Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis

(1)

TINJAUAN MAKNA DAN BAHASA VISUAL IKLAN

(Analisis Semiotika Iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” di

Televisi Swasta)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan

Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh:

MUHAMMAD NOVRI

080904097

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” di Televisi Swasta)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan pembuat iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan telekomunikasi dalam televisi juga mempunyai bebraspa aturan yang harus ditaati oleh operator. Dan karena banyaknya jumlah operator telekomunikasi yang ada di indonesia membuat iklan-iklan yang ada dibuat dan disajikan dengan kreatif agar terlihat beda dan menraik minat pelanggan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Komunikasi Visual dan Semiologi Roland Barthes. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two

order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam

penanda, petanda, level denotasi, dan level konotasi.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa iklan Axis "Internet Untuk Rakyat" menggunakan pesan tersembunyi dalam menentukan segmentasi pasar yang dituju. Segmentasi pasar produk axis ini adalah masyarakat dari kalangan menengah ke bawah yang menginginkan internet dengan kualitas bagus namun berharga murah yang dapat dijangkau oleh mereka. Masyarakat kelas menengah ke bawah disini tidak digambarkan secara langsung melainkan melalui pesan non verbal yaitu menggunakan produk mie instan terkenal "Indomie" yang merepresentasikan masyarakat menengah ke bawah.Iklan ditampilkan secara menarik dan kreatif dan tema realitas di masyarakat yang ditampilkan apa adanya. Pesan moral yang ingin disampaikan pembuat iklan tidaklah terlalu jelas namun intinya pembuat iklan ingin menjelaskan kalau produk ini ditujukan untuk semua kalangan.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur saya panjatkan terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi saya yang berjudul “Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” di Televisi Swasta)” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupakan hasil pembelajaran yang saya terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam menyusun skripsi ini, saya mendapat banyak saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat mendukung penyelesaian Skripsi saya.

Secara khusus saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, Bapak Zulfakri dan Ibunda Dian Hariaty Siregar yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi saya. Kepada kedua adik saya, Mita Novianty dan Fauziah Noor, terima kasih telah menjadi saudara yang selalu mendukung dan memberikan motivasi bagi saya Ucapan terima kasih lainnya saya ingin sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berguna dan bermanfaat bagi saya.


(4)

4. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si, Phd selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran yang luar biasa bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

5. Kepada bang Haris Wajaya S.Sos, M.Comm yang pernah menjadi dosen pembimbing saya. Terima kasih telah banyak membantu saya dalam pengerjaan skripsi ini walaupun pada akhirnya bukan abangda yang mendampingi saya di sidang meja hijau.

6. selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih baik lagi.

7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan di kampus dengan ilmu-ilmu yang luar biasa.

8. Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi, Kak Farida Hanim dan Kak Puan yang telah membantu sehingga saya memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat.

9. Kak Maya, Kak Icut dan Kak Ros yang telah membantu saya dalam memperoleh informasi tentang perkuliahan.

10.IMAJINASI FISIP USU terutama pengurus periode 2010-2011 yang telah memberikan wadah bagi saya dan teman-teman yang lainnya untuk berkreatifitas dan belajar untuk berorganisasi.

11.Teman-teman dekat saya yang telah memberikan persahabatan, dukungan dan semangat kepada saya selama masa perkuliahan yaitu TPP Crew yang merupakan wadah pertemanan yang saya jalin semenjak pertama kali memasuki bangku perkuliahan.

12.Teman-teman Ilmu Komunikasi seperjuangan stambuk 2008 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi saya.

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Dan penulis sangat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong penulis untuk dapat semakin maju. Penulis juga berterima kasih atas saran dan kritik yang


(5)

diberikan serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian akademik penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua doa dan dukungan yang telah diberikan.

Medan, Juli2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...………... i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR GAMBAR………... viii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

2.1. Konteks Masalah……….. 1

2.2. Fokus Masalah………... 4

2.3. Tujuan Penelitian…...……… 4

2.4. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………..6

2.1. Paradigma Penelitian………... 6

2.2. Kajian Pustaka………...7

2.2.1 Komunikasi Massa...7

2.2.2 Iklan...10

2.2.3 Tanda...12

2.2.4 Semiotika...13

2.2.5 Makna...19

2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual...20

2.2.7 Semiologi Roland Barthez...30

2.3 Model Teoritik...37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...38

3.1. Metode Penelitian………...38

3.2. Subjek Penelitian...………...39

3.3. Kerangka Analisis………...39

III.4. Teknik Pengumpulan Data………..40

III.5. Teknik Analisis Data………. 41


(7)

BAB IV PEMBAHASAN……….44

4.1. Penyajian Data... 44

IV.2. Analisis Data... 46

IV.2.1. Analisis Scene Pertama ………... 46

IV.22. Analisis Scene Kedua ………... 54

IV.2.3. Analisis Scene Ketiga ………... 58

IV.2.4. Analisis Scene Keempat ………... 62

IV.2.5. Analisis Scene Kelima ………... 67

IV.3. Uraian Analisis...68

BAB V PENUTUP………... 71

5.1. Kesimpulan………... 71

5.2. Saran………... 71

DAFTAR PUSTAKA... 73 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teknik Dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar ... 27

Tabel 2. Kerja kamera dan teknik penyuntingan... 30

Tabel 3. Identifikasi Iklan Axis Internet Untuk Rakyat ... 45

Tabel 5. Teknik Dalam Menyunting Gambar Iklan Djarum 76... 45


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Segitiga Makna Charles

S.Pierce... 16

Gambar 2. Gambar peta tanda Roland Barthes... 32

Gambar 3. Analisis Scene Pertama Iklan Axis Internet Untuk Rakyat... 46

Gambar 4. Analisis Scene Kedua Iklan Axis Internet Untuk Rakyat...54

Gambar 5. Analisis Scene Ketiga Iklan Axis Internet Untuk Rakyat... 58

Gambar 6. Analisis Scene Keempat Iklan Axis Internet Untuk Rakyat... 62

Gambar 7. Analisis Scene Kelima Iklan Axis Internet Untuk Rakyat... ..67


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” di Televisi Swasta)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan pembuat iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan telekomunikasi dalam televisi juga mempunyai bebraspa aturan yang harus ditaati oleh operator. Dan karena banyaknya jumlah operator telekomunikasi yang ada di indonesia membuat iklan-iklan yang ada dibuat dan disajikan dengan kreatif agar terlihat beda dan menraik minat pelanggan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Komunikasi Visual dan Semiologi Roland Barthes. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two

order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam

penanda, petanda, level denotasi, dan level konotasi.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa iklan Axis "Internet Untuk Rakyat" menggunakan pesan tersembunyi dalam menentukan segmentasi pasar yang dituju. Segmentasi pasar produk axis ini adalah masyarakat dari kalangan menengah ke bawah yang menginginkan internet dengan kualitas bagus namun berharga murah yang dapat dijangkau oleh mereka. Masyarakat kelas menengah ke bawah disini tidak digambarkan secara langsung melainkan melalui pesan non verbal yaitu menggunakan produk mie instan terkenal "Indomie" yang merepresentasikan masyarakat menengah ke bawah.Iklan ditampilkan secara menarik dan kreatif dan tema realitas di masyarakat yang ditampilkan apa adanya. Pesan moral yang ingin disampaikan pembuat iklan tidaklah terlalu jelas namun intinya pembuat iklan ingin menjelaskan kalau produk ini ditujukan untuk semua kalangan.


(11)

,BAB I PENDAHULUAN 1.1.Konteks Masalah

Pesatnya perkembangan teknologi, meningkatkan arus informasi dan telekomunikasi serta meningkatnya pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah informasi. Hal ini memungkinkan manusia diterpa oleh berbagai informasi setiap saat. Perkembangan yang sangat pesat ini juga merambah pada perkembangan media massa. Oleh karena adanya perkembangan media massa tersebut maka banyak sekali masyarakat yang menggunakan media massa sebagai media penyampai pesan atau informasi ke masyarakat luas.

Media massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Iklan adalah sebuah pesan yang menawarkan suatu produk (barang atau jasa) yang ditujukan kepada khalayak melalui media. Iklan merupakan bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah yang utuh, akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan dengan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk diubah menjadi citra produk (Bungin, 2010: 79).

Pada dasarnya iklan merupakan sarana komunikasi yang digunakan komunikator dalam hal ini perusahaan atau produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya pelanggannya melalui suatu media massa. Selain itu, semua iklan dibuat dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberi informasi dan membujuk para konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut, dapat berupa aktivitas mengkonsumsi produk dan jasa yang ditawarkan.


(12)

yaitu media cetak (surat kabar, tabloid, majalah) dan media elektronik yaitu televisi dan radio yang juga menyajikan berbagai informasi

Dengan adanya iklan melalui media cetak maupun media elektronik diharapkan dapat memberikan nilai yang lebih, untuk menjamin ketertarikan konsumen terhadap barang dan jasa yang diiklankan. Terkadang sebuah iklan senantiasa diingat oleh konsumen dari tanda-tandanya, seperti gambarnya yang menarik atau hiasannya yang unik (bukan nama pengiklan atau penawaran yang diajukannya). Karena pada akhirnya jika seorang mengingat tanda-tanda khas dari suatu iklan ia akan terdorong untuk mengingat dan mengidentifikasikan hal-hal penting lainnya yang tertera pada iklan tersebut. Iklan merupakan sarana untuk mempromosikan, memberikan informasi dan mengingatkan atau membangun persuasi tentang keberadaan suatu produk, jasa, ide, citra dan bahkan orang

Salah satu media untuk menyampaikan pesan berupa iklan adalah televisi. Televisi saat ini cenderung menjadi hiburan. Ini dikarenakan televisi menyajikan program-program hiburan seperti sinetron, film, kartun, musik, serta iklan. Iklan merupakan salah satu unsur penting dalam televisi, ini dikarenakan iklan adalah sarana komunikasi. Hal ini dikarenakan peranan televisi memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan media lain dalam upaya membantu proses keberhasilan penyebaran iklan. Karenanya memperbincangkan iklan televisi sangatlah menarik, selain memiliki sisi kreasi dan inovasi dalam hal ini mengedepankan informasi, hiburan, dan pendidikan atau gabungan dari semuanya. Iklan televisi juga mampu mempengaruhi emosi masyarakat yang bertempat tinggal tersebar dan heterogen dalam memenuhi standar dan gaya hidup pemirsanya terutama atas rangsangan visual, sehingga menjadikannya sebagai medium yang intim dan personal.

Secara umum, iklan dibagi atas dua jenis yaitu iklan komersial dan iklan tidak komersial. Iklan komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan iklan tidak komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk tidak mendapatkan keuntungan, seperti iklan layanan masyarakat.


(13)

PT Axis Telekom Indonesia (sebelumnya bernama PT. Natrindo Telepon Seluler) adalah salah satu perusahaan telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia. Dengan didukung penuh induk usahanya, Saudi Telecom Company, Axis terus berekspansi di Indonesia

AxisPRO adalah produk kartu perdana untuk penggunaan internet dari Axis Telekom (http://inet.detik.com). Untuk mensosialisasikan produknya kepada masyarakat, AxisPRO salah satunya menggunakan iklan di televisi sebagai medianya. Di antara berbagai iklan AxisPRO yang tayang di televisi, iklan “Internet Untuk Rakyat” yang paling menarik perhatian peneliti.Visualisasi iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” ini sendiri diawali scene di mana seorang pria sedang mengetik di laptopnya sementara suasana pada saat itu sedang rapat antar pemimpin di perusahaan. Namun secara tiba-tiba pria yang sedang mengetik tersebut lompat sambil berteriak “Uhhhuuuuu…” yang mengagetkan para peserta rapat.

telekomunikasi lainnya yang mempunyai banyak produk, Axis mempunyai salah satu produk bernama AxisPRO.

Lalu secara spontan pria tersebut menari-menari dengan diiringi lagu latar. Sambil terus menari, pria tersebut memutari meja. Kemudian dia menari di depan seorang wanita yang di dalam rapat tersebut. Tak lama kemudian pria tersebut sudah menari di atas meja dengan tarian ala shuffle dance. Lalu pria itu menari di depan pintu dan tak lama kemudian pria tersebut meledak dan hilang dari pandangan. Setelah pria tersebut menghilang, visualisasi iklan kemudian berpindah ke sebuah layar komputer di mana pada layar tersebut muncul gambar hewan mitologi kuda Pegasus. Tak lama kemudian muncul kartu perdana AxisPRO yang terletak di sebuah meja. Setelah itu muncul visualisasi harga layanan AxisPRO dan berbagai keunggulannya. Lalu muncul visualisasi “Internet Untuk Rakyat” tersebut di mana pihak biro iklan menggunakan mie instan atau indomie, telur dan kornet untuk memvisualisasikan “Internet” itu sendiri. Di daerah Jakarta, internet merupakan akronim dari indomie, telur dan kornet. Visualisasinya adalah gambar indomie muncul terlebih dahulu untuk kata “In”, kemudian muncul gambar telur


(14)

Setelah itu muncul tulisan “Untuk Rakyat” untuk melengkapi tulisan “Internet” yang telah muncul sebelumnya.

Dari visualisasi yang dimunculkan dalam iklan tersebut terlihat kalau pihak Axis ingin menyasar pelanggan kalangan bawah yang mempunyai pendapatan rendah dengan produknya yang berharga murah. Pelanggan yang ingin disasar oleh Axis digambarkan dengan Internet (indomie, telur dan kornet) yang di sebagian daerah merupakan makanan yang disantap oleh penduduk karena harganya yang murah.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti makna denotatif dan konotatif yang lebih dalam dari iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan semiotika untuk melihat lebih dalam upaya untuk menggambarkan berbagai pilihan makna, yang tersedia melalui tanda-tanda yang digunakan, serta mencari makna di balik iklan Axis “Internet Untuk Rakyat”.

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada (Kriyantono, 2006: 263-264).

Peneliti berusaha mencari sistem tanda yang ada dalam iklan ini, sistem tanda ini akan diteliti lewat cuplikan video yang telah peneliti pilah menjadi potongan-potongan gambar. Video Axis “Internet Untuk Rakyat” yang berdurasi 31 detik menghasilkan 31 gambar di mana setiap gambar akan mewakili durasi video satu detiknya, lalu peneliti akan menyeleksi gambar yang akan digunakan dalam penelitian. Hanya beberapa gambar yang potensial menjadi bahan-bahan untuk diteliti yang bertujuan untuk membuat penelitian ini lebih maksimal dan


(15)

efisien. Pada akhirnya gambar yang memiliki kekuatan makna akan dijadikan sebagai objek penelitian tetap. Selain itu, peneliti juga akan melihat narasi dan Jingle (musik) pada iklan yang mengiringi gambar, akan peneliti seleksi untuk merepresentasikan sistem signifikasi iklan yang bersangkutan. Keseluruhan elemen yang ada akan diteliti menggunakan pendekatan Semiologi Barthes.

1.2 Fokus Masalah

Fokus masalah yang ditarik oleh peneliti berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah :

1. “Bagaimanakah makna denotatif dari iklan Axis “Internet untuk Rakyat” ?”

2. “Bagaimanakah makna konotatif dari iklan Axis “Internet untuk Rakyat” ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotatif yang terdapat dalam iklan Axis “Internet Untuk Rakyat”.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna konotasif yang terdapat dalam iklan Axis “Internet Untuk Rakyat”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi khususnya studi analisis semiotika.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan televisi.


(16)

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sebagai sumber bacaan.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir (Sunarto, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto, 2011:9)

Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi


(18)

dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk perubahan sosial (Sunarto, 2011:9).

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan bagian dari aliran pemikiran kritis.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Massa

Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).

Komunikasi massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan erat dengan komuniaksi massa. Salah satu diantaranya yaitu media massa. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan media massa untuk menunjang kegiatannya seperti ketika akan berpergian keluar rumah , mereka melihat berita ramalan cuaca terlebih untuk mengetahui apakah cuaca cerah, mendung atau sedang hujan. Contoh lainnya adalah info lalu lintas. Di kota-kota besar, info lalu lintas adalah info yang paling banyak dicari masyarakat. Dan semua itu didapatkan melalui media massa seperti koran, radio dan televisi.

Joseph A. Devito mengemukakan definisi komunikasi massa dalam dua pengertian (Wiryanto, 2004: 3):


(19)

1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.

2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film atau buku.

Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol. Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan tindakan interpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya. Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian, 2008: 368).

Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

1. Komunikator Terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media


(20)

2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media


(21)

televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. 8. Umpan Balik Tertunda

Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):

1. Pengawasan peringatan (surveillance)

Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang mempekerjakan pengawasan.

2. Interpretasi (Interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan, adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.

3. Hubungan (Linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual.

4. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. Mediamassa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari


(22)

5. Hiburan (Entertainment)

Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian besar programnya bersifat menghibur (to entertain).

2.2.2 Iklan

Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010: 17).

Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad pertengahan advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”, sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri sehingga terbentuk image semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2011: 65).

Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra. Apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2011: 126).

Jib Fowles mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya,


(23)

terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan ( Bungin, 2011: 81).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah radio, televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra di dalamnya (V Tarigan, 2011: 21). Televisi menjadi pilihan utama oleh banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit dan panjang.


(24)

2.2.3 Tanda

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27).

Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).

Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.

Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna


(25)

untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.

Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu) (Danesi, 2010:36). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.

Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).

Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda, namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu.


(26)

2.2.4 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17).

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannnya. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2006: 261), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Analisis semiotik berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.

Dapat dikatakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari


(27)

tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13).

Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multimensional. Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20), Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Peirce mengidentisikasi, dari ilmu logika ke ilmu intelektual, yaitu tindakan komunikatif yang telah menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi kepentingan teknis ilmu (Sobur, 2004: 40-41).

Pierce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Peirce, yang biasanya dipandang sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.

Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak seseorang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda tersebut disebut interpretant dari tanda-tanda pertama. Perumusan yang terlalu sederhana dari Pierce ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (dari objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut (A, B dan C). Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari


(28)

kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan.

Ketiga tanda yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memiliki penafsir).

Charles Sanders Peirce mengemukakan gagasannya mengenai model tanda dan taksonominya. Peirce mengemukakan model triadic tanda, yang terdiri atas elemen-elemen sebagai berikut:

a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak

senantiasa bersifat material).

b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh

tanda.


(29)

Gambar 1

Segitiga Makna Charles S.Peirce Sense

B

A C

Sign Vehicle Referent (Sumber : Morissan, 2009: 28)

Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut ‘semiosis’. Untuk lebih memahaminya, kita bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda yang dikemukakan oleh Peirce, lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu merah yang ada di persimpangan jalan (sebagai representamen), kendaraan berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah mengindikasikan kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant) (Morissan, 2009:28).

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek; hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya


(30)

tanda yang disebutnya dengan istilah ‘the most fundamental divisions of signs’. Pembagian tanda Peirce ini kemudian menjadi rujukan bagi banyak ahli semiotika di dunia sampai saat ini. Namun demikian, para ahli cenderung tetap menggunakan istilah signifier dan signified sebagai pengganti istilah sign vehicle dan object-nya Peirce.

Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004: 41).

Ferdinand De Saussure (1857-1913), secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistque

General yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure

meninggal, diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda).

Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda” dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotika adalah sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi, 2010: 76).


(31)

Ferdinand de Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas.

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.

Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Hubungan antara signifier dan signified dibagi tiga, yaitu

1. Ikon, yaitu tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.


(32)

hubungan dengan yang ditandai. Dapat pula dikatakan, indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

3. Simbol, yaitu sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa (Aart Van Zoest dalam Sobur, 2004: 126).

2.2.5 Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ – pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22)

Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):


(33)

1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita

gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu).

3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia

mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan

gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah


(34)

Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.

6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu

kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,

disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.

2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2010: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target


(35)

sasaran. Jagad desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massa dan konsumsi massa. Terkait dengan fakta tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Untuk mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu diperhatikan. Hal tersebut antara lain: garis (line), bentuk (form), ruang (space), tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian, warna, irama, ukuran serta durasi

1. Garis (Line)

Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik poin dengan titik poin yang lain sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung (curve) atau garis lurus (straight). Garis adalah unsur dasar untuk membangun bentuk atau konstruksi desain.

2. Bentuk (Form)


(36)

memiliki diameter, tinggi dan lebar. Bentuk (form) adalah tubuh atau massa yang berisi garis-garis. Sedangkan garis adalah bagian tepi atau garis pinggir bentuk suatu benda atau biasa disebut “kontur benda”. Kontur memperlihatkan bangun atau gerakan itu sendiri. Garis lurus dan garis lengkung termasuk elemen benda; tanpa bentuk, tetapi garis-garis tersebut dapat menjelaskan suatu bentuk; dengan menyusun garis horizontal dan vertikal yang sama panjang akan terjadi suatu bentuk bangun bujur sangkar. Semua bangun seperti bujur sangkar, lingkaran dan segitiga sama sisi merupakan sebagian dari bentuk dasar yang dipergunakan untuk mendesain. Bentuk suatu benda bisa bersifat dua dimensional (lonjong, oval, polygon, persegi panjang dan heksagon), yaitu datar tanpa ketebalan atau bersifat tiga dimensional (kerucut, kubus, silinder, prisma, piramida dan bola) yang mempunyai ketebalan atau padat.

Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategori menjadi tiga, yaitu:

a. Huruf (character) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai wakil dari bahasa verbal dengan bentuk visual langsung seperti A, B, C dan sebagainya.

b. Simbol (symbol) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang mewakili bentuk benda secara sederhana dan dapat dipahami secara umum sebagai simbol atau lambang untuk menggambarkan suatu bentuk nyata, misalnya gambar orang, bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan dalam bentuk nyata (dengan detail).

c. Bentuk nyata (form), bentuk ini betul-betul mencerminkan kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara detail, hewan secara detail atau benda lainnya.

3. Ruang (space)

Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, yang tampak melalui indera penglihatan. Ruang merupakan jarak antara suatu bentuk dengan bentuk


(37)

lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur untuk memberi efek estetika desain. Sebagai contoh, tanpa ruang kita tidak akan tahu yang mana kata dan mana kalimat atau paragraf. Tanpa ruang kita tidak tahu mana yang harus dilihat terlebih dahulu, kapan harus membaca dan kapan harus berhenti sebentar.

Dalam bentuk fisiknya pengidentifikasian, ruang digolongkan menjadi dua unsur, yaitu objek (figure) dan latar belakang (background). Hubungan antar ruang merupakan bagian dari perencanaan desain, apakah itu berupa jarak antar huruf atau huruf dengan gambar yang terletak pada sebidang kertas. Ruang sebagai latar belakang dari suatu objek juga perlu diolah, umpamanya dengan memberi warna, tekstur dan lain-lain.

4. Tekstur

Tekstur adalah sifat dan kualitas fisik dari permukaan suatu bahan, seperti kasar, mengkilap, pudar atau kusam yang dapat diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa pengulangan-pengulangan untuk suatu desain. Pada umumnya desain berkaitan dengan indera peraba dan juga indera penglihatan. Tekstur akan tampak jelas tergantung pada cahaya serta bayangannya yang disebabkan oleh ilusi optis. Dalam penggunaan tekstur disusun secara serasi atau kontras hasilnya, tetapi secara kontras hasilnya akan lebih menarik daripada kombinasi dengan tekstur yang serupa.

5. Keseimbangan (balance)

Prinsip dasar dari komposisi yaitu keseimbangan paling mudah dikenal atau dilihat. Bilamana ada dua benda dengan berat sama diletakkan pada jarak yang sama terhadap sumbu khayal (maya), maka objek yang ada pada kedua belah sisi dari garis maya tampak seolah-olah berbobot sama. Keseimbangan bisa terjadi secara fisik maupun secara optis. Untuk menghayatinya hanya diperlukan satu titik atau sumbu khayal (maya). Prinsip ini merupakan prinsip utama yang menghasilkan kesan beraturan sehingga tampak dinamis.


(38)

Simetris berarti sama dalam ukuran, bentuk, bangun dan letak dari bagian- bagian atau objek-objek yang akan disusun di sebelah kiri dan kanan garis sumbu khayal. Asimetris terjadi apabila garis, bentuk, bangun atau massa yang tidak sama dalam ukuran, isi atau volume yang diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengikuti aturan keseimbangan asimetris yang banyak digunakan dalam desain modern atau kontemporer. Ada pada lukisan atau karya fotografi, keseimbangan antara bidang bagian atas dan bidang bagian bawah diperoleh dengan penggunaan keseimbangan horizontal.

7. Keserasian (harmony)

Keserasian adalah prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan di antara bagian-bagian suatu karya. Keserasian adalah suatu usaha menyusun berbagai bentuk, bangun, warna, tekstur dan elemen-elemen lain yang disusun secara seimbang dalam suatu susunan komposisi yang utuh agar indah untuk dipandang. Keseimbangan dapat dicapai dengan mengkombinasikan berbagai elemen yang sifatnya sama, misalnya kesamaan dalam skala dan bentuk; dan apabila skala dan bentuk tersebut berbeda, maka kemungkinan yang juga bisa dicapai adalah dengan warna yang sama. Walaupun keserasian merupakan upaya mencapai suatu kesatuan dalam penampilan tetapi juga diperlukan variasi-variasi agar tidak berkesan monoton dan membosankan.

8. Irama (rhythm)

Suatu gerak yang dijadikan sebagai dasar suatu irama dan ciri khasnya terletak pada pengulangan-pengulangan yang dilakukan secara teratur dengan diberi tekanan atau aksen. Semua cabang seni menggunakan unsur irama seperti musik, sajak, puisi, lukisan dan lain-lain. Dapat dikatakan irama berfungsi mengarahkan perhatian dari suatu tempat atau bidang ke bidang yang lain sehingga terkesan suatu kesan gerak. Bentuk irama yang paling sederhana adalah pengulangan yang seragam dari objek yang sama. Komposisi irama yang lebih kompleks atau rumit dibuat dengan mengurangi atau menambah ukuran elemen. Sedangkan gradasi merupakan jenis irama yang penting di mana ukuran warna


(39)

atau nilai dari elemen-elemen desain secara bertahap bersamaan dengan pengulangan yang terjadi.

9. Warna

Warna sebagai unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang diterima oleh mata lebih ditentukan cahaya. Permasalahan mendasar dari warna di antaranya adalah hue (spektrum warna), saturation (nilai kepekatan)

dan lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan

pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, mood atau semangat.

Molly E. Holzschlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisannya “Creating Colour Scheme” (Kusrianto, 2007: 47) membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respon secara psikologis:

a. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresivitas dan bahaya.

b. Biru bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan perintah.

c. Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan dan pembaruan.

d. Kuning bermakna optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran/kecurangan, pengecut dan penghianatan.

e. Ungu bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak dan arogan.

f. Orange bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan. g. Coklat bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan. h. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan merusak.


(40)

j. Hitam bermakna kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan. Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan. Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25).

Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesan verbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut ini:

1. Huruf (Romein)

Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2. Huruf Egyptian

Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.

3. Huruf Sans Serif

Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4. Huruf Miscellaneous

Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.


(41)

5. Huruf Script

Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.

Media gambar atau visual mampu mengkomunikasikan pesan dengan cepat dan berkesan. Sebuah gambar bila tepat memilihnya, bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata, secara individual juga mampu untuk memikat perhatian. Gambar merupakan bagian yang terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Ada banyak elemen dalam membuat gambar yang baik, teknik pengambilan suatu gambar akan sangat menentukan hasil suatu gambar yang baik (http://dc355.4shared.com)

Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni popular dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pengambilan Gambar

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (angle) pengambilan gambar

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat


(42)

otoritas Tipe Lensa

Wide angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, voyeuristik

Fokus

Selective focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

Soft focus Romantis serta nostalgia

Deep focus Semua unsur adalah penting

(melihat secara keseluruhan objek) Pencahayaan

High key Riang dan cerah

Low key Suram dan muram

High contrast Dramatikal dan teatrikal

Low contrast Realistik serta terkesan seperti

dokumenter

Pewarnaan

Warm (kuning, oranye, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and white (hitam dan putih)

Realisme, aktualisme dan faktual (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 33)

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya gambar (foto maupun film) dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas:

1. Pengambilan gambar secara extreme long shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang


(43)

sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Kesan yang muncul adalah mengesampingkan subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang nampak dari gambar tersebut.

2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Ukuran gambar subjeknya sama ukurannya dengan ukuran latar. Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal 3. Pengambilan gambar dalam bentuk close up, ukuran subjek lebih

besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek. Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan. 4. Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya

ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar (angle) dibagi menjadi:

1. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada di atas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

2. Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya membuat subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata


(44)

yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang.

3. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus berhubungan dengan tipe lensa yang dipakai ketika objek diambil gambarnya, yaitu: tele, standart dan wide focus. Dalam standar pengambilan fokus suatu gambar jika memakai lensa standar akan menghasilkan suasana yang natural. Hal ini karena gambar diambil dari fokus yang tidak jauh dan tidak dekat (normal), sehingga komposisi dan perbandingan antara objek menjadi merata. Hal ini berbeda dengan gambar yang diambil dengan menggunakan lensa tele ataupun wide karena objek akan nampak lebih besar dibandingkan dengan ojek yang lain. Pencahayaan gambar juga akan menciptakan suasana dan mood yang berbeda. Dengan pencahayaan yang cerah dan riang tidak akan menampilkan suasana atau mood yang sedih dan misterius.

Selain cara pengambilan gambar ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam membuat iklan televisi (berdurasi) yaitu teknik dalam penyuntingan suatu gambar. Kerja kamera dan teknik penyuntingan gambar akan menunjukkan semacam “tata bahasa” televisi. Teknik tersebut juga memiliki arti tersendiri sebagai penanda dan petanda dalam semiotika, hal ini dapat dijelaskan dengan bagan dibawah ini


(45)

Tabel 2

Kerja kamera dan teknik penyuntingan

((Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 34)

Dalam teknik penyuntingan terdapat efek gambar yang blank (hilang) yang disebut efek deep to black (gambar yang tercipta dari teknik fade in dan fade out). Teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara dan musik juga merupakan hal lain yang juga menarik.Semua penanda tersebut menolong kita menterjemahkan apa yang kita lihat di televisi. Televisi merupakan media yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, bahasa gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide penting pada orang.

2.2.7 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur,

Pan down Kamera mengarah ke bawah Kekuasaan dan kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera bergerak ke dalam Observasi dan fokus

Fade in Gambar kelihatan pada layar kosong Permulaan gambar

Fade out Gambar di layar menjadi hilang Penutupan

Cut Pindah dari gambar satu ke gambar lain Kebersambungan, menarik


(46)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,2004:69).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek) dan signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.

Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut:


(47)

Gambar 2

Gambar peta tanda Roland Barthes

(Sumber: Cobley and Jansz dalam Sobur, 2004:69)

Dari peta Barthes di atas, akan terlihat tanda denotative (3) yang terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Pada saat bersamaan juga, denotatif adalah penanda konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.

Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal dan non verbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis.

1. signifier (penanda)

2. signified

(petanda) 3. denotative sign (tanda

denotatif)

4.CONNOTATIVE

SIGNIFIER (PENANDA

KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE

SIGNIFIED (PETANDA

KONOTATIF)


(1)

panganan yang sudah banyak dikenal masayarakat yaitu indomie Terlihat dari gambar yang ditampilkan ada kedekatan.

Gagasan dibalik penciptaan citra bagi sebuah produk adalah upaya untuk berbicara secara langsung ke satu jenis pribadi atau khalayak tertentu, bukan ke setiap orang sehingga para individu ini bisa melihat kepribadian mereka yang terwakili di dalam citra gaya hidup yang diciptakan oleh iklan demi satu produk tertentu. Citra yang ingin ditampilkan yaitu Axis sebagai telekomunikasi yang ditujukan untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Pada dasarnya, analisis semiotika memang sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh”, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca atau mendengar suatu narasi atau naskah. Analisisnya bersifat paradigmatik, dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks (Berger dalam Sobur, 2004: 117). Teks yang dimaksud tidak hanya berarti berkaitan dengan aspek linguistik.

Dalam iklan ini, terdapat beragam adegan-adegan yang tidak biasa muncul pada iklan seperti seorang pria dengan pakaian formal lengkap dengan jas dan dasi yang tiba-tiba menari-nari mengelilingi ruangan seperti tidak peduli dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya dimana seseorang dengan pakaian berjas adalah oarang-orang wibawa tinggi dan tentunya punya tingkat gengsi yang tinggi pula. Terdapat juga adegan dimana si pria menari-nari di atas meja. Hal seperti ini menurut adat dan istiadat Indonesia tidak sopan karena meja adalah tempat yang biasa digunakan untuk meletakkan makanan dan tidak boleh diinjak-injak karena melanggar norma kesopanan.

Iklan Axispro ini menggambarkan sebuah produk yang ingin ditujukan masyarakat level bawah. Masyarakat kelas bawah yang ingin disasar oleh axis tidak di munculkan secara blak-blakan. Tapi di gambarkan dengan sebuah makanan yaitu indomie. Indomie adalah jenis makanan yang murah dan mudah


(2)

Internet sebelumnya banyak dianggap sebagai barang mahal karena butuh perangkat keras komputer ataupun telepon yang tidak murah untuk tempat mengaksesnya. Begitupun dengan tarifnya yang tidak murah yang tentunya sulit di jangkau oleh kalangan bawah. Disini Axis datang memberi solusi internet murah yang banyak diinginkan orang-orang. Seperti halnya indomie yang berharga murah, Axis juga ingin produknya juga berharga murah agar dapat dijangkau kalangan bawah.

Internet untuk rakyat jika dijelaskan secara lebih mendalam artinya internet itu adalah hak semua rakyat, tanpa membatasi umur,golongan, dan lain-lain dan bebas dipakai dan dinikmati oleh siapapun. Masyarakat Indonesia pada umumnya senang menggunakan internet sebagai sarana untuk hiburan atau sekedar mengaktualisasikan diri. Namun belum semua masyarakat Indonesia melek terhadap internet. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ada sekitar 62 juta pengguna internet di Indonesia atau sekitar 26 % dari jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta jiwa. Namun persentase jumlah pengguna internet ini kalah jauh dibanding persentase dengan negara maju yang sekitar 70 % - 90 % dari jumlah penduduk. Jika jumlah pengguna internet bisa ditingkatkan, tentunya angka melek internet di Indonesia bisa ditingkatkan yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat intelegensia masyarakat Indonesia. Sehingga akan sangat membantu Indonesia berangkat dari negara berkembang menjadi negara maju.

Bila dilihat sekilas, mungkin tidak ada korelasi langsung dengan produk yang dijual. Meskipun segmentasi pasar yang terbatas, tetapi iklan ini memiliki pesan yang lebih luas, karena iklan ini ditayangkan di televisi swasta nasional. Iklan ini tidak hanya menitikberatkan pada produk yang diiklankan, melainkan lebih berfokus pada pesan yang ingin disampaikan. Tema realitas sosial yang diangkat berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat.


(3)

BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan

1. Iklan televisi komersial Axis “Internet Untuk Rakyat merupakan iklan yang menggunakan konsep masyarakat menengah ke bawah yang dapat menikmati fasilitas internet dengan harga murah.. Yang menjadi segmentasi pasarnya adalah masyarakat kalangan kelas menengah kebawah dan anak-anak muda yang belum punya penghasilan sendiri. Masyarakat kalangan bawah disini tidak digambarkan secara gamblang, tetapi melaui pesan non verbal yaitu mie instan yang biasanya di konsumsi kalangan menengah ke bawah.

2. Iklan merupakan salah satu bagaimana cara untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Pesan yang ditampilkan lebih mendalam sehingga menimbulkan citra atas iklan tersebut. Dalam iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” ,digambarkan bahwa produk-produk internet yang sebelumnya berharga mahal dan susah didapatkan oleh masyarakat kalangan menegah ke bawah , kini bisa dinikmati oleh semua kalangan berkat Axis.

5. 2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah diperoleh peneliti selama melakukan penelitian, ada beberapa saran yang penulis anggap perlu, yaitu:

1. Diharapkan agar kedepannya iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” lebih menampilkan ide-ide segar serta kreativitas dalam menyajikan iklan sehingga tidak terpaku dengan iklan-iklan yang muncul sebelumnya.


(4)

2. Iklan tidak hanya berfokus pada keuntungan komersial semata, tapi pesan yang terkandung di dalamnya hendaknya memberi nilai moral yang lebih kepada masyarakat.

3. Sedikit saran untuk pembuat iklan, di scene kedua terdapat adegan dimana si pemimpin rapat menari-nari di depan seorang perempuan yang menjadi peserta rapat. Hal tersebut tidaklah layak untuk dimasukkan karena adegan tersebut dapat dianggap melecehkan kaum perempuan. Sehingga bagi pembuat iklan, hal-hal tersebut dapat disortir terlebih dahulu agar tidak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

4. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti makna dalam iklan televisi dan sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut di masa depan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pusataka Pelajar. Berger, Arthur Asa. 2000. Media Analysis Techniques. California: Sage Publication

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.

_____________. 2011. Kontruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasayarakatan dan Budaya UI

Danesi, Marcel. 2010. Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: 2001

Hermawan, Anang. 2011. Mix Methodology dalam penelitian komunikasi. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo

Kriyantono, Rachmat. 2006. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.

Kusmiati R, Artini, Sri Pudjiastuti dan Pamudji Suptandar. 1999. Teori Dasar Disain Komunikasi Visual. Jakarta: Djambatan.

Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Morrisan, M.A. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

____________. 2010. Periklanan : Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(6)

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Perkasa. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. _________ . 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Stoke, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies. Yogyakarta: Bentang. Tinarbuko, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Widia Kencana

Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grafindo.

Sumber Lain

(http://abunavis.wordpress.com/2008/05/29/%E2%80%9Dmembaca%E2%80%9 D-iklan-televisi-sebuah-perspektif-semiotika/ diakses pada 5 Mei 2012)

(http://www.scribd.com/doc/80446342/Membaca-Iklan-Televisi-Perpektif-Semiotika diakses pada 7 Mei 2012)

(http://dc355.4shared.com/doc/3Y97xjpn/preview.html diakses pada 7 Mei 2012)

Skripsi