Hadiah Undian Yang Diperoleh Dalam Perkawinan Dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(1)

HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

DIANNOVI NUGRAHA SAHID NIM. 070200209

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

DIANNOVI NUGRAHA SAHID NIM. 070200209

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Diketahui dan Disahkan oleh Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. HASIM PURBA, SH, M.HUM NIP. 196660303 198508 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

RABIATUL SYAHRIAH, SH, M.HUM ROSNIDAR SEMBIRING, SH. M.HUM NIP. 19590205 198601 2 001 NIP. 196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN

Diannovi Nugraha Sahid1 Rabiatul Syahriah2 Rosnidar Sembiring3

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan menemukan pemecahan atas permasalahan yang timbul yang dikarenakan oleh adanya sengketa akibat perceraian atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah yang didapat di dalam suatu ikatan perkawinan. Maka, demi menemukan solusi atas sengketa tersebut, Penyelenggaraan undian berhadiah yang menawarkan hadiah dengan nilai ekonomis yang besar semakin marak dilakukan oleh instansi atau perusahaan sebagai alat untuk mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Penyelenggaraan undian ini diharapkan mampu menjaga loyalitas konsumen/nasabah lama serta menjaring nasabah/konsumen baru. Oleh karena itu suatu instansi atau perusahaan tidak memiliki batasan khusus mengenai siapa yang berhak menerima hadiah tersebut. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya umumnya yang menjadi pemenang adalah orang-orang yang telah menikah. Pada kenyataannya orang-orang tidak terlalu memahami mengenai pemisahan atau percampuran harta kawin. Sehingga, akan timbul masalah jika pada akhirnya pernikahan itu kandas dan terjadi persengketaan atas pembagian harta yang berasal dari hadiah undian ini.

Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun kembali secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan ke dalam bentuk skripsi. Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembagian hadiah yang diperoleh dari undian berhadiah yang diselenggarakan oleh sebuah instansi atau badan. Selain itu digunakan juga bahan-bahan lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara

2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3


(4)

dipelajari terlebih dahulu mengenai seluk-beluk harta yang diperoleh dari undian berhadiah itu agar apabila perceraian terjadi, para pihak tidak akan salah dalam mengambil langkah terkait pembagian harta yang menjadi sengketa.

Penelitian ini memberikan kongklusi bahwa kepemilikan atas harta benda yang berasal dari undian berhadiah yang didapatkan di dalam sebuah perkawinan adalah merupakan harta pribadi dari suami maupun isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah tersebut. Oleh karenanya, suami atau isteri yang menjadi pemenang adalah merupakan pemilik mutlak dari hadiah undian yang ia peroleh dan berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atasnya tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain. Pergeseran hadiah dari harta pribadi menjadi harta bersama terjadi dengan melihat nilai apresiatif dari hadiah tersebut. Apabila terdapat nilai apresiatif dari hadiah, misalnya seorang Pesepak bola yang mendapat hadiah sepatu emas karena prestasinya, maka hadiah tersebut bukan merupakan harta bersama dan tidak dapat dibagi. Namun, apabila hadiah tersebut diperoleh oleh isteri dengan cara menabung di bank yang uangnya berasal dari suami sebagai pencari nafkah tunggal, maka dengan pertimbangan rasa keadilan, harta yang berasal dari undian berhadiah tersebut dapat dikategorikan kepada harta bersama dan suami berhak atasnya. Jika di kemudian hari terjadi perceraian dan timbul sengketa atas harta yang berasal dari undian berhadiah tersebut, maka penyelesaian hukumnya dilakukan melalui forum pengadilan. Bagi yang beragama Islam, penyelesaian sengketa akibat perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, penyelesaian sengketanya dilakukan di Pengadilan Umum. Ketentuan penyelesaian sengketa bagi yang beragama Islam, sepenuhnya mengacu kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan bagi yang beragama selain Islam, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah UU Perkawinan.

Kata Kunci :

1. Hadiah Undian 2. Perkawinan 3. Harta Bersama


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Teriring ucapan shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat dalam menemukan kebenaran serta mencari ridha Allah dalam melaksanakan berbagai aktifitas, termasuk dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulisan skripsi merupakan suatu kewajiban dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan sebagai suatu karya ilmiah dalam melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tidak lepas dari peran orang lain dalam setiap fase kehidupannya. Orang-orang yang datang silih berganti maupun yang tinggal inilah yang pada akhirnya membentuk karakter serta membantu seseorang dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu, sebagai bentuk penghargaan penulis kepada orang-orang yang selalu ada untuk penulis dan selalu siap dengan bimbingan serta bantuannya, pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang-orang yang penulis anggap berjasa besar bagi penulis, yang telah menyayangi, membimbing, yang menjadi penyemangat bagi penulis.


(6)

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ingin penulis tujukan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H., M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

4. Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan sekaligus Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas bimbingan yang sangat besar manfaatnya bagi penulis serta skripsi ini.

Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan serta bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(7)

6. H. Junaidi Matondang, SH., dan Hj. Khairunnisah selaku orang tua penulis yang telah melahirkan serta mengasuh penulis dengan penuh kasih sayang serta menanamkan nilai-nilai yang luhur kepada penulis sedari kecil. Penulis tahu penulis tidak akan pernah bisa membalas jasa kedua orang tua penulis ini sampai kapan pun. Oleh karena itu sebagai anak yang sangat menyayangi orang tuanya, penulis hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar kedua orang tua penulis diberi kesehatan, panjang umur, serta perlindungan agar dapat terus menyaksikan penulis menapaki jenjang-jenjang kehidupan penulis kelak. Amin Ya Rabbal alamin.

7. Zulfirman Matondang, SH. M.H., Paman penulis yang telah dengan sabar membimbing penulis serta menjadi tempat bertanya bagi penulis. Penulis rasa ucapan terima kasih tidak akan cukup membalas kebaikan hati beliau. Penulis hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar kebaikan beliau dibalas oleh-Nya. 8. Andung Siti Jamaiyah, nenek penulis yang telah menginspirasi penulis serta

menjadi pemacu bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini juga diiringi dengan doa kepada Allah SWT agar Andung selalu diberi kesehatan serta dipanjangkan umurnya. Juga kepada kakek dan nenek penulis yang telah tiada : Abdul Kadir, Hj. Siti Hasmah, dan Abu Yamin. Semoga selalu ditempatkan di sisi Allah SWT.

9. Adik-adik penulis, Safira Nugraha Sahid Matondang dan Awanis Nugraha Sahid Matondang, yang ikut mengorbankan waktu bersantainya demi penulis dan setia menemani penulis setiap malam.


(8)

10. Seluruh keluarga besar Matondang : Paman, Ibu, serta sepupu-sepupu yang telah melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis serta terus memberikan dukungan serta dorongan semangat selama proses penulisan skripsi ini.

11. Seluruh keluarga besar Abu Yamin yang terus memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis. Ibu Afiati, Adinda Tia Permata Sari, Kakanda Ruri Handayani, Kakanda Han Hanafi, Kakanda Aldhar Himawan, serta Om dan Etek, sepupu-sepupu, dan keponakan-keponakan penulis lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

12. Sahabat-sahabat penulis Syahnida Maharani Damanik, Sri Chairani Putri, Kartini Elisabet, Mellisa Yanwar, Indi Fandaya, Fajar Soefany, Steffi Seline, Novita Kartika, Desy Purnamasari Nainggolan, Shadrina Ningrum Sulaiman, Fatin Soraya, M Febriansyah Putra, Lira Apriana Sari Nasution, Nindya Sari Usman, Dian Afriani Lubis, Desi Syahrina Lubis, Fadhillah Astrid Sitompul, Satria Wicaksono yang telah bersama-sama melalui berbagai hal selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga persahabatan kita ini terus erat hingga akhir hayat dan kiranya ilmu yang kita timba selama ini di Fakultas Hukum USU berguna bagi masa depan kita. 13. Saudara-saudara di Ikatan Mahasiswa-Mahasiswi Minang (IMTigo) yang

walaupun telah berjauhan, namun masih memberikan dorongan semangat serta bantuan-bantuan yang sangat berguna bagi penulis.

14. Seluruh teman-teman stambuk 2007 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Yang sudah merasakan suka-duka sejak pertama kali menginjakkan kaki di


(9)

Fakultas Hukum USU, melewati ospek dan inagurasi bersama-sama dan yang masih terus memberikan dukungan semangat serta doa hingga akhir.

15. H. War Djamil selaku Sekretaris Redaksi Harian Analisa serta Artianus Purba dari Dinas Sosial yang telah dengan ramah menerima penulis dan sangat koperatif dalam memberikan data-data yang penulis butuhkan untuk skripsi ini.

Selayaknya manusia biasa, penulis tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada pihak yang tidak sengaja terlewat oleh penulis.

Akhirnya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini agar kedepannya penulis diharapkan dapat melahirkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dari segi isi/materi maupun dari segi cara penulisan. Semoga ilmu pengetahuan yang diperoleh selama ini bermanfaat tidak hanya bagi penulis, tapi juga bagi semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis.

Wassalamualaikum, Penulis


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : HUKUM HARTA PERKAWINAN A. Pengertian Hukum Harta Perkawinan ... 20

B. Jenis-jenis Harta Perkawinan ... 29

C. Pengertian Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan ... 39

D. Kedudukan Hukum Dari Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan ... 41

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI HADIAH UNDIAN A. Pengertian Undian Menurut Undang-Undang ... 47

B. Syarat Untuk Memperoleh Hadiah Undian ... 53

C. Kepemilikan Benda Berdasarkan Undian ... 59


(11)

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HADIAH UNDIAN DALAM HARTA PERKAWINAN

A.Status Kepemilikan Harta Benda Yang Berasal dari Undian Berhadiah Yang Diperoleh Selama Perkawinan ... 67 B. Kriteria Hadiah Undian Sebagai Harta Bersama

Dalam Perkawinan ... 69 C. Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan Yang Diperoleh Melalui

Hadiah Undian ... 73

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 77


(12)

ABSTRAKSI

HADIAH UNDIAN YANG DIPEROLEH DALAM PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA BERSAMA DI DALAM PERKAWINAN

Diannovi Nugraha Sahid1 Rabiatul Syahriah2 Rosnidar Sembiring3

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan menemukan pemecahan atas permasalahan yang timbul yang dikarenakan oleh adanya sengketa akibat perceraian atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah yang didapat di dalam suatu ikatan perkawinan. Maka, demi menemukan solusi atas sengketa tersebut, Penyelenggaraan undian berhadiah yang menawarkan hadiah dengan nilai ekonomis yang besar semakin marak dilakukan oleh instansi atau perusahaan sebagai alat untuk mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Penyelenggaraan undian ini diharapkan mampu menjaga loyalitas konsumen/nasabah lama serta menjaring nasabah/konsumen baru. Oleh karena itu suatu instansi atau perusahaan tidak memiliki batasan khusus mengenai siapa yang berhak menerima hadiah tersebut. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya umumnya yang menjadi pemenang adalah orang-orang yang telah menikah. Pada kenyataannya orang-orang tidak terlalu memahami mengenai pemisahan atau percampuran harta kawin. Sehingga, akan timbul masalah jika pada akhirnya pernikahan itu kandas dan terjadi persengketaan atas pembagian harta yang berasal dari hadiah undian ini.

Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun kembali secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan ke dalam bentuk skripsi. Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembagian hadiah yang diperoleh dari undian berhadiah yang diselenggarakan oleh sebuah instansi atau badan. Selain itu digunakan juga bahan-bahan lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara

2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3


(13)

dipelajari terlebih dahulu mengenai seluk-beluk harta yang diperoleh dari undian berhadiah itu agar apabila perceraian terjadi, para pihak tidak akan salah dalam mengambil langkah terkait pembagian harta yang menjadi sengketa.

Penelitian ini memberikan kongklusi bahwa kepemilikan atas harta benda yang berasal dari undian berhadiah yang didapatkan di dalam sebuah perkawinan adalah merupakan harta pribadi dari suami maupun isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah tersebut. Oleh karenanya, suami atau isteri yang menjadi pemenang adalah merupakan pemilik mutlak dari hadiah undian yang ia peroleh dan berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atasnya tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain. Pergeseran hadiah dari harta pribadi menjadi harta bersama terjadi dengan melihat nilai apresiatif dari hadiah tersebut. Apabila terdapat nilai apresiatif dari hadiah, misalnya seorang Pesepak bola yang mendapat hadiah sepatu emas karena prestasinya, maka hadiah tersebut bukan merupakan harta bersama dan tidak dapat dibagi. Namun, apabila hadiah tersebut diperoleh oleh isteri dengan cara menabung di bank yang uangnya berasal dari suami sebagai pencari nafkah tunggal, maka dengan pertimbangan rasa keadilan, harta yang berasal dari undian berhadiah tersebut dapat dikategorikan kepada harta bersama dan suami berhak atasnya. Jika di kemudian hari terjadi perceraian dan timbul sengketa atas harta yang berasal dari undian berhadiah tersebut, maka penyelesaian hukumnya dilakukan melalui forum pengadilan. Bagi yang beragama Islam, penyelesaian sengketa akibat perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, penyelesaian sengketanya dilakukan di Pengadilan Umum. Ketentuan penyelesaian sengketa bagi yang beragama Islam, sepenuhnya mengacu kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan bagi yang beragama selain Islam, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah UU Perkawinan.

Kata Kunci :

1. Hadiah Undian 2. Perkawinan 3. Harta Bersama


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan undian dengan hadiah yang memiliki nilai materil (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian berhadiah ini umumnya dibuat oleh bank, perusahaan makanan atau produk jual lainnya, media televisi maupun cetak, atau pusat-pusat perbelanjaan. Pelaksanaan undian berhadiah ini bertujuan agar dapat bertahan di tengah ketat dan kerasnya persaingan bisnis di Tanah Air dan menjaring lebih banyak konsumen/nasabah baru, serta menjaga loyalitas konsumen/nasabah lama.

Penyelenggaraan undian dengan hadiah ini tidak hanya sekedar basa-basi tetapi dilakukan dengan praktek kejujuran sebagaimana dapat diketahui dari kenyataan adanya konsumen yang memperoleh hadiah fantastis berupa uang tunai maupun mobil baru maupun dalam bentuk tabungan bernilai ratusan juta rupiah yang pengumumannya dimuat baik di media cetak maupun media televisi. Pengundian pemenang undian berhadiah ini bersifat terbuka untuk umum dan dilaksanakan oleh Notaris dengan disaksikan oleh Pejabat Departemen Sosial untuk wilayah Pusat dan Pejabat Pemerintah Daerah untuk wilayah Daerah sesuai tugas dan fungsinya serta Pejabat Kepolisian


(15)

setempat.4 Hasil dari penarikan undian berhadiah ini juga harus diumumkan kepada masyarakat baik melalui media cetak maupun elektronik.5

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa :

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian dilarang untuk :

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;

c. Memberikan hadiah yang tidak sesuai dengan yangdijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.”

Hadiah-hadiah yang ditawarkan bagi para pemenang undian berhadiah ini pun beragam. Mulai dari barang-barang berwujud seperti telepon genggam, sepeda motor, mobil, rumah, ataupun yang tidak berwujud seperti liburan ke luar negeri, deposito bernilai ratusan juta rupiah, hingga penawaran paket umroh maupun naik haji bagi pemenangnya. Dilihat dari segi nominal, hadiah-hadiah undian ini tidak kecil, bahkan mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah.

Besaran nilai undian berhadiah ini tentulah menggiurkan bagi konsumen. Dan sudah pasti hal ini membawa kegembiraan bagi para pemenangnya. Terlebih apabila yang menjadi pemenang adalah satu keluarga. Hadiah yang diperoleh dalam bentuk deposito tabungan dapat dipergunakan untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga tersebut, sedangkan hadiah

4

Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 73/HUK/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Dan Penyelenggaraan Undian Gratis, hal. 35.

5


(16)

yang berbentuk benda, seperti mobil atau rumah, dapat dijadikan aset keluarga. Namun, akan timbul persoalan hukum apabila keluarga yang menjadi pemenang undian berhadiah tersebut mengalami percekcokan rumah tangga yang bermuara pada perceraian.

Perceraian ini kemudian mengundang persengketaan yang menjadi dampak dari suatu perceraian, yaitu persengketaan tentang harta milik bersama suami-isteri atau harta gono-gini. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa :

“Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”6

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak menjadikan hadiah sebagai suatu harta bersama, tentulah hadiah yang dimenangkan keluarga yang bercerai tersebut akan menjadi suatu perselisihan hukum, yaitu apakah hadiah tersebut tidak dapat dikonstruksikan sebagai suatu harta bersama sehingga apabila perceraian terjadi maka hadiah tersebut menjadi milik atau dianggap sebagai harta bawaan dari suami atau istri yang formil menjadi pemenang atas hadiah tersebut. Terlebih apabila perolehan hadiah tersebut berawal dari atau tidak terlepas dari peran suami atau istri yang bukan menjadi pemenang atas hadiah tersebut. Sebagai ilustrasi, dalam suatu perkawinan di mana biaya hidup/rumah tangga sepenuhnya bersumber dari penghasilan suami,

6


(17)

sedangkan istri tidak memiliki penghasilan atau dengan kata lain hanya seorang ibu rumah tangga. Namun, istri memiliki tabungan di bank yang bersumber dari penghematan biaya rumah tangga sehari-hari, dan keberadaan tabungan tersebut tidak diketahui oleh suami. Lalu tabungan tersebut keluar sebagai pemenang hadiah utama satu unit mobil jaguar dari undian berhadiah yang diadakan oleh bank tempat istri menabung.

Kriteria hadiah di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dijumpai, maka hal inilah yang ingin diangkat menjadi topik pembahasan dalam skripsi ini. Demikian pula halnya belum ada ditemukan yurisprudensi yang mengatur mengenai pembagian harta perkawinan yang berasal dari hadiah undian seperti tersebut di atas. Oleh karena itu, pembahasan dalam skripsi ini menitikberatkan pada masalah pembagian harta yang diperoleh melalui undian berhadiah apabila terjadi perceraian di dalam keluarga yang menjadi pemenang dari undian berhadiah tersebut.

B. Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang berasal dari undian berhadiah yang didapatkan di dalam sebuah perkawinan?

2. Apakah yang menjadi kriteria suatu hadiah undian yang diperoleh dalam perkawinan sebagai harta bersama?


(18)

3. Bagaimanakah penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa akibat perceraian atas harta perkawinan yang berasal dari hadiah undian?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa jika membahas mengenai suatu hal yang berkaitan dengan penulisan karya ilmiah skripsi, harus ada tujuan yang jelas yang maksudnya mengarahkan pembahasan sesuai pada sasaran sehingga tidak terjadi penyimpangan dari judul serta pembahasan yang telah dikemukakan. Oleh karena itu, tujuan pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui status kepemilikan atas harta yang berasal dari hadiah undian yang didapat selama perkawinan.

b. Untuk mengetahui kriteria suatu harta benda yang diperoleh dari undian berhadiah dapat digolongkan ke dalam harta bersama atau bukan merupakan harta bersama.

c. Untuk mengetahui penyelesaian atas persengketaan yang terjadi atas harta perkawinan yang berasal dari hadiah undian apabila terjadi perceraian pada perkawinan tersebut yang pengaturannya belum terdapat di dalam undang-undang.

Penulisan skripsi ini juga diharapkan memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoretis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang


(19)

hukum perdata pada umumnya. Secara khusus, skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan terutama bagi penyempurnaan ketentuan-ketentuan mengenai pembagian harta bersama yang diperoleh melalui hadiah undian serta penyempurnaan perangkat ketentuan mengenai hadiah undian yang masih sangat minim.

2. Secara praktis

Skripsi ini ditujukan kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat sebagai bahan masukan mengenai bagaimana proses pembagian harta bersama di mana harta tersebut berasal dari undian berhadiah yang diperoleh di dalam suatu perkawinan. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi, civitas akademik, dan pemerintah.

D. Keaslian Penulisan

Pengambilan judul untuk skripsi ini, telah terlebih dahulu melalui proses pencarian mendalam atas karya ilmiah lain yang membahas tentang Hadiah Undian yang Diperoleh dalam Perkawinan dan Kaitannya dengan Harta Bersama di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun, belum ditemukan adanya tulisan maupun karya ilmiah lainnya yang membahas mengenai sistematika pembagian atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah seperti yang akan diuraikan. Oleh karena


(20)

itu, skripsi ini merupakan karya autentik dan hasil dari pemikiran sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari skripsi orang lain.

Dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, serta terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini tidak diragukan keasliannya serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terjadinya perkawinan menimbulkan pula akibat-akibat hukum, di antaranya hubungan hukum antara suami istri, hubungan hukum antara anak dengan orang tua, dan hubungan hukum terhadap harta perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU Perkawinan, akan timbul akibat hukum terhadap hubungan suami-istri yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang di antaranya :


(21)

a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2).

d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

e. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

f. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.

g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Antara anak dengan orang tuanya juga terdapat suatu hubungan hukum, baik itu anak sah, anak luar kawin, ataupun anak adopsi.

Anak sah adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di dalam suatu perkawinan yang sah, anak yang dibenihkan di luar perkawinan dan dilahirkan di dalam pernikahan sah, atau anak yang dibenihkan di dalam perkawinan sah


(22)

tetapi dilahirkan setelah putus perkawinan. Anak sah ini langsung mempunyai hubungan hukum yang sah pula dengan orang tuanya.

Anak luar kawin adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan tanpa adanya suatu perkawinan. Anak luar kawin ini hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya.

Anak adopsi adalah anak orang lain yang diambil dan dimasukkan ke dalam keluarga sendiri dan diperlakukan sama dengan anak kandung. Dengan demikian, anak adopsi ini tidak memiliki hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. Hubungan hukum yang ia miliki adalah dengan orang tua angkatnya.

Anak dan orang tua memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut :

a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).

b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.

c. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).

Perkawinan juga menimbulkan akibat hukum terhadap harta perkawinan. Harta perkawinan atau harta kekayaan kawin adalah harta yang


(23)

dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami-isteri baik sebelum maupun sesudah (selama) perkawinan berlangsung.

Pasal 35 UU Perkawinan mengenal dua jenis harta perkawinan dalam ikatan suatu kekayaan, yakni harta asal (bawaan) dan harta bersama (harta pencaharian bersama).

Harta asal atau harta bawaan ini meliputi :

a. Harta pribadi, yaitu harta yang dihasilkan melalui keringat/jerih payah suami atau isteri sebelum perkawinan berlangsung.

b. Hibah, yaitu suatu pemberian yang diberikan/dilimpahkan kepada seseorang sewaktu si Penghibah masih hidup.

c. Warisan adalah harta yang diwarisi oleh ahli waris karena kematian.

d. Hibah-Wasiat adalah ucapan (janji) seorang Pewaris semasa ia hidup untuk memberikan harta kepada seseorang, akan tetapi janji tersebut baru dapat dilaksanakan setelah si Penghibah Wasiat meninggal dunia.

e. Hadiah khusus, yaitu pemberian seseorang secara tegas kepada salah satu pihak suami atau isteri.

Harta asal atau harta bawaan ini berada di dalam kekuasaan masing-masing pihak, selama tidak ada perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Harta bersama atau harta pencaharian bersama adalah harta yang dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami-isteri yang dihasilkan


(24)

melalui usaha/keringat sendiri dari suami atau isteri atau suami-isteri secara bersama-sama selama perkawinan berlangsung.

Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka-mereka yang melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami-istri – dan biasanya hak dan kewajiban inilah yang pertama-tama terpikir kalau kita berbicara tentang hak dan kewajiban suami-istri – tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami-istri tersebut.7

Cerai mati adalah putusnya suatu perkawinan karena adanya kematian salah satu pihak, baik suami maupun isteri, di mana kematian salah

Seluruh harta benda suami maupun istri tidak serta merta disatukan dan menjadi milik bersama, namun ada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini yang menyebutkan adanya pemisahan antara harta bawaan dari masing-masing suami maupun istri yang tetap berada di bawah pengawasan masing-masing selama tidak ada ketentuan dari pihak lain seperti yang tertera di dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ikatan perkawinan memiliki risiko dapat terputus di tengah jalan. Suatu perkawinan itu dapat diputuskan dengan tiga cara, yakni karena kematian (cerai mati), karena kesepakatan kedua belah pihak untuk bercerai (cerai hidup), dan atas keputusan Pengadilan.

7


(25)

satu pihak tersebut dengan sendirinya mengakibatkan seorang suami/isteri menjadi duda/janda.

Cerai hidup adalah putusnya suatu perkawinan karena adanya kesepakatan kedua belah pihak antara suami-isteri untuk mengakhiri perkawinan mereka, oleh karena tidak ada lagi kecocokan di antara mereka sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan ke Pengadilan. Gugatan cerai diajukan sesuai dengan agama yang dianut. Apabila yang bersangkutan beragama Islam maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama, sedangkan bagi yang tidak beragama Islam mengajukan gugatan perceraiannya ke Pengadilan Negeri, tentu sesuai alasan-alasan cerai sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:

a. Apabila salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri;


(26)

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Perkawinan yang putus karena putusan Pengadilan terjadi apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, atau salah satu pihak dalam keadaan tidak hadir selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka pihak lain dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan supaya perkawinannya diputuskan.

Putusnya suatu perkawinan itu juga memiliki akibat hukum bagi suami-isteri, bagi anak, dan juga bagi harta perkawinan. Perkawinan yang putus karena adanya kematian tidak menimbulkan banyak persoalan dalam hal pembagian harta kekayaan kawinnya. Lain halnya apabila yang terjadi adalah cerai hidup.

Masalah pembagian harta apabila perkawinan putus karena cerai hidup dibahas di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pengaturan mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung diatur berdasarkan hukumnya masing-masing. Pada penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

Sebelum proses pembagian harta kawin di saat perceraian terjadi, maka terlebih dahulu dilakukan pemisahan antara harta kawin dengan harta


(27)

asal atau harta bawaan untuk kemudian dilakukanlah pembagian atas harta yang diperoleh di dalam perkawinan yang menjadi milik bersama.

Penambahan nilai dari harta kekayaan kawin ini selain dapat diperoleh dari hasil kerja keras sendiri, juga dapat diperoleh dari pemberian orang lain atau hadiah.

Instansi ataupun perusahaan dewasa ini semakin sering menyelenggarakan undian berhadiah bagi para konsumennya. Hadiah-hadiah yang ditawarkan biasanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, di mana apabila yang menjadi pemenang dari undian berhadiah itu adalah pasangan suami-isteri, maka tentu saja nilai ekonomis dari hadiah tersebut menambah besaran nilai harta kekayaan kawin bagi keduanya. Apabila suatu saat di dalam perkawinan tersebut terjadi perceraian dan masing-masing pihak menuntut haknya atas harta perkawinan, maka hadiah undian yang diperoleh sebelumnya tentu tidak luput dari persengketaan. Dengan kurangnya pembahasan mengenai hal ini, baik di dalam peraturan perundang-undangan maupun doktrin, maka masalah pembagian harta yang berasal dari undian berhadiah ini memerlukan peninjauan lebih lanjut untuk menentukan penggolongan harta kekayaan kawin dari hadiah ini, merupakan harta asal atau harta bersama.


(28)

Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum sering dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau sebagai kaidah atau norma yang berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.8

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, maksudnya peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder.

9

8

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Raya Grasindo Persada, 2003), hal. 112.

9

Abdul Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990), hal. 44.

Data sekunder ini dibedakan lagi ke dalam beberapa bagian yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari norma atau kaidah dasar dan peraturan-peraturan dasar seperti Undang-Undang Dasar 1945, batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR(S), Peraturan Perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, dan lain-lain. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, hasil penelitian (hukum), dan lain sebagainya.


(29)

Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus-kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.10

2. Data dan Sumber Data

Pada umumnya, data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh data primer, perlu dilakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat dengan cara wawancara, quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara pastisipatif maupun nonpastisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, dan lain sebagainya.

Penulisan skripsi ini menggunakan data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat ke dalam sebagai materi yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam sebagai pembanding.

Selain itu data juga diperoleh dari dokumen-dokumen lain yang mengkaji atau membahas mengenai harta bersama dalam perkawinan ataupun mengenai undian berhadiah seperti buku, artikel, dan sumber dari

10

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 1997), hal. 113.


(30)

internet serta bahan lainnya yang memiliki kaitan dengan pembahasan di dalam skripsi ini.

3. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan atau yang disebut Library Research dengan mengacu kepada Perundang-undangan, sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan materi di dalam skripsi ini.

Data-data yang diperoleh ini kemudian dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang ingin dikaji untuk kemudian dianalisis sehingga ditemukanlah pemecahan masalah dari objek yang diteliti.

4. Analisis Data

Dalam tulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Metode ini digunakan agar gejala yang diteliti dapat lebih dipahami dan agar skripsi ini lebih memfokuskan kepada analisis hukum dari permasalahan yang menjadi objek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan hal yang sangat diperlukan dalam penulisan sebuah skripsi. Hal ini dilakukan demi memudahkan penulis dalam melakukan penulisan, dan juga memudahkan pembaca dalam memahami isi dari skripsi ini.


(31)

Skripsi berjudul Hadiah Undian yang Diperoleh Dalam Perkawinan dan Kaitannya Dengan Harta Bersama Di Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini disusun dalam lima bab yang kemudian terbagi lagi kepada beberapa sub bab. Keseluruhan bab ini merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan satu sama lain sehingga pada akhirnya membentuk suatu sistem. Kelima bab tersebut adalah:

Bab I yaitu pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan. Kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan mengenai hukum harta perkawinan. Dalam bab ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian hukum harta perkawinan, jenis-jenis harta perkawinan, pengertian hadiah-hadiah dalam harta perkawinan, serta mengenai kedudukan hadiah undian dalam hukum harta perkawinan.

Bab III berisikan tinjauan umum mengenai hadiah undian. Pembahasan di dalam bab ini adalah mengenai pengertian hadiah undian menurut undang-undang, syarat untuk memperoleh hadiah undian, kepemilikan benda berdasarkan hadiah undian, dan sifat pemberian melalui hadiah undian.

Bab IV membahas mengenai tinjauan yuridis mengenai hadiah undian dalam harta bersama dalam perkawinan. Dalam bab ini, dibahas


(32)

mengenai status kepemilikan harta benda yang berasal dari undian berhadiah yang diperoleh selama perkawinan, kriteria hadiah undian sebagai harta bersama dalam perkawinan, serta penyelesaian sengketa harta perkawinan yang diperoleh melalui hadiah undian.

Bab V yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab-bab terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang dibahas.


(33)

BAB II

HUKUM HARTA PERKAWINAN

A. Pengertian Hukum Harta Perkawinan

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi pengertian tentang suatu perkawinan. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui ada dua unsur utama dari definisi perkawinan. Pertama, perkawinan adalah merupakan ikatan secara lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Kedua, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur pertama berkaitan dengan bagaimana terciptanya suatu perkawinan dan unsur kedua berkenaan dengan tujuan perkawinan yang berkaitan dengan kesejahteraan perkawinan.

Unsur kedua dari pengertian perkawinan tersebut di atas pada intinya berkenaan dengan tujuan perkawinan untuk menciptakan keluarga sejahtera. Upaya meciptakan keluarga sejahtera ini sesungguhnya berkaitan dengan fungsi keluarga.


(34)

Secara sosiologi, dalam setiap masyarakat, keluarga adalah suatu struktur kelembagaan yang berkembang melalui upaya masyarakat untuk menyelesaikan tugas-tugas terentu. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt fungsi keluarga adalah:

1. Fungsi Pengaturan Seksual.

Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan keinginan seksual.

2. Fungsi Reproduksi

Untuk urusan memproduksi anak setiap masyarakat terutama tergantung pada keluarga.

3. Fungsi Sosialisasi

Semua masyarakat tergantung terutama pada keluarga bagi sosialisasi anak-anak ke dalam alam dewasa yang dapat berfungsi dengan baik di dalam masyarakat itu.

4. Fungsi Afeksi

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai.

5. Fungsi Penentuan Status

Dalam memasuki keluarga seseorang mewarisi suatu rangkaian status. Seseorang diserahi/menerima beberapa status dalam keluarga berdasarkan umur, jenis kelamin, urutan kelahiran dan lain-lain.

6. Fungsi Perlindungan

Dalam setiap masyarakat, keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotannya.

7. Fungsi Ekonomis.

Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagaian besar masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sama sebagai tim untuk menghasilkan sesuatu.11

Beranjak dari fungsi keluarga tersebut, maka tidak dapat dihindari bahwa kesejahteraan keluarga haruslah menjadi prioritas utama agar

11

Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sociology, terjemahan, (Jakarta: Erlangga, 1984) hal. 274-278.


(35)

terpenuhinya kebutuhan materil dan sprituil. Terkait dengan keluarga sejahtera, pada tahun 1992 diterbitkan undang-undang tentang keluarga sejahtera. Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera mengatakan:

“Setiap orang sebagai pribadi berhak untuk membentuk keluarga. Setiap Penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun keluarga sejahtera dengan mempunyai anak yang jumlahnya ideal, atau mengangkat anak atau memberi pendidikan kehidupan berkeluarga kepada anak-anak serta hal lain guna mewujudkan keluarga sejahtera. Mampu mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.”

Sejanjutnya menurut Muhammad Djumhana :

“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara anggota, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya, dengan jumlah anak yang ideal untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin.”12

Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi kewajiban dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan antara ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk seterusnya disebut UU Perkawinan, dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera maka tidak dapat dipungkiri untuk kelangsungan hidup suatu keluarga dibutuhkan harta kekayaan guna mewujudkan keluarga

12

Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 111


(36)

sejahtera. Kebutuhan akan harta benda dalam keluarga tidak saja untuk pengembangan diri pribadi suami dan atau isteri tetapi juga demi kebutuhan dan kepentingan anak-anak.

Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan :

“Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.”

Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Mengingat pentingnya kekayaan yang harus dipunyai oleh suatu keluarga demi kelangsungan keluarga itu sen-diri dan demi terwujudnya suatu keluarga sejahtera, maka keharusan adanya suatu harta perkawinan merupakan hal yang amat diperlukan.

Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus.

Untuk itulah, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan. Ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan terdiri dari dua ayat, yaitu :


(37)

Ayat (1) menentukan : “Harta benda yang diperoleh selama perka-winan menjadi harta bersama”, dan

Ayat (2) menentukan : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau waris-an, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Apabila dicermati secara seksama, isi dari ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan tersebut di atas selaras dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ketentuan pasal yang disebutkan terakhir di dalamnya ditemukan ketentuan tentang hak milik pribadi dan hak milik bersama sebagai hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara bersama-sama merupakan hak asasi maka perlu dipertegas luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena perkawinan sesungguhnya adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau isteri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan isteri selama dalam perkawinan.

Itulah sebabnya, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta bersama selama perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau isteri. Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.


(38)

Benturan hak milik pribadi dengan hak milik bersama perkawinan kelihatannya dapat saja terjadi sejak awal terjadinya perkawinan sampai terjadinya perpecahan perkawinan baik karena kematian maupun karena perceraian. Jadi konflik benturan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam perkawinan dapat terjadi setiap saat.

Pada kenyataannya pembahasan mengenai harta bersama dalam perkawinan ini seringnya tidak menjadi suatu hal yang dianggap penting. Mungkin orang berpikir bahwa pembagian harta perkawinan bukan merupakan suatu hal yang penting seperti yang dikatakan oleh G. W. Paton dalam bukunya “A Textbook of Jurisprudence” (1946) yang disadur oleh J. Satrio : “In marriage, so long as love persist, there is a little need of law to

rule the relation between husband and wife – but the solicitor comes in through the door as love flies out of the window.”13

Secara harfiah, kalimat di atas dapat diartikan bahwa selama cinta masih ada, hanya dibutuhkan sedikit hukum untuk menjalankan hubungan antara suami dan istri, tapi sang pengacara datang lewat pintu saat cinta itu terbang melalui jendela. Dengan kalimat lain, selama perkawinan itu masih berlangsung, maka Hukum Harta Perkawinan tidak diperlukan. Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi milik istri, dan apa yang menjadi milik mereka bersama belum menarik perhatian mereka. Namun pada saat akan bercerai, barulah kedua belah pihak merasa bahwa Hukum

13


(39)

Harta Perkawinan itu merupakan hal yang penting. Sebagaimana ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Jafizham, yang mengatakan :

“Justru campuran kekayaan inilah yang sering mengakibatkan kesulitan dan maka dari itu membutuhkan peraturan khusus untuk mengatasi kesulitan itu.” 14

Perlu diperhatikan tentang apa yang dimaksud dengan hukum harta perkawinan. J. Satrio dalam bukunya menyebutkan : “Hukum Harta Perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan.”

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Dari bunyinya ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tersebut sesungguhnya telah terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang harta dalam perkawinan. Kendatipun telah terdapat ketentuan hukum mengenai harta dalam perkawinan, namun seringkali Hukum Harta Perkawinan itu kurang mendapat perhatian, bahkan dari para praktisi hukum yang semestinya memperhatikan hal ini secara serius.

15

14

T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam. (Medan: CV. Percetakan Mestika, 1977), hal. 170.

15

Ibid., hal. 27

Selain penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan”, juga sering digunakan istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” untuk menyebutkan peraturan yang mengatur tentang harta kekayaan suami-isteri.


(40)

Meminjam istilah yang dikemukakan oleh J. Satrio dapat diketahui bahwa hukum harta perkawinan adalah hukum yang mengatur tentang harta benda perkawinan akibat adanya perkawinan, yaitu berkaitan dengan harta bersama maupun harta pribadi atau harta bawaan masing-masing suami isteri.

J. Satrio menyebutkan bahwa Hukum Harta Perkawinan merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan Hukum Harta Benda Perkawinan adalah terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht”.16

Terkait istilah “Hukum Harta Perkawinan” dan “Hukum Harta Benda Perkawinan” ini, penggunaan istilah “Hukum Harta Perkawinan” yang Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan bahwa perkawinan adalah unsur pokok daripada Hukum Keluarga, maka terhadap harta perkawainan lebih tepat apabila dipergunakan istilah “Hukum Harta Perkawinan” karena antara Hukum Harta Perkawinan dengan Hukum Keluarga memiliki kaitan yang erat.

Istilah harta perkawinan yang dipergunakan J. Satrio ini sama dengan istilah yang dipergunakan Subekti untuk menjelaskan tentang harta benda perkawinan dimana beliau menggunakan istilah hukum harta kawin dengan menterjemahkan istilah “algehele gemeenschap” yang ditemui di dalam KUHPerdata. Kelihatannya J. Satrio dan Subekti menganut istilah hukum harta perkawinan sama dengan istilah yang ditemui di dalam judul Bab XIII Kompilasi Hukum Islam yaitu Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Dan istilah untuk hal yang sama, berbeda dengan istilah yang ditentukan di dalam UU Perkawinan yang menggunakan istilah Harta Benda Dalam Perkawinan.

16


(41)

digunakan oleh J. Satrio dirasa kurang tepat. Karena apabila menilik pada UU Perkawinan yang dijadikan acuan mengenai harta perkawinan ini, maka istilah yang digunakan adalah “Harta Benda” seperti bunyi Bab VII yang menyebutkan ”Harta Benda Dalam Perkawinan” dan bukan “Harta Dalam Perkawinan”. Sehingga dengan merujuk pada UU Perkawinan maka adalah lebih tepat penggunaan istilah “Hukum Harta Benda Perkawinan” dari pada istilah “Hukum Harta Perkawinan”.

Pengertian hukum harta benda perkawinan adalah pengertian otentik berdasarkan undang-undang, dan pengertian inilah yang mengikat secara yuridis, sedangkan pendapat J. Satrio merupakan pendapat sarjana tidak mempunyai daya ikat, terkecuali pendapat itu diterapkan atau digunakan di dalam putusan pengadilan. Pada sisi lain bila istilah yang ditentukan di dalam Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di konfrontir dengan ketentuan yang termuat di dalam Bab VII UU Perkawinan maka yang harus dimenangkan adalah ketentuan yang termuat di dalam UU Perkawinan bukan yang ditentukan di dalam KHI, karena secara hierarki, undang-undang lebih tinggi kedudukannya daripada Instruksi Presiden sebagai landasan berlakunya KHI.

Istilah harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan di dalam UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUHPerdata. Karena aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan


(42)

dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi titik tekan pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum. Atau dengan kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak milik atas benda yang ada dalam perkawinan.

B. Jenis-Jenis Harta Perkawinan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Akan sulit dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan.

Ilmu hukum perdata mengenal adanya pemilikan atas suatu benda secara individu atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar para individu. Pemilikan benda secara individu/pribadi disebut dengan hak milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda secara bersama-sama disebut dengan istilah hak milik bersama.

Hak milik bersama atas suatu benda dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:

a. Hak milik bersama terikat (geboden mede-eigendom). Di sini tiap-tiap bagian benda diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi seluruh kumpulan benda.


(43)

b. Hak milik bersama bebas (vrije mede- eigendom). Dalam hal ini ikatan hukum hanya terdapat dalam turut serta memiliki. Di sini masing-masing mempunyai bagian yang tetap dari benda itu umpamanya ½, 1/3 dan sebagiannya.17

Meninjau dari dua golongan hak milik bersama atas suatu benda tersebut, harta bersama perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan termasuk dalam golongan atau kelompok harta bersama terikat (geboden mede-eigendom), sama halnya dengan hak milik bersama pesero dalam Perseroan Terbatas. Pengelompokan harta benda bersama sebagai hak milik bersama terikat karena semua benda yang diperoleh selama perkawinan diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi sekumpulan benda. Peraturan yang berlaku bagi harta benda bersama selama perkawinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dan khusus bagi orang yang beragama Islam ketentuan peraturan yang berlaku atas harta bersama ditentukan di dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

Demi mempertahankan hak atas harta bersama apabila perkawinan putus terdapat dua pendapat dalam UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 UU Perkawinan secara eksplisit menyebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pada penjelasan Pasal 37

17

Ahmad Ichsan, Hukum Perdata, I A, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1969), hal. 156-157.


(44)

dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Penjelasan Pasal 35 dengan Pasal 37 UU Perkawinan ini apabila dipersandingkan satu sama lain membedakan antara putusnya perkawinan dalam penjelasan Pasal 35 dengan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 putusnya perkawinan diartikan dalam arti yang umum, sedangkan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU Perkawinan adalah putusnya perkawinan secara khusus yaitu karena perceraian. Jadi apabila kedua hal tersebut dipersatukan terlihat suatu kontradiktif di dalamnya. Namun kalau dilihat dari isi norma hukum yang terkandung di dalam Pasal 35 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dapat dipahami apa yang dimaksud oleh pembuat undang-undang mengatur demikian, kaidah hukum yang terkandung di dalam Pasal 35 UU Perkawinan bersifat umum. Dan secara praktis dapat saja perkawinan itu putus karena kematian dan atau karena perceraian atau putusnya perkawinan karena ketidakhadiran salah satu pihak dan keberadaannya tidak diketahui biasanya, hal demikian ini putusnya pekawinan karena keputusan pengadilan. Sedangkan ditentukannya secara khusus tentang harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing karena dalam praktek orang yang melaksanakan perkawinan dapat saja berdasarkan hukum adat, hukum perdata BW atau HOCI, atau hukum Islam di mana masing-masing ketentuan hukumnya berbeda satu dengan yang lain, dan mungkin juga tidak mengatur tentang harta bersama karena adanya perceraian.


(45)

Sudarsono berpendapat dan memberikan usulannya atas polemik tersebut :

“Saya berkeyakinan bahwa Pasal 37 itu merupakan suatu kontradiksi dalam struktur Hukum Perkawinan Nasional ini. Sambil lalu saya tambahkan bahwa penjelasan Pasal 35 sekali-kali tidak berguna dengan adanya pasal 37 serta penjelasannya. Sebaliknya menurut hemat saya ialah mengatur hal tersebut di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri. Untuk itu hendaklah Pasal 37 UU No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi : Jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama dibagi dua antara bekas suami isteri.”18

“Hal ini sudah dikenal dan dijumpai dalam sejarah masyarakat Yunani dan Romawi, tetapi juga mewarnai pandangan Yahudi, yang melembagakan kebiasaan Levirate. Anak laki-laki bukan sekedar mewarisi harta kekayaan orang tua. Bahkan meliputi hak untuk mewarisi janda saudara laki-laki, karena janda sebagai wanita tergolong sebagai warisan dari saudara laki-laki, oleh karena itu, secara paksa dapat dikawini saudara laki-laki mendiang suami, sekiranya dia tidak ingin mengawini, berhak mengawinkannya kepada laki-laki di luar keluarga, dan untuk itu ia mendapat imbalan mahar dari laki-laki dimaksud.”

Ditentukannya harta bersama selama perkawinan di dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan adalah sebagai bentuk persamaan hak laki-laki dengan hak perempuan. Dalam sejarah diketahui bahwa hak atas benda atau kekayaan didominasi oleh laki-laki. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Yahya Harahap :

19

18

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 128.

19

M.Yahya Harahap I, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung : PT. Citra Adytia Bakti, 1997), hal. 116-117

Ada perbedaan kriteria harta bersama dalam KUHPerdata dengan yang ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, perbedaan kriteria ini dipengaruhi oleh pandangan hidup antara Barat (individualistis/liberal) dan Timur (kekeluargaan) menemukan refleksinya di berbagai bidang kehidupan hukum perdata.


(46)

Hukum harta kawin menurut BW yang berasaskan “algele

gemeenschap” (persatuan atau percampuran harta secara bulat) yang

nampaknya sepintas lalu sangat ideal bagai sepasang manusia yang telah berikrar sehidup semati, sama-sama kaya dan sama-sama melarat, harus kita lihat sebagai suatu repleksi dari pandangan hidup individualistis/liberal, di mana anak yang sudah dewasa atau kawin sudah harus lepas sama sekali dari keluarga atau famili, sedangkan hukum harta kawin menurut hukum adat yang berasaskan perbedaan antara barang asal dan gono gini, merupakan refleksi pula dari alam pikiran kekeluargaan di mana anak, meskipun sudah kawin, tidak atau belum lepas dari pengawasan atau campur tangan orang tua/keluarganya.20

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum Islam tidak mengenal adanya persatuan harta kekayaan kawin. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perjanjian dimulai (berjalan) tetap menjadi milik masing-masing suami maupun isteri. Demikian juga dengan segala barang-barang mereka masing-masing yang didapat atau diperoleh selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama lain. Artinya atas harta milik suami, si isteri tidak mempunyak hak, dan terhadap barang-barang milik isteri, suami juga tidak mempunyai hak. Akan tetapi, bukan berarti suami tidak diperbolehkan memakai barang-barang yang Kompilasi Hukum Islam juga dibahas mengenai jenis-jenis harta kekayaan perkawinan dalam Islam. Seperti yang tercantum dalam Pasal 86 yang menyebutkan bahwa :

“(1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan;

(2). Harta Istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.”

20


(47)

merupakan hak milik isteri ataupun sebaliknya. Pemakaian atas barang-barang ini berdasarkan atas perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat secara diam-diam antara suami dan isteri.

Menurut Abdul Manan, di dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Atau dengan kata lain harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi pencampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dari segi istilah yang dimaksud dengan syirkah adalah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Ini sesuai dengan yang tertera di dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 32 di mana dikemukakan bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.21

Terjadi perdebatan di antara para pakar hukum Islam mengenai hal tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh karena itu masalah harta bersama ini sepenuhnya berada di tangan suami isteri untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Pengaturan harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut menurut Hazairin tergolong hak otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006), hal. 109.


(48)

(Surah 42 : 38). Argumentasi Hazairin tentang hal ini dapat dikutip sebagai berikut:

“Qur’an tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama dalam perkawinan. Q.4 : 32 hanya menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk berusaha dan untuk memperoleh rezeki dari usahanya masing-masing, sedangkan laki-laki dan perempuan dalam ayat tersebut tidak dapat semata-mata diartikan sebagai suami isteri. Ringkasnya laki dan setiap perempuan dalam ayat itu dipakai dalam arti setiap laki-laki dan setiap perempuan atau dalam arti setiap orang. Kesimpulan ialah bahwa Qur’an tidak mengatur lembaga harta bersama dalam perkawinan, yaitu bahwa setiap sesuatu yang diperoleh oleh suami atau isteri secara usaha masing-masing atau secara usaha bersama menjadi harta bersama dalam perkawinan. Segala sesuatu yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an dan juga tidak diatur oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pelaksana lebih lanjut mengenai sesuatu Al-Qur’an yang belum cukup jelas bagi umat, menjadi hak otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum (Q. 42: 38). Maka Pasal 35 dan Pasal 36 telah dapat saya pandang sebagai permulaan pelaksanaan hak otonomi tersebut.”22

Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian hukum harta benda perkawinan, pengaturan hukum harta benda perkawinan yang ditentukan di dalam UU Perkawinan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok perjanjian kawin dan kelompok harta bersama, harta pribadi, dan kedudukan atau status harta perkawinan akibat putusnya perkawinan dan perjanjian perkawinan. Pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pengaturan tentang harta benda yang akan terjadi setelah perkawinan. Atau

Pakar hukum Islam lainnya mengatakan bahwa hal ini sudah pasti diatur di dalam agama Islam, jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maka ketentuan ini diatur di dalam Al-Hadist yang juga merupakan sumber hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.

22

Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : Tintramas, 1986), hal. 28


(49)

dengan kalimat lain, pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pengaturan tentang kehendak suami atau isteri berkaitan dengan harta benda perkawinan yang akan ada kemudian sebelum perkawinan dilaksanakan.

Pada penjelasan di atas telah dipaparkan mengenai bunyi dari Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan yaitu bahwa harta benda dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama, harta bawaan masing-masing suami istri, dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang menjadi hak masing-masing suami dan istri dan berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, kecuali tidak ada ketentuan lain. Ketentuan lain yang dimaksud adalah perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa UU Perkawinan membagi harta perkawinan menjadi tiga bagian, yakni harta bersama, harta bawaan, dan harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan.

Pakar hukum memiliki pendapat mereka masing-masing, ada yang membagi harta perkawinan hanya menjadi dua bagian dan ada yang membagi menjadi empat bagian. Pakar hukum yang membagi menjadi dua bagian, di antaranya M. Yahya Harahap, yang mengklasifikasikan harta perkawinan menjadi23

1. Harta bersama. :

2. Harta masing-masing suami istri.

23

M. Yahya Harahap II, Hukum Perkawinan Nasional (Medan : CV. ZAHIR Trading Co, 1975), hal. 117.


(50)

Lebih lanjut M. Yahya menjelaskan bahwa yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami istri. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat. Maka dalam arti yang umum, harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan di mana suami istri berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sedangkan harta bawaan atau harta masing-masing suami istri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta pribadi ini, suami istri masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan bersama terlebih dahulu.

Abdulkadir Muhammad membagi harta-harta perkawinan menjadi 3 (tiga), yaitu24

1. Harta bersama, yaitu harta benda yang dikuasai bersama oleh suami dan istri dan diperoleh selama perkawinan. Suami maupun istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.

:

Apabila perceraian terjadi, maka harta bersama ini akan dibagi berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum Agama, hukum Adat, hukum Perdata, dan lain-lain. Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti dari penguasaan harta

24

Abdulkadir Muhammad I, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.102.


(51)

bersama, karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, yang akan mengecilkan hak istri atas harta tersebut.

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing pemiliknya, yaitu suami atau istri, dengan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain kecuali suami dan istri menentukan lain dengan membuat perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian. Maka harta ini dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali ada perjanjian kawin yang menentukan lain.

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan. Harta perolehan ini pada dasarnya sama seperti harta bawaan. Masing-masing suami istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya. Apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan membuat perjanjian kawin, maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian, harta perolehan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pihak kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Abdul Manan berpendapat bahwa apa yang disebut dalam Pasal 35-37 UU Perkawinan sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia, di mana prinsip bahwa masing-masing suami istri berhak menguasai harta bendanya sendiri. Akan tetapi dalam hukum adat perlu


(52)

adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut sehingga keabsahan menguasai harta pribadi masing-masing pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Mengacu kepada dua ketentuan tersebut, maka beliau membagi empat macam harta perkawinan, yaitu25

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum perkawinan maupun setelah melangsungkan perkawinan.

:

2. Harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri.

3. Harta dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan.

4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri selama perkawinan.

Ketiga pendapat sarjana di atas memiliki pendapat yang berbeda mengenai pembagian harta benda dalam perkawinan. Namun demikian, tidak ada yang salah dari pendapat-pendapat tersebut apabila merujuk pada Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan karena pada dasarnya doktrin-doktrin para sarjana mengenai pembagian harta benda perkawinan ini berpedoman kepada UU Perkawinan.

C. Pengertian Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan

25


(53)

UU Perkawinan Pasal 35 yang membahas mengenai harta benda perkawinan, tidak secara rinci menyebutkan mengenai jenis-jenis hadiah yang termasuk ke dalam harta benda perkawinan. Hanya disebutkan bahwa harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan, sedangkan yang termasuk ke dalam ruang lingkup hadiah atau warisan tersebut tidak dijelaskan baik dalam pasal tersebut maupun dalam penjelasan pasal.

Dikarenakan tidak adanya penjelasan mengenai pengertian hadiah dalam perkawinan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, maka pengertian atau definisi daripada hadiah dalam perkawinan terlebih dahulu dirujuk pada arti hadiah dalam kamus bahasa Indonesia yaitu :

hadiah : 1 pemberian sebagai penghargaan, penghormatan, atau kenang-kenangan. 2 ganjaran karena memenangkan suatu pertandingan. 3 (perpisahan) tanda mata, cendera mata26

Perkawinan : pernikahan ; hal-hal yang berhubungan dengan kawin

. Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan adalah

27

Abdul Manan mengutip Sayyid Sabiq dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hadiah dalam perkawinan adalah pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan

.

28

26

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta : MODERN ENGLISH PRESS, 1995), hal. 498

27

Ibid., hal. 676.

28

Abdul Manan, Op. Cit. Hal. 131


(54)

Berdasarkan pengertian hadiah menurut Sayyid Sabiq tersebut, dapat dipahami bahwa hadiah tidak sama dengan sedekah, karena si penerima sedekah secara psikologis tidak terbebani moralnya untuk memberikan imbalan kepada si pemberi sedekah sebagai balasan atas sedekah yang diterimanya. Sedangkan si penerima hadiah secara psikologis memiliki beban moral untuk memberikan imbalan kepada si pemberi hadiah sebagai balasan atas hadiah yang diterimanya.

Terlepas dari perbedaan hadiah dengan sedekah, berdasarkan pengertian menurut kamus Bahasa Indonesia dan doktrin Sayyid Sabiq yang dikutip oleh Abdul Manan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan hadiah-hadiah dalam perkawinan adalah :

1. Harta benda yang diberikan sebagai penghargaan, penghormatan, kenang-kenangan oleh seseorang atau suatu badan kepada suami dan/atau istri dalam perkawinan.

2. Harta benda yang suami dan/atau istri dalam perkawinan sebagai ganjaran karena memenangkan suatu pertandingan.

3. Harta benda yang diberikan sebagai cendera mata atau tanda mata oleh seseorang atau suatu badan kepada suami dan/atau istri dalam perkawinan.

D. Kedudukan Hukum Dari Hadiah-Hadiah Dalam Perkawinan Pasal 35 UU Perkawinan berbunyi sebagai berikut :


(55)

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Mengacu pada bunyi Pasal 35 UU Perkawinan di atas, maka hadiah bukanlah merupakan harta benda yang menjadi harta bersama, dan berada di bawah penguasaan masing-masing suami istri yang memperolehnya sepanjang kedua belah pihak tidak menentukan lain.

Lebih lanjut Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Merujuk pada bunyi dari ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan maka tidak dapat ditafsirkan lain kecuali bahwa hak penuh masing-masing suami dan istri untuk melakukan perbuatan hukum adalah hanya sebatas terhadap harta bawaan masing-masing, dan tidak termasuk hadiah atau warisan yang diperoleh dalam perkawinan. Dikatakan demikian karena, Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan membedakan harta bawaan dengan hadiah atau warisan yang diperoleh dalam perkawinan, sebab dalam Pasal 35 ayat (2) tersebut terdapat frase “dan” sebagai penghubung kata “harta bawaan” dengan harta benda berupa “hadiah” dan “warisan”.

Uraian di atas sejalan dengan doktrin yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang menyebutkan sebagai berikut bahwa apa yang diatur oleh ayat (2) Pasal 35 dihubungkan dengan ayat (2) Pasal 36 UU Perkawinan,


(56)

nampaknya mengikuti aliran yang terdapat dalam hukum adat tersebut. Adanya perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada lain pihak. Akan tetapi barang siapa yang dengan teliti membaca ayat (2) Pasal 36 akan melihat UU Perkawinan ini seolah-olah membuat perbedaan antara barang-barang milik masing-masing pribadi dalam pengertian harta bawaan dari masing-masing suami suami isteri dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan sesudah perkawinan. Barang-barang ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Ayat (2) Pasal 36 membuat pengkhususan, yaitu mengenai harta bawaan, masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Apabila dipertegas, maka mengenai harta bawaan masing-masing para pihak mempunyai hak sepenuhnya dan hak untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan tersebut.

Ini merupakan hal yang mengherankan. Karena pada ayat (2) Pasal 35 sudah dijelaskan tentang apa yang disebut harta benda kekayaan masing-masing suami dan isteri, yaitu harta bawaan masing-masing-masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh sesudah perkawinan termasuk harta penghibahan, hadiah, dan harta warisan. Dan semua harta ini, baik harta bawaan, hibah, hadiah dan perolehan karena warisan berada dibawah “penguasaan masing-masing”;


(57)

Ayat (2) Pasal 36 memiliki perbedaan, bunyinya hanya menyebut atas harta bawaan, masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya dan hak untuk melakukan segala perbuatan hukum atas harta bendanya.

Maka atas dasar ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang kurang jelas mengenai hubungan kedua ketentuan di atas. Ketidakjelasan itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara pribadi di dalam perkawinan, seperti mendapat hibah, hadiah, atau warisan. Sebab mengenai harta bawaan sudah tidak ada keraguan lagi, yaitu masing-masing mempunyai hak mutlak yang penuh dan bebas bertindak berbuat apa saja pun terhadap harta bawaan itu, sepanjang perbuatan yang dibenarkan hukum. Tetapi bagaimana nasib harta milik pribadi yang lain tersebut (hibah, hadiah, warisan) berada di bawah penguasaan masing-masing. Akan tetapi apabila mengacu pada ayat (2) Pasal 36, hanya harta bawaan saja yang dikuasai dan dimiliki sepenuhnya. Dalam hal ini rasanya terjadi teka teki yang sulit dipecahkan. Sebab hibah, hadiah atau warisan itu tidak dapat digolongkan ke dalam harta benda bersama. Karena harta benda bersama sudah diatur secara terpisah pada ayat (1) Pasal 35. Sedang hibah, hadiah, dan warisan dikategorikan sebagai milik masing-masing yang berada dibawah penguasaan masing-masing seperti yang ditentukan pada ayat (2).29

29


(58)

Doktrin Hilman Hadikusuma dan Abdul Manan memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap di atas.

Hilman Hadikusuma berpendapat sebagai berikut :

“Menurut UU no. 1 Tahun 1974 harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2)).”30

“Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta benda tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau mengagunkan”.

Abdul Manan memiliki pendapat yang sama dengan Hilman Hadikusuma. Beliau mengemukakan bahwa :

31

Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa mengenai wujud dari harta pribadi itu sejalan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan ini sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan (hewelijke voorwaarden) sebelum akad nikah dilaksanakan. Adapun harta

30

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung : CV. Mandar Maju, 1990), hal. 122.

31


(1)

Dalam hal ini, peserta undian tidak perlu melakukan suatu hal yang dianggap berarti agar dapat memenangkan hadiah undian tersebut.

Selain itu, juga melihat kepada rasa keadilan sehubungan dengan yang telah dipaparkan di dalam contoh kasus, yaitu misalnya isteri menabungkan sisa hasil uang belanja yang diberikan oleh suami di bank tanpa sepengetahuan suami. Tanpa pernah ia bayangkan, ia memenangkan undian berhadiah yang diselenggarakan oleh bank tersebut. Melihat dari sifat pemberiannya yang cuma-cuma, maka hadiah undian tersebut adalah harta bawaan si isteri dan suami tidak berhak atasnya. Namun, suami sebagai pencari nafkah kemungkinan mempermasalahkan hal ini dan menuntut bagian atas hadiah undian tersebut.

Dengan demikian, kedua kriteria tersebutlah yang menjadi acuan sehingga hadiah undian yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama, dan bukan merupakan harta bawaan.

Suami atau isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah berhak sepenuhnya atas hadiah tersebut. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2). Namun, apabila dicontohkan bahwa suami yang merupakan penopang pendapatan keluarga memberikan uang belanja kepada isterinya yang kemudian menyisihkan sisa uang tersebut dan membuka rekening di sebuah bank lalu isteri menjadi pemenang hadiah undian yang diselenggarakan bank tersebut dan berhak atas hadiah yang dijanjikan oleh pihak bank.


(2)

3. Penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa akibat perceraian atas harta perkawinan yang berasal dari hadiah undian dilakukan melalui forum pengadilan.

Bagi yang beragama Islam, penyelesaian sengketa akibat perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, penyelesaian sengketanya dilakukan di Pengadilan Umum.

Ketentuan penyelesaian sengketa bagi yang beragama Islam, sepenuhnya mengacu kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan bagi yang beragama selain Islam, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah UU Perkawinan.

B. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan terkait penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan undian berhadiah semakin marak belakangan ini sehubungan dengan usaha peningkatan promosi dari suatu badan atau perusahaan sebagai strategi bisnis sekaligus demi mempertahankan nasabah/konsumen lama serta menjaring nasabah/konsumen baru. Namun, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang undian ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang sehingga pengawasan terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan lemahnya peraturan perundang-undangan juga ikut lemah. Oleh karenanya, perlulah dibuat suatu Undang-undang yang baru terkait dengan penyelenggaraan undian berhadiah ini.


(3)

2. Demi mengantisipasi terjadinya persengketaan atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah, maka antara suami dan isteri haruslah ada kesepakatan mengenai harta perkawinan mereka. Penambahan nilai harta kekayaan kawin melalui undian berhadiah ini kemungkinannya cukup besar. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masalah harta kekayaan kawin ini dipandang serius oleh suami-isteri karena dalam prakteknya, permasalahan harta kekayaan kawin ini hanya dianggap sebagai pelengkap saja di dalam perkawinan dan baru dianggap serius apabila perkawinan tersebut berada diambang kehancuran yang akhirnya berujung pada perceraian.

3. Sehubungan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini, yaitu tentang hadiah undian di dalam harta perkawinan, dan tidak adanya sumber baik itu undang-undang, doktrin, maupun yurisprudensi yang membahas mengenai masalah ini, maka diperlukan adanya suatu peraturan terkait masalah harta perkawinan dari undian berhadiah ini. Karena sekarang penyelenggaraan undian berhadiah sepertinya sudah menjadi tren dikalangan perusahaan atau badan sebagai sarana untuk mempromosikan produk mereka. Sehingga apabila suatu saat terjadi persengketaan seperti yang diuraikan di dalam skripsi ini, sudah ada ketentuan yang mengatur mengenai pemecahan masalah yang dapat dijadikan sumber dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat perceraian yang melibatkan harta perkawinan yang diperoleh dari undian berhadiah tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raya Grasindo Persada, Jakarta.

B. Horton, Paul and Chester L. Hunt, 1984, Sociology, terjemahan, Erlangga, Jakarta.

Djumhana , Muhammad, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.

Harahap, M.Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung.

, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, CV. ZAHIR Trading Co, Medan. Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,

Tintramas, Jakarta.

Ichsan, Ahmad, 1969, Hukum Perdata I A, PT Pembimbing Masa, Jakarta. Jafizham, T., 1977, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum

Perkawinan Islam, CV. Percetakan Mestika, Medan.

Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.


(5)

Muhammad, Abdulkadir,1994, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Muis, Abdul, 1990, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Prodjodikoro, Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang

Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta.

Salim, Peter dan Yenny Salim, 1995, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, MODERN ENGLISH PRESS, Jakarta.

Satrio, J., 1991, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sofwan, Sri Soedewi Masjhoen, 1982, Hukum Perdata, Hukum Benda,

Liberty, Yogyakarta.

Subekti, R., 1985, Perbandingan Hukum Perdata, Prandya Paramita, Jakarta. Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta.

Suryodiningrat, R.M., 1982, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung.

B. Harian dan Situs Internet

“Polling Pemilihan Gubernur Aceh”, Harian Waspada, 16 Mei 2011.


(6)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 Tentang Undian

Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1973 Tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian

Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 73/HUK/2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Dan Penyelenggaraan Undian Gratis


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

ANALISIS YURIDIS DISPENSASI PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 10 16

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 3 17

Pembagian Harta Bersama Yang Diakibatkan Perceraian dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

0 0 1

TINJAUAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT TERJADINYA PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 1

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN | NURFIANTI | Legal Opinion 5911 19659 1 PB

0 1 10

View of Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

0 2 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

0 0 47