BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian - Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Penelitian

  Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir (Sunarto, 2011:4).

  Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto, 2011:9)

  Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

  Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk perubahan sosial (Sunarto, 2011:9).

  Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan bagian dari aliran pemikiran kritis.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Massa

  Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).

  Komunikasi massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan erat dengan komuniaksi massa. Salah satu diantaranya yaitu media massa. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan media massa untuk menunjang kegiatannya seperti ketika akan berpergian keluar rumah , mereka melihat berita ramalan cuaca terlebih untuk mengetahui apakah cuaca cerah, mendung atau sedang hujan. Contoh lainnya adalah info lalu lintas. Di kota-kota besar, info lalu lintas adalah info yang paling banyak dicari masyarakat. Dan semua itu didapatkan melalui media massa seperti koran, radio dan televisi. pengertian (Wiryanto, 2004: 3):

1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.

  2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar- pemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film atau buku. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol. Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan tindakan interpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya. Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian, 2008: 368).

  Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

1. Komunikator Terlembagakan

  Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

  2. Pesan Bersifat Umum Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

  Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

  3. Komunikannya Anonim dan Heterogen Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

  4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

  5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

  6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

  7. Stimulasi Alat Indra Terbatas Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda

  Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari

  

feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa

  tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

  Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):

  1. Pengawasan peringatan (surveillance) Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang mempekerjakan pengawasan.

  2. Interpretasi (Interpretation) Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan, adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.

  3. Hubungan (Linkage) Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual.

  4. Sosialisasi Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. Mediamassa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting.

  5. Hiburan (Entertainment) Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian besar programnya bersifat menghibur (to entertain).

2.2.2 Iklan

  Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010: 17).

  Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad pertengahan advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”, sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang- ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

  Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri sehingga terbentuk image semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2011: 65).

  Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra. Apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2011: 126).

  Jib Fowles mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan ( Bungin, 2011: 81).

  Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

  Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah radio, televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra di dalamnya (V Tarigan, 2011: 21). Televisi menjadi pilihan utama oleh banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit dan panjang.

2.2.3 Tanda

  Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27).

  Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).

  Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai

  petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep

  sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.

  Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.

  Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu) (Danesi, 2010:36). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.

  Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

  Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).

  Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda,

2.2.4 Semiotika

  Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau

  

seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan

  skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17).

  Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda- tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannnya. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2006: 261), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Analisis semiotik berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.

  Dapat dikatakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13).

  Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multimensional. Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20), Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Peirce mengidentisikasi, dari ilmu logika ke ilmu intelektual, yaitu tindakan komunikatif yang telah menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi kepentingan teknis ilmu (Sobur, 2004: 40-41).

  Pierce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

  Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Peirce, yang biasanya dipandang sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.

  Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak seseorang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda tersebut disebut interpretant dari tanda-tanda pertama. Perumusan yang terlalu sederhana dari Pierce ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (dari objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa

  C). Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan.

  Ketiga tanda yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memiliki penafsir).

  Charles Sanders Peirce mengemukakan gagasannya mengenai model tanda dan taksonominya. Peirce mengemukakan model triadic tanda, yang terdiri atas elemen-elemen sebagai berikut:

  a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak senantiasa bersifat material).

  b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh tanda.

  c. Object, adalah hal kemana tanda terkait mengacu.

  Gambar 1 Segitiga Makna Charles S.Peirce

  Sense B A C

  Sign Vehicle Referent (Sumber : Morissan, 2009: 28)

  Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut ‘semiosis’. Untuk lebih memahaminya, kita bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda yang dikemukakan oleh Peirce, lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu merah yang ada di persimpangan jalan (sebagai representamen), kendaraan berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah mengindikasikan kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant) (Morissan, 2009:28).

  Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya begitu. Dalam hal ini Peirce justru memberikan penekanan pada gagasan tifologi tanda yang disebutnya dengan istilah ‘the most fundamental divisions of signs’. Pembagian tanda Peirce ini kemudian menjadi rujukan bagi banyak ahli semiotika di dunia sampai saat ini. Namun demikian, para ahli cenderung tetap menggunakan istilah signifier dan signified sebagai pengganti istilah sign vehicle dan object-nya Peirce.

  Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something

  

in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi,

  oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal- hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004: 41).

  Ferdinand De Saussure (1857-1913), secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistque

  

General yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure

  meninggal, diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda).

  Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda” dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotika adalah sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi, 2010: 76).

  Ferdinand de Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas.

  Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

  signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

  Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.

  Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Hubungan antara

  signifier dan signified dibagi tiga, yaitu

  1. Ikon, yaitu tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang dari ibu jari Sultan.

  2. Indeks, yaitu tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai. Dapat pula dikatakan, indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

  3. Simbol, yaitu sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa (Aart Van Zoest dalam Sobur, 2004: 126).

2.2.5 Makna

  Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah

  

pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat

  dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ – pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

  Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi

  Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):

  1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

  2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan

  (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada

  perkawinan saat ini dan di masa-masa yang lalu).

  3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

  4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

  5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

  Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.

6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu

  kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.

  Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

  

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,

  disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.

2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual

  Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2010: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

  Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target sasaran. Jagad desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massa dan konsumsi massa. Terkait dengan fakta tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.

  Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

  Untuk mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu diperhatikan. Hal tersebut antara lain: garis (line), bentuk (form), ruang (space), tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian, warna, irama, ukuran serta durasi

  1. Garis (Line) Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik poin dengan titik poin yang lain sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung

  (curve) atau garis lurus (straight). Garis adalah unsur dasar untuk membangun bentuk atau konstruksi desain.

  Istilah bentuk (form) digunakan untuk menyatakan suatu bangun atau

  

shape yang tampak dari suatu benda. Bentuk adalah segala sesuatu hal yang memiliki diameter, tinggi dan lebar. Bentuk (form) adalah tubuh atau massa yang berisi garis-garis. Sedangkan garis adalah bagian tepi atau garis pinggir bentuk suatu benda atau biasa disebut “kontur benda”. Kontur memperlihatkan bangun atau gerakan itu sendiri. Garis lurus dan garis lengkung termasuk elemen benda; tanpa bentuk, tetapi garis-garis tersebut dapat menjelaskan suatu bentuk; dengan menyusun garis horizontal dan vertikal yang sama panjang akan terjadi suatu bentuk bangun bujur sangkar. Semua bangun seperti bujur sangkar, lingkaran dan segitiga sama sisi merupakan sebagian dari bentuk dasar yang dipergunakan untuk mendesain. Bentuk suatu benda bisa bersifat dua dimensional (lonjong, oval, polygon, persegi panjang dan heksagon), yaitu datar tanpa ketebalan atau bersifat tiga dimensional (kerucut, kubus, silinder, prisma, piramida dan bola) yang mempunyai ketebalan atau padat.

  Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategori menjadi tiga, yaitu: a.

  Huruf (character) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai wakil dari bahasa verbal dengan bentuk visual langsung seperti A, B, C dan sebagainya.

  b.

  Simbol (symbol) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang mewakili bentuk benda secara sederhana dan dapat dipahami secara umum sebagai simbol atau lambang untuk menggambarkan suatu bentuk nyata, misalnya gambar orang, bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan dalam bentuk nyata (dengan detail).

  c.

  Bentuk nyata (form), bentuk ini betul-betul mencerminkan kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara detail, hewan secara detail atau benda lainnya.

  3. Ruang (space) Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, yang tampak melalui indera penglihatan. Ruang merupakan jarak antara suatu bentuk dengan bentuk lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur untuk memberi efek estetika desain. Sebagai contoh, tanpa ruang kita tidak akan tahu yang mana kata dan mana kalimat atau paragraf. Tanpa ruang kita tidak tahu mana yang harus dilihat terlebih dahulu, kapan harus membaca dan kapan harus berhenti sebentar.

  Dalam bentuk fisiknya pengidentifikasian, ruang digolongkan menjadi dua unsur, yaitu objek (figure) dan latar belakang (background). Hubungan antar ruang merupakan bagian dari perencanaan desain, apakah itu berupa jarak antar huruf atau huruf dengan gambar yang terletak pada sebidang kertas. Ruang sebagai latar belakang dari suatu objek juga perlu diolah, umpamanya dengan memberi warna, tekstur dan lain-lain.

  4. Tekstur Tekstur adalah sifat dan kualitas fisik dari permukaan suatu bahan, seperti kasar, mengkilap, pudar atau kusam yang dapat diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa pengulangan-pengulangan untuk suatu desain. Pada umumnya desain berkaitan dengan indera peraba dan juga indera penglihatan. Tekstur akan tampak jelas tergantung pada cahaya serta bayangannya yang disebabkan oleh ilusi optis. Dalam penggunaan tekstur disusun secara serasi atau kontras hasilnya, tetapi secara kontras hasilnya akan lebih menarik daripada kombinasi dengan tekstur yang serupa.

  5. Keseimbangan (balance) Prinsip dasar dari komposisi yaitu keseimbangan paling mudah dikenal atau dilihat. Bilamana ada dua benda dengan berat sama diletakkan pada jarak yang sama terhadap sumbu khayal (maya), maka objek yang ada pada kedua belah sisi dari garis maya tampak seolah-olah berbobot sama. Keseimbangan bisa terjadi secara fisik maupun secara optis. Untuk menghayatinya hanya diperlukan satu titik atau sumbu khayal (maya). Prinsip ini merupakan prinsip utama yang menghasilkan kesan beraturan sehingga tampak dinamis.

  6. Keseimbangan simetris dan asimetris serta keseimbangan horizontal

  Simetris berarti sama dalam ukuran, bentuk, bangun dan letak dari bagian- bagian atau objek-objek yang akan disusun di sebelah kiri dan kanan garis sumbu khayal. Asimetris terjadi apabila garis, bentuk, bangun atau massa yang tidak sama dalam ukuran, isi atau volume yang diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengikuti aturan keseimbangan asimetris yang banyak digunakan dalam desain modern atau kontemporer. Ada pada lukisan atau karya fotografi, keseimbangan antara bidang bagian atas dan bidang bagian bawah diperoleh dengan penggunaan keseimbangan horizontal.

  7. Keserasian (harmony) Keserasian adalah prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan di antara bagian-bagian suatu karya. Keserasian adalah suatu usaha menyusun berbagai bentuk, bangun, warna, tekstur dan elemen-elemen lain yang disusun secara seimbang dalam suatu susunan komposisi yang utuh agar indah untuk dipandang. Keseimbangan dapat dicapai dengan mengkombinasikan berbagai elemen yang sifatnya sama, misalnya kesamaan dalam skala dan bentuk; dan apabila skala dan bentuk tersebut berbeda, maka kemungkinan yang juga bisa dicapai adalah dengan warna yang sama. Walaupun keserasian merupakan upaya mencapai suatu kesatuan dalam penampilan tetapi juga diperlukan variasi-variasi agar tidak berkesan monoton dan membosankan.

  8. Irama (rhythm) Suatu gerak yang dijadikan sebagai dasar suatu irama dan ciri khasnya terletak pada pengulangan-pengulangan yang dilakukan secara teratur dengan diberi tekanan atau aksen. Semua cabang seni menggunakan unsur irama seperti musik, sajak, puisi, lukisan dan lain-lain. Dapat dikatakan irama berfungsi mengarahkan perhatian dari suatu tempat atau bidang ke bidang yang lain sehingga terkesan suatu kesan gerak. Bentuk irama yang paling sederhana adalah pengulangan yang seragam dari objek yang sama. Komposisi irama yang lebih kompleks atau rumit dibuat dengan mengurangi atau menambah ukuran elemen.

  Sedangkan gradasi merupakan jenis irama yang penting di mana ukuran warna atau nilai dari elemen-elemen desain secara bertahap bersamaan dengan pengulangan yang terjadi.

  9. Warna Warna sebagai unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang diterima oleh mata lebih ditentukan cahaya. Permasalahan mendasar dari warna di antaranya adalah hue (spektrum warna), saturation (nilai kepekatan) dan lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, mood atau semangat.

  Molly E. Holzschlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisannya “Creating Colour Scheme” (Kusrianto, 2007: 47) membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respon secara psikologis: a. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresivitas dan bahaya.

  b. Biru bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan perintah.

  c. Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan dan pembaruan.

  d. Kuning bermakna optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran/kecurangan, pengecut dan penghianatan.

  e. Ungu bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak dan arogan.

  f. Orange bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan.

  g. Coklat bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan.

  h. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan merusak. i. Putih bermakna kemurnian/suci, bersih, kecermatan, innocent (tanpa dosa), steril dan kematian. j. Hitam bermakna kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan. Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan. Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25).

  Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesan verbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut ini:

  1. Huruf (Romein) Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

  2. Huruf Egyptian Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.

  3. Huruf Sans Serif Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.

  Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.