Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

(1)

TINJAUAN MAKNA DAN BAHASA VISUAL PADA IKLAN

PAPAN REKLAME KAMPANYE POLITIK

(Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik

Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

TRIE TIFANY NATASHA.P. 090904110

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean NIM : 090904110

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : TINJAUAN MAKNA DAN BAHASA VISUAL PADA IKLAN PAPAN REKLAME KAMPANYE POLITIK

(Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, MA Dra.Fatma Wardi Lubis, MA NIP.196710021994031001 NIP.196208281987012001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002


(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia di proses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean NIM : 090904110

Tanda Tangan :


(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Trie Tifany Natasha Panggabean

Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean

NIM : 090904110

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada

Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame

Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji :

Penguji Utama :

Ditetapkan di :


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat penyertaan, kemampuan dan waktu untuk menyelesaikan skripsi dengan judul, “Tinjauan dan Makna Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)”, sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan yang diberikan orang-orang disekeliling penulis yang telah memberikan dukungan. Oleh sebab itu penulis ingin berterima kasih kepada :

1. Mama yang paling saya kasihi, Idolaku yang tak pernah henti memberikan kasih sayang, doa, nasehat serta dukungan semangat dalam setiap langkah hidup saya.

2. Bapak, Abang dan Kakak terkasih yang mendukung penuh dan selalu memberikan semangat untuk berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Hendra Harahap, M.A selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing saya dalam pengerjaan skripsi.

4. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas lmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Inon Beydha, M.Si, Ph.D selaku dosen wali saya selama mengikuti perkuliahan.

7. Kak Icut dan Kak Maya yang telah menolong dalam setiap prosedur administrasi.

8. Seluruh keluarga Panggabean dan Manik yang telah memberikan doa dan semangat kepada saya untuk menjadi orang yang sukses


(6)

kedepannya. Terimakasih buat Ompung Bean yang tak lupa mendoakan cucunya.

9. Sahabat-sahabat terbaik saya, Tika, Sevi, Inri, Helen, Vina dan Iche yang tak pernah putus mendukung dan mendorong semangat saya selama awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Kalian yang terbaik.

10.Rotua, Christine, Indri, Olive, Indah, terimakasih telah menjadi sahabat yang baik dari masa SMA.

11.Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2009 yang telah menjadi teman selama perkuliahan serta teman berbagi cerita.

Dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritikan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi yang membaca baik dari lingkungan akademik maupun masyarakat luas di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2013


(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

__________________________________________________________________

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Trie Tifany Natasha Panggabean

NIM : 090904110

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik ( Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : 21 Juni 2013

Yang Menyatakan


(8)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis semiotika pada iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013. Penelitian ini fokus pada penelitian analisis semiotika yang bersifat kualitatif dan menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual serta makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.

Objek penelitian ini adalah iklan kampanye politik yang ditampilkan melalui media luar ruang, khususnya dalam bentuk papan reklame (billboard). Iklan papan reklame yang diambil untuk diteliti adalah papan reklame yang beredar dari bulan Januari sampai Maret 2013 dan dibatasi menjadi tiga papan reklame untuk setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Gambar dari iklan papan reklame tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis semiotika. Analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes lewat model two order of signification (signifikasi dua tahap). Konsep dasar pemikiran Roland Barthes lebih menekankan kepada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan kata lain inilah gagasan Barthes yang dikenal dengan order of signification’. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya.

Melalui analisis semiologi Roland Barthes ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa pada papan reklame kampanye politik dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara kali ini, memiliki ikon, indeks, dan simbol yang begitu beragam. Papan reklame kampanye politik ini, membawa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ke dalam sebuah tanda sehingga menjelaskan secara nyata sebuah tataran denotatif. Kemudian terdapat pula interaksi antara tanda dengan perasaan atau emosi pembaca serta nilai-nilai kebudayaan di dalam papan reklame, sehingga membawa kepada tataran konotasi yang mempunyai makna tersendiri dan memiliki pengaruh kepada kerangka berpikir dari pembaca. Untuk itu, analisis semiologi Barthes disini berperan untuk menyediakanmetode analisis dan kerangka berpikir, sehingga mengatasi terjadinya salah baca (misreading) ataupun salah dalam mengartikan makna suatu tanda pada iklan papan reklame kampanye politik.

Kata kunci :


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme ... 7

2.2 Interaksionisme Simbolik ... 9

2.3 Semiotika ... 15

2.4 Semiologi Roland Barthes ... 19

2.5 Desain Komunikasi Visual ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 58

3.2 Objek Penelitian ... 59

3.3 Subjek Penelitian ... 59


(10)

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 60

3.6 Teknik Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data ... 63

4.2 Pembahasan ... 64

4.2.1 Analisis Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman ... 64

4.2.2 Analisis Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi ... 84

4.2.3 Analisis Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal ... 103

4.2.4 Analisis Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan ... 127

4.2.5 Analisis Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry ... 144

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... . 164

5.2 Saran ... 165

DAFTAR REFERENSI ... .... 167

DAFTAR LAMPIRAN

- Gambar Papan Reklame Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013

- Daftar Bimbingan Skripsi - Biodata Peneliti


(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 2.1 Teknik dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar... 49 Tabel 3.1 Unit dan Level Analisis ... 60 Tabel 4.1 Data Jumlah Iklan Kampanye Politik melalui Media Luar Ruang... 63 Tabel 4.2 Identifikasi Iklan Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil

Gubernur Sumatera Utara ... 64 Tabel 4.3 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 65 Tabel 4.4 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (1).. 65 Tabel 4.5 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 70 Tabel 4.6 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (2)..70 Tabel 4.7 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 79 Tabel 4.8 Ikon pada Gambar Papan Reklame Gus Irawan dan Soekirman (3).. 80 Tabel 4.9 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 84 Tabel 4.10 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran

Abdi (1)... 85 Tabel 4.11 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 91 Tabel 4.12 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran


(12)

Tabel 4.13 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ... 97 Tabel 4.14 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran

Abdi (3)... 98 Tabel 4.15 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...103 Tabel 4.16 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly

Nurzal (1) ...104 Tabel 4.17 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...110 Tabel 4.18 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly

Nurzal (2) ...111 Tabel 4.19 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...118 Tabel 4.20 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadly

Nurzal (3) ...119 Tabel 4.21 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...127 Tabel 4.22 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan

R.E.Nainggolan (1) ...128 Tabel 4.23 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...134 Tabel 4.24 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan

R.E.Nainggolan (2) ...135 Tabel 4.25 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...140


(13)

Tabel 4.26 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Amri Tambunan dan

R.E.Nainggolan (3) ...141 Tabel 4.27 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...145 Tabel 4.28 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan

Tengku Erry Nuradi (1) ...145 Tabel 4.29 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...152 Tabel 4.30 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan

Tengku Erry Nuradi (2) ...152 Tabel 4.31 Teknik-Teknik dalam Pengambilan Gambar ...159 Tabel 4.32 Ikon dalam Gambar Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1 Semiotic Triangle Ogden and Richards ... 18

Gambar 2.2 Semiologi Roland Barthes ... 22

Gambar 4.1 Papan Reklame GusMan (1) ... 64

Gambar 4.2 Papan Reklame GusMan (2) ... 69

Gambar 4.3 Papan Reklame GusMan (3) ... 79

Gambar 4.4 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (1) ... 84

Gambar 4.5 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (2) ... 90

Gambar 4.6 Papan Reklame Effendi Simbolon dan Jumiran Abdi (3) ... 97

Gambar 4.7 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (1) .. 103

Gambar 4.8 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (2) .. 110

Gambar 4.9 Papan Reklame Chairuman Harahap dan Fadlu Nurzal (3) .. 118

Gambar 4.10 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (1) ... 127

Gambar 4.11 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (2) ... 134

Gambar 4.12 Papan Reklame Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan (3) ... 140

Gambar 4.13 Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry (1) ... 144

Gambar 4.14 Papan Reklame Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry (2) ... 151


(15)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Makna dan Bahasa Visual pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis semiotika pada iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013. Penelitian ini fokus pada penelitian analisis semiotika yang bersifat kualitatif dan menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual serta makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi iklan papan reklame kampanye politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.

Objek penelitian ini adalah iklan kampanye politik yang ditampilkan melalui media luar ruang, khususnya dalam bentuk papan reklame (billboard). Iklan papan reklame yang diambil untuk diteliti adalah papan reklame yang beredar dari bulan Januari sampai Maret 2013 dan dibatasi menjadi tiga papan reklame untuk setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Gambar dari iklan papan reklame tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis semiotika. Analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes lewat model two order of signification (signifikasi dua tahap). Konsep dasar pemikiran Roland Barthes lebih menekankan kepada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan kata lain inilah gagasan Barthes yang dikenal dengan order of signification’. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya.

Melalui analisis semiologi Roland Barthes ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa pada papan reklame kampanye politik dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara kali ini, memiliki ikon, indeks, dan simbol yang begitu beragam. Papan reklame kampanye politik ini, membawa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) ke dalam sebuah tanda sehingga menjelaskan secara nyata sebuah tataran denotatif. Kemudian terdapat pula interaksi antara tanda dengan perasaan atau emosi pembaca serta nilai-nilai kebudayaan di dalam papan reklame, sehingga membawa kepada tataran konotasi yang mempunyai makna tersendiri dan memiliki pengaruh kepada kerangka berpikir dari pembaca. Untuk itu, analisis semiologi Barthes disini berperan untuk menyediakanmetode analisis dan kerangka berpikir, sehingga mengatasi terjadinya salah baca (misreading) ataupun salah dalam mengartikan makna suatu tanda pada iklan papan reklame kampanye politik.

Kata kunci :


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Indonesia saat ini melalui momen-momen aktivitas politik yang melibatkan masyarakat secara luas, seperti pemilihan umum secara langsung anggota legislatif, pemilihan langsung presiden (Pilpres) dan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada). Pemilihan Umum ini merupakan suatu realisasi pelaksanaan sistem demokrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menilik dari sejarah, pelaksanakan kegiatan pemilihan umum di Indonesia pertama sekali diadakan pada tahun 1955, yaitu untuk memilih anggota-anggota DewanPerwakilan Rakyat (DPR) dan anggota-anggota Dewan Konstituante. Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu di Indonesia mulai terlaksana secara periodik dan teratur. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal, sejak itulah Pemilu teratur dilaksanakan.(http://kpud-sumutprov.go.id/sejarah-kpu.html)

Sejak Indonesia merdeka, pemilihan kepala daerah seperti gubernur, walikota dan bupati hanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, sistem pemilihan kepala daerah kemudian berubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) inilah rakyat disetiap provinsi dapat memilih pemimpin daerahnya masing-masing.

Tahun 2013 merupakan momentum bagi masyarakat Sumatera Utara untuk melaksanakan pesta demokrasi. Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU) 2013 merupakan suatu momen penting bagi masyarakat Sumatera Utara untuk memilih sendiri calon gubernur dan wakil gubernur secara langsung.


(17)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara telah menetapkan lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan ikut serta dalam Pilkada Sumut 2013. Kelima pasangan calon gubsu dan wagubsu tersebut adalah pasangan dengan nomor urut satu, Gus Irawan Pasaribu dan H.Soekirman; pasangan nomor urut dua, Effendi M.S. Simbolon-Djumiran Abdi; pasangan nomor urut tiga dengan Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal; pasangan nomor urut empat, Amri Tambunan dan R.E. Nainggolan; serta pasangan nomor urut lima, dengan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi. Pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara ini diadakan pada tanggal 7 Maret 2013.

Sebelum pemilihan kepala daerah dilangsungkan, para kandidat calon kepala daerah tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan kampanye. Menurut Kotler dan Roberto (1989), Kampanye adalah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau mendukung ide, sikap dan perilaku tertentu (Cangara, 2009:284). Dalam konteks komunikasi politik, kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang kandidat. Kampanye politik adalah pencitraan, dengan melakukan pencitraan, penciptaan ulang konsep diri dan kebijakan politik kandidat dengan menggunakan lambang signifikan dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

Dalam pandangan Dan Nimmo dan Robert L.Savage bahwa “there is a close relationship between candidate image and voting behavior.” Nimmo melihat bahwa kampanye membuat perbedaan, terutama bagi orang-orang yang bersikap independen dan belum punya pilihan, dapat berubah sikap dan perilakunya setelah melihat citra calon-calon bertarung. Nimmo lebih jauh melihat bahwa “political campaign as a process of communication,” dimana pemilih tidak serta merta merespons isu-isu kampanye tersebut, melainkan melalu proses pembentukan (construct) pandangan mereka sehingga melalui kampanye akan tiba pada suatu keputusan setelah menginterpretasi simbol-simbol kampanye yang menerpa diri mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki (Cangara, 2009:412).


(18)

Menurut Charles U. Larson (1992), kampanye politik (political campaigns) disebut juga candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat yang umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum (Rakhmat, 2004:11).

Kegiatan kampanye juga harus memiliki saluran untuk menyampaikan pesan kampanye. Dahulu media dianggap sebagai komponen komunikasi yang netral karena dianggap tidak dapat mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh khalayak. Namun akhirnya anggapan tersebut digugat oleh Marshall McLuhan yang secara tegas mengatakan bahwa teknologi komunikasi baru tidak hanya mengubah jumlah ketersediaan informasi di masyarakat tetapi juga mempengaruhi isi pesan yang ditransmisikannnya. Dengan kata lain bentuk media yang mempresentasikan informasi akan menentukan makna pesan yang ‘disampaikan’ dan juga derajat ambiguitas pesan tersebut (Rakhmat 2004:83).

Saluran kampanye tersebut berupa media cetak, media elektronik, media luar ruang dan media format kecil. Berbagai jenis media tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan publisitas dalam bentuk iklan politik. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang memiliki daya jangkauan yang luas. Dalam penyampaiannya, ada iklan yang diucapkan secara lisan dan ada juga yang muncul dalam tulisan, seperti dalam surat kabar, majalah dan papan reklame. Melalui Iklan, sebuah produk dapat dikenal oleh masyarakat. Iklan pada hakikatnya adalah aktivitas menjual pesan (selling message) dengan menggunakan keterampilan kreatif, seperti copywriting, layout, ilustrasi, tipografi, scriptwriting dan pembuatan film. (Wibowo Wahyu, 2003: xiii). Iklan merupakan sebuah seni dari persuasi dan dapat didefenisikan sebagai desain komunikasi yang dibiayai untuk menginformasikan dan membujuk.

Menjelang Pemilu Gubsu 2013 kali ini, media luar ruang (outdoor media) merupakan media yang banyak digunakan oleh para calon gubernur dan wakil


(19)

gubernur untuk menampilkan iklan kampanye politik mereka. Media luar ruang merupakan media yang ditempatkan pada tempat-tempat yang ramai dan dapat dilihat orang banyak. Bentuk-bentuk media luar ruang sendiri antara lain : papan reklame (billboard), spanduk, baliho, iklan bus atau kereta api, elektronic board, bendera, umbul-umbul, balon dan iklan pohon (Cangara, 2009:378). Dari beberapa bentuk media luar ruang tersebut, papan reklame (billboard) merupakan media yang efektif dan sering digunakan dalam kegiatan kampanye. Keunggulan dari papan reklame ini selain besar dan dipasang di tempat yang strategis, juga bisa menampilkan gambar dan tulisan yang menarik.

Para calon gubernur dan wakil gubernur biasanya memanfaatkan papan reklame ini untuk menampilkan gambar diri beserta jargon-jargon politik mereka. Jargon politik merupakan salah satu alat bahasa untuk berpolitik. Menurut KBBI, yang disebut dengan jargon adalah kosakata khusus yang dipergunakan dalam bidang kehidupan (lingkungan) tertentu (Alwi,2003). Jargon politik memiliki kekuatan yang besar dalam sebuah kampanye politik, khususnya untuk pencalonan kepala daerah. Jargon politik ini juga memiliki kekuatan untuk mengubah cara pandang dan opini publik terhadap kandidat serta menjadi alat untuk membujuk dan meyakinkan masyarakat. Kekuatan bahasa jargon politik ini juga mampu mendongkrak popularitas dan mengubah image dari kandidat calon gubernur. Untuk itu bahasa yang digunakan pada jargon politik ini pun dirancang dan dikreasikan menggunakan bahasa yang efektif dan komunikatif agar dapat menyihir publik.

Seperti halnya pasangan nomor urut satu, Gus Irawan Pasaribu dan Soekirman (GUSMAN) yang memilih jargon politik “Perubahan untuk Sumut Sejahtera”. Lalu ada pasangan nomor urut dua, Effendi Simbolon dan Djumiran Abdi (ESJA) yang memiliki jargon politik “Sumut 2013 Lebih BerWaRNa – Bersih Berwibawa Sejahtera dan Berguna”. Pasangan nomor urut tiga, Chairuman Harahap dan Fadly Nurzal, yang mengangkat jargon politik mereka dengan “Membangun dari desa”. Pasangan nomor urut empat dengan Amri Tambunan dan R.E.Nainggolan yang memiliki jargon politik “Membangun dalam Kebhinekaan”. Dan pasangan terakhir dengan nomor urut lima, Gatot Pujo


(20)

Nugroho dan Tengku Erry Nuradi (GANTENG) yang memiliki jargon politik, “Merakyat, Membangun, Melayani SUMUT”.

Selain jargon politik, di dalam papan reklame dari masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini menampilkan foto diri mereka masing-masing. Hal ini tentunya ditujukan agar masyarakat yang melihatnya dapat mengenal calon pemimpin mereka. Paduan gambar, jargon dan warna yang menarik pada papan reklame ini menciptakan visualisasi yang dapat mempengaruhi orang yang melihatnya. Simbol dan tanda yang terdapat dalam iklan papan reklame kampanye politik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara, merupakan elemen dasar pada semiotika. Cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya memungkinkan untuk dihasilkannya makna sebuah teks (Piliang, 2012: 304).

Iklan kampanye politik para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2013 yang marak tersebar di setiap ruas jalan besar di kota Medan ini, sangat menarik untuk diteliti karena penuh dengan simbol-simbol yang mengandung makna tersendiri. Untuk itu pada penelitian ini digunakan analisis semiotika dalam menganalisa papan reklame kampanye politik para kandidat calon gubernur dan wakil gubernur. Hal ini memberikan jalan bagi peneliti untuk mempresentasikan makna yang terkandung di dalam iklan kampanye politik para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana makna semiotika dan bahasa visual pada papan reklame iklan kampanye politik calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013?

1.3 Tujuan Penelitian


(21)

1. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual pada papan reklame pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013.

2. Untuk mengetahui makna semiotika yang terkandung dalam visualisasi iklan papan reklame kampanye politik calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 dengan menggunakan semiologi Roland Barthes.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambah wawasan peneliti secara khusus mengenai makna dan bahasa visual pada papan reklame melalui analisis semiotika.

3. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan oleh media khususnya media luar ruang dalam bentuk papan reklame.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Ia menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya.


(23)

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.

Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.


(24)

2.2 Interaksionisme Simbolik

Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial (Ardianto dan Anees, 2007:135). Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago.

Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu (Morissan, 2009:75).

Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.


(25)

a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya.

b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.

c. Manusia memahami pengalamannua melalui makna dari simbol yang digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.

d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.

f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society, menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling memengaruhi satu sama lain dalam teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep tersebut adalah pikiran manusia (mind), diri (self), dan masyarakat (society). Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan yang lain digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal dari proses umum yang sama, yang disebut ‘tindakan sosial’ (social act). Tindakan sosial (social act) adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam subbagian tertentu (Morissan, 2009:144).

Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang lainnya sampai ia mempelajari bahasa (language), atau sebuah sistem simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan.


(26)

Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang (West dan Turner, 2009:105). Contohnya, ketika orangtua berbicara dengan lembut kepada bayinya, bayi itu mungkin akan memberikan respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami makna dari kata-kata yang digunakan orangtuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai mempelajari bahasa, bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol signifikan dan dapat mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol yang digunakan. Hal ini, menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran berkembang.

Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran dan ini membuat kita mampu menciptakan setting interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri kita. Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Namun, pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyatakan bahwa keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Pikiran merefleksikan dan menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia belajar berbagai norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu, ia juga mempelajari cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui interaksi.

Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang diselesaikan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Proses ini juga disebut pengambilan perspektif karena kondisi ini mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan perspektifnya sendiri terhadap sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari perspektif orang lain. Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.

Mead mendefenisikan diri (self) sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Mead meyakini bahwa diri tidak


(27)

berasal dari introspeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana, melainkan dari bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiologis Charles Cooley, Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri (looking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu : pertama, kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; Kedua, kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; ketiga, kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan yang dimiliki label terhadap konsep diri dan perilaku. Label menggambarkan prediksi pemenuhan diri, yaitu harapan pribadi yang memengaruhi perilaku.

Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati sebagai Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.

Mead mendefenisikan masyarakat (society) sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain.

Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang memengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus (particular others) merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga,


(28)

teman, dan kolega di tempat kerja. Identitas dari orang lain secara khusus dan konteksnya memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai diri kita.

Orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934:154). Orang lain secara umum menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.

Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley, seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi yang tidak pernah digunakan Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai, “a somewhat barbaric neologism that I coined in an offhand way... The term somehow caught on” (sebuah kata baru kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran... Istilah yang terjadi begitu saja) (Littlejohn, 1996:160).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68). Herbert Blumer kemudian menyambung gagasan-gagasan Mead yang tertulis dalam karangannya yang berjudul “Sociological Implications of the Thought of George Herbert Mead”dan bukunya Symbolic Interactionism : Perspectove and Method (1969).

Pertama, konsep diri. Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang dari luar maupun dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism having a self). Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.


(29)

Kedua, konsep perbuatan (action). Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self image-nya, ingatannya, dan cita-citanya untuk masa depan.

Ketiga, konsep objek. Blumer memandang, manusia hidup di tengah objek-objek. Kata “objek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep kebebasan.

Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi dalam pandangan Blumer adalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan dan sikap masing-masing peserta.

Kelima, konsep joint action. Pada konsep ini Blumer mengganti istilah social act dari Mead dengan istilah joint action. Artinya aksi kolektif yang lahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan: transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya. realitas sosial dibentuk dari joint actions dan merupakan objek sosiologi yang sebenarnya.

Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Blumer berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu :

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.


(30)

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

2.3 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27).

Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah ‘tanda’ yang diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).

Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam defenisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang direpresentasikan atau konsep mental (Birowo, 2004:45). Tanda sebagai kesatuan


(31)

yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.

Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.

Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya.

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Contohnya saja potret foto seseorang yang dapat dikatakan sebagai suatu ikon, begitu juga dengan peta atau gambar yang ditempel pada pintu kamar kecil pria dan wanita yang merupakan sebuah ikon. Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama dari sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim


(32)

yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsur-unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi (perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa.

Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :


(33)

Pikiran atau Referensi

Simbol Acuan

Gambar 2.1 : Semiotic Triangle Ogden and Richards

Sumber : Sobur, Alex.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm.159

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain, simbol lebih substansif daripada tanda. Semiotika dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu:

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).

2. Sintaktik

Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan diantara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya,


(34)

tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik sebagai aturan yang digunakan manusia untuk menggabungkan atau mengkombinasi berbagai tanda ke dalam suatu sistem makna yang kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan arti atau makna (Morissan 2009:30).

3. Pragmatik

Pragmatik adalah bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi (Morissan 2009:30).

2.4 Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes, ahli semiotika yang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan


(35)

Barthes ini dikenal dengan “order of significations” (Kriyantono, 2010 : 272). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran pembaca (the reader).

Tradisi Semiotika pada awal kemunculannya hanya sebatas makna-makna denotatif atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes ada makna lain yang bermain pada level yang lebih mendalam, yaitu pada level konotasi. Tambahan ini adalah sumbangan dari Barthes yang sangat berharga untuk menyempurnakan pemikiran Saussure, yang hanya berhenti pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004:255). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi ini sebagai kunci dari analisisnya. Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif.

Lewat model Signifikasi dua tahap (two order of signification) Barthes menjelaskan bahwa denotasi atau signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dan paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara mengggambarkannya (Wibowo, 2011:37).

Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Pembaca mudah sekali membaca makna


(36)

konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat membentuk sebuah konotator tunggal.

Dalam iklan, susunan tanda-tanda nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar atau penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ’mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran

kedua

mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki penanda (Sobur, 2004:71). Misalnya saja Imperialisme Inggris, yang ditandai oleh berbagai ragam penanda seperti teh, bendera Union Jack serta bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Artinya dalam segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan dan kejantanan. Mitos ini bermain


(37)

dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau metalanguage (Strinati, 1995 : 113). Dibukanya pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan ‘pembaca’ iklan memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes :

Gambar 2.2 : Semiologi Roland Barthes

Sumber :

Pada tingkatan pertama (Language), Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi signifier (I) dan digabungkan dengan signified (II) dan menjadi sign (III). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah yang berupa myth (mitos) disebut juga sebagai metalanguage. Di sini dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda dan makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya.


(38)

Roland Barthes dalam bukunya S/Z seperti dikutip Yasraf A.Piliang mengelompokkan kode-kode menjadi lima kisi-kisi kode, yakni :

Kode hermeneutik, yaitu artikulasi sebagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda yang lain.

Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.

Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode narasi atau proairetik, yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Terakhir ada Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.

Roland Barthes menganalisa iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya berupa :

1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan)

2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat)


(39)

2.5 Desain Komunikasi Visual

Sejak awal sejarah terciptanya manusia di dunia ini, komunikasi antar manusia merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan. Selain kata-kata, unsur rupa juga sangat berperan dalam kegiatan berkomunikasi tersebut. Komunikasi visual hadir sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata. Komunikasi visual merupakan komunikasi yang menggunakan bahasa visual, dimana unsur dasar bahasa visual yang menjadi kekuatan utama dalam menyampaikan komunikasi, adalah segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna atau pesan. Sekalipun ungkapan visual ditujukan untuk indra penglihatan, tetapi melaui konsep multimedia dapat dikembangkan imajinasi dan kreatifitas dengan berbagai kemungkinan.

Desain komunikasi visual adalah suatu disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari konsep-konsep komunikasi serta ungkapan kreatif melalui berbagai media untuk menyampaikan pesan dan gagasan secara visual dengan mengelola elemen-elemen grafis berupa bentuk dan gambar, tatanan huruf, komposisi warna, lay out bahkan musik ataupun suara. Dengan demikian gagasan bisa diterima oleh orang atau kelompok yang menjadi sasaran penerima pesan (Kusrianto, 2007:2).

Keberadaan desain komunikasi visual sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Komunikasi visual tidak bisa lepas dari sejarah manusia karena menjadi salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup. Bagi Widagdo (1993:31) desain komunikasi visual dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan. Hal itu karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.


(40)

Desain komunikasi visual pada dasarnya merupakan bagian desain grafis yang memiliki cakupan elemen yang luas. Desain komunikasi visual hanya terbatas sebagai ilmu yang mempelajari segala upaya untuk menciptakan suatu rancangan (desain) yang bersifat kasat mata (visual) untuk mengkomunikasikan pesan. Misalnya dalam bentuk poster, iklan media cetak, ataupun foto. Elemen atau unsur adalah bagian dari suatu karya desain. Elemen-elemen tersebut saling berhubungan satu sama lain dimana masing-masing elemen memiliki sikap tertentu terhadap yang lain. Misalnya, sebuah garis mengandung warna dan style garis yang utuh, yang terputus-putus, yang mempunyai tekstur bentuk dan sebagainya. Elemen-elemen seni visual ini tersusun dalam suatu bentuk organisasi dasar prinsip-prinsip desain.

Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan guna menyampaikan pola pikir dari penyampai pesan kepada penerima pesan, dalam bentuk visual yang komunikatif, efektif, efesien, tepat, terpola, terpadu serta estetis melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. Seorang desainer komunikasi visual adalah penerjemah dalam komunikasi gagasan yang tidak sama seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya. Karena itulah desain komunikasi visual mengajarkan berbagai bahsa visual yang dapat digunakan untuk menerjemahkan pikiran dalam bentuk visual. Desainer komunikasi visual harus memahami seluk beluk pesan yang ingin disampaikannya. Ia juga harus mempunyai kemampuan menafsir, kecendrungan dan kondisi fisik ataupun jiwa dari manusia atau kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Selain itu, seorang desainer komunikasi visual harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang sesuai dengan pesan yang dibawakannya serta tepat untuk diterima secara efektif oleh penerima pesan.

Dalam perkembangannya selama beberapa abad desain komunikasi visual menurut Cenadi (1994:4) mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu:

a. Desain komunikasi visual sebagai sarana identifikasi

Fungsi dasar yang utam dari desain komunikasi visual adalah sebagai sarana identifikasi. Identitas seseorang dapat mengatakan siapa orang itu,


(41)

atau dari mana asalnya. Demikian juga dengan suatu benda, produk ataupun lembaga, jika mempunyai identitas akan dapat mencerminkan kualitas produk atau jasa itu dan mudah dikenali, baik oleh baik oleh produsennya maupun konsumennya. Kita akan lebih mudah membeli minyak goreng dengan menyebutkan merek X ukuran Y liter daripada hanya mengatakan membeli minyak goreng saja. Atau kita akan membeli minyak goreng merek X karena logonya berkesan bening, bersih, dan sehat. Jika desain komunikasi visual digunakan untuk identifikasi lembaga seperti sekolah, maka orang akan lebih mudah menentukan sekolah A atau B sebagai favorit, karena sering berprestasi dalam kancah nasional atau meraih peringkat tertinggi di daerah itu.

b. Desain komunikasi visual sebagai sarana informasi dan instruksi

Sebagai sarana sarana informasi dan instruksi, desain komunikasi visual bertujuan menunjukkan hubungan antara suatu hal dengan hal yang lain dalam petunjuk, arah, posisi dan skala, contohnya peta, diagram, simbol dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila dikomunikasikan kepada orang yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten. Simbol-simbol yang kita jumpai sehari-hari seperti tanda dan rambu lalu lintas, simbol-simbol di tempat-tempat umum seperti telepon umum, toilet, restoran dan lain-lain harus bersifat informatif dan komunikatif, dapat dibaca dan dimengerti oleh orang dari berbagai latar belakang dan kalangan. Inilah sekali lagi salah satu alasan mengapa desain komunikasi visual harus bersifat universal.

c. Desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi

Tujuan dari desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi adalah untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian (atensi) dari mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat diingat; contohnya poster. Penggunaan gambar dan kata-kata yang diperlukan sangat sedikit, mempunyai satu makna dan mengesankan.


(42)

Umumnya, untuk mencapai tujuan ini, maka gambar dan kata-kata yang digunakan bersifat persuasif dan menarik, karena tujuan akhirnya adalah menjual suatu produk atau jasa.

Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan, lambang-lambang atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, coorporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik. Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti: garis, warna dan komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non verbal, berbeda dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Desain komunikasi visual sendiri banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai lambang visual pesan, guna mengefektifkan komunikasi (Tinarbuko, 2003:32).

Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan interpretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan dari sebuah pengirim pesan kepada para penerima tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu atau dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu (Piliang, 2012: 339).

Upaya mendayagunakan lambang-lambang visual ini berangkat dari premis bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan sangat istimewa untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal. Menurut Umar Hadi (1993), sebagai bahasa, desain komunikasi visual adalah ungkapan ide, dan pesan


(43)

dari perancang kepada publik yang dituju melalui simbol berwujud gambar, warna, tulisan dan lainnya. Ia akan komunikatif apabila bahasa yang disampaikan itu dapat dimengerti oleh publik. Ia juga akan berkesan apabila dalam penyajiannya itu terdapat suatu kekhasan atau keunikan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah dibedakan dengan yang lain.

Dalam hal bentuk dan visualisasinya, desain komunikasi visual berhadapan dengan sejumlah teknik, alat, bahan, dan ketrampilan. Pesan yang baik akan lebih bernilai apabila didukung dengan teknik yang memadai dan ditunjang kepiawaian dalam mewujudkannya. Terkait dengan itu, perancang grafis T.Sutanto seperti yang dikutip Umar Hadi menunjukkan potensi istimewa bahasa visual, antara lain: pertama, bahasa visual mempunyai kesempatan untuk lebih cepat dan langsung dimengerti daripada bahasa verbal, tulisan, lisan ataupun suara. Kedua, bahasa visual dapat lebih permanen daripada bahasa suara yang bergerak dalam waktu serta lebih mudah dipisahkan dari keadaan kompleksitasnya. Ketiga, bahasa visual mempunyai kesempatan amat kuat nilai simbolisnya. Banyak orang enggan mengubah namanya ke dalam ejaan baru karena tulisan lebih dianggap sebagai simbol visual pribadinya, bukan sebagai sistem visualisasi bunyi.

Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi, yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda. Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual. Berbagai bentuk desain komunikasi visual, seperti : iklan, fotografi jurnalistik, poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video clip, web design, cd interaktif. Melalui bentuk-bentuk komunikasi visual tersebut, pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

Dalam komunikasi visual, semantik menjadi panutan yang tepat dalam menelaah, meneliti dan menganalisis makna tanda-tanda visual. Visualisasi dari


(44)

image merupakan simbol dari suatu makna. Dalam lingkup pemaknaan terhadap pesan terdapat istilah Asosiasi dan Sintestesia. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat. Misalnya dalam sebuah iklan multivitamin disamakan dengan fungsi baterai yang pada zaman ini lebih mudah dimengerti. Jika seseorang merasa lemas berarti baterai (tenaganya) hampir habis. Ungkapan itu tidak dapat dipakai tahun enampuluhan karena dahulu biasanya hanya untuk senter dan radio transistor. Sinestesia adalah perubahan makna akibat pertukaran antara dua indra yang berlainan. Misalnya, ungkapan yang menyatakan: “suaranya enak didengar”, “warnanya terasa pedas”, “bau yang segar”.

Penelaahan makna dan tanda-tanda visual digunakan dengan dua cara yaitu pemaknaan denotatif dan pemaknaan konotatif yang akan dijelaskan secara lengkap dalam semiologi Roland Barthes. Makna tanda maupun simbol yang ada biasanya bersifat refleks dan datang dari alam. Namun ada juga yang merupakan representasi simbolik dan interpretasi manusia berdasarkan budaya atau peraturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Simbol-simbol yang diciptakan dalam masyarakat tertentu disebarkan melalui komunikasi sehingga simbol-simbol tersebut dimiliki secara luas dan distandardisasi maknanya.

Sebuah visual atau simbol seringkali dapat memberikan dua makna bahkan lebih yang bisa saling mendukung atau bahkan saling bertentangan. Untuk itu seorang perancang harus mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan visual atau simbol tersebut. Contohnya burung hantu di manado merupakan simbol kabar baik, namun di daerah tertentu burung hantu dianggap sebagai simbol kesialan. Semantik juga sangat melibatkan indra manusia dalam pembentukkan makna tanda-tanda visual. Suara dapat divisualisasikan dalam bentuk teks yang sesuai, misalnya orang yang sedang tidur dapat divisualisasikan dalam bentuk teks dengan huruf Z yang berurutan panjang.

Tanda visual juga mampu mengkomunikasikan bahasa tubuh yang menggambarkan seperti sedang marah, galak, bingung, sakit, melankolis, macho, feminim dan sebagainya. Contoh lain, sebuah misteri digambarkan dengan warna hitam, gelap dan bersifat teka-teki. Atau suasana romantis yang digambarkan


(45)

dengan warna pink, sepasang burung merpati, senyuman atau malaikat cinta yang memegang busur panah yang biasa disebut cupid.

Seorang visualiser dituntut untuk memiliki kemampuan “menyederhanakan bentuk”. Penggambaran ide yang sederhana akan lebih cepat ditangkap dan dipahami. Ada beberapa konsep penyampaian visual, antara lain :

1. Semantik Metafora/Transformasi/Metamorfosis

Perspektif bentuk dalam logika dan imajinasi. Artinya, mentransfer atau mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain dan mengubah konsep verbal menjadi ungkapan visual.

2.Semantik Kontradiksi

Menggambarkan pertentangan, perlawanan, sebab akibat dan perbandingan. Misalnya, penggambaran api menjadi es yang berarti perubahan dari panas menjadi dingin.

3.Semantik Kombinasi (Collaborations)

Perspektif bentuk dalam logika dan imajinasi dengan menggambungkan dua bentuk atau lebih yang berbeda maupun yang sama.

4.Semantik Style

Visual yang disampaikan dalam beberapa style atau gaya merujuk pada style-style tertentu sebagai ikatan benang merahnya. Visual style merujuk pada seni seperti Naturalis, Kartunis, Surealisme, Pop Art, Impresionisme dan Ekspresionisme.

Teks visual merupakan area yang penting dalam analisis semiotika karena gambar adalah elemen sentral dalam sistem komunikasi visual. Sistem pemaknaan menurut Culler dan Berger adalah menganalisa dengan melihat budaya dan produk komunikasi serta peristiwa sebagai tanda dan kemudian dengan melihat hubungan antara berbagai tanda tersebut. Dalam wilayah cakupan semiotika visual, pencarian segala jenis tanda disampaikan oleh indra visual yang mungkin


(46)

diragukan, maksudnya ketika ingin menginterpretasikan sesuatu haruslah melalui konsep strukturalis berdasarkan bentuk apa, bukan isinya tetapi berkaitan dengan maknanya.

Bahasa visual dalam bentuk verbal, tulisan, lisan ataupun suara merupakan sebuah kode dalam sistem komunikasi. Sesungguhnya, kode merupakan sebuah sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan kode tersebut. Menurut Sagers (Sobur, 2002:31), kode dapat didefenisikan sebagai sistem tanda manapun yang dengan persetujuan sebelumnya antara sumber dan sasaran digunakan untuk menggambarkan dan membawakan situasi. Ada tiga macam kode dalam semantik, antara lain :

1.Kode-kode sosial, yaitu:

a. Bahasa verbal (fonologi, sintaksis, leksikal, prosodik, dan sub kode paralinguistik).

b. Bahasa tubuh (kontak tubuh, orientasi fisik, kedekatan, ekspresi wajah, penampakan, kerutan kening, gerak, postur dan tatapan).

c. Kode komoditas (busana, pakaian dan mobil).

d. Kode kebiasaan (protokol, ritual, peranan dan permainan).

2.Kode-kode tekstual, yaitu:

a. Kode pengetahuan termasuk matematika.

b. Kode estetika, yaitu berbagai bentuk pengekspresian seni seperti puisi, drama, lukisan, musik dan sebagainya. Termasuk di dalamnya keklasikan, keromantisan dan kenyataan.

c. Kode gender, retorika dan style: naratif (plot, karakter, akting, dialog dan setting), pertunjukan pendapat dan sebagainya.

d. Kode media massa termasuk televisi, film radio, surat kabar, majalah dan kode dalam fotografi baik secara teknik maupun konvensional.

3.Kode-kode interpretatif, yaitu:


(47)

b. Kode-kode ideologi; termasuk kode untuk encoding dan decoding teks, negosiasi atau oposisi. Lebih khususnya dapat diurutkan seperti individualisme, liberalisme, feminisme, rasisme, materialisme, kapitalisme, sosialisme, objektifisme, dan konsumerisme.

Kode adalah tanda yang berhubungan dengan sebuah sistem, seperti kalau kita berbicara mengenai sistem bahasa atau sistem gambar dan sebagainya. Kode dalam pikiran seseorang mempengaruhi cara individu tersebut dalam menginterpretasikan tanda dan simbol yang mereka temui dari media massa di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kode terdapat berbagai elemen, terutama yang berhubungan dengan bahasa dan gambar yang bisa dilihat secara lebih detail. Begitu pula dalm komunikasi visual yang banyak menggunakan komunikasi nonverbal yang dilangsungkan melalui kode-kode presentasional seperti gestur, gerak mata atau sifat suara.

Komunikasi nonverbal memiliki dua fungsi yaitu : pertama, untuk menyampaikan informasi indeksikal. Ini merupakan informasi mengenai identitas, emosi, sikap, posisi sosial dan sebagainya. seperti sebuah gambar yang bisa menunjukkan ekspresi sukacita dan depresi. Fungsi kedua, manajemen interaksi. Kode-kode digunakan untuk mengelola relasi yang ingin dibentuk encoder dengan pihak lain. Misalnya dengan menggunakan gestur, postur, ataupun nada suara tertentu bisa menyampaikan informasi tentang relasi dan bukannya tentang encoder. Namun, ahli psikologi sosial mengakui adanya fungsi ketiga dari kode yang hanya bisa ditampilkan secara representasional. Fungsi tersebut adalah kognitif atau ideasional. Ini merupakan fungsi menyampaikan informasi atau gagasan tentang sesuatu yang tak ada dan melibatkan penciptaan pesan atau teks yang terlepas dari komunikator atau situasi. Contoh dari kode representasional adalah foto ataupun bahasa verbal. Kode representasional adalah satu-satunya kode yang bisa menunjukkan fungsi referensia. Kode presentasional sangat efektif untuk fungsi konatif dan emosi.


(48)

Tubuh Manusia merupakan transmiter utama kode-kode presentasional. Argyle (1972) dalam Fiske (1990:1995), menyusun sepuluh daftar kode presentasional sebagai berikut :

1. Kontak Tubuh

Kita dapat menyampaikan pesan-pesan penting tentang relasi kepada orang yang kita sentuh pada waktu dan tempat tepat. Jarak (kedekatan) dan kode merupakan ragam dalam berbagai kebudayaan. Contohnya: orang Inggris saling menyentuh satu sama lain lebih sering dibandingkan orang dari kebudayaan lain.

2. Orientasi

Bagaimana posisi kita terhadap orang lain merupakan cara lain untuk mengirimkan pesan tentang relasi. Menghadapi langsung pada wajah seseorang dapat menunjukkan baik keakraban maupun agresif; posisi 90 derajat pada orang lain menunjukkan sikap kooperatif dan sebagainya.

3. Penampilan

Argyle membedakan penampilan menjadi dua aspek, yaitu: pertama, aspek yang berada dibawah kontrol, seperti rambut, pakaian, kulit warna kulit dan perhiasan. Kedua, aspek yang kurang bisa terkontrol, seperti tinggi badan, berat badan maupun umur. Semua kebudayaan, rambut sangat signifikan karena rambut merupakan bagian dari tubuh kita yang paling ‘fleksibel’. Kita bisa dengan mudah mengubah penampilan rambut. Penampilan digunakan untuk mengirimkan pesan tentang kepribadian, status sosial, dan konfomitas (kesesuaian atau keserasian).

4. Postur

Cara berdiri, duduk atau berselonjor bisa mengkomunikasikan secara terbatas namun memiliki makna. Postur seringkali terkait dengan sikap interpersonal. Sikap bersahabat, bermusuhan, superioritas, ataupun


(49)

inferioritas dapat ditunjukkan lewat postur. Postur juga bisa menunjukkan kondisi emosi, seperti sikap tegang atau santai.

5. Gestur

Lengan dan tangan adalah transmiter utama dari gestur disamping gestur kaki dan gestur kepala. Semuanya terkoordinasi erat dengan pembicaraan dan pelengkap komunikasi verbal. Gestur dapat menunjukkan emosi umum ataupun emosi tertentu. Gerakan yang sebentar-sebentar dan gerak naik turun yang empatis menunjukkan upaya mendominasi. Gestur sirkular menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati. Di samping gestur-gestur indeksikal, ada juga kode simbolik. Kode-kode simbolik sering juga untuk menghina atau mencaci pada kultur atau subkultur, misalnya: tanda V.

6. Ekspresi wajah

Ekspresi bisa dibagi ke dalam sub-sub kode posisi alis, bentuk mata, mulut, dan lubang hidung. Semua itu dalam berbagai kombinasinya menentukan ekspresi wajah dan memungkinkan untuk menulis sebuah ‘tata bahasa’ dari kombinasi dan maknanya. Hal yang menarik, ekspresi wajah menunjukkan kurang bervariasi secara lintas kultural dibandingkan dengan kode-kode presentasional lainnya.

7. Anggukan kepala

Hal ini banyak digunakan dalam manajemen interaksi, khususnya dalam mengambil giliran berbicara. Satu anggukan berarti menginzinkan orang lain berbicara, anggukan cepat menunjukkan keinginan untuk berbicara.

8. Gerak dan kontak mata

Kapan, seberapa sering dan berapa lama kita bertatap mata dengan orang lain merupakan hal yang penting untuk menyampaikan pesan tentang relasi, khususnya seberapa dominan persahabatan yang ingin terbangun. Hal itu menunjukkan seseorang adalah tantangan sederhana terhadap


(50)

dominasi. Melakukan kontak mata sejak awal pada permulaan pernyataan verbal menunjukkan hasrat untuk mendominasi pendengar, membuat mereka memberi perhatian; kontak mata akhir atau setelah pernyataan verbal menunjukkan relasi yang lebih afiliatif, hasrat untuk memperoleh umpan balik atau untuk melihat bagaimana pendengar bereaksi.

9. Proximity

Seberapa dekat kita mendekati seseorang dapat memberikan pesan tentang relasi. Ini tampaknya merupakan ‘sifat distingtif’ yang membedakan secara signifikan jarak-jarak yang berlainan. Jarak dalam lingkaran 3 kaki adalah intim, lebih dari itu sampai 8 kaki personal, lebih dari 8 kaki semi publik dan seterusnya. Jarak yang sebenarnya akan berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Jarak personal dianggap tak aman bagi orang Arab. Jarak lebih dekat dari 18 inchi bisa menjadi sangat memalukan bagi pendengar Inggris. Jarak kelas menengah cenderung sedikit lebih besar dibandingkan dengan kelas pekerja.

10.Aspek nonverbal percakapan, yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Kode-kode prosodic yang mempengaruhi pemaknaan kata-kata yang

digunakan. Nada suara dan penekanan menjadi kode utama disini. Contohnya, kalimat “Dia menjadi juara” dapat diartikan sebagai pernyataan, pertanyaan ataupun ekspresi ketidakpercayaan bergantung pada nada suara.

b. Kode-kode paralinguistik yang mengkomunikasikan informasi tentang pembicara, aksen, volume, irama, salah ucap dan kecepatan berbicara yang dapat menunjukkan kondisi emosi, kepribadian, kelas, status sosial, cara memandang pendengar dan seterusnya dari pembicara.

Sebagai bagian dari desain grafis, desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik serta media


(1)

5.2 Saran

Beberapa saran yang ingin diberikan penulis :

1. Saran penelitian

Penelitian mengungkap fenomena kejadian yang terjadi menjelang pemilihan umum ataupun pilkada, dimana poster dan papan reklame digunakan sebagai sarana komunikasi oleh kandidat dengan masayrakat. Dari penelitian ini penulis menyarankan kepada kandidat agar menyampaikan pesan yang komunikatif, positif dan membangun memperhatikan makna semiotika.

2. Saran dalam Kaitan Akademis

Peneliti melihat semiotika merupakan kajian yang membutuhkan wawasan yang luas untuk bisa mendapatkan kajian yang yang mendalam. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya yang meneliti dengan kajian yang sama, agar dapat menambah bahan bacaan dan meningkatkan wawasan yang berkaitan dengan objek penelitian demi tercapainya kedalaman penelitian. Peneliti lainnya disarankan menggunakan daya kritisnya dalam membangun kesadaran masyarakat bahwa ada upaya-upaya media untuk menciptakan pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Harapan lainnya adalah agar ada penambahan mata kuliah yang mempelajari semiotika, sehingga mahasiswa ilmu komunikasi dapat meningkatkan kemampuan dalam mengungkap gejala dan menganalisis fenomena terkait dengan dunia Ilmu Komunikasi melalui kerangka analisis semiotika.

3. Saran dalam kaitan Praktis

Secara praktis, papan reklame calon Gubernur dan Wakil Gubernur ini memiliki penanda-penanda konotasi yang memiliki makna tersirat dan dapat berpengaruh kepada pengertian dan kerangka berpikir dari para pembaca. Untuk itu, diharapkan para pembaca agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan oleh media khususnya media luar


(2)

yang benar tentang media agar tidak keliru memaknai pesan pada iklan media luar ruang. Bagi para politisi yang akan mencalonkan diri dan akan menggunakan iklan media luar ruang sebagai media kampanye politik, disarankan agar lebih kritis dan memperhatikan makna semiotika ketika merancang pesan kampanye politik mereka.


(3)

DAFTAR REFERENSI

Alwi, Hasan et al.2003.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Bandung: Balai Pustaka. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees.2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.

Bandung: Simbiosa Rekama Media.

Barthes, Roland. 1988. The Semiotics Challenge. New York: Hill and Wang. Birowo, M. Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Gitanyali.

Budiman, Manneke. 2002. Indonesia: Perang Tanda. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Cangara,Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep,Teori dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Christomy, T. dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Danger, Erik P. 1992. Selecting Colour for Packaging. England: Gower Technical Press Ltd.

Eriyanto. 2004. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS.

Jalaluddin, Rakhmat. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.

Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana.


(4)

Liliweri, Alo.1992.Dasar-dasar Komunikasi Periklanan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Morissan,Andy dan Wardhany. 2009. Teori Komunikasi tentang Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Medan: USU PRESS. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika :Tafsir Cultural Studies dan Atas

Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

__________________. 2012.Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode dan

Matinya Makna.Bandung: Matahari.

Santosa, Sigit. 2009. Creative Advertising. Jakarta: Alex Media Komputindo. Selby, Keith dan Ron Coedery.1995. How to Study Television. London: Mc

Millisan.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung:

PT.Remaja Rosdakarya

___________.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. ___________. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular Culture. New York: Routledge.

Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan, Format Komunikasi Mondial dalam


(5)

West, Richard dan Lyn Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi ‘Analisis dan Aplikasi’. Jakarta: Salemba Humanika.

Jurnal :

Cenadi, Christine Suharto. 1999. Elemen-elemen dalam Desain Komunikasi Visual. Jurnal Nirmana, 1, 1-11.

Harahap, Ti Hajar Andina. 2003. Analisis Semiotik Media Luar Ruang. Program S1 USU.

Tinarbuko, Sumbo.2003.Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual. Jurnal Nirmana, 5, 31-47.

Widagdo. 1993. “Desain, Teori, dan Praktek”. Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. BP ISI Yogyakarta III/03.

Sumber Lain :

(Diakses tanggal 12 Januari 2013)


(6)

Dokumen yang terkait

Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis

5 106 93

Perjanjian Pemasangan Papan Reklame Antara PT. Sumo Internusa Indonesia Advertising dengan PT.Samsung Elektronik Indonesia di Medan

4 54 146

UNSUR AIDA PADA IKLAN POLITIK AUDIO VISUAL CALON PRESIDEN 2014 (Analisis Isi pada Iklan Iklan Kampanye Politik Jokowi_JK Versi bersatu padu pilih No 2, Iklan Kampanye Politik Jokowi_JK Versi Kawan bukan Lawan dan Iklan Kampanye Politik Jokowi_JK Versi Ram

0 8 29

Makna Kepemimpinan Islami Dalam Iklan Politik Di Televisi (Analisis Semiotika Iklan Kampanye Pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013)

0 15 0

Representasi Identitas Budaya Sunda dalam Iklan (Analisis Semiotika Iklan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Representasi Identitas Budaya Sunda dalam Iklan (Analisis Semiotika Iklan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Periode 2013-2018 Ahmad H

0 2 15

Identitas Budaya Sunda dalam Iklan Politik Representasi Identitas Budaya Sunda dalam Iklan (Analisis Semiotika Iklan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Periode 2013-2018 Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar).

0 1 14

sttp kampanye deklarasi damai calon gubernur dan wakil gubernur prov papua

0 0 5

Opini Mahasiswa Kota Medan Terhadap Iklan Politik Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2018

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

0 3 6

Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Pada Iklan Papan Reklame Kampanye Politik (Analisis Semiotika Iklan Papan Reklame Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013)

0 0 14