Analisis Yuridis Hak Istri Ke-2, Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(1)

ANALISIS YURIDIS HAK ISTRI KE-2, DAN SETERUSNYA

ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN

POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TESIS

Oleh

AHMAD AMIN

077011002/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS HAK ISTRI KE-2, DAN SETERUSNYA

ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN

POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD AMIN

077011002/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Nama Mahasiswa : Ahmad Amin Nomor Pokok : 077011002 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA) K e t u a

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.Drs.Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 4 Pebruari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin,SH, MS, CN 2. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA 3. Notaris Syahril Sofyan SH, M.Kn


(5)

ABSTRAK

Salah satu masalah yang penting dikaji dalam ruang lingkup perkawinan poligami adalah hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinan, baik hak harta bersama maupun hak atas harta bawaan suami/istri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mendapat pengaturan yang tegas. Atas harta bersama semua isteri dalam perkawinan poligami mempunyai hak yang sama sejak terjadinya perkawinannya masing-masing. Mengenai harta bawaan suami/isteri adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai besarnya bagian harta bersama perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bila perkawinannya putus dengan perceraian tidak diatur secara tegas. Undang-undang Perkawinan hanya menegaskan bahwa antara suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Atas dasar itu maka bagian harta bersama suami/istri adalah seimbang yaitu ½ (setengah) bagian suami dan ½ (setengah) bagian istri atau 50% : 50% bila dipersentasekan. Kemudian mengenai besarnya bagian harta bersama bila perkawinan putus dikarenakan kematian dalam undang-undang perkawinan tidak diatur secara tegas. Pengaturan besarnya bagian janda terdapat dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan janda mendapatkan bagian ¼ (seperempat) bagian bila pewaris (suami) tidak meninggalkan anak. Bila pewaris (suami) meninggalkan anak maka janda mendapat 1/8 (seperdelapan). Ketentuan ini menyimpulkan apabila seorang pewaris (suami)

memiliki 4 orang janda yang mempunyai anak maka masing-masing memperoleh 1/8 : 4 = 1/32. Kemudian apabila perkawinan tersebut tidak memiliki anak, maka

bagian 4 orang janda adalah 1/4 : 4 : 1/16. Pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan karena perceraian dan kematian pada pengadilan agama Medan adalah dengan melihat fakta-fakta dipersidangkan, kemudian akan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum. Dengan demikian akan terwujud putusan pengadilan yang memberi kemaslahatan bagi para pihak.


(6)

ABSTRACT

One of the important issues to be reviewed in the scope of polygamous marriage is the right of the wife of the 2nd and so on marital property, both property rights and inherent right to property a spouse.

This research is descriptive analytical method by using a normative juridical approach.

From the results of the research note that the rights of the wife of the 2nd and so on marital property law number 1974 about 1 year of marriage has received a firm setting. Of the property with all the wives in poligamous marriages have equal rights since the marriage of each. Regarding innate property spouse is under the control of each along the other parties do not specify. About the size of the property polygamous marriages according to law number 1974 about 1 year of marriage when her marriage broke up in divorce are not clearly regulated. Marriage Act merely confirms that between husband and wive have the right to a balanced position. On that basis the joint property of husband / wife is balanced ie ½ (half) part of the husband and ½ (half) of the wive or 50% : 50% when percentase. Then, about the size of the property in the marriage broke up due to death in the marriage law was not clearly regulated. Setting size in the widow of article 180 Compilation of Islamic Law which determines the widow get ¼ (quarter) when the heir to (husband) did not leave the child. When Heir (husband) left the child is the widow of a 1/8 (one eighth). This provision is concluded when an heir (husband) has 4 widows who have no children then each get a portion 1/8 : 4 = 1/32. Then if the marriage had no children , the widow of 4 people is ¼ : 4 = 1/16. Consideration of judges will decide the division of marital property because of divorce and death in the field of religious courts is to look at the facts in trial, then will be disconnected according to the provisions of legislation in accordance with the function and purpose of the law. Thus the court decision will be realized that giving the benefit of the parties.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, tesis ini dapat saya selesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan karya ilmiah yang diajukan sebagai pemenuhan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan yang diajukan dengan judul : “ANALISIS YURIDIS HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.

Selanjutnya terima kasih yang setulusnya dan paling dalam, kepada orang tuaku tercinta Ayahanda Marno dan Ibunda Rohani yang telah membesarkan dan membimbing dalam hidup dan kehidupan. Memberikan semangat yang tiada henti-hentinya kepadaku untuk menyelesaikan studi ini dengan pantang menyerah dan putus asa serta dengan penuh kesabaran, dan mertuaku Ayahanda Alm Abu Bakar Siddiq dan Ibunda Masinah yang turut mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari redaksi maupun isinya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap


(8)

kritikan dan koreksi yang bersifat membangun agar kiranya dapat lebih baik lagi di dalam penyusunan karya ilmiah pada masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Selanjutnya dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA selaku Ketua Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.


(9)

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak/Ibu dosen serta seluruh staf administrasi Program Studi Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis hingga terselesaikannya studi ini.

Khusus kepada Istriku Puji Hastuti Rahayu Ningsih, Spd, Something Special For You yang terus setia mendampingi dan mendukungku selama masa penyelesaian tesis ini dan teruntuk anakku tersayang Syafhira Zihani Amindia Putri, kupersembahkan karya ini buatmu.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca sekalian.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Medan, Januari 2010

Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Ahmad Amin, SH

Tempat/Tanggal Lahir : Paya Bakung, 30 Juli 1982

Status : Menikah

Alamat : Jl. Binjai Km. 15 Diski, Desa Paya Bakung Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

II. KELUARGA

Nama Istri : Puji Hastuti Rahayu Ningsih, SPd

Nama Ayah : Marno

Nama Ibu : Rohani

III. PENDIDIKAN

Tahun 1988-1994 : SD Negeri No. 106794 Paya Bakung Tahun 1994-1997 : SMP Negeri 1 Sunggal

Tahun 1997-2000 : SMA Negeri-3 Binjai

Tahun 2000-2004 : Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan. Tahun 2007 : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR...iii

RIWAYAT HIDUP...vi

DAFTAR ISI...vii

BAB I : PENDAHULUAN... ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi... 36

G. Metode Penelitian... 37

BAB II : HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BILA PERKAWINANNYA PUTUS ……...………… 42

A. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 42


(12)

2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian... 48

3. Putusnya Perkawinan Atas Putusan Pengadilan... 55

B. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinannya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 56

1. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Bawaan... 56

2. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Bersama...67

BAB III : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN...72

A. Pembagian Harta Bersama Poligami Jika Terjadi Perceraian... 72

B. Pembagian Harta Bersama Poligami Jika Terjadi Kematian...85

BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN KEPUTUSAN PEMBAGIAN HARTA PERKAWINAN POLIGAMI...110

A. Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami ... 111

B. Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Keputusan Pembagian Harta Perkawinan Poligami... 121

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 127

A. Kesimpulan...127

B. Saran... 129


(13)

ABSTRAK

Salah satu masalah yang penting dikaji dalam ruang lingkup perkawinan poligami adalah hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinan, baik hak harta bersama maupun hak atas harta bawaan suami/istri.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mendapat pengaturan yang tegas. Atas harta bersama semua isteri dalam perkawinan poligami mempunyai hak yang sama sejak terjadinya perkawinannya masing-masing. Mengenai harta bawaan suami/isteri adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai besarnya bagian harta bersama perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bila perkawinannya putus dengan perceraian tidak diatur secara tegas. Undang-undang Perkawinan hanya menegaskan bahwa antara suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Atas dasar itu maka bagian harta bersama suami/istri adalah seimbang yaitu ½ (setengah) bagian suami dan ½ (setengah) bagian istri atau 50% : 50% bila dipersentasekan. Kemudian mengenai besarnya bagian harta bersama bila perkawinan putus dikarenakan kematian dalam undang-undang perkawinan tidak diatur secara tegas. Pengaturan besarnya bagian janda terdapat dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan janda mendapatkan bagian ¼ (seperempat) bagian bila pewaris (suami) tidak meninggalkan anak. Bila pewaris (suami) meninggalkan anak maka janda mendapat 1/8 (seperdelapan). Ketentuan ini menyimpulkan apabila seorang pewaris (suami)

memiliki 4 orang janda yang mempunyai anak maka masing-masing memperoleh 1/8 : 4 = 1/32. Kemudian apabila perkawinan tersebut tidak memiliki anak, maka

bagian 4 orang janda adalah 1/4 : 4 : 1/16. Pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan karena perceraian dan kematian pada pengadilan agama Medan adalah dengan melihat fakta-fakta dipersidangkan, kemudian akan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum. Dengan demikian akan terwujud putusan pengadilan yang memberi kemaslahatan bagi para pihak.


(14)

ABSTRACT

One of the important issues to be reviewed in the scope of polygamous marriage is the right of the wife of the 2nd and so on marital property, both property rights and inherent right to property a spouse.

This research is descriptive analytical method by using a normative juridical approach.

From the results of the research note that the rights of the wife of the 2nd and so on marital property law number 1974 about 1 year of marriage has received a firm setting. Of the property with all the wives in poligamous marriages have equal rights since the marriage of each. Regarding innate property spouse is under the control of each along the other parties do not specify. About the size of the property polygamous marriages according to law number 1974 about 1 year of marriage when her marriage broke up in divorce are not clearly regulated. Marriage Act merely confirms that between husband and wive have the right to a balanced position. On that basis the joint property of husband / wife is balanced ie ½ (half) part of the husband and ½ (half) of the wive or 50% : 50% when percentase. Then, about the size of the property in the marriage broke up due to death in the marriage law was not clearly regulated. Setting size in the widow of article 180 Compilation of Islamic Law which determines the widow get ¼ (quarter) when the heir to (husband) did not leave the child. When Heir (husband) left the child is the widow of a 1/8 (one eighth). This provision is concluded when an heir (husband) has 4 widows who have no children then each get a portion 1/8 : 4 = 1/32. Then if the marriage had no children , the widow of 4 people is ¼ : 4 = 1/16. Consideration of judges will decide the division of marital property because of divorce and death in the field of religious courts is to look at the facts in trial, then will be disconnected according to the provisions of legislation in accordance with the function and purpose of the law. Thus the court decision will be realized that giving the benefit of the parties.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan, sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.

Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat pengaturan dalam Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pelaksanaan perkawinan di tengah masyarakat, dikenal beberapa istilah yang menjadi model perkawinan yaitu :

1


(16)

1. Perkawinan Monogami

Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya.

2. Perkawinan Poligami

Perkawinan Poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama. Perkawinan bentuk poligami ini merupakan lawan dari monogami

3. Perkawinan Bigami

Perkawinan Bigami adalah bentuk perkawinan, dimana seorang laki-laki mengawini dua perempuan atau lebih dalam masa yang sama dan semuanya bersaudara.

4. Perkawinan Poliandri

Perkawinan Poliandri adalah bentuk perkawinan, dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan. 2

Dua istilah model perkawinan di atas yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukum/perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam, Sementara istilah model perkawinan bigami dan poliandri sama sekali tidak dibenarkan.

Beranjak dari model perkawinan di atas maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

2

Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami, Wihdah Press, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 23-29


(17)

tentang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami.

Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama (Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.

Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang


(18)

tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 3

Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.4

Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang

3

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4


(19)

dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 5

Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :

1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.

2. Surat keterangan pajak penghasilan.

3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.6

Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.7 Apabila pengadilan

5

A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2003, hal. 65

6

Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

7

Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


(20)

berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang. Pembahasan poligami merupakan salah satu pembahasan yang tidak pernah kehilangan peminatnya. Apalagi baru-baru ini, Indonesia dihebohkan oleh pelaksanaan poligami oleh salah seorang mubaligh kondang tanah air, Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Pro dan kontra terus mengalir menanggapi praktek poligami Aa’ Gym. Sebahagian berpendapat poligami adalah suatu dosa atau suatu perbuatan yang salah untuk dilakukan, poligami merupakan perbuatan tak beradab dan melecehkan perempuan. 8

Kemudian ada tanggapan bahwa perkawinan poligami tidak pernah menjamin pemenuhan hak-hak istri oleh suaminya. Kebanyakan istri-istri itu justru menjadi korban dari ketidakadilan dan perlakuan semena-mena dari sang suami. Sexuality merupakan motivasi dalam perkawinan poligami.

Salah satu alasan yang sering dilontarkan untuk menolak poligami adalah praktek buruk pelaku poligami. Banyak suami yang berpoligami menelantarkan istri dan anak-anaknya, menjadi alasan untuk menolak poligami. Tentu saja pandangan ini keliru. Logika, penolakan berdasarkan praktek yang keliru jelas berbahaya. Jangankan yang berpoligami, yang menikah dengan satu istri juga banyak mentelantarkan istri dan anak-anaknya. Apakah kemudian dengan alasan yang sama kita kemudian menolak pernikahan sama sekali meskipun dengan satu istri.

8

Praktek Buruk Pelaku Poligami, Bukan Alasan Mengharamkan Poligami


(21)

Lebih dari itu dalam masyarakat jika seseorang berkeinginan untuk berpoligami sering sekali dituding sebagai pemboros harta, sebagian lagi dituduh sebagai pengumbar hawa nafsu syahwat yang berlebihan dan sebagian orang datang menasehatinya agar dia membatalkan niat poligaminya.9

Kita tidak mengingkari, bahwa berpoligami terkadang mendatangkan berbagai problem, baik yang berkaitan dengan harta perkawinan suami-istri maupun anak-anak, dan ini merupakan sesuatu yang wajar. Masalah rumah tangga tidak hanya dihadapi oleh mereka yang berpoligami saja, yang beristri satupun pasti akan menghadapinya, tinggal bagaimana para suami dan istri menyelesaikan masalah tersebut. Saat ini telah terbentuk opini di masyarakat bahwa poligami adalah sebuah tindak kejahatan dan keburukan yang harus ditentang. Sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan pemikiran ini, dan para cendekiawanpun angkat bicara melemparkan pendapat tentang poligami melalui berbagai media. Di antara pendapat-pendapat yang mereka sampaikan adalah bahwa poligami hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian antar istri dan anak-anak, sehingga merusak rumah tangga. Jawaban untuk ini adalah bahwa penyebab permusuhan dan kebencian bukan hanya poligami namun lebih kepada masalah siasat (niat buruk) elemen keluarga, baik suami, istri atau anak-anak, dan juga seorang istri terhadap madunya. Berapa banyak suami yang hanya memiliki satu istri, namun terjadi permusuhan dengan istri

9

Musfir Aj-Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996, hal. 38


(22)

dan anak-anaknya. Dan tidak sedikit suami yang melakukan poligami namun keluarganya tentram dan bahagia tanpa ada permusuhan.

Perlakuan buruk sebagian suami yang berpoligami. Ini merupakan salah satu masalah dalam berpoligami, yaitu ketika seorang suami menikah dengan wanita lain, dia tidak berbuat adil dalam hal memberi nafkah, pakaian dan semisalnya. Sebagian suami ada yang tidak dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, sehingga dia terkadang berterus terang lebih mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, memuji sebagian istrinya di hadapan istri yang lain dan berbagai kesalahaan yang semisal ini.

Berbicara tentang perkawinan (baik monogami dan poligami) maka tidak akan terlepas dari hal-hal yang terkait dengan perkawinan itu sendiri termasuk dalam hal kepemilikan harta yang diperoleh selama masa perkawinan ataupun harta yang diperoleh oleh masing-masing suami istri sebelum berlangsungnya perkawinan.

Selama perkawinan berlangsung (baik perkawinan monogami dan perkawinan poligami) tentunya ada kemungkinan suami istri mendapatkan harta baik karena diperoleh dengan cara usaha sendiri-sendiri atau bersama-sama antara suami dan isteri.

Apabila kita melihat pasal yang mengatur tentang harta perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diantaranya adalah Pasal 35 menentukan bahwa:


(23)

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.10

Secara normatif, terdapat perbedaan yang tajam antara penguasaan harta bersama dan penguasaan harta bawaan, harta hadiah dan/atau harta warisan selama perkawinan berlangsung. Harta bawaan, harta hadiah, harta warisan berada di bawah penguasaan masing-masing suami atau istri, artinya pihak yang menguasai harta tersebut dengan bebas dapat melakukan apa saja terhadap hartanya itu, tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. Sedangkan harta bersama berada di bawah penguasaan bersama suami-istri, sehingga jika salah satu pihak, suami atau istri, ingin melakukan perbuatan hukum atas hartanya itu, seperti menjual, mengagadaikan, dan lain-lain, harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya.( Pasal 35 dan Pasal 36 UU Perkawinan). Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan Pasal 36 yang menyebutkan:

1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.11

Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta

10

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

11


(24)

bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.

Dalam hubungannya dengan harta perkawinan banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri atas harta perkawinan sering kali diabaikan oleh para suami.12

Ketentuan ini juga dimungkinkan terjadi dalam perkawinan poligami. Harta perkawinan ini sering disalah tafsirkan kepemilikannya. Apalagi jika yang bekerja atau yang berusaha mencari nafkah hanya suami saja. Kemudian terlebih jika ketika kepemilikannya hanya didaftarkan atas nama pasangan suami. Padahal, harta perkawinan tetaplah merupakan harta yang dimiliki oleh suami dan isteri secara bersama-sama yang terikat dalam satu perkawinan (baik monogami dan poligami), meskipun isteri tidak turut andil dalam mencari uang (nafkah).

Padahal sesungguhnya harta perkawinan itu bukanlah masalah selama menjadi kesepakatan antara suami istri. Biasanya sengketa harta perkawinan ini akan timbul jika terjadi perselisihan antara suami istri atau perceraian. Terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Kadangkala, masing-masing pihak mengklaim atas harta perkawinan itu adalah harta bawaan atau harta perolehan mereka. Atau, pihak istri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta bersama berdasarkan putusan pengadilan. Inilah cikal bakal terjadinya perselisihan harta perkawinan.

12

Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Hak Istri dalam Islam, http://www.asysyariah.com/print.php? id_ online=524, diakses tanggal o1 September 2009.


(25)

Dari pemaparan di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Hak Istri ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Ponligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

B. Perumusan Permasalahan

Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bila Perkawinannya Putus ?

2. Bagaimanakah Pembagian Harta Bersama Perkawinan Poligami Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

3. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Keputusan Pembagian Harta Perkawinan Poligami ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bila Perkawinannya Putus.


(26)

2. Untuk mengetahui Pembagian Harta Bersama Perkawinan Poligami Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Keputusan Pembagian Harta Perkawinan Poligami.

D. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan permasalahan, kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan dengan hak istri-istri dalam perkawinan poligami atas harta perkawinan. Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak yang terkait persoalan hak istri-istri dalam perkawinan poligami atas harta perkawinan terutama :

1. Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat di masa mendatang apabila terjadi permasalahan pembagian harta perkawinan kepada istri-istri atas harta perkawinan.

2. Memberi masukan kepada pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap masalah-masalah yang mungkin timbul dari hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinan dalam perkawinan poligami.


(27)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada perpustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan dengan judul Analisis Yuridis Atas Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.13 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.14 Sehingga kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang perkawinan secara umum dan perkawinan poligami, serta teori tentang harta bersama. yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini.

13

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi, Yogjakarta, Tahun 2006, hal. 6

14


(28)

Fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.15 Penelitian

ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga kerangka teori yang diarahkan adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami hak istri ke 2 dan seterusnya atas harta perkawinannya dalam perkawinan poligami ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kemudian memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hak istri ke 2 dan seterusnya atas harta perkawinannya dalam perkawinan poligami.

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perkawinan 1. Makna dan Tujuan Perkawinan

Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebut.

15

Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ramaja Rosdakarya Bandung, Tahun 1993, hal. 35


(29)

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut majazi atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.16

Sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut Perkawinan.

Suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar manusia di dunia, bahwa lahir, kawin dan mati adalah kodrat manusia. Perkawinan selalu membawa harapan akan kebahagian bagi para pihak yang terikat di dalam perkawinan dan tidak seorang pun di dunia ini mengharapkan perkawinan akan membawa petaka dalam hidupnya. Namun dapat saja terjadi keadaan yakni harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Ahmad Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin ayat 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun ayat 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang diberikan kepada lawan jenisnya. 17

16

Musfir Husain Aj-Jahrani, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996, hal. 13

17

Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, Tahun 2001, hal. 54


(30)

Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi.18 Menurut Kompilasi Hukum

Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah. 19

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalam Pasal 1 menentukan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.20

Pasal di atas memuat dua unsur dalam merumuskan defenisi perkawinan, yaitu meliputi arti dan tujuan perkawinan. Arti perkawinan adalah, ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkataan ikatan lahir bathin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tetapi harus kedua-duanya.

18

Abdul Azis Dahlan, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, Tahun 2006, hal. 156

19

Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, Tahun 2005, hal. 8

20


(31)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.21

Hazairin, mengatakan perkawinan adalah hubungan seksual. Menurut beliau tidak ada nikah bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada hubungan suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.22

Tengku M.Hasbi Ash Shiddiqy, Perkawinan ialah :

Melaksanakan akad antara laki-laki dengan seorang perempuan atas kerelaan dan kesukaan antara kedua belah pihak, oleh seorang wali dari seorang perempuan, menurut sifat yang telah ditetapkan oleh syara' untuk menghalalkan percampuran, antara keduanya dan untuk menjadikan yang seorang condong kepada seorang lagi dan menjadikan masing-masing daripadanya sekutu bagi yang lainnya.23

Perkawinan merupakan proses seksual manusia harus berjalan dengan semangat kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.

Sedangkan menurut Subekti perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.24

Dari pengertian-pengertian perkawinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan wanita atau yang mewakili mereka. Dibolehkan bagi laki-laki dan wanita bersenang-senang sesuai dengan jalan

21

Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, Tahun 1984, hal. 7

22

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, Tahun 1961, hal. 61

23

Tengku M.Hasbi Ash Shiddiqy, AI-Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Tahun 1966, hal. 562

24

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung, P.T. Intermasa, hal. 11


(32)

yang telah disyari'atkan. Allah telah mensyari'atkan perkawinan dengan tujuan agar terciptanya hubungan yang harmonis antara laki-laki dan wanita dibawah naungan syari'at Islam dan batasan-batasan hubungan antara mereka. Tidak mungkin bagi seorang wanita tidak butuh kepada seseorang untuk mendampinginya, begitu juga bagi seorang laki-laki.

Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati, menjaga kesucian diri dari perbuatan keji sebagaimana juga menjadi kenikmatan, kebahagiaan hidup, sarana untuk membentengi diri agar tidak jatuh pada jurang kenistaan, serta penyebab perolehan keturunan yang saleh dan yang akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia untuk kehidupannya di dunia dan sesudah meninggal.

Terlihat adanya hubungan yang erat antara laki-laki dan wanita. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:


(33)

Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (QS. 2:187)

Pada dasarnya perkawinan merupakan tulang punggung bagi terbentuknya keluarga dan keluarga merupakan komponen pertama dalam pembanguna masyarakat. Dengan demikian tujuan perkawinan bukan sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat, melainkan memiliki tujuan yang mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta kasih sayang dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya kekejian.

Dengan perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak ummat, memperkokoh kekuatannya serta meningkatkan perekonomiannya. Dengan demikian akan terjadi sikap saling tolong menolong antara laki-laki dan wanita dalam kepentingan dan tuntutan kehidupan. Suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan istri bertugas mengurusi rumah tangga serta mendidik anak.

Tidak diragukan lagi bahwa perkawinan itu adalah salah satu dari kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah bagi hamba-hambaNya yang beriman agar mereka


(34)

memperoleh kesenangan dirinya dan melarang mereka dari tabattul (keinginan untuk tidak menikah).25

Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21 yang berbunyi :

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)

Maka perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

25


(35)

Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.

Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidup ini juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.26

Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.

b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih c. Memperoleh keturunan yang sah

Filosof Muslim Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, seperti:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

b. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan c. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

26

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Tahun 1997, hal. 69


(36)

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal, dan rasa memperbesar rasa tanggung jawab.27

Kemudian dari defenisi perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28 Kemudian di dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam disebutkan perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 29

Salah satu dari asas dan prinsip dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan materiil. Dengan perkataan lain tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan serta harus dilakukan didepan pengadilan.30

Sehubungan dengan pendapat di atas, maka tujuan perkawinan yang pokok antara lain.

1. Untuk menegakan dan menjunjung tinggi syariat agama manusia-manusia normal baik laki-laki maupun perempuan yang memeluk agama tertentu

27

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Sinar Grafika, Tahun 1996, hal. 26

28

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

29

Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Pers, Jakarta, Tahun 1994, hal. 78

30

H.M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan, Tahun 1993, hal. 5-6


(37)

dengan taat pasti berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agamanya, untuk menjaga kesucian agamanya, apabila tidak demikian berarti bukanlah pemeluk agama yang taat. Dalam ajaran agama Islam nikah termasuk perbuatan yang diatur dengan syariat Islam dengan syarat dan rukun tertentu. Maka orang-orang yang melangsungkan pernikahan berarti menjunjung tinggi agamanya, sedangkan orang-orang yang hanya kawin tetapi tidak mau melalui pernikahan, berzina, menjalankan perbuatan mesum, melacur, melaksanakan pemerkosaan. dan lain-lain berarti

merendahkan syariat agamanya.

2. untuk menghalalkan hubungan biologis antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya.

Setelah diketahui bersama bahwa suami dan istri asalnya orang lain, tidak ada hubungan keluarga dekat ataupun bukan muhrimnya, asalnya hubungan seksual antara mereka hukumnya haram, tetapi melalui pernikahan hubungan biologis antara keduanya menjadi halal, bukan berdosa bahkan menjadi pahala.

3. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum.

Anak yang dilahirkan dari suami istri yang sudah terikat perkawinan adalah anak mereka berdua yang mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, berhak mewarisi dan mendapatkan warisan antara orang tua dengan anaknya.

4. Untuk menjaga ketentraman hidup.

Perkawinan merupakan lembaga untuk menjaga ketentraman hidup seseorang, orang-orang yang melangsungkan perkawinan secara umum hidupnya lebih tentram.

5. Untuk mempererat persaudaraan.

Perkawinan juga merupakan sarana untuk mempererat hubungan persaudaraan atau ukhuwah, bagi umat Islam tentu saja ukhuwah Islamiyah, baik ruang lingkup sempit maupun luas.31

Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan perkawinan dengan pernikahan, maka Allah SWT berfirman dalam Alqur’an surah An-Nisa ayat 1 yang berbunyi:

31


(38)

Artinya : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silatur-rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. 4:1).32

Kemudian Allah tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarkhi dan tidak ada aturan yang mengaturnya. Demi menjaga martabat kemuliaan manusia Allah menurunkan hukum sesuai dengan martabat manusia itu.

Di dalam hadist, Rasulullah bersabda yang artinya: "Nikah itu adalah

sunnahku, barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah termasuk

ummatku"(H.R.Bukhari).33

Oleh karena itu, perkawinan dalam Islam, secara luas adalah:

a. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.

b. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan. c. Cara untuk. memperoleh keturunan yang sah. d. Menduduki fungsi sosial.

e. Merupakan perbuatan menuju Taqwa.

f. Merupakan suatu bentuk ibadah yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah Saw.34

32

Alquran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Tahun 1987, hal 297

33

Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Tahun 1993, hal. 7

34

Abdul Rahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, Tahun 1996, hal. 7


(39)

Dengan demikian pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan yang telah diuraikan di atas, akan menghasilkan dan melingkupi banyak pandangan tentang fungsi keluarga. Karenanya Islam tidak menyetujui kehidupan membujang dan memerintahkan setiap muslim agar menikah. Sedangkan tujuan perkawinan dalam Islam, bukan semata-mata untuk kesenangan lahiriyah melainkan juga untuk membentuk suatu lembaga yang kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan diperlakukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan.

2. Hukum Perkawinan

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan),


(40)

Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.

Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebahagian besar para Fuqaha (para sarjana Islam) adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan).

Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad Bin Hambali dan Malik Bin Annas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehan/hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi kewajiban. Walaupun demikian Imam Syafii menganggap bahwa menikah bersifat mubah (diperbolehkan).

Apabila seseorang pria dipandang dari sudut fisik (jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak untuk menikah, sedangkan dari biaya kehidupan telah mampu dan mencukupi, sehingga kalau dia tidak menikah mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus kepada penyelewengan melakukan hubungan seksual, maka wajib baginya menikah. Bilamana dia tidak menikah akan berdosa disisi Allah. Demikian juga seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat bilamana ia tidak menikah, maka wajib baginya menikah.

Menurut perintah Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW bahwa perkawinan itu diwajibkan bagi seorang laki-laki yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, menafkahkan istri dan anak-anak, sehat jasmani dan dikhawatirkan bila tidak menikah ia akan melakukan zina. Hal ini pun diwajibkan


(41)

pula bagi wanita yang apabila ia tidak menikah akan menjerumuskannya pada perbuatan zina.

Beberapa ulama tidak sepakat dengan hal ini dan mengingatkan bahwa apabila seorang laki-laki tidak mampu memperoleh nafkah hidup halal, maka dia tak boleh menikah dan bila dia tetap menikah tanpa harapan memperoleh makanan yang halal, niscaya dia akan melakukan pencurian atau perbuatan lain semacam itu. Dengan demikian, untuk menghindarkan satu kejahatan justru dia menjadi korban dengan melakukan kejahatan yang lain.

Namun menikah itu bersifat sunnat bagi seseorang yang memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan tuntutan seksnya sehingga tidak akan terjerumus dalam bujukan syaitan namun berkeinginan untuk memperoleh keturunan dan orang yang merasa bahwa dengan menikah tidak akan menjauhkannya dari pengabdiannya kepada Allah.

Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk menikah tapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka sunnat baginya nikah. Hal ini berdasarkan pada Hadist Rasul dari Riwayat Bukhari, Muslim dan Annas, Rasulullah bersabda: "Aku Shalat, puasa, berbuka, tidur, menikah itulah sunnahku.35

Hukum menikah berubah menjadi Haram, bilamana seorang pria atau wanita tidak bermaksud menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, atau pria

35


(42)

ingin menganiaya wanita atau sebaliknya pria/wanita ingin memperolok-olok pasangannya saja maka haramlah yang bersangkutan menikah.36

Bagi seorang laki-laki menikah itu diharamkan kalau dia tidak mampu untuk membiayai atau tidak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anaknya, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya dan keturunannya. Pernikahan akan menjadi Makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memilki keinginan seksual sama sekali atau memilki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah.

Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah tetapi ia meragukan dirinya tidak mampu mematuhi dan menaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah.

3. Syarat-Syarat Perkawinan

Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

36


(43)

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah : (1) persetujuan kedua belah pihak (suami istri) (2) Wali

(3) Saksi (4) Aqad 37

Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.

Untuk mewujudkan tujuan perkawinan di atas, maka suatu perkawinan haruslah dilengkapi dengan dasar dan syarat-syarat perkawinan agar menjamin kepastian hukum. Dasar dan syarat perkawinan mempunyai hubungan dengan sahnya perkawinan terutama karena perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum sehingga perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum tersebut.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agarnanya, dan kepercayaanya itu.38 dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

perundang-undangan yang berlaku.39 Sebagai perbuatan hukum dan peristiwa yang

37

Hukum Pernikahan dalam Islam, http://blog.bukukita.com/users/nabawi/?postId=5333, diakses tanggal 01 september 2009

38

Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

39


(44)

penting sebagaimana peristiwa penting lainnya, maka perkawinan itu perlu dicatatkan sebagai bukti otentikdan perlindungan hukum serta tertib administrasi.

Berhubungan dengan syarat-syarat perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan dalam pasal 6 sampai dengan 12 memuat tentang Persetujuan kedua belah pihak calon mempelai (Pasal 6 ayat (1), Batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 6 ayat (2) menyatakan, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Kemudian Pasal 7 ayat (l) menjelaskan tentang batas minimal umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan pria harus berumur 19 tahun (sembilan belas tahun) dan wanita harus sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8,9 dan 10 dapat dirincikan menjadi 7 (tujuh) macam, yaitu:

a. karena adanya hubungan darah b. karena adanya hubungan semenda c. karena adanya hubungan sesusuan

d. karena adanya hubungan dalam perkawinan poligami e. karena berbeda agama

f. karena masih terikat dalam tali perkawinan g. karena bercerai tiga kali. 40

40


(45)

B. Tinjauan Umum Tentang Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. 41

Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang.42

Di dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan istilah lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat 3 surat An- Nisaa sebagai dasar penetapan hukum poligami.43

Dengan perkataan lain, poligami ialah mengamalkan beristri lebih dari satu yaitu dua, tiga, atau empat.44

Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam bahwa beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

41

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 1996, ha1. 84

42

H. M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Fakultas Agama Islam, Undhar, Medan, Tahun 1990, hal. 35

43

Khoiruddin Nasution, Op. Cit, hal. 84

44

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, Tahun 1998, hal. 19


(46)

C. Tinjauan Umum Tentang Harta Perkawinan

Dalam perkawinan tentunya tidak akan terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Jika diteliti asal usul harta yang dipunyai oleh suami dan istri menurut hukum adat, dapat digolongkan kedalam empat macam sumber, yaitu harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri, harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan, harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan dan harta yang diperoleh selama perkawinan.

Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik masing-masing suami istri.

Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami istri. Selanjutnya harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan, ada yang menjadi milik istri dan ada yang menjadi milik suami, ada yang menjadi milik orang tua penganten dan ada pula yang dibagi-bagikan kepada sanak keluarga penganten. Sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami istri selama dalam perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan istri.

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35 ayat (1) menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.45 Maksudnya adalah bahwa semua harta yang

diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda

45


(47)

kepunyaan bersama. Harta bersama ini dapat berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda yang tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

Dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada 2 macam harta benda dalam perkawinan yaitu:

1. Harta Bersama

Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari istri atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami istri.

2. Harta Bawaan.

Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri ke dalam perkawinanya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan.

Selain itu, dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.46

46


(48)

Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam perkawinan.

Sampai sekarang belum tercapai keseragaman istilah seperti yang dikehendaki Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 47

Namun demikian hal itu tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan. Harta tersebut melembaga menjadi harta bersama antara. suami isteri, selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan suku dan stelsel kekeluargaan suami isteri.

Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dapat dikembangkan kepada 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut :

a. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut

47

M. Yahya Harahap, Informasi Materi KH1:Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam: Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hal. 299


(49)

sebagai milik asli dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.

b. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan

c. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya dari suami isteri, suami atau isteri dalam kaitan dengan perkawinan.

Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu bahwa perolehannya atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan. Dua syarat ini adalah pengertian secara kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta pribadi yang diperoleh secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab I ketentuan umum butir (f) "Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun".

Pernyataan di atas mempertegas tentang klausal karya suami isteri dalam masa perkawinan, untuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta (benda) itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang


(50)

terdaftar terhadap benda itu saja yang mempunyai hak tapi suami isteri mempunyai hak yang sama.

Dalam literatur lama fiqh Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama, fiqh Islam cenderung seolah-olah mengabaikan masalah ini atau budaya tempat fiqh Islam itu berkembang tidak mengenai tentang keberadaan harta bersama sehingga terkesan seolah-olah tidak ada peranan isteri dalam pembinaan dan pembiayaan keluarga.

Kini keadaan telah berubah, hal-hal yang masa lampau belum pernah terpikirkan, satu demi satu sekarang telah muncul kepermukaan, tuntutan kehidupan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Untuk memenuhi berbagai keperluan ini seorang isteri secara sukarela, bahkan sering karena terpaksa harus ikut bekerja membantu suami memikul tanggung jawab rumah tangga.

Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1) "harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama". Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan (aqad nikah) sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.


(51)

2. Konsepsi

Dari uraian kerangka teori di atas, peneliti akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain:

a. Istri adalah istri ke 2, 3 dan ke 4 yang merupakan pendamping dari seorang suami.

b. Hak istri adalah hak atas harta perkawinan baik harta bersama maupun harta bawaan.

c. Harta perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.

d. Perkawinan Poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dengan beberapa istri.

e. Pengadilan Agama adalah Pengadilan bagi mereka yang beragama Islam.

f. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum bagi mereka yang bukan beragama Islam.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang akan memaparkan dan menganalisis permasalahan yang akan dikemukakan.

2. Metode Pendekatan

Demi tercapainya penelitian yang memberikan jawaban atas masalah, sangat ditentukan dengan metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


(52)

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur masalah Hak Istri ke 2 dan seterusnya atas harta perkawinan serta peraturan tentang perkawinan poligami, sehingga diketahui apakah landasan hukum yang ada telah terlaksana atau kurang memadai dalam mengatur hal tersebut.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder dan data primer.

a. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari :

a. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang akan di pelajari adalah : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.


(53)

4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

5. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam b. Bahan Hukum Sekunder

yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.48

c. Bahan Hukum Tertier

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan ditentukan.

b. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan pada saat penelitian dilakukan diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pihak yang dianggap mempunyai kompetensi.

48

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Tahun 2005, hal. 141


(54)

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Dokumen

Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

b. Wawancara

Wawancara akan dilakukan pada informan sebagai narasumber yaitu Ketua Pengadilan Agama Medan, sebagai narasumber yang mempunyai informasi yang memberikan keterangan-keterangan demi menjawab permasalahan dalam penelitian ini sebagai data penunjang.

Pemilihan Ketua Pengadilan Agama Medan adalah untuk lebih mempermudah penulis dalam melakukan penelitian dikarenakan Pengadilan Agama Medan akan memiliki lebih banyak perkara khususnya poligami dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di propinsi sumatera utara


(55)

dikarenakan medan merupakan kota terbesar yang ada di propinsi sumatera utara.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.49

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan, selanjutnya akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Kemudian analisis itu akan dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan.

Dalam melakukan penarikan kesimpulan maka akan menggunakan logika berfikir indukti ke deduktif. Dengan logika berfikir tersebut diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan dalam penelitian ini.

49

Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ramaja Rosdakarya Bandung, Tahun 1993, hal. 103


(56)

BAB II

HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINANNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN BILA PERKAWINANNYA PUTUS

A. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan.

Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :

1. Kematian. 2. Perceraian, dan

3. Atas Keputusan Pengadilan. 50

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.


(57)

Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris, karena itu agama islam membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasul.

Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris.51

Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.52

Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta

51

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral

Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39

52


(58)

warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.

Dalam Hukum Islam tata cara melaksanakan pembagian waris mempedomani beberapa prinsip, yaitu :

1). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah, memberikan kebebasan penuh kepada seseorang yang memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat, kepada orang yang dikehendaki.

2). Warisan merupakan ketetapan hukum.

3). Pembagian warisan terbatas hanya pada lingkungan keluarga.

4). Tata cara yang dipergunakan hukum waris Islam adalah membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin para ahli warisnya secara merata dan memberikan bagian-bagian atau porsi-porsi tertentu kepada setiap ahli waris disesuaikan dengan hubungan yang lebih dekat;

5). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atau diskriminasi atas harta warisan;

6). Perbedaan besar atau kecilnya bagian atau porsi yang akan didapatkan para ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan pewaris diselaraskan pada kebutuhan dalam hidup sehari-hari dari ahli waris dengan memandang juga kedekatan hubungan para ahli waris dengan pewaris.53

Hukum waris Islam tidak menghendaki serta sepenuhnya melarang tata cara seperti yang berlaku dalam kapitalisme/individualisme dan pembagian harta peninggalan memakai prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perseorangan atau dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan;

Pewaris tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan yang ditinggalkan dan ahli waris juga berhak atas harta warisan yang ditinggalkan

53

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2001, hal. 10


(1)

perkawinannya putus dengan perceraian tidak diatur secara tegas. Undang-undang Perkawinan hanya menegaskan bahwa antara suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga, hal mana sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat (1). Atas dasar itu maka kedudukan harta bersama bila terjadi perceraian adalah seimbang yaitu ½ (setengah) bagian suami dan ½ (setengah) baian istri atau 50% : 50% bila dipersentasekan. Kemudian mengenai besarnya bagian harta bersama bila perkawinan putus dikarenakan kematian dalam undang-undang perkawinan tidak diatur secara tegas. Pengaturan besarnya bagian janda terdapat dalam pasal 180 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan janda mendapatkan bagian ¼ (seperempat) bagian bila pewaris (suami) tidak meninggalkan anak. Bila Pewaris (suami) meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan istri-istri dalam perkawinan poligami. Ketentuan ini menyimpulkan apabila seorang pewaris (suami) memiliki 4 orang janda yang mempunyai anak maka masing-masing memperoleh bagian 1/8 : 4 = 1/32. Kemudian apabila perkawinan tersebut tidak memiliki anak, maka bagian 4 orang janda adalah 1/4 : 4 = 1/16. Artinya besarnya bagian janda dalam perkawinan poligami tergantung banyaknya jumlah janda yang ditinggalkan.

3. Bahwa pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan karena perceraian dan kematian pada pengadilan agama medan adalah sama yaitu dengan melihat fakta-fakta dipersidangan yang kemudian


(2)

akan terbentuk putusan yang sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum. Dengan demikian akan terwujud putusan pengadilan yang memberi kemaslahatan bagi para pihak.

B. Saran

1. Kepada pihak pemerintah agar lebih mensosialisasikan undang-undang perkawinan terutama mengenai hak-hak istri, istri ke-2 dan seterusnya, hal ini disebabkan masih banyak pasangan yang menikah khususnya para istri yang tidak paham dan tidak mengerti akan hak-haknya yang telah diatur dalam undang-undang perkawinan. Dan kepada masyarakat sebagai pasangan yang menikah kiranya tidak hanya sekedar menyimpan undang-undang perkawinan tetapi juga diharapkan membacanya sehingga suami/istri memperoleh pemahaman yang benar mengenai aturan tentang hak-hak masing-masing pihak suami/istri.

2. Kepada pihak pembuat undang-undang agar lebih meneliti tentang pengaturan pembagian hak istri dikarenakan pengaturan pembagian hak istri ke-2 dan seterusnya belum tegas.

3. Kepada para hakim agar kiranya tetap memberikan pertimbangan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, alquran tetap dijadikan sebagai sumber hukum tertinggi, hadits serta hasil ijtihad yang mana dengan hal itu diharapkan terwujudnya fungsi dan tujuan hukum serta kemaslahatan para pihak yang berperkara dan umat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdullah, Abdul, Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Pers, Jakarta, Tahun 1994

Aj-Jahrani, Musfir, Husain, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, Tahun 1996

Alquran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Tahun 1987

Anshori, Abdul, Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005

Arto, A., Mukti, Praktek-praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2003

Ash Shiddiqy, Tengku, M., Hasbi, AI-Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Tahun 1966 Basyir, Ahmad, Azhar, Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2001 Budiono, A., Rachmad, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, P.T. Citra

Aditya Bakti, Bandung. Tahun 1999

Dahlan, Abdul, Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiyar Baru van Hoeve, Jakarta, Tahun 2006

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, Tahun 1980

Harahap, M., Yahya, Informasi Materi KH1:Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam: Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta

Hasan, M., Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Tahun 1973 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, Tahun 1968


(4)

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, Tahun 1959

Idoi, Abdul, Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, Tahun 1996

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 2, Tahun 1978

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2 Lubis, M., Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1994 Marzuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,

Tahun 2005

Moloeng, Lexy, J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Ramaja Rosdakarya Bandung, Tahun 1993

Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami, Wihdah Press, Yogyakarta, Tahun 2004

Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 1996 Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Tahun 1993

Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, Tahun 2004

Pedoman Teknis Peradilan Agama Dalam Buku II Pasca Rakernas Akbar Jakarta Tanggal 27 September 2008, Mahkamah Agung RI, Tahun 2008

Projodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, Tahun 1984

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, Tahun 1975

Ramulyo, Mohd., Idris, Hukum Perkawinan Islam, Sinar Grafika, Tahun 1996 Rasjid, H., Sulaiman, Fiqh Islam, Penerbit Attahiryah, Jakarta, Tahun 1976 Rofiq, Ahmad, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998


(5)

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Tahun 1997

Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung Tahun 1990 Selamat, Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, Kalam Mulia,

Jakarta, Tahun 1998

Shalaby, Ahmad, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, Tahun 2001

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, Jakarta, Tahun 1996 Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung, P.T. Intermasa

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, tahun 2005

Suprapto,Bibit, Liku-Liku Poligami, Yogyakarta, Tahun 1990

Thaib, H., M., Hasballah, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Fakultas Agama Islam, Undhar, Medan, Tahun 1990

---, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan, Tahun 1993

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Tahun 1984

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi, Yogjakarta, Tahun 2006

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


(6)

145

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, Tahun 2005, hal. 8

Situs Internet

Bagir Manan, Tugas Hakim : Antara Melaksanakan Fungsi Hukum Dan Tujuan Hukum, http://www.badilag.net/data/PIDATO/TUGAS%20HAKIM.pdf, diakses tanggal 05 Desember 2009

Hukum Pernikahan dalam Islam, http://blog.bukukita.com/users/nabawi/?postId=5333, diakses tanggal 01 september 2009

Praktek Buruk Pelaku Poligami, Bukan Alasan Mengharamkan Poligami http://groups.yahoo.com /group/ khilafah /message/1579, diakses tanggal 01 September 2009

Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Hak Istri dalam Islam, http://www.asysyariah.com/print.php? id_ online=524, diakses tanggal o1 September 2009.

M. Amin, Utang Piutang Dalam Rumah Tangga Dan Pembagiannya Akibat Perceraian, http://pa-lubukpakam.net/artikel/194-hartakeluarga.html, diakses tanggal 2 Desember 2009.

OK, Suhairi Yusuf, Unsur-Unsur dan Syarat Kewarisan