersembahkan untuk

Ayahanda dan Ibunda Tercinta


(5)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Allah Bapa Yang Maha Pengasih, Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemberhentian Kepala Daerah (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015)” ini . Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari kasih karunia Yesus Kristus, sejak penulis menjadi Mahasiswa Ilmu Politik hingga akhirnya mampu menyelesaikan perkuliahan ini.“ Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2: 6-7).

Skripsi ini menjelaskan tentang proses pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti. Proses ini berkenaan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Proses pemberhentian ini diawali dengan adanya pengaduan dari masyarakat terhadap kekecewaan atas etika dan moral Kena Ukur. Pengaduan ini kemudian berujung pada pengajuan pemberhentian Kena Ukur ke Presiden oleh DPRD Karo melalui Mahkamah Agung hingga akhirnya putusan Mahkamah Agung ini menghasilkan Surat Keterangan Presiden untuk memberhentikan Kena Ukur melalui Gubernur, Kemendagri dan Sesneg. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak bagi perbaikan skripsi ini.

Terimakasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada seluruh keluarga tercinta, terutama kepada Bapak Jaminan Cibro dan Ibunda Dermi Banurea, abang Welly Cibro dan Eben Cibro, kakak tersayang Asnita Novarina Cibro, adik Krisye Cibro, tante Wiwik serta Adi Bintang atas setiap kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis. Semoga Tuhan Yesus Kristus menyertai kalian semua.


(6)

Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Husnul Isa Harahap, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bantuan dan bimbingan berupa kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis.

4. Dosen serta Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Bang Burhan, Kak Ema, dan Kak Siti yang selalu memudahkan penulis dalam setiap urusan administrasi.

6. Informan dalam penelitian ini yaitu Bapak Kena Ukur Surbakti, Bapak Effendy Sinukaban, Bapak Onasis Sitepu, Bapak Julianus Sembiring, Bapak Jidin Ginting, dan Bapak Irwan Sitepu.

7. Teman-teman terkasihku Politik 2011 Wulan, Rina, April, Qomaria dan Rezika (nama siapun yang disebut duluan sama saja aku mengasihi kalian), mbak Alamanda, Yakson, Nota, Anug, Delpri, Efatha, Mezbah, Adam, Hayatun, Fira, Farah, Kevin, Irwindi, Mantily, Titin, Novelly, Pasrah, Christian, Saipul, Lambok, Yosef, Rio, Nesyandry, Sandry, Hugo, Novzel, Teddy, Reny, Mujahid, Uti, Rachel, Ajo, Helda, Topel, Jefry, Rizal, Timbul, serta Tari dan Bang Jeki Purba dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan disini. Sukses untuk kita semua kawan-kawanku!

Medan, 16 April 2015

Desya Caronina Cibro 110906082


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Lembar Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar isi ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Kerangka Teori ... 11

1.5.1 Teori Kekuasaan ... 12

1.5.2 Teori Komunikasi Politik ... 19

1.6 Studi Terdahulu Pemberhentian Kepala Daerah ... 21

1.7.2 Metode Penelitian ... 25

1.7.2 Lokasi Penelitian ... 25

1.7.2 Tekhnik Pengumpulan Data ... 26

1.8 Sistematika Penulisan ... 28

BAB II : PROFIL KABUPATEN 2.1 Profil Kabupaten Karo ... 30

2.2 Profil Pemerintahan Kabupaten Karo ... 38

2.3 Profil DPRD Kabupaten Karo ... 46

2.4 Profil DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo dan Profil Kena Ukur Karo Jambi Surbakti ... 53

BAB III : PROSES PEMBERHENTIAN BUPATI KARO, KENA UKUR KARO JAMBI SURBAKTI OLEH DPRD KABUPATEN KARO 3.1 Penerimaan Format Pengaduan Dari Masyarakat ... 63

3.2 Tindak Lanjut Atas Pengaduan Masyarakat ... 71

3.3 Pelaksanaan Putusan DPRD Terhadap Pemberhentian Kena Ukur Karo Jambi Surbakti ... 80

3.4 Kendala Dalam Proses Pemberhentian Bupati Karo ... 88

BAB IV : PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 98

4.2 Saran ... 103


(8)

DAFTAR TABEL Daftar Tabel

Tabel 2.1 Luas Wilayah ... 33

Tabel 2.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Per Kecamatan Tahun 2013... 35

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan di Kabupaten Karo Tahun 2013 ...36

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Penganut Agama di Kabupaten Karo ... 37

Tabel 2.5 Nama Pemimpin Kabupaten Karo ...41

Tabel 2.6 Ketua DPRD Kabupaten Karo ... 48

Tabel 2.7 Anggota DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ... 50

Tabel 2.8 Keputusan DPRD Kabupaten Karo ... 51


(9)

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Struktur Kepengurusan DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo masa bhakti 2011-2016 ... 55


(10)

Daftar Lampiran :

Lampiran 1. Transkip Wawancara dengan Bapak Onasis Sitepu

Lampiran 2. Transkip Wawancara dengan Bapak Effendy Sinukaban

Lampiran 3. Transkip Wawancara dengan Bapak Julianus Sembiring

Lampiran 4. Transkip Wawancara dengan Bapak Irwan Sitepu

Lampiran 5. Transkip Wawancara dengan Bapak Kena Ukur Surbakti

Lampiran 6. Transkip Wawancara dengan Bapak Jidin Ginting


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DESYA CARONINA CIBRO (110906082)

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015).

Rincian isi skripsi, 103 halaman, 9 tabel, 1 gambar, 19 buku, 2 jurnal, 2 skripsi, 2 dokumen, 6 situs internet.

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis tentang proses pemberhentian Kepala Daerah, Bupati Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti. Dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang disoroti dalam pasal 29 ayat 4 Tentang Pemberhentian Kepala Daerah, jika Kepala Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjut DPRD mengusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD. Pada tahun 2014 DPRD Kabupaten Karo memberhentikan atau memakzulkan Kena Ukur dari jabatannya karena dinilai melanggar etika dan moral, akan tetapi tidak semua orang mengetahui bagaimana proses dari pemakzulan ini sendiri.

Teori pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kekuasaan dari Robert Dahl.Teori ini dipakai untuk menganalisis bagaimana DPRD maupun Kena Ukur sebagai Bupati mampu menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimilikinya yang mana pengaruh ini berdampak bagi dirinya, kelompok atau masyarakat umumnya.Teori kedua adalah teori komunikasi politik dari Rusadi Kantaprawira.Teori ini digunakan untuk menganalisis bagaimana penyampaian orientasi pemikiran politik yang dimiliki DPRD maupun Kena Ukur dalam rangka meraih atau mempertahankan kekuasaan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.

Proses pemberhentian Kepala Daerah dalam hal ini Kena Ukur Surbakti sebagai Bupati Karo berawal dari adanya pengaduan masyarakat ke DPRD Karo, pengaduan ini kemudian dibawa dalam rapat dan disetujui untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk mengajukan pemberhentian Kena Ukur ke Presiden melalui Mahkamah Agung. Hingga akhirnya putusan Mahkamah Agung ini menghasilkan Surat Keterangan Presiden untuk memberhentikan Kena Ukur melalui Gubernur, Kemendagri dan Sesneg.


(12)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DESYA CARONINA CIBRO (110906082)

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015).

Content,

103 pages, 9 tabels, 1 graphich, 19 books, 2 journals, 2 thesis, 2 document, 6 websites.

ABSTRACT

This study describes and analyzes about the dismissal of the Head of Region,

Regent Karo Karo Taxable Measure Surbakti Jambi. In Law No. 23 Year 2004 on

Regional Government, one of which is highlighted in article 29, paragraph 4 On

Dismissal of Regional Head, if the Regional Head violated the oath and promise

then follow up Parliament propose to the President of the Supreme Court decision

based on the opinion of Parliament. In 2014 Parliament Karo dismiss or impeach

Taxable Measure from his position because it is considered unethical and morally,

but not everyone knows how the process of impeachment itself.

The first theory used in this research is the theory of the power of Robert

Dahl. This theory is used to analyze how the Parliament nor taxable Measure as

regent able to use the resources of its influence which has implications for his

influence, group or society in general. The second theory is the theory of political

communication of Rusadi Kantaprawira. This theory is used to analyze how the

delivery of political thinking owned orientation Parliament and Taxable Measure

in order to gain or maintain power. The method used is a method of qualitative

research with descriptive data analysis techniques. Data was collected by interview

and literature study.

Regional Head dismissal process in this case Taxable Measure Surbakti as

Regent of Karo originated from the public reports to Parliament Karo, this

complaint was taken in a meeting and agreed to exercise the right of interpellation,

the right of inquiry, and freedom of expression to propose the dismissal of Taxable

Measure to the President through Supreme Court. Until the Supreme Court's

decision ultimately produce a Certificate of Taxable Measure the President to

dismiss the Governor, Ministry of Home Affairs and the secretary of state.

(Keywords: Dismissal, Regional Head, Process, DPRD).


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari kajian utamanya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara. Dalam pembagian kewenangan ini mengenai susunan Pemerintah Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan pemerintahan Daerah terdiri dari eksekutif daerah yang dipegang oleh pemerintah daerah (kepala daerah), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah, yang selanjutnya akan disebut DPRD. Sebagai suatu organ yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kedua organ tersebut (Kepala Daerah dan DPRD) memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUDNKRI 1945, yakni ketentuan Pasal 18 yang semula hanya terdiri dari satu pasal berubah menjadi tiga pasal. Sejalan dengan perubahan Pasal 18 tersebut, tampak sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Paradigma yang dimaksud adalah :1

1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Yang diharapkan di masa depan tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah.

1

Bagir Manan,Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hal.229.


(14)

2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas-luasnya. Semua fungsi pemerintahan dibidang adminsistrasi negara (administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh pemerintahan daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.

3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan rumah tangga tidak perlu seragam atau sama. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar cultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati satu kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap) dan berbagai hak teradisionalnya. Satuan pemerintahan yang asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.

5. Pemerintahan daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara), kesejahteraan (seperti D.I Yogyakarta) atau karena keadaan sosial cultural (seperti D.I Aceh).

6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum.

7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan selaras dan adil.

Ketujuh pokok pikiran dari paradigma yang di gariskan dalam Pasal 18, 18A dan Pasal 18B. Perubahan kedua UUDNKRI 1945 tersebut diatas sama sekali tidak dijumpai pengaturan tentang hubungan kewenangan DPRD dengan Kepala Derah.Selain UUD 1945 (sebelum dan Pasca Perubahan) belum mengatur hubungan kewenangan antara organ pemerintah daerah dimaksud secara jelas, juga beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah ada menunjukkan pasang-surut sehingga dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu


(15)

mengalami perubahan. Artinya pada suatu saat masa atau periode lainnya terjadi perubahan yaitu kewenangan DPRD yang lebih kuat (dominan) dibandingkan dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Indria Samego mensinyalir bahwa dengan posisi menguatnya fungsi DPRD, DPRD dengan relatif mudah melakukan “pemerasan” terhadap pihak eksekutif. Hal ini bisa saja mengakibatkan terhalangnya proses otonomi daerah yang diharapkan.2

2

Indria Samego, “Masalah Good Govermance di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah”. Jurnal Demokrasi & HAM vol 2.NO.2(Juni-September 2002), hal.63.

Berangkat dari otonomi daerah tersebut,dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang disoroti dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemberhentian Kepala Daerah, jika Kepala Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjut DPRD mengusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD. Dalam hal melakukan pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan dalam dua mekanisme yaitu Pertama, kepala daerah diberhentikan dengan usulan dan atau keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disetujui oleh presiden, kedua pemberhentian kepala daerah oleh presiden tanpa usulan dan atau keputusan DPR. Apabila kepala daerah diperkirakan telah melakukan penyelewengan, maka, harus diadakan penyelidikan dengan persetujuan presiden. Pemberhentian kepala daerah dapat dilaksanakan hanya berdasarkan atas hukum dan peraturan yang diberlakukan tanpa adanya kepentingan. Pemberhentian atas usulan DPRD apabila terjadi krisis kepercayaan maka DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya, penggunaan hak angket setelah mendapat persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya3/4 dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.


(16)

Pemberhentian kepala daerah atas usulan DPRD tersebut diatas baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan, setelah DPRD Karo membuat surat permohonan kepada Mahkamah Agung untuk memberhentikan DR (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sebagai Bupati Kabupaten Karo masa jabatan 2010-2015. Kena Ukur Karo Surbakti terpilih melalui pemilihan umum secara demokratis di Kabupaten Karo, hasil pemilihan ini di sahkan setelah mengadakan pemilihan putaran kedua pada Kamis 23 Desember 2010 di Berastagi. Kena Ukur yang berpasangan dengan Terkelin Berahmana menang dengan perolehan suara sebanyak 86.938 suara (61,9%) yang unggul di 14 Kecamatan dari 17 Kecamatan di Karo.3

Kekecewaan yang berujung pemberhentian ini dilatar belakangi berbagai masalah termasuk lambatnya penanganan pengungsi bencana alam letusan Gunung Sinabung. Ada lima hal mendasar yang menjadi alasan dari pemberhentian Bupati ini, yaitu tentang adanya dugaan perselingkuhan sang Bupati dengan Mendang br Ginting Alias Molek, wanita yang selama ini dikenal dekat dengan bupati. Kedua kasus tuduhan jual beli jabatan di Pemkab Karo. Ketiga, tentang pelanggaran sumpah jabatan dalam pendirian Yayasan Pendidikan Karo Jambi. Keempat, pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh Bupati Karo atas surat panggilan DPRD Karo dan yang kelima adalah terkait sumbangan pihak ketiga ke kas Pemda Karo dari penambang Dolomit Masa jabatan Kena Ukur Surbakti akhirnya harus diberhentikan karena banyaknya tuntutan dari masyarakat atas kepemimpinan Karo Jambi Surbakti, kekecewaan dari masyarakat Kabupaten Karo ini akhirnya disalurkan melalui wakil mereka yaitu DPRD karena mereka lah yang dikira mempunyai wewenang dalam pengambilan keputusan secara pemerintahan.

3

Adhif, “Karo Jambi unggul Pemilukada Karo Putaran Kedua”[Koran online],(Karo: KAROPress, 2010), tersedia di: http://karopress.wordpress.com/2010/12/21/karo-jambi-unggul-pemilukada-karo-putaran-kedua/#more-1339; diakses 16 Desember 2014.


(17)

yang terindikasi korupsi.4DPRD Karo diketahui membentuk pansus hak angket untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran jabatan dan etika yang dilakukan Bupati Karo setelah mendapat tekanan hebat dari publik. Keputusan pemberhentian ini diambil melalui Rapat Paripurna Hak Angket yang dilaksanakan oleh anggota DPRD Kabupaten Karo yang dihadiri oleh 33 anggota dari 35 anggota DPRD. Panitia hak angket kemudian membuat usulan pemberhentian, lalu ditindaklanjuti DPRD dengan mengajukannya ke MA pada 13 Januari 2014.5

a. Meninggal dunia,

Pada prinsipnya pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan pada masa jabatannya dan pada akhir masa jabatan. Namun dalam hal ini yang perlu dikaji adalah jika seorang kepala daerah diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai, sebab jika seorang kepala daerah diberhentikan apabila memenuhi alasan pada pasal 29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam hal Pemberhentian Kepala Daerah yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah berhenti karena :

b. Permintaan sendiri c. Diberhentikan karena:

Dalam pembahasan ini yang dipersoalkan jika seorang kepala Daerah diberhentikan. Sebagai mana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena :

4

“Lima Alasan DPRD Rekomendasikan Pemakzulan Bupati Karo”[Harian online], (Medan:

MEDANBAGUS.COM,2013), tersedia di: 10 Mei 2014.

5

“DPRD pecat Bupati Karo”[Harian Online], (Medan:,Harian JURNAL ASIA, 2014), tersedia d


(18)

a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan.

c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau Kepala Daerah.

d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau wakil kepala Daerah.

e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau kepala Daerah. f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala Daerah.

Apabila salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang 32 Tahun 2004 dilanggar oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini DPRD mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi maupun ditingkat kabupaten dan kota, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota ”. Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD diberi kewenangan dalam mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah, dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung Atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat melanggar sumpah dan janji/jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan.


(19)

2. Pendapat DPRD diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. 3. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPRD paling

lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima mahkamah agung dan putusan bersifat final.

4. Apabila mahkamah agung memutuskan bahwa Kepala daerah dan / atau kepala daerah terbukti melanggar sumpah / janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban. DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/wakil kepala daerah kepada presiden.

5. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.6

Berbicara dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu.Namun, Undang-undang No 32 Tahun 2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi, tetapi langsung ke Mahkamah Agung. Proses pemberhentian kepala daerah, menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, lama, berbelit, dan agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa benar kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan tidak melaksanakan kewajibannya maka tindaklanjutnya oleh DPRD mengadakan rapat paripurna untuk menindaklanjuti Putusan

6


(20)

Mahkamah Agung, apakah putusan Mahkamah Agung dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum.

Saat ini Bupati Karo, Kena Ukur Karo Surbakti sudah resmi di berhentikan oleh Presiden menjabat pada saat itu yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dengan Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 57/P Tahun 2014 tanggal 1 Juli 2014, dimana hal ini merupakan tindak lanjut atas usulan pemberhentian atau pemakzulan Bupati Karo periode 2010-2015 Kena Ukur Jambi Surbakti oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Karo berdasarkan hasil Sidang Paripurna DPRD pada Maret 2013 lalu.7

7

”Bupati Karo diberhentikan Presiden” [Harian Online], (Medan: KOMPAS.com, 2014) tersedia di:

Hal inilah yang ingin menjadi fokus penelitian peneliti, yaitu untuk melihat dan dapat mendeskripsikan dengan data dan fakta serta informasi yang akurat tentang bagaimana sebenarnya proses pemberhentian Bupati Kena Ukur Surbakti di lingkungan DPRD Kabupaten Karo.

1.2 Rumusan Masalah

Pemberhentian Bupati di Kabupaten Karo ini merupakan kali pertama dalam sejarah pemerintahan Kabupaten Karo.Dimana, tampuk kekuasaan tertinggi disebuah Kabupeten berhasil dilengserkan melalui kekuasaan (hak) DPRD dengan dorongan dan dukungan masyarakat setempat. Banyak asumsi yang bermunculan di kalangan masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Kabupaten Karo mengenai alasan pemberhentian maupun proses pemberhentian dari Bupati Periode 2010-2015 ini. Sehingga diperlukan data dan fakta mengenai proses pemberhentian ini. Hal inilah yang dianggap menarik oleh peneliti sehingga muncul rumusan masalah yaitu: bagaimana proses pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Periode 2010-2015 oleh DPRD Kabupaten Karo ?

2014.


(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan profil lengkap Kabupaten Karo, pemerintahan Kabupaten Karo, Keadaan Penduduk serta data Anggota DPRD Kabupaten Karo.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti oleh DPRD Kabupaten Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak secara umum, yaitu :

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai pemerintahan daerah khususnya yang berkenaan dengan pemberhentian Kepala Daerah.

2. Bagi dunia penelitian, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dalam kajian ilmu Pemerintahan Daerah, serta dapat memberi pengembangan dalam penulisan karya ilmiah bagi para peneliti selanjutnya.

3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. Tulisan ini juga diharapkan mampu menjadi masukan bagi pemerintah daerah, dan DPRD khusunya dalam rangka mewujudkan fungsi kontrol antara DPRD dan Kepala Daerah.


(22)

1.5 Kerangka Teori

Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana menyoroti masalah yang telah dipilih. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.8 Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subaygo pada buku Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang berhubungan satu sama lain, satu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.9

Kalau konsep kekuasaan itu ditempatkan dalam atau sebagai pemikiran politik, dan sekaligus dengan itu menunjukkan bahwa kekusasaan dilihat sebagai hakekat politik dan dengan demikian, proses politik adalah serentetan atau serangkaian peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau tekhnik menjalankan kekuasaan atau masalah-masalah pelaksanaan kontrol kekuasaan atau pembentukan dan penguasaan kekuasaan.

1.5.1 Teori Kekuasaan Politik

10

Interpretasi politik dengan berdasarkan pada konsep kekuasaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, memberikan sifat kepada ilmu politik sebagai ilmu tentang kekuasaan.Cara penafsiran ilmu politik sebagai ilmu yang mempelajari tentang kekuasaan dianggap relatif baru; yang secara khusus, di sini ditekankan peranan kekuasaan sebagai konsep politik dalam ilmu

8

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 9

Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997. hal.20.

10


(23)

politik, atau dalam kehidupan sosial.11Jikalau demikian halnya, pada akhirnya politik itu hanya merupakan sejumlah teori tentang golongan yang berkuasa.Teori tentang elite, kelas-kelas politik (rulling class). Maka oleh sebab itu kekuasaan dapat dipandang sebagai gejala (fenomena) yang senantiasa terdapat di dalam proses politik. Konsep kekuasaan dengan menempatkannya dalam proses politik atau dalam konteks proses politik maka konsep kekuasaan yang berkaitan erat dengan perilaku politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Robert Dahl dalam mana (A) memiliki kekuasaan atas (B). Apabila (A) dapat mempengaruhi (B) untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh (B).Maksudnya, apabila (A) mempengaruhi (B) untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kehendak (B), hubungan tersebut tidak dapat dikatakan sebaai hubungan kekuasaan.12

Maka dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Robert A Dahl itu, tentang kekuasaan adalah persoalan bagaimana kita dapat mengetahui secara empirik apakah peilaku yang dipengaruhi tersebut sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Dengan demikian, kekuasaan politik itu adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber, pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain itu berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Atau dalam pengertian yang lebih sempit bahwa yang diartikan dengan kekuasaan politik adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan tersebut menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya.13

Kekuasaan merupakan suatu kemampuan (kapabilitas) untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi

11

Ibid.,hal. 39

12

P Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.hal.51 13


(24)

perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan, khususnya umtuk mempengaruhi perilaku orang lain. Sementara paksaaan adalah kemampuan untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan dengan melalui cara yang tidak sah atau tidak memiliki legitimasi. Sedangkan otoritas (kewenangan) merupakan suatu legitimasi (hak) atas dasar suatu kepercayaan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Jadi, kewenangan adalah merupakan suatu bentuk kekuasaan yang sah atau memiliki legitimasi.Legitimasi atau keabsahan atas kekuasaan merupakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif, tidak bisa seperti itu. Artinya, tanpa adanya legitimasi kekuasaan, tindakan seseorang baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, tidak akan dapat dilaksanakan.14

1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier,janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketudukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.

Ada 6 (enam) sumber daya kekuasaan menurut Wahidin khususnya secara formal adminsitratif sebagaimana yang dikutip oleh Antonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul

Teori-teori Politik, yaitu sebagai berikut:

2. Kekuasaan paksaan (coercive power) berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan.

14


(25)

Kekuasaan akan menjadi motivasi bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.

3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power) kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai-nilai intern yang sah untuk memengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seseorang lain ditentukan sebagai pimpinannya petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bias juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang yang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan.

4. Kekuasaan pengendalian atas informasi ( control of information power)kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan di mana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.

5. Kekuasaan panutan (refent power), kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiositas


(26)

direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaanya.

6. Kekuasaan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempahan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam keahliannya itu, seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiiknya karena ada kepentingan terhadap kelahlian sang pemimpin.15

Montesquieu mencetuskan trias politica yang tidak semata-mata membagi-bagi kekuasaan di dalam Negara akan tetapi dalam waktu bersamaan ia menyampaikan ide-ide yang lebih tegas yakni dengan memisahkan kekuasaan di dalam Negara itu secara nyata menjadi tiga bagian dengan otoritas masing-masing. Ketiga kekuasaan yang dimaksud oleh Montesquieu itu berkesetaraan, dalam arti tidak ada kekuasaan yang bersifat sub-ordinat antara satu kekuasaan dengan kekuasaan lainnya. Kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah,

1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang (UU) yang natinya dijadikan sebagai patokan utuk berinteraksi baik secara kelembagaan ataupun individual di dalam Negara;

2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang (UU) yang memiiki kekuasaan untuk melaksanakan penerapan Undang-Undang (UU) tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakannya.

15


(27)

3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar yang menegakkan Undang-Undang (UU) serta mengadili yang melanggar Undang-Undang (UU) dengan segala konsekuensinya.

Dengan melalui teori ini Charles-Louis de Secondat de Montesque (1689-1755), mengharapkan agar ada jaminan untuk kemerdekaaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang Raja atau pihak penguasa.Pemikiran ini sering dinamakan teori “pemisahan kekuasaan dalam Negara” atau Trias Politica.Maka untuk lebih memperjelas persoalannya perlu diberikan teori atau konsep dan doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power).Mengenai konsep atau teori trias politika ini, di dalam perkembangan pemikirannya, bahwa konsep atau teori Trias Politika itu adalah merupakan sebuah doktrin tentang pembagian kekuasaan (distribution of power).Baik pemisahan kekuasaan (separation of power) mempunyai maupun pembagian kekuasaan (distribution of power) mempunyai argumentasi yang didasarkan kepada kontekstualitas yang berbeda.Oleh karena itu yang diperlukan dalam hubungan ini bukan kebenaran atau baik yang mengartikan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) ataupun yang mengartikannya sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power).16

Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.

1.5.2 Komunikasi Politik

17

16

Ibid.,hal. 68-69. 17

Astrid, S. Soesanto, Dr Phil., Komunikasi Sosial di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1980.hal 2.

Dalam komunikasi politik ini (political communication) Rusadi Kantaprawira


(28)

Politikmemfokuskan pada kegunaannya, yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, ataupun sector kehidupan politik masyarakat dengan sector kehidupan politik pemerintah. Dengan demikian segala pola pemikiran, ide atau upaya untuk mencapai pengaruh, hanya dengan komunikasi dapat tercapainya segala sesuatu yag diharapkan, karena pada hakekatnya segala pikiran atau ide dan kebijaksanaan (policy) harus ada yang menyampaikan dan ada yang menerimanya, proses tersebut adalah komunikasi.

Dilihat dari tujuan politik “an sich”, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya kelompok manusia yang mempunyai orientasi pemikiran politik atau ideologi tertentu didalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan, dengan kekuasaan mana tujuan pemikiran politik dan ideologi tersebut dapat diwujudkan.18 Dr Astrid mengungkapkan bahwa komunikasi politik merupakan suatu kegiatan prapolitik melalui kegiatan mana akan terjadiah realisasi penghubungan atau pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup Negara, disamping itu komunikasi politik merupakan sarana pendidikan politik atau sosialisasi politik dalam hubungannya dengan kehidupan kenegaraan.19

Disinilah letak pentingnya politik, karena melalui pendidikan politik, dapat dibentuk suatu pola tingkah laku dan pola berfikir politik sesuai dengan tujuan politik itu sendiri. Selanjutnya karena komunikasi politik itu tidak hanya dalam kegiatan secara internal dalam lingkup Negara, tapi juga meliputi kegiatan komunikasi secara eksternal dalam hubungannya dengan komunikasi internasional, maka perlu dikemukakan pula suatu pengertian apa itu komunikasi politik internasional. Dalam hal ini dapat dikemukakan pendapat dari W. Philips Davison dan Alexander L. George melalui suntingan Drs. Sastropoetro dalam judul buku Komunikasi Internasional yang

18

Drs.Sumarno, AP, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989. hal.9. 19


(29)

menyatakan sebagai berikut: “By International Political Communication we refer to the use by national states of communication to influencethe politically relevant behavior of people in other nation state”20

Apa yang dikemukakan oleh Philips dan Alexander pada intinya menunjukkan bahwa komuikasi politik internasional yaitu komuikasi yang dilakukan oleh suatu Negara nasional (national states) untuk mempengaruhi tigkah laku politik Negara lain. Dari uraian dan pendapat para ilmuwan tersebut, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa komunikasi politik mempunyai lingkup pembahasan yang sangat luas, tidak hanya membahas bagaimana komunikasi dapat digunakan di dalam mencapai kekuasaan dan tujuan politik secara internal tapi juga bagaimana suatu system yang berlangsung dapat dipertahankan dan dialih generasikan. Dan dalam kehiatan keluar, bagaimana komunikasi dapat digunakan dalam upaya mempengaruhi Negara lain di dalam mencapai tujuan politik negaranya, atau secara minimal dapat terwujudnya suatu hubungan yang saling menguntungkan diantara dua atau lebih Negara yang mengadakan komunikasi.21

Dalam penelitian ini peneliti memaparkan dua penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang pemberhentian Kepala Daerah. Pertama, Nadia Mashita (2010) dalam skripsinya yang berjudul "Proses Pemberhentian Kepala Daerah Oleh DPRD (Studi Kasus Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kampar Tahun 2004)". Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang terjadinya pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten 1.6 Studi Terdahulu Pemberhentian Kepala Daerah

20

Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional, Sarana interkasi antar Bangsa, Bandung: Alumni. 1982.hal.26. 21


(30)

Kampar dari awal permasalahan sampai kepada pengambilan keputusan dan untuk mengetahui faktor pendukung diambilnya keputusan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten Kampar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer.Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), sedangkan data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode wawancara.Narasumber wawancara terdiri dari Anggota DPRD, Bupati dan Wakil Bupati, dan pihak-pihak lain yang terlibat langsung dan berkompeten tentang permasalahan yang diangkat.Data sekunder dan data primer di atas dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif.22

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa latar belakang terjadinya sengketa tentang pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD diawali dengan tuduhan pengusiran oleh PGRI terhadap A.Latief Hasyim oleh Bupati Jefry Noer dalam suatu rapat. Pengusiran ini dianggap oleh para guru sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap profesi guru. Akibatnya timbul protes dari para guru dengan cara melakukan demonstrasi besar-besaran. Selain memprotes pengusiran tersebut para guru menuntut bupati dan wakil bupati mundur dari jabatannya. Aspirasi para guru, murid, elemen dan komponen masayarakat lainnya direalisasikan oleh DPRD dengan mengusulkan pemberhentian Jefry Noer dan A.Zakir, SH.MM kepada Mendagri melalui Gubernur sebagai bupati dan wakil bupati Kampar periode 2001-2006 dengan alasan bahwa telah terjadi krisis kepercayaan publik yang luas terhadap kepemimpinan Jefry Noer dan A.Zakir, SH.MM. Proses yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Kampar sampai pada keputusan, tidak dijalankan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini terlihat bahwa keputusan DPRD bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 22 tahun

22

Nadia Mashita, Proses Pemberhentian Kepala Daerah Oleh DPRD (Studi Kasus Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kampar Tahun 2004 [Skripsi], Pekanbaru:Departemen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. 2010.


(31)

1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000 Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. DPRD terkesan hanya mengedepankan unsur politis dan mengenyampingkan unsur hukumnya.Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati oleh DPRD Kabupaten Kampar subtansinya adalah terjadinya krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, maka aturan yang seharusnya diberlakukan adalah Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000.

Kedua, Mujahid Akbar Suneth (2014) dalam skripsinya yang berjudul " Pemberhentian Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Studi Kasus Bupati Garut).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberhentian Kepala Daerah Kabupaten Garut dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Peraturan Perundang-undangan. Selain itu juga untuk mengetahui kesesuaian pemberhentian Kepala Daerah Kabupaten Garut dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Peraturan Perundang-undangan.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menelusuri artikel-artikel, peraturan perundang undangan, buku-buku, internet, pendapat para sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Dari keseluruhan data yang diperoleh, diolah lalu dianalisis secara kualitatif.Data yang diperoleh dan diolah tersebut kemudian diuraikan secara deskriptif dengan menguraikan, menjabarkan dan menjelaskan permasalahan yang erat kaitannya dengan penulisan.23

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, pemberhentian H.Aceng H. M. Fikri, S.Ag.sebagai Bupati Garut masa jabatan 2009-2014 telah sesuai dengan sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan konstitusi dilanggar antara lain Pasal 1 ayat (3) UUD

23

Mujahid Akbar Suneth, Pemberhentian Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Studi Kasus Bupati Garut)[Skripi], Makassar:Departemen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.2014.


(32)

NRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Kemudian Pasal 18 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota yang mana mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang. Dan UU No 32Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemberhentian Bupati Garut dimulai dengan surat Keputusan DPRD Kab. Garut Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pendapat DPRD Kabupaten Garut Terhadap Dugaan Pelanggaran Etika Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Dilakukan Oleh H. Aceng H. M Fikri, S.Ag.Sebagai Bupati Garut yang diajukan untuk diuji pada Mahkamah Agung, yang kemudian dalam Putusannya No. 1 P/Khs/2013 mengabulkan permohonan DPRD dan kemudian DPRD Kab. Garut melalui surat Nomor 131/133-DPRD tanggal 1 Februari 2013 sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD KabGarut Nomor 01 Tahun 2013 tanggal 1 Februari 2013 menyampaikan ke Presiden melalui Menteri Dalam Negeri tentang usul pemberhentian H. Aceng H.M Fikri, S.Ag. sebagai Bupati Garut. Dan kemudian Presiden melalui Menteri Dalam Negeri memutuskan mengesahkan pemberhentian tersebut melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17/P Tahun 2003 tanggal 20 Februari 2013.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema khusus ke tema-tema yang umum, dan


(33)

menafsirkan makna data.24

a) Data Sekunder, yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Metode ini digunakan agar dapat mengumpulkan data dan fakta secara jelas dan akurat sehingga pada pembahasan dapat dideskripsikan dan diinterpretasikan masalah yang diteliti secara jelas dan gamblang tanpa manipulasi.

1.7.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini dilakukan di lingkungan Kantor DPRDKabupaten Karo yang beralamat di Jalan Veteran No. 10 Kabanjahe.Lokasi ini dipilih oleh peneliti mengingat narasumber utama dari penelitian ini adalah anggota DPRD yang berperan langsung dalam pemutusan pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti.

1.7.2 Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (obcervation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka peneliti dalam penelitian ini menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut :

Library Research atau Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah, dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tekhnik wawancara sistematik.Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, berupa buku bacaan, artikel, makalah, jurnal, majalah/surat kabar serta website yang berkaitan dengan penelitian.

b) Data Primer, yaitu Penelitian Lapangan (Field Research)

24


(34)

Penelitian ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan yang mengetahui benar masalah yang diteliti, atau yang terlibat langsung dengan masalah yang diteliti. Adapun informan atau narasumber dalam penelitian ini adalah Effendy Sinukaban, SE (Ketua DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014),Onasis Sitepu, ST (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014), Jidin Ginting, SH (Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kabupaten Karo Periode 2014-2019), Julianus Paulus Sembiring, S.Pd (Perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Karo), Irwan Sitepu (Wakil Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo), dan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti .Ketua dan Wakil Ketua DPRD Periode 2009-2014 ini dipilih sebagai narasumber karena merekalah yang berperan langsung dan aktif dalam pemberhentian Bupati Karo Kena Ukur Jambi Surbakti sehingga mereka dikira yang paling layak untuk diwawancarai sebagai narasumber utama. Bapak Julianus Sembiring juga dipilih sebagai narasumber karena ia selaku ketua Gerakan Masyarakat Peduli Karo (GMPK) yang juga sebagai garda terdepan yang memobilisasi massa dalam proses pemberhentian Bupati Kena Ukur Karo Jambi, Bapak Jidin Ginting sebagai Ketua Fraksi dari Partai Demokrat (Partai Kena Ukur saat ini) yang sedang duduk di DPRD Kabupaten Karo. Bapak Irwan Sitepu sebagai Wakil Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo, Partai Mantan Bupati Karo Jambi dan Kena Ukur Karo Jambi Surbakti sendiri sebagai oknum yang diberhentikan.


(35)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PROFIL KABUPATEN KARO

Bab ini terdiri dari Profil Kabupaten Karo, Profil Pemerintahan Kabupaten Karo, Profil DPRD Kabupaten Karo, dan Profil DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo serta Profil Kena Ukur Karo Jambi Surbakti.

BAB III PROSES PEMBERHENTIAN BUPATI KARO, KENA UKUR KARO

SURBAKTI OLEH DPRD KABUPATEN KARO

Bab ini akan mendeskripsikan serta menganalisis proses pemberhentian Bupati Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015 oleh DPRD Kabupaten Karo.

BAB IV PENUTUP

Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta saran yang diperlukan setelah dilakukannya penelitian.


(36)

BAB II

PROFIL KABUPATEN KARO DAN PROFIL KENA UKUR

Bab dua menjelaskan secara umum mengenai profil Kabupaten Karo, profil pemerintahan Kabupaten Karo, profil singkat DPRD Kabupaten Karo serta profil singkat DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo dan profil Kena Ukur Karo jambi Surbakti. Mengapa penting untuk mengetahui profil Kabupaten Karo karena Kabupaten Karo merupakan lokasi dari penelitian ini, mengetahui profil pemerintah adalah karena dalam hal ini penelitian berkaitan langsung dengan pemerintahan Kabupaten Karo.Hal penting lainnya yaitu untuk mengetahui profil DPRD Kabupaten Karo, mengapa hal ini penting untuk diketahui adalah karena anggota DPRD Kabupaten Karo merupakan informan utama dalam penelitian ini.

Profil DPC Partai Demokrat Kabupaten Karo juga dibahas dalam bab ini, karena saat ini Kena Ukur Surbakti merupakan ketua DPC Partai Demokrat sejak tahun 2011. Begitu pula alasan untuk mengetahui profil Kena Ukur Karo Jambi Surbakti adalah karena Kena Ukur Karo Jambi merupakan objek pada penelitian ini yang mana informasi dari anggota DPRD, DPC Partai Demokrat serta dari Karo Jambi inilah yang nantinya akan di analisis oleh peneliti. Hal yang akan dijelaskan terlebih dahulu dalam bab ini adalah mengenai profil Kabupaten Karo yang dilanjutkan dengan profil pemerintahan Kabupaten Karo, profil singkat DPRD Kabupaten Karo, serta profil DPC Partai Demokrat dan profil Kena Ukur Karo Jambi Surbakti.

2.1 Profil Kabupaten Karo

Profil Kabupaten Karo yang dijelaskan di dalam sub bab ini adalah mengenai sejarah Kabupaten Karo, lokasi dan keadaan geografis Kabupaten Karo, keadaan penduduk serta Agama di Kabupaten Karo. Bab ini menjelaskan bagaimana awal berdirinya Kabupaten Karo,


(37)

bagaimana kondisi fisik kabupaten Karo, wilayah terluas di Kabupaten Karo, penduduk terbanyak di Kabupaten Karo serta agama mayoritas yang di anut di Kabupaten Karo saat ini.

Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung).Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya.Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga.25

Ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni: 1) Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu.Kumpulan kampung itu dinamai Urung.Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung.Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.

25

Sejarah Perkembangan Kabupaten Karo, tersedia di 22 Maret 2014.


(38)

iaberhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907).Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat. 2) Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan.Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan.26

Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi.Dua gunung berapi aktif terletak di wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Secara Geografis letak Kabupaten Karo berada diantara 2º50’-3º19’ Lintang Utara dan 97º55’-98º38’ Bujur Timur dengan luas 2.127,25 Km2 atau 2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara.Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian 120-1420 M di atas permukaan laut.

27

26 Ibid. 27


(39)

Batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh (Tenggara Propinsi Nangroe Aceh Darusalam).28

28 Ibid.

Data tentang luas wilayah kabupaten karo per kecamatan dapat dilihat di Tabel 2.1, dimana dalam tabel ini diperlihatkan dari 17 Kecamatan dan 269 desa, kecamatan mana yang memiliki total luas wilayah terbanyak di Kabupaten Karo dan kecamatan mana yang memiliki total luas wilayah terendah. Untuk lebih jelas dapat dilihat di Tabel 1 dibawah ini :

Tabel 2.1

Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Karo Tahun 2013

No. Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (Km²) Rasio Terhadap Total Luas Kabupaten (%)

1 Mardingding 12 267,11 12,56

2 Laubaleng 15 252,60 11,87

3 Tigabinanga 20 160,38 7,54

4 Juhar 25 218,56 10,27

5 Munte 22 125,64 5,91

6 Kutabuluh 16 195,70 9,20

7 Payung 8 47,24 2,22

8 Tiganderket 17 86,76 4,08

9 Simpang Empat 17 93,48 4,39

10 Naman Teran 14 87,82 4,13


(40)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo , 2014.

Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa kecamatan dengan luas terbanyak dikabupaten Karo adalah kecamatan Mardingding, dengan total luas wilayah 267,11 Km2. Sementara kecamatan dengan luas wilayah terendah adalah kecamatan Berastagi dengan total luas wilayah 30,50 Km2. Namun jumlah luas wilayah ini berbanding terbalik dengan kepadatan penduduk di masing-masing Kecamatan dimana Kecamatan Berastagi justru memiliki penduduk yang lebih banyak daripada kecamatan Mardingding. Untuk lebih jelas akan diperlihatkan dalam tabel 2.2.

Hasil Sensus tahun 2010 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 350.960 jiwa. Pada tahun 2013, menurut proyeksi penduduk Karo meningkat menjadi 363.755 jiwa yang mendiami wilayah seluas 2.127,25 Km². Kepadatan penduduk diperkirakan sebesar 171 jiwa/ Km². Laju Pertumbuhan Penduduk Karo Tahun 2010 – 2013 adalah sebesar 1,17 persen per tahun. Tahun 2013 di Kabupaten Karo Penduduk laki-laki lebih sedikit dari Perempuan.Laki-laki berjumlah 180.535 jiwa dan Perempuan berjumlah 183.220 jiwa.Untuk lebih jelas dibawah ini terdapat jumlah penduduk berdasarkan rasio kepadatan penduduk dalam setiap Kecamatan di Kabupaten Karo.

12 Kabanjahe 13 44,65 2,10

13 Berastagi 10 30,50 1,43

14 Tigapanah 26 186,84 8,78

15 Dolat Rayat 7 32,25 1,52

16 Merek 19 125,51 5,90

17 Barusjahe 19 128,04 6,02


(41)

Tabel 2.2

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Per Kecamatan Tahun 2013

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Penduduk Kepadatan Penduduk Tiap Km2

1 Mardingding 267,11 17 684 66,20

2 Laubaleng 252,60 18 359 72,68

3 Tigabinanga 160,38 20 626 128,61

4 Juhar 218,56 13 726 62,80

5 Munte 125,64 20 404 162,40

6 Kutabuluh 195,70 10 972 56,07

7 Payung 47,24 11 232 237,76

8 Tiganderket 86,76 13 659 157,43

9 Simpang Empat 93,48 19 707 210,82

10 Naman Teran 87,82 13 263 151,02

11 Merdeka 44,17 13 794 312,29

12 Kabanjahe 44,65 66 635 1 469,99

13 Berastagi 30,50 44 091 1 445,61

14 Tigapanah 186,84 30 388 162,64

15 Dolat Rayat 32,25 8 599 266,64

16 Merek 125,51 18 712 149,09

17 Barusjahe 128,04 22 904 178,88

Jumlah/Total 2013 2 127,25 363 755 171,00

2012 2 127,25 358 823 168,68

2011 2 127,25 354 242 166,53

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo , 2014.

Tabel 2.2 menunjukkan bahwa kecamatan dengan jumlah kepadatan penduduk terbanyak adalah Kecamatan Kabanjahe dengan jumlah penduduk sebesar 66.635 jiwa dengan kepadatan 1.469,99 tiap km2. Sementara kecamatan dengan jumlah penduduk terdendah adalah kecamatan Dolat Rakyat dengan jumlah penduduk sebesar 8.599 jiwa dengan kepadatan 149,09 tiap km2.

Setelah kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dan kecamatan dengan jumlah penduduk terendah di tampilkan pada tabel 2.2, pada tabel 2.3 ini ditampilkan jumlah penduduk


(42)

menurut jenis kelamin per kecamatan di Kabupaten Karo. Dari total penduduk sebanyak 363.755 jiwa yang mediami 17 Kecamatan di wilayah Kabupaten Karo, diperlihatkan dibawah ini apakah laki-laki atau perempuan yang lebih mendominasi.

Tabel 2.3

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan di Kabupaten Karo Tahun 2013

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex rasio 1 Mardinding 8 825 8 859 17 684 99,62 2 Lau Baleng 9 218 9 141 18 359 100,84 3 Tigabinanga 10 262 10 364 20 626 99,02

4 Juhar 6 823 6 903 13 726 98,84

5 Munte 10 081 10 323 20 404 97,66

6 Kutabuluh 5 425 5 547 10 972 97,80

7 Payung 5 552 5 680 11 232 97,75

8 Tiganderket 6 660 6 999 13 659 95,16 9 Simpang Empat 9 848 9 859 19 707 99,89 10 Naman Teran 6 751 6 512 13 263 103,67

11 Merdeka 6 915 6 879 13 794 100,52

12 Kabanjahe 32 076 33 559 66 635 95,58 13 Berastagi 21 950 22 141 44 091 99,14 14 Tiga Panah 15 028 15 360 30 388 97,84 15 Dolat Rayat 4 252 4 347 8 599 97,81

16 Merek 9 584 9 128 18 712 105,00

17 Barusjahe 11 285 11 619 22 904 97,13 Jumlah Tahun 2013 180 535 183 220 363 755 98,53 Tahun 2012 178 073 180 750 358 823 98,52 Tahun 2011 176 077 178 165 354 242 98,83

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo , 2014.

Dari data jumlah penduduk menurut jenis kelamin diatas, dapat dilihat bahwa jumlah laki-laki seluruhnya dari 17 kecamatan di Kabupaten Karo adalah sebanyak 180.535 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 183.220 jiwa. Dengan demikian dapat disimpulkan


(43)

bahwa jumlah perempuan mendominasi di kabupaten Karo.

Penduduk kabupaten Karo merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama yakni agama Kristen Protestan, Islam, Kristen Katholik, Hindu dan Budha.Tahun 2013 Menurut Departemen Agama Kabupaten Karo tercatat sebanyak 168 Mesjid, 59 Surau atau Langgar, sebanyak 630 Gereja Protestan, sebanyak 124 Gereja Katolik, sebanyak 6 pura dan 1 vihara. Dibawah ini diperlihatkan tabel mengenai jumlah penduduk yang menganut agama Kristen Protestan, Islam, Kristen Katholik, Hindu dan Budha.

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Penganut Agama di Kabupaten Karo

No Agama/Kepercayaan Jumlah Persentase

1 Islam 87.371 jiwa 24,00%

2 Kristen Protestan 204.283 jiwa 56,20%

3 Kristen Khatolik 72.101 jiwa 19,80%

4 Hindu - 0,00

5 Budha - 0,00

6 Lainnya - 0,00

7 Jumlah 363.755 100%

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo , 2014.

Melalui Tabel 2.4 diatas dapat dilihat bahwa penduduk Kabupaten Karo adalah mayoritas beragama Kristen Protestan dengan jumlah 204.283 jiwa atau mencapai persentasi 56,20%, diikuti agama Islam dengan jumlah 87.371 jiwa atau persentasi sebesar 24% dan agama Katolik dengan jumlah 72.101 jiwa atau persentasi sebesar 19,80%. Pada tabel juga terdapat 6 pura untuk agama hindu dan 1 vihara untuk agama budha namun tidak terdapat masyarakat yang menganut agama budha maupun hindu. Dari data BPS dalam Karo Dalam Angka Tahun 2014, pada tahun 2011 ada


(44)

sebanyak 7.459 jiwa penduduk Kabupaten Karo yang beragama hindu namun tidak terdapat penduduk yang beragama budha pada tahun yang sama. Pada tahun 2012 ada sebanyak 459 jiwa penduduk Karo yang beragama hindu, dan sebanyak 1.507 penduduk beragama budha. Namun pada tahun 2013 tidak terdapat agama hindu maupun budha dalam data kependudukan yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Karo ini.

2.2 Profil Pemerintahan Kabupaten Karo

Secara Administrasi Kabupaten Karo terdiri dari 17 Kecamatan dan 269 Desa/kelurahan (259 Desa dan 10 Kelurahan).29

Pada masa penjajahan Belanda mulai tahun 1906, sistem pemerintahan di wilayah Kabupaten Karo pada dasarnya ialah: a) Pemerintahan oleh Onderafdeling Karo Landen yang dipimpin oleh Controleur pimpinan pemerintahan selalu ditangan bangsa Belanda, b) Landschaap, yaitu pemerintahan Bumi Putra. Pemerintahan (Landschaap) ini dibentuk berdasarkan perjanjian pendek dengan pemerintahan Onderafdeling.Berdasarkan perjanjian pendek (KorteVerklaring) tahun 1907, maka di Tanah Karo terdapat 5 (lima) Landschaap yang dikepalai oleh Sibayak yang membawahi beberapa urung yang dikepalai oleh Raja Urung yaitu: a) Landschaap Lingga, membawahi 6 (enam) urung: Sepuluh Dua Kuta di Kabanjahe, Telu Kuta di Lingga, Tigapancur di Tigapancur, Empat Teran di Naman, Lima Senina di Batu Karang, dan Tiganderket di Tiganderket, b) Landschaap Kutabuluh, membawahi 2 (dua) urung: Namo Haji di Pusat Pemerintahan Kabupaten Karo berada di Kabanjahe.Sistem pemerintahan tertua yang dijumpai di wilayah Kabupaten Karo ialah Penghulu, yang menjalankan pemerintahan di Kampung (Kuta) menurut adat. Terbentuknya suatu Kuta harus memenuhi persyaratan adat antara lain: ada Merga pendiri (Merga taneh/simantek Kuta), ada Senina Simantek Kuta, ada Anak Beru simantek Kuta (Anak Beru Taneh) serta ada Kalimbubu Simantek Kuta (Kalimbubu Taneh).

29


(45)

Kuta Buluh, dan Liang Melas di Samperaya, c) Landschaap Sarinembah, membawahi 4 (empat) urung: Sepuluhpitu Kuta di Sarinembah, Perbesi di Perbesi, Luhar di Juhar, dan Kuta Bangun di Kuta Bangun, d) Landschaap Suka, membawahi 4 (empat) urung: Suka di Suka, Sukapiring/Seberaya di Seberaya, Ajinembah di Ajinembah, dan Tongging di Tongging, e) Landschaap Barusjahe, membawahi 2 (dua) urung: Sipitu Kuta di Barusjahe, dan Sinaman Kuta di Sukanalu.30

Pada masa Kemerdekaan RI Struktur pemerintahan di Tanah Karo adalah sebagai berikut: a) Pemerintahan Tanah Karo sebagai alat pemerintahan Pusat yang pada saat itu dikepalai oleh Sibayak Ngerajai Milala, b) Pemerintahan Swapraja yaitu Landschaap: Lingga dengan 6 Urung, Barusjahe dengan 2 Urung, Suka dengan 4 Urung, Sarinembah dengan 4 Urung, Kutabuluh dengan 2 Urung.31

Oleh Komite Nasional Indonesia, Tanah Karo dalam sidangnya tanggal 13 Maret 1946, Kabupaten Karo diperluas dengan Daerah Deli Hulu dan Cingkes, dibagi kedalam 3 (tiga) Kewedanaan dengan masing-masing membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu: Pertama, Kewedanaan Kabanjahe membawahi 5 Kecamatan yaitu: Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat, dan Payung. Kedua, Kewedanaan Tigabinanga membawahi 5 Kecamatan yaitu: Tigabinanga, Juhar, Munte, Kutabuluh, dan Mardingding. Ketiga, Kewedanaan Deli Hulu membawahi 5 Kecamatan yaitu: Pancur Batu, Sibolangit, Kutalimbaru, Biru-Biru, dan Namo Rambe.32

Susunan Pemerintahan Daerah seperti yang diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah Pemerintahan Daerah dan DPRD, dimana Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif dan

30

Ibid., hal.xivi-xlvii. 31

Ibid. 32


(46)

DPRD sebagai Badan Legislatif. Pemerintah Daerah Kabupaten dipimpin oleh seorang Bupati dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah dibantu oleh seorang Wakil Bupati.Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menggunakan asas Otonomi dan Tugas Pembantuan.33

No

Sejak Terbentuknya Kabupaten Karo hingga saat ini tercatat ada sebanyak 19 orang yang pernah memimpin Kabupaten Karo.Baik yang melalui pemilihan langsung maupun tidak langsung, baik yang menyelesaikan periode jabatan setelah terpilih maupun tidak selesai seperti Kena Ukur Surbakti dalam kasus ini. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari tabel dibawah ini :

Tabel 2.5

Nama Pemimpin Kabupaten Karo

Nama Bupati Masa Bakti

1 Ngerajai Milala 1945-1946

2 Mhd. Kosim 1946-1947

3 Raja Kelelong Sinulingga 1947-1949

4 Rajin Peranginangin 1950

5 Rakutta Sembiring Milala 1950-1957

6 T. Raja Purba 1957

7 Abdullah eteng 1957-1960

8 Mayor Matang Sitepu 1960-1966

9 Drs. Baharuddin Siregar 1966-1969

10 Kol. Tampak Sebayang, SH 1969-1980

11 Drs. Rukun Sembiring 1980-1985

12 Ir. Menet Ginting M.A.D.E 1985-1990

13 Drs. Rupai Perangin-angin 1990-1994

14 Kol. Drs. D.D Sinulingga 1995-2000

33


(47)

15 Drs. IS. Sihotang (Pjs) 2000

16 Sinar Perangin-angin 2000-2005

17 Kol. (Pur) Drs. D.D Sinulingga 2005-2010

18 DR (HC) Kena Ukur Karo Jambi Surbakti 2011-2014 19 Terkelin S Brahmana, SH (Plt. Bupati) Juli 2014- Sekarang Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo , 2014.

Sama seperti Kabupaten lain di seluruh Indonesia, Kabupaten Karo juga memiliki visi dan misi dalam menjalankan pemerintahannya. Selanjutnya akan disebutkan visi dan misi pemerintahan Kabupaten Karo. Visi pembangunan Kabupaten Karo adalah, “Terwujudnya Masyarakat Karo yang Makmur dan Sejahtera Berbasis Pembangunan Pertanian dan Pariwisata yang berwawasan lingkungan.”Dan misi pembangunan Kabupaten Karo adalah, 1) Meningkatkan kapasitas dan profesionalisme aparatur. 2) Meningkatkan produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian setor unggulan yang berdaya saing melalui dukungan agro industri. 3) Membangun dan atau meningkatkan kuantitas dan kualitas daerah tujuan wisata yang mampu meningkatkan kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. 4) Membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang menjangkau sentra produksi, kawasan strategis dan wilayah terisolir yang memiliki dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi daerah. 5) Menjamin dan meningkatkan kuantitas serta kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat secara merata. 6) Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan yang saling bersinergi dan berkelanjutan. 7) Meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan. 8) Melakukan harmonisasi dan sinergitas hubungan antar tingkat pemerintahan dalam pembangunan kewilayahan melalui pemantapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) secara berkelanjutan. 9) Memperkuat kapasitas kelembagaan dan SDM masyarakat.34

34


(48)

Dari visi dan misi pembangunan pemerintahan Kabupaten Karo dapat dilihat bahwa pemerintahan Kabupaten Karo lebih berfokus dalam peningkatan keunggulan pertanian yang dimiliki oleh Kabupaten Karo. Fokus selanjutnya adalah peningkatan dalam wisata alam Kabupaten Karo, penigkatan kualitas infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan secara merata, memperkuat ekonomi kerakyatan, peningkatan kualitas pendidikan, sinergitas antar tingkat pemeritahan secara berkelanjutan dan memperkuat sumber daya masyarakat.

Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa Karo.Suku Bangsa Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku Bangsa Karo sendiri. Suku ini terdiri 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu. Dari suku bansa ini akan dijelaskan lagi sub-sub dari suku masing-masing, yaitu :Pertama, Merga Silima yakni: Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin. Dari kelima Merga tersebut di atas, masih terdapat sub-sub Merga. Berdasarkan Merga ini maka tersusunlah pola kekerabatan atau yang dikenal dengan Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh dan Perkade-kaden Sepuluh Dua Tambah Sada Rakut Sitelu yaitu: Senina/Sembuyak, Kalimbubu, Anak Beru. Kedua, Tutur Siwaluh yaitu: Sipemeren, Siparibanen, Sipengalon, Anak Beru, Anak Beru Menteri, Anak Beru Singikuri, Kalimbubu, Puang Kalimbubu. Ketiga, Perkade-kaden Sepuluh Dua: Nini, Bulang, Kempu, Bapa, Nande, Anak, Bengkila, Bibi, Permen, Mama, Mami, Bere-bere.35

Dalam perkembangannya, adat Suku Bangsa Karo terbuka, dalam arti bahwa Suku Bangsa Indonesia lainnya dapat diterima menjadi Suku Bangsa Karo dengan beberapa persyaratan adat. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dalam kehidupan masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3

35


(49)

(tiga) hal pokok yang disebut Tuah, Sangap, dan Mejuah-juah.Pertama, Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin dan menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan datang. Kedua, Sangap berarti mendapat rejeki, kemakmuran bagi pribadi, bagi anggota keluarga, bagi masyarakat serta bagi generasi yang akan datang. Ketiga, Mejuah-juah berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya. Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.36

Wilayah pemerintahan Kabupaten Karo sejak tanggal 29 Desember 2006 resmi berubah dari 13 kecamatan menjadi 17 Kecamatan dan 269 Desa/ Kelurahan yaitu: 1) Kecamatan Kabanjahe, sebanyak 8 desa dan 5 Kelurahan, 2) Kecamatan Berastagi, sebanyak 6 Desa dan 4 Kelurahan, 3) Kecamatan Tigapanah, sebanyak 26 Desa. 4) Kecamatan Dolat Rayat sebanyak 7 Desa. 5) Kecamatan Merek, sebanyak 19 Desa. 6) Kecamatan Barusjahe, sebanyak 19 Desa. 7) Kecamatan Simpang Empat, sebanyak 17 Desa 8) Kecamatan Naman Teran sebanyak 14 Desa. 9) Kecamatan Merdeka sebanyak 9 Desa. 10) Kecamatan Payung, sebanyak 8 Desa. 11) Kecamatan Tiganderket sebanyak 17 Desa.12) Kecamatan Kutabuluh, sebanyak 16 Desa, 13) Kecamatan Munte, sebanyak 22 Desa. 14) Kecamatan Juhar, sebanyak 25 Desa. 15) Kecamatan Tigabinanga, sebanyak 19 Desa dan 1 Kelurahan. 16) Kecamatan Laubaleng, sebanyak 15 Desa. 17) Kecamatan Mardingding, sebanyak 12 Desa37

Dari sebanyak 17 Kecamatan yang ada, tidak semua kecamatan memiliki desa dan kelurahan. Adapun kecamatan yang memiliki desa dan kecamatan adalah kecamatan Kabanjahe

36 Ibid. 37


(1)

(DPRD) dan disetujui oleh Presiden, kedua pemberhentian kepala daerah oleh Presiden tanpa usulan dan atau keputusan dari DPR.

Pada bulan Juli tahun 2014 terjadi pemberhentian salah satu Kepala Daerah Kabupaten yaitu Kabupaten Karo atas nama Kena Ukur Karo Jambi Surbakti yang diberhentikan atas usulan DPRD Kabupaten Karo yang juga lahir dari tuntutan masyarakat Karo, dan telah disetujui Presiden dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 57/P Tahun 2014 tertanggal 1 Juli 2014. Kena Ukur dalam hal ini dinilai telah melanggar etika dan moral yang mengakibatkan pemakzulan atas dirinya oleh DPRD Kabupaten Karo. Adapun alasan pemberhentiannya adalah karena, pertama Karo Jambi telah melakukan kerjasama dengan pihak ketiga yaitu Asosiasi Pengusaha Dolomit Indonesia (APDI) tertanggal 24 Agustus 2011, tujuan mereka yaitu menciptakan satu sumbangan pihak ketiga yang membebani masyarakat artinya melanggar PP Nomor 16 Tahun 2010 pasal 3 huruf (i), yang isi nya Kepala Daerah dilarang membuat kerjasama dengan pihak ketiga tanpa persetujuan DPRD. Kedua, tidak mengindahkan surat rekomendasi dari DPRD Kabupaten Karo terkait masalah PT WEP (Wampu Elektronik Power), yang mana PT WEP juga telah melanggar amar putusan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 403 Tahun 2013.Ketiga, di pasal 28 (dalam UU No.32 Tahun 2004) yaitu Kepala Daerah dilarang ikut serta dalam satu Yayasan berbentuk Swasta maupun Negeri atau perusahaan apapun.Kemudian Karo Jambi menjadi salah satu Pembina Yayasan Pendidikan Karo Jambi, SMA Negeri (Plus) Kabanjahe.Keempat, tentang pemutasian Pegawai Negeri Sipil yang melanggar PP Nomor 100 Tahun 2000 dan yang kelima tidak pernah melakukan Rapat Muspida Plus selama Karo Jambi menjabat sebagai Bupati Karo.

Kelima alasan diataslah yang kemudian membawa Karo Jambi turun dari tahta tertinggi di Kabupaten Karo dan resmi “dirumahkan” pada tanggal 11 Juli 2014. DPRD Kabupaten Karo


(2)

sendiri dalam prosesnya mengalami pasang surut susah gampang dalam melewati proses pemberhentian ini. Di internal Kabupaten Karo khususnya di DPRD Karo, semua proses pemberhentian terbilang lancar sampai dikeluarkannya pengajuan pemberhentian Bupati ini ke Mahkamah Agung (MA). Dimulai dari penggunaan hak interpelasi, hak angket hinga akhirnya hak menyatakan pendapat sampai kemudian di kabulannya pengajuan pemberhentian ini oleh MA berjalan dengan lancar. Namun terjadi kendala dan proses yang panjang ketika DPRD Karo mengirim dratf pemberhentian dimulai dari lambatnya penandatanganan surat di Gubernur Sumatera Utara yang menghabiskan waktu hingga 2 minggu lamanya. Setelah lambatnya proses di Gubernur kendala selanjutnya yaitu lambatnya persetujuan Presiden melalui Kemendagri dan Setneg yang bukan hanya menguras waktu namun juga tenaga dari anggota DPRD Kabupaten Karo beserta perwakilan masyarakat Kabupaten Karo yang pada masa itu ikut mengawal berjalannya proses pemberhentian ini di Jakarta.

Terhitung sejak tanggal 24 April 2014 draft pengajuan pemberhentian Bupati Karo Jambi telah dikirim Kemendagri ke Setneg sebagai perwakilan Presiden, namun sebulan (30 hari sesuai UU), dua bulan (60 hari) Surat Keputusan Presiden belum kunjung dikeluarakan. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat Karo yang berada di Jakarta beberapa kali melakukan tindakan protes, mulai dari demonstrasi, mogok makan, hingga naik ke Gedung DPR RI. Tindakan ini akhirnya menuai hasil ketika surat keputusan Presiden yang diharap-harapkan dikeluarkan melalui Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 57/P Tahun 2014, tertanggal 1 Juli 2014.

Banyak muncul pertanyaan mengapa terjadi proses pembiaran yang begitu lama dan menyita banyak sekali waktu dan tenaga dalam proses pengeluaran Kepres ini. Disnyalir ada keterkaitannya dengan posisi Kena Ukur pada masa itu yang menjabat sebagai Ketua DPC


(3)

Demokrat dengan Prsiden SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Surat Keputusan sudah pasti akan dikeluarkan oleh Presiden, namun terkait waktu pengeluarannya sudah dipastikan tidak akan sesuai dengan harapan DPRD Kabupaten Karo dan masyarakat Kabupaten Karo yang menuntut agar Karo Jambi segera diberhentikan.

Terkait masalah ini, Karo Jambi sebagai orang yang diberhentikan mengaku tidak bersalah atas segala tuduhan yang ditujukan kepadanya.Ia dalam hal ini merasa terdzolimi dengan sikap para politisi di lingkungan pemerintahan Kabupaten Karo baik dari anggota DPRD maupun pejabat-pejabat tinggi lainnya yang turut serta dalam pengajuan pemberhentian ini. Ia mengaku selama menjabat sebagai Bupati Karo terdapat banyak kemajuan yang dilakukannya, diantaranya yaitu pembangunan jalan lintas Karo – Medan yang semakin baik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari 27 Milyar menjadi 54 Milyar serta APBD yang meningkat dari 600-an milyar menjadi 1,3 trlilyun. Terkait alas600-an pemberhenti600-annya salah satunya masalah PT Wampu Elektronik Power tenaga pembangkit listrik tenaga air yang dipaksa ditutup oleh DPRD menurutnya tidak etis, karena pembangkit listrik ini dikira sangat berguna bagi peningkatan PAD Kabupaten Karo yang mana tenaga ini bukan hanya mampu menyokong kebutuhan listrik Kabupaten Karo tapi juga mampu membantu menyokong kebutuhan tenaga listrik Kabupaten lain yang berdekatan dengan Karo yang kemudian akan menjadi nilai tambah bagi PAD Kabupaten Karo.

Namun ia tetap berterimakasih kepada pihak-pihak “mafia proyek” yang telah memberhentikannya karena atas kejadian ini ia dapat berobat ke Luar Negeri dan mendapat perawatan intensif atas penyakit kronis yang diketahui dideritanya pasca pemberhentian ini. Dan Karo Jambi akan terus berupaya dalam pembangunan Kabupaten Karo dengan tetap ikut mencalonkan diri kembali dalam pemilihan Bupati Kabupaten Karo mendatang.


(4)

4.2 Saran

Hasil penelitian yang telah dilakukan memberikan pengetahuan mengenai kekurangan yang mengakibatkan terjadinya pemberhentian ini sehingga menurut peneliti penting untuk diberikan masukan agar pelaksaan pemerintahan daerah khususnya di daerah Karo dapat berjalan lebih baik dan lebih maju lagi.Pertama, pemerintah seharusnya menjaga etika dan moral di hadapan siapapun terkhususnya dihadapan masyarakat yang dipimpinnya sehingga pemerintah mampu menjadi panutan agar mampu menciptakan komunikasi yang baik pula untuk dapat bersama-sama mewujudkan pembangunan di daerah tersebut.

Kedua, dalam menjalankan pemerintahan hendaknya tidak ada pihak baik dari pihak eksekutif maupun pihak legislatif yang merasa lebih tinggi dan dominan dari pihak manapun sehingga tidak memunculkan kontradiksi dari cita-cita bersama untuk mensejahterakan rakyat melainkan harus mendukung satu sama lain. Ketiga, koordinasi yang lebih baik harus ditingkatkan antara lembaga eksekutif dan legislatif agar sama-sama dapat bersinergi satu sama lain dan lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi serta mampu mengimplementasikan visi dan misi mereka ketika mencalonkan diri dan terpilih menjadi wakil rakyat. Keempat, masyarakat diharapkan turut serta dalam mengawasi kinerja pemerintah mereka dan tidak mudah diprovokasi bila terjadi benturan antara pemerintah baik eksekutif maupun legislatif dan diharapkan dapat berkontribusi untuk pembangunan daerah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Creswell, John W, 2012. Research Design. Yogyakarta: Bina Aksara.

Drs, AP, Sumarno.1989. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Gunawan, Markus. 2008. Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif (DPR, DPRD, &DPD). Jakarta: Transmedia Pustaka.

Hessel, Drs Nogi S Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT Grasindo. Isjwara, F, 1967. Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Dhiwantara.

Kencana, Inu Syafiie dan Azhari. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. RefikaAditama. Manan, Bagir, 1994.Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut

Undang-Undang Dasar 1945 .Bandung: Universitas Padjadjaran.

..2001. Menyongsong Fajar Otonomi Derah. Yogyakarta: Pusat studi Hukum (PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta.

Marbun, BN. 2006. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mayo, Hendry B, 1960. An Introduction To Democratic Theory. Oxford University Pres,New

York.

Noer, Deliar, 1983. Pengantar Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali.

Rasjidi, Lili B, Arief Sidarta (ed),1989 .Filsafat Hukum Mazhab dan Reflesinya. Bandung: Remadja Karya.

Sastropoetro, Santoso. 1982. Komunikasi Internasional, Sarana interkasi antar Bangsa. Bandung: Alumni.

Sitepu , P Anthonius, 2012. Teori-teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soedjito, Irawan, 1981. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.Jakarta: Bina Aksara.

S. Soesanto, Astrid, Dr Phil. 1980. Komunikasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Bina Cipta. Sunarno, Siswanto, 2005. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Suny, Ismail, 1984.Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Akasara Baru. Surbakti, Ramlan, 2010. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Jurnal :

Samego, Indria, 2002. Masalah Good Govermance Di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah.Jurnal Demokrasi & HAM vol 2.NO.2 Juni-September 2002.

Satria, M, 2009, Dalam Jurnal .Fenomena Penegakan Supremasi Hukum pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif Tahun 2009.

Skripsi :

Akbar Suneth, Mujahid . 2014. Pemberhentian Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Studi Kasus Bupati Garut)[Skripi], Makassar: Departemen IlmuHukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Mashita, Nadia. 2010. Proses Pemberhentian Kepala Daerah Oleh DPRD (Studi Kasus Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kampar Tahun 2004 )[Skripsi], Pekanbaru:Departemen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

Dokumen :

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. (Lembaran Negara Republik Indonesia 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, 2014. Karo Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Karo. Internet :

Adhif, “Karo Jambi unggul Pemilukada Karo Putaran Kedua”[Koran online],(Karo: KAROPress, 2010), tersedia di: pemilukada-karo-putaran-kedua/#more-1339; diakses pada tanggal 16Desember 2014 Bupati Karo diberhentikan Presiden” [Harian Online], (Medan: KOMPAS.com, 2014) tersedia

di


Dokumen yang terkait

Pemakzulan kepala daerah menurut persepektif fiqih siyasah dan hukum positif (Studi Kasus Pemberhentian Bupati Bogor Rahmat Yasin)

0 12 0

Pemakzulan kepala daerah menurut perspektif fiqih siyasah dan hukum positif : studi kasus pemberhentian Bupati Bogor Rahmat Yasin

4 28 73

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH OLEH MAHKAMAH AGUNG BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN,PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH ( Studi : Aceng Fikri sebagai Bupati Garut ).

0 0 14

TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT,PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA, SERTA HAK JABATAN FUNGSIONAL JAKSA YANG TERKENA PEMBERHENTIAN

0 1 17

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH OLEH MAHKAMAH AGUNG BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN,PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH WAKIL KEPALA DAERAH ( Studi : Aceng Fikri sebagai Bupati Garut ) - Repositori Unive

0 0 12

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH OLEH MAHKAMAH AGUNG BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN,PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH WAKIL KEPALA DAERAH ( Studi : Aceng Fikri sebagai Bupati Garut ) - Repositori Unive

0 0 1

BAB II PROFIL KABUPATEN KARO DAN PROFIL KENA UKUR - Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

0 0 23

Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

0 0 10

KABUPATEN KARO( Studi Kasus : Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 3 11