Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(1)

ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA

BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TESIS

Oleh :

LYDIA NATALIA TANAKA 107011042/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA

BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

LYDIA NATALIA TANAKA 107011042/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PERDATA

(KUHPERDATA) DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

NAMA MAHASISWA : LYDIA NATALIA TANAKA NOMOR POKOK : 107011042

PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN Menyetujui,

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum) Ketua

(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum) (Prof.Dr.M.Yamin,SH,MS,CN)

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Tanggal Lulus : 10 Juli 2012


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 10 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 4. Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : LYDIA NATALIA TANAKA

NIM : 107011042

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP

SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM

PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Juli 2012 Yang Membuat Pernyataan

Nama : LYDIA NATALIA TANAKA

NIM : 107011042


(6)

ABSTRAK

Akibat hukum yang ditimbulkan dari sengketa perceraian di Pengadilan adalah pembagian harta bersama dalam perkawinan. Tindakan yang dikhawatirkan selama proses perceraian tersebut yakni terdapat kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain yang tidak bersangkutan, sehingga untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta bersama dapat diterapkan suatu bentuk sita khusus terhadap harta bersama suami istri yang disebut sita marital. Sita marital diatur dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI dan Pasal 820-830 RV.

Pada Putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007, memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut.

Tesis ini membahas tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun tujuan penelitian tesis ini adalah agar dapat diketahui kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri, ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri dan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata dalam putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya.

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut KUHPerdata dan UUP. Kemudian dari hasil analisa terhadap data yang ada, diharapkan akan dapat ditarik suatu kesimpulan yang akan memudahkan dalam memberi masukan dan saran guna menanggulangi permasalahan yang timbul dari topik yang dibahas tersebut.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa meskipun terdapat UUP, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama. Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No 63) yang masih dipergunakan dalam praktek.


(7)

ABSTRACT

Legal consequence resulted from divorce dispute in the court of law is the distribution of matrimonial property. The action worried during the process of divorce is that one of the parties obscures the origin of the disputed matrimonial property, for example, by selling or transferring the property to the other unrelated parties that to guarantee the maintenance of the matrimonial property, a special form of confiscation called marital confiscation can be applied to the matrimonial property. Marital confiscation is regulated in Article 190 BW, Article 24 paragraph (2 c), Government Regulation No.9/1975, Article 78 (c) of Law No.7/1989 in connection with Law No.3/2006 on Religious Court, Article 136 paragraph (2 b) of KHI and Article 820-830 RV.

The decision of Indonesian Supreme Court No.390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007, examining a civil case on the appeal level that has declared that the case between Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An as the cassation applicant who used to be the defendant/appellant and Felicia Juliati as the cassation respondent who used to be the plaintiff/appellee was legally valid, in its judicial verdict rejected the appeal application of Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An.

This thesis discusses about the aspect of marital confiscation law on the dispute of matrimonial property according to the Indonesian Civil Codes and Law No.1/1974 on Marriage. The purpose of this thesis was to find out the position of matrimonial property law in marriage according to Law on marriage when a divorce occurs between husband and wife, to find out the provision of positive law on marital confiscation in the case of matrimonial property distribution when a divorce occurs between husband and wife, and to find out the basic of filing the application of marital confiscation by his wife as plaintiff in the civil case in the decision of Indonesian Supreme Court No. 390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007 and its legal consequences.

The data for this study were obtained by analyzing the literatures and articles found through library research which were then reviewed based on the Indonesian Civil Codes and Law on Marriage. From the result of analysis, a conclusion was drawn to ease in giving feedback and suggestion to cope with the problem arising from the topic discussed.

The result of this study showed that even though Law on Marriage has been enacted but the regulations regulating the marital confiscation on matrimonial property in the case of divorce or the distribution of matrimonial property. Therefore, a provision of civil law specially regulating the problem of marital confiscation is needed because the one which is still used in practice has been long based on RV (Reglement op de rechtsvordering staatsblad 1847 No. 52 in connection with 1849 No.63).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Sanghyang Adi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian tesis seperti sekarang ini di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini diberi judul “ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung Penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-II Program Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing penulis dalam


(9)

penulisan tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan segala petunjuk dan arahan dalam proses penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting,SH,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II penulis dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin,SH,MS,CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing III penulis dalam penulisan tesis ini yang telah banyak memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan ini.

5. Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,CN,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan cara penulisan tesis yang benar.

6. Ibu Dr.Utary Maharani Barus,SH,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah dengan sabar memberikan kritik dan saran yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan cara penulisan tesis yang benar.

7. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu per satu namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan.


(10)

8. Pada Pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen administrasi yang diperlukan.

9. Kedua Orang Tua yang sangat saya cintai dan sayangi, serta juga kepada abang dan adik yang tersayang, Tony Tanaka,SE dan Beni Tanaka.

10.Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara stambuk 2010-Group A, Group B dan Group C yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjabersama-samanya selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita semua. 11.Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum, Program Pasca

Sarjana Ilmu Hukum, perpustakaan pusat USU, dan juga staf di pusat dokumen dan informasi hukum atas segala bantuannya.

Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena sendiri juga yakin apa yang telah ditulis dalam tesis ini hanyalah sebagian kecil daripada ruang lingkup sita marital terhadap sengketa harta bersama dalam perkawinan, yang tentunya di dalamnya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.

Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk tesis ini, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat


(11)

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012 Hormat Penulis,

(LYDIA NATALIA TANAKA)


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Lydia Natalia Tanaka

2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 14 September 1987

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum menikah

5. Agama : Buddha

6. Alamat : Jalan Seram Nomor 72, Medan.

7. No. Handphone : 081-2630-1987

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Hia Tju Siang

2. Nama Ibu : Hayati

3. Nama Abang : Tony Tanaka, SE

4. Nama Adik : Beni Tanaka

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD SUTOMO-I, Medan (1993-1999) 2. SMP : SMP SUTOMO-I, Medan (1999-2002) 3. SMA : SMA SUTOMO-I, Medan (2002-2005)

4. Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2009) 5. Strata II: Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (2010-2012)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... vii

DAFTAR ISI ………... viii

BAB I PENDAHULUAN ………....……. 1

A. Latar Belakang ………...………..……..……... 1

B. Perumusan Masalah ………...………..……… 12

C. Tujuan Penelitian ………...………..…….……… 13

D. Manfaat Penelitian ………...………...………. 13

E. Keaslian Penelitan ………...………....……….. 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi …………...………....……….…..… 16

1. Kerangka Teori ………...…………...……….… 16

2. Konsepsi ………...………....……….……... 25

G. Metode Penelitian ………...………...….. 28

1. Spesifikasi Penelitian ………...………..…. 28

2. Sumber Data ………...……… 29


(14)

BABII KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI

ISTRI ......…. 32

A. Ruang Lingkup Harta Bersama Dalam Perkawinan ... 32

1. Pengertian Harta Bersama ……...………...…………. 32

2. Pengertian Harta Bawaan ... 35

3. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama …...… 39

B. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara Suami Istri ……... 45

1. Asas Hukum Harta Bersama Dalam Undang-Undang ... 45

2. Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian ... 51

C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga ... 60

BAB III KETENTUAN HUKUM POSITIP TENTANG SITA MARITAL DALAM PERKARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA APABILA TERJADI PERCERAIAN SUAMI ISTRI ... 68

A. Sita Marital Pada Umumnya ... 68

1. Pengertian Sita Marital dan Tujuan Sita Marital …..….…..………. 68

2. Pengaturan Sita Marital ... 71

3. Lingkup Penerapan Sita Marital ... 74

B. Penerapan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama ... 78


(15)

2. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut

Undang-Undang ………...……. 81

3. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ... 95

BAB IV DASAR PENGAJUAN SITA MARITAL OLEH ISTRI SELAKU PENGGUGAT DALAM PERKARA PERDATA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 390/K/Pdt/2002 ... 101

A. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ………...…...………….... 101

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ……….………….…… 107

C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ………...……..…….………... 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...……..………... 136

A. Kesimpulan …...……….……… 136

B. Saran ………...………..……….. 138

DAFTAR PUSTAKA ………..……….. 140 LAMPIRAN


(16)

ABSTRAK

Akibat hukum yang ditimbulkan dari sengketa perceraian di Pengadilan adalah pembagian harta bersama dalam perkawinan. Tindakan yang dikhawatirkan selama proses perceraian tersebut yakni terdapat kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain yang tidak bersangkutan, sehingga untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta bersama dapat diterapkan suatu bentuk sita khusus terhadap harta bersama suami istri yang disebut sita marital. Sita marital diatur dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI dan Pasal 820-830 RV.

Pada Putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007, memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut.

Tesis ini membahas tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun tujuan penelitian tesis ini adalah agar dapat diketahui kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri, ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri dan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata dalam putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya.

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut KUHPerdata dan UUP. Kemudian dari hasil analisa terhadap data yang ada, diharapkan akan dapat ditarik suatu kesimpulan yang akan memudahkan dalam memberi masukan dan saran guna menanggulangi permasalahan yang timbul dari topik yang dibahas tersebut.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa meskipun terdapat UUP, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama. Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No 63) yang masih dipergunakan dalam praktek.


(17)

ABSTRACT

Legal consequence resulted from divorce dispute in the court of law is the distribution of matrimonial property. The action worried during the process of divorce is that one of the parties obscures the origin of the disputed matrimonial property, for example, by selling or transferring the property to the other unrelated parties that to guarantee the maintenance of the matrimonial property, a special form of confiscation called marital confiscation can be applied to the matrimonial property. Marital confiscation is regulated in Article 190 BW, Article 24 paragraph (2 c), Government Regulation No.9/1975, Article 78 (c) of Law No.7/1989 in connection with Law No.3/2006 on Religious Court, Article 136 paragraph (2 b) of KHI and Article 820-830 RV.

The decision of Indonesian Supreme Court No.390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007, examining a civil case on the appeal level that has declared that the case between Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An as the cassation applicant who used to be the defendant/appellant and Felicia Juliati as the cassation respondent who used to be the plaintiff/appellee was legally valid, in its judicial verdict rejected the appeal application of Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An.

This thesis discusses about the aspect of marital confiscation law on the dispute of matrimonial property according to the Indonesian Civil Codes and Law No.1/1974 on Marriage. The purpose of this thesis was to find out the position of matrimonial property law in marriage according to Law on marriage when a divorce occurs between husband and wife, to find out the provision of positive law on marital confiscation in the case of matrimonial property distribution when a divorce occurs between husband and wife, and to find out the basic of filing the application of marital confiscation by his wife as plaintiff in the civil case in the decision of Indonesian Supreme Court No. 390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007 and its legal consequences.

The data for this study were obtained by analyzing the literatures and articles found through library research which were then reviewed based on the Indonesian Civil Codes and Law on Marriage. From the result of analysis, a conclusion was drawn to ease in giving feedback and suggestion to cope with the problem arising from the topic discussed.

The result of this study showed that even though Law on Marriage has been enacted but the regulations regulating the marital confiscation on matrimonial property in the case of divorce or the distribution of matrimonial property. Therefore, a provision of civil law specially regulating the problem of marital confiscation is needed because the one which is still used in practice has been long based on RV (Reglement op de rechtsvordering staatsblad 1847 No. 52 in connection with 1849 No.63).


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia1. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia.2

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan.3

1 Penjelasan Umum angka 4 huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama, (Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju,1990), hal. 160.

3 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama ,


(19)

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(“UU Perkawinan” atau “UUP”) adalah sebagai berikut4 :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang disebut Undang-Undang.5

4 Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(20)

Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa

kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum, karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.6

Adapun alasan-alasan perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tersebut apabila ditinjau dari segi tujuan perkawinan yaitu “untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”7

, maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa semua alasan yang dapat merongrong tercapainya tujuan perkawinan dan apabila tujuan perkawinan tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga tersebut tidak perlu lagi dipertahankan.

Kasus-kasus perceraian yang terjadi mengalami peningkatan di salah satu Kota yakni Kota Medan. Untuk tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai 1.900 kasus sedangkan sampai pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang tengah ditangani Pengadilan Negeri (PN) Agama Kota tersebut mencapai 321 kasus. Kasus perceraian yang terjadi lebih banyak didominasi kaum istri yakni dengan

5

R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, (Jakarta : Penerbit Academica,1979), hal. 26.

6 Ibid., 7


(21)

presentase 60 : 40. Menurut Ketua PN Agama Drs.H.Noer Hudlrien,SH,M.Hum menyatakan banyaknya kaum istri mengajukan gugatan cerai mungkin disebabkan karena sudah mengetahui hak-haknya sebagai istri atau banyak suami yang tidak bertanggung jawab dengan istri.8

Dengan alasan-alasan tersebut, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat. Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan cerai gugat adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. 9

Salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah terkait masalah harta benda perkawinan khususnya terhadap harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan tersebut.

Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37. 10

“Pasal 35 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ayat (2) : Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

8

Koran Analisa, Istri Lebih Banyak Tuntut Percera ian, Medan, 24 Februari 2012, hal. 12.

9 K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Kelima , (Jakarta : Penerbit

Ghalia Indonesia,1980), hal. 38.

10 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1


(22)

Pasal 36 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.

Ayat (2) : Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 menyatakan bahwa, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat dan

hukum-hukum lainnya.”

Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak-hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang-barang sengketa atau yang dijadikan jaminan. Dalam praktek dikenal ada 4 (empat) macam sita, yaitu11 :

1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)

2. Sita Hak Milik (Revindicatoir Beslag)

3. Sita Marital (Maritaal Beslag)

4. Sita Eksekusi (Executoir Beslag)

Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri yang disebut dengan sita marital. 12

Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta bersama, istilah ini memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara suami istri

11 Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta : Penerbit

PT. Tatanusa,2004), hal. 21-29.

12 Sudikno Mertokusuma, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit


(23)

dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah tersebut tanpa mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital. 13

Tujuan Maritaal Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau menggelapkan sebagian dari harta perkawinan (harta bersama) Undang-Undang memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan Maritaal Beslag.14

Pada dasarnya, Maritaal Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan

(Conservatoir Beslag). Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada ketentuan Pasal

13 Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta :

Penerbit PT. Bina Aksara,1987), hal. 52.

14 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,


(24)

215 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Maritaal Beslag adalah perwujudan sita jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tersebut menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk

mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur

dalam ketentuan hukum acara perdata”.15

Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita terhadap harta perkawinan, ini diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa :

“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau

tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang-barang yang menjadi hak istri”. Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung.16

Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat

“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada

15 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung :

Penerbit Sumur Bandung,1981), hal. 39.

16 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan, Edisi Pertama ,


(25)

hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan (conservatoir beslag) yang disebut Maritaal Beslag. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah :

a. Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritaal Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung, dan

b. Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritaal Beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.

Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan permintaan

Maritaal Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dalam

kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara a contorario, kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan permintaan Maritaal Beslag. 17

Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa saja istri mengajukan permintaan Maritaal Beslag kepada pengadilan, apabila istri

17 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia , (Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro,


(26)

mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperkenankan permintaan Maritaal Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat diajukan permintaan Maritaal Beslag berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan18. Dari ketentuan Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberi hak kepada istri untuk :

1. Mengajukan Maritaal Beslag di luar gugatan perceraian.

2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih utuh :

a) Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga (Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata), atau

b) Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama (Pasal 186 ayat (2) KUHPerdata).

Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, nampaknya tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term sebagaimana tersebut

18 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata , (Bandung : Penerbit


(27)

dalam Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna memperlindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk mengajukan Maritaal Beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian19.

Misalnya dalam hal putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 K / Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 155 / Pdt.G/ 1999/ PN.Bdg, tanggal 25 Mei 1999 menyatakan sah secara hukum mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan menurut hukum bahwa Perkawinan Penggugat Felicia Juliati dan Tergugat Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya, menyatakan menurut hukum

19 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama , (Jakarta


(28)

bahwa sita jaminan/ sita persamaan atas harta bersama yang berada di Bandung berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 241 / PDT.G / 2000 / PN.BDG, tanggal 31 Oktober 2000 juncto Berita Acara Sita Marital Pengadilan Negeri Bandung tertanggal 1 September 2000 Nomor 241 / PDT / G / 2000 / PN.Bdg adalah sah dan berharga.

Dalam kasus gugatan perceraian perkara perdata putusan Nomor 155 / Pdt.G / 1999/ PN.Bdg yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 25 Mei 1999 telah mengabulkan permohonan sita maritalnya. Seperti diketahui bahwa sita itu sendiri masing-masing mempunyai tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata Nomor 155 / Pdt.G / 1999/ PN.Bdg yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bertujuan untuk membekukan/menjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak dipindahkan/dijual.

Hal ini menimbulkan dilemma terhadap ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibarengi dengan permintaan sita marital. Sebab menurut Undang-Undang dan praktek pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian harta perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami adalah layak memberi hak pengajuan pemisahan harta perkawinan dalam


(29)

suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri suka menghamburkan harta kekayaan bersama.20

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul :

“ Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam

Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri ?

2. Bagaimana penerapan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri ?

3. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata antara Felicia Juliati melawan Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 / K / Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya ?

20 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,


(30)

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang ada diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri. 2. Untuk menjelaskan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara

pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri.

3. Untuk menjelaskan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku Penggugat dalam perkara perdata antara Felicia Juliati melawan Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 / K / Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.

Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital pada khususnya, terutama tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(31)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Aspek Hukum Sita

Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan“ belum ada yang membahasnya.

Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah harta bersama, seperti penelitian yang dilakukan oleh :

1. Fitria Agustina (017011021), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,

dengan judul “ Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami (Studi di Kecamatan Medan Maimun). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimanakah pengaturan tentang harta bersama di dalam perkawinan poligami?


(32)

c. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami di Kecamatan Medan Maimun?

2. Lusinda Maranatha Siahaan (027011037), Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, dengan judul “ Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

b. Bagaimana pengertian harta bersama dalam perkawinan pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

c. Bagaimana upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan pembagian harta bersama dalam hal perkawinan putus karena perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

d. Bagaimana besarnya hak masing-masing suami istri atas harta bersama dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

3. Ismy Syafriani Nasution (077011030), Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, dengan judul “ Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta

Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian


(33)

a. Bagaimana akibat hukum penyelesain sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum perceraian?

c. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan?

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.21

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan

21 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Madju,1994),


(34)

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.22

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori kepastian hukum, khususnya kepastian hukum dalam sita marital dalam harta bersama. Sita marital pada dasarnya adalah salah satu jenis dari sita jaminan, akan tetapi jenis sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian/pembagian harta bersama berlangsung. Dalam konteks ini pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai langsung baik oleh penggugat/pemohon atau tergugat/termohon. Sehingga tujuan dari sita marital sendiri adalah untuk menjamin keutuhan, mengamankan serta memelihara keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab yang diambil oleh tergugat/termohon sampai dengan putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan penggugat/pemohon atau di tangan tergugat/termohon.

Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam Pasal 190 BW (Burgerlijk Wetboek), Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

22


(35)

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama23, Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam24, Pasal 823-830 RV. Suami maupun istri berdasarkan Pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975 sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan sita marital. Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan suami/istri telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan kerugian bagi tergugat/termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama.25

Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan yang ada di dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi, tidaklah mungkin aturan-aturan itu dapat mengakomodir semua kepentingan tersebut. Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah Undang-Undang.26

Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan

23 Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “menentukan hal -hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”

24 Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “menentukan hal

-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”

25 Anggara, “Makalah Sita Marital”, 9 Juli 2008, diperoleh dari http://blogduniaanggara.com,

terakhir kali diakses pada tanggal 7 Desember 2011.

26 Peter Mahmud Marzuki, P engantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana,2008),


(36)

dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.27

Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.28

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum

27 Ibid., hal. 158.

28 Utrecht, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Penerbit


(37)

membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.29

Bagi penganut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian30. Salah satu penganut aliran positivisme yang terpenting adalah John Austin, yang inti ajarannya, hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya.31

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas, yakni32 :

a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis. b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis.

c. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility). Asas ini meninjau dari sudut sosiologis.

Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim

29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta :

Penerbit Toko Gunung Agung,2002), hal. 82-83.

30

Ibid., hal. 83.

31 Ibid., hal. 266-267. 32 Dwika, “

Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum, 02 April 2011, diperoleh dari http://hukum.kompasiana.com/2011/04/02/Kesemwrawutan Hukum Indonesia, terakhir kali diakses pada tanggal 10 Juni 2012.


(38)

dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Suatu perbuatan disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan yang dibuat oleh Negara. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.

Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemafaatan dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan.33

Menurut pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, kepastian hukum atau keadilan prosedural harus selalu bersamaan dan menjadi penyeimbang dari keadilan hukum atau keadilan substansi. Suatu norma hukum kadang-kadang seolah-olah terpaksa harus mengorbankan keadilan hukum atau keadilan substansi demi kepastian hukum atau keadilan prosedural. Walaupun melanggar rasa keadilan, tetapi kepastian ini diperlukan karena dalam jangka panjang kepastian hukum justru sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi pembedaan ini justru diperlukan agar terdapat kepastian bagi para penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memantapkan penegakan hukum (law enforcement). Dan terhadap pengingkaran kepastian hukum justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

33


(39)

Kepastian hukum atau keadilan prosedural yang dimaksudkan, maka kepastian hukum atau keadilan prosedural dibutuhkan kepada para pihak pencari keadilan. Kepastian hukum atau keadilan prosedural menurut William Friedman, seorang sosiolog hukum, mengatakan bahwa kepastian hukum itu tergantung kepada antara lain substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta legal culture masyarakat.

Bahwa kepastian hukum atau keadilan prosedural tidak otomatis atau tidak dengan sendirinya menjamin suatu keadilan hukum. Keadilan adalah sesuatu yang multitafsir dan bersifat subjektif dalam pemahaman dan penerapannya. Subjektivitas itu pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan pandangan ontologis tentang apa dan siapa manusia itu, dan pada gilirannya menimbulkan perbedaan aksiologis tentang nilai imperatif yang harus diterapkan kepada seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Atau dengan kata lain justru menimbulkan ketidakadilan.

Menurut Aristoteles, berdasarkan kepada Teori Keadilan mengemukakan bahwa terdapat lima jenis perbuatan yang dapat digolongkan adil, yaitu34 :

a. Keadilan komulatif adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-jasa yang dilakukannya.

b. Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dilakukannya.

34Oxlay, “Makna Keadilan”, diperoleh dari


(40)

c. Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita.

d. Keadilan konvensional adalah keadilan apabila seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan.

e. Keadilan menurut teori perbaikan. Perbuatan adil menurut teori perbaikan apabila seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.

Selain teori tersebut, dalam penelitian ini digunakan teori penemuan hukum

(rechtsvinding) yang merupakan salah satu substansi tugas hakim yang essensial dalam menyelesaikan suatu perkara.35

Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran, yaitu :

a. Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan Undang-Undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet Undang-Undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, Undang-Undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen. b. Aliran Penemuan Hukum oleh hakim

1). Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar Undang-Undang itu tidak lengkap, namun Undang-Undang-Undang-Undang masih dapat menutupi

35 Dansur, “Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum”, 1 November 2006, diperoleh dari


(41)

kekurangan-kekurangannya sendiri, karena Undang-Undang memiliki daya meluas dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan Undang-Undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas Undang-Undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat menwujudkan kepastian hukum. 2). Aliran Interessenjurisprudenz (freirechtsschule), menyatakan hakim dan

pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan Undang-Undang tetapi juga mencakupi, memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari Undang-Undang, demi kemanfaatan masyarakat. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O.Bulow, E.Stampe dan E.Fughs.

3). Aliran Soziologische Rechtsshule mengajarkan bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J.Valkhor, A.Auburtin dan G.Gurvitch.


(42)

c. Ajaran Paul Scholten, sistem hukum itu tidak statis, melainkan sistem terbuka karena sistem hukum itu, membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilain itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.

Dengan demikian, hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in concreto.

Dalam penegakan hukum, hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan

(gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep


(43)

dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

a. Sita adalah penyitaan atas harta kekayaan milik seseorang, baik barang bergerak atau barang tak bergerak untuk menjamin hak-hak si penggugat dalam perkara perdata, atau atas barang-barang untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana; Jaminan barang dibawah kuasa Pengadilan sampai proses perkara selesai.36

b. Sita Marital adalah penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.37

c. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) adalah sita yang diletakkan baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang bergerak maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang piutang, yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat, terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada penggugat

36 M.Marwan dan Jimmy.P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan

Pertama, (Surabaya : Penerbit Reality Publisher, 2009), hal. 574.

37


(44)

bahwa kelak gugatannya “tidak illusoir” atau “tidak hampa” pada saat putusan

dieksekusi (dilaksanakan).38

d. Sita Hak Milik (Revindicatoir Beslag) adalah sita yang diajukan Penggugat terhadap Tergugat mengenai suatu barang bergerak berdasar alasan hak milik Penggugat yang sedang berada di tangan Tergugat. Benda tersebut dikuasai secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau Tergugat tidak berhak atasnya.39 e. Sita Eksekusi (Executoir Beslag) adalah sita yang diletakkan atau barang-barang

yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dimana barang-barang tersebut tidak dapat dieksekusi secara langsung, tetapi harus melalui pelelangan.40

f. Harta Bersama adalah hak milik bersama yang terikat yang terjadi karena perjanjian perkawinan antara suami dan istri berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan terjadi sejak atau sesudah dilangsungkan perkawinan.41

g. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.42

38 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,

Op.Cit, hal. 3.

39 Ibid, hal. 11. 40 Ibid, hal. 15.

41 M.Marwan dan Jimmy.P, Op.Cit, hal. 249-250. 42


(45)

G. Metode Penelitian

Pada penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Menurut Soejono Soekanto43, yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

Sebelum menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penelitian, maka dalam penulisan ini akan terlebih dahulu memberikan arti tentang metodologi penelitian. Metodologi penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana cara atau prosedur, maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam suatu penelitian secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.44

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis45. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui dan memperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang peraturan yang dipergunakan berkaitan dengan sita jaminan. Sebagai pembanding, ada pendapat yang menyatakan bahwa sifat norma itu adalah preskriptif dan terapan. Sifat preskriptif bermakna yaitu apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang senyatanya dilakukan. Sifat terapan

43

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia,1986), hal. 43.

44 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset Nasional, (Magelang : Penerbit Akmil,1987), hal. 8. 45 Ronny Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Penerbit


(46)

itu terlihat dari standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum. Karena kedua sifat ini yaitu preskriptif dan terapan itulah maka ilmu hukum tidak dapat digolongkan sebagai ilmu dalam pengertian ilmu alam dan ilmu sosial.46

Analisis maksudnya menguraikan secara cermat terhadap aspek-aspek hukum dari apa yang telah digambarkan secara menyeluruh dan juga sistematis dari permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Peraturan Perundang-undangan, khususnya yang menyangkut dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

2. Sumber Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library research47.

46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Prenada Media Group,

2009), hal.22.

47 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar , (Jakarta : Penerbit


(47)

Penelitian kepustakaan atau library research yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier48.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari :

1) RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor 63);

2) HIR;

3) Rbg (Rechtsreglement Voor de Buitengewesten);

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

7) Kompilasi Hukum Islam b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri

48 Soejono Soekanto dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(48)

dari buku-buku, hasil-hasil penelitian hukum dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum mengenai sita jaminan

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier merupakan bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang berkaitan dengan sita jaminan.

3. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisa data kualitatif yaitu analisa data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisa secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(49)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL

TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI ISTRI A. Ruang Lingkup Harta Bersama Dalam Perkawinan

1. Pengertian Harta Bersama

Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan istilah “hartabersama”, yaitu

kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta bawaan, hadiah dan warisan. Maksudnya, harta yang di dapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Karena itu, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan, yakni harta (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah melalui akad nikah, yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga.

Menurut M. Yahya Harahap49 menyatakan :

“Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dimana suami istri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. Luas-luas harta bersama disamping penting untuk kedua belah pihak suami istri maka hal ini relevant untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, yakni :50

1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatas namakan salah seorang suami istri, maka harta yang atas nama suami atau istri dianggap sebagai harta bersama;

49 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , (Medan : Penerbit CV. Zahir Trading Co,1975), hal. 117.

50


(50)

2. Jika harta itu dipelihara atau diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami jika harta yang demikian dapat dibuktikkan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri; 3. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah bahwa adanya

harta bersama suami istri tidak memerlukan pembuktian bahwa istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama perkawinan;

4. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun istri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami istri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan;

5. Barang termasuk harta bersama suami istri yaitu :

a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri;

b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai

6. Mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami baik dua atau tiga istri maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah yaitu :

a. Segala harta yang telah ada antara suami dengan istri pertama sebelum perkawinannya dengan istri kedua maka istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut;

b. Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan istri kedua ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada diantara istri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara istri pertama dengan suami dimana istri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Istri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak istri kedua itu resmi sebagai istri. c. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti istri pertama dengan

suaminya hidup dalam satu rumah kediaman yang berdiri sendiri demikian juga istri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta istri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara istri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga istri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Perkawinan telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b51 dan huruf c52 serta ayat (2), yang

51 Pasal 65 ayat (1) huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa

istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya.


(1)

Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Binacipta,1978.

Harahap, M.Yahya, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Bandung : Penerbit Pustaka, 1990.

---, Kedudukan Kewenangan dan Acara P eradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), Jakarta : Penerbit Pustaka Kartini,1990.

---, Hukum Acara P erdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan Cetakan Ketujuh,, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika,2008.

---, P embahasan Hukum P erkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Medan : Penerbit CV. Zahir Trading Co,1975.

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1986.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset Nasional, Magelang : Penerbit Akmil, 1987.

Iswoyokusumo, Ida, Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata, Jakarta : Penerbit Bina Yustisia,1994.

Indra, H.M. Ridhan, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Penerbit CV. Haji Masagung, 1994.

Klaassen, J.G., J. Eggens, J.M. Polak, Huwelijkgoederen en Erfrecht, Handleiding bij de Studie en Praktijk, Tjeenk Willink, Zwolle, Cetakan Kedelapan, 1956. Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Penerbit Mandar Madju,

1994.

Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1982.

Marwan,M dan Jimmy.P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan Pertama, Surabaya : Penerbit Reality Publisher, 2009.

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.


(2)

Mertokusuma, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1998.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Harta Kekayaan, Bandung : Penerbit PT. Citra Atitya, 1994.

Meliala, Djaja.S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Bandung : Penerbit Nuansa Aulia,2006.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Penerbit Kencana, 2008. ---, Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Prenada Media

Group,2009.

Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Bandung : Penerbit Sumur Bandung, 1981.

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Pitlo,A., Het Zakenrecht Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, HD Tjeenk Willink & Zoon, Haarlem, 1949.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Sing, Ko Tjai, Hukum Perdata, Hukum Peorangan, Hukum Keluarga, Semarang : Penerbit CV. Mitra, 1981.

Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Cetakan Kedua, Bandung : Penerbit Djambatan,1982.

Syahrani, Riduan, P erkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama, Jakarta : Penerbit PT. Media Sarana Press,1986.

Sardjono, R, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, Jakarta : Penerbit Academica,1979.


(3)

Suyuthi, Wildan, Sita dan Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta : Penerbit PT. Tatanusa, 2004.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Soemitro, Ronny Hanitijio, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1995.

Soekanto, Soejono dan Sri Manudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Penerbit RajaGrafindo Indonesia, 1995.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Kelima, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1978.

Sutantio, Retno Wulan dan Oeripkartawinata Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit CV. MandarMaju Bandung,2005 Susilo, Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2007.

Sofwan, Sri Soedewi Masjhoen, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, Yogyakarta : Penerbit Liberty,1982.

---, Hukum Perdata-Hukum Benda, Yogyakarta : Penerbit Universitas Gajahmada,1975.

Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,1991.

Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ketiga Belas, Jakarta : Penerbit PT. Intermasa,1978.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, Jakarta : Penerbit UI Press,1986.

Utrecht, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999.

Wasit, Aulawi dan Sastromodjo Asro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang,1981.


(4)

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Kompilasi Hukum Islam

RV (Reglement Op De Rechtsvordering) HIR

III. ARTIKEL

Anggara, Makalah Sita Marital, 9 Juli 2008, diperoleh dari http://blogduniaanggara.com, terakhir kali diakses pada tanggal 7 Desember 2011.

Abdul Mujib Ay,Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah Dengan Asal Usul Anak (Dalam Persfektif Hukum Positif di Indonesia), hal. 1-2.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Yurisprudensi Peradilan Agama, (Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001), hal. 164.

Dansur, Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum, 1 November 2006, diperoleh dari http://dansur.blogspot.com, terakhir kali diakses pada tanggal 9 Juni 2012. Dwika, Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum, 02 April 2011, diperoleh dari

http://hukum.kompasiana.com/2011/04/02/KesemwrawutanHukum Indonesia, terakhir kali diakses pada tanggal 10 Juni 2012.

Fatahilla, Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan “Saya Terima, diperoleh dari http://fatahilla.blogspot.com, terakhir kali diakses pada tanggal 15 Maret 2012.


(5)

Harjowidigjo, Rooseno, Mengenal Hak Milik Intelektual Yang Diatur di Dalam TRIPs, dalam Varia Peradilan, Nomor 111, Desember 1994, (Jakarta, Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia, 1994), hal. 129-130.

Koran Analisa, Istri Lebih Banyak Tuntut Perceraian, Medan, 24 Februari 2012. Koran Kompas, Menggugat Peraturan Hukum Tentang Pengaturan Nafkah, 14

Februari 2005.

Kasalang, Ronny Junaidi, Sita Jaminan Terhadap Harta Bersama di Luar Sengketa Perceraian Dalam Hukum Perceraian, 8 April 2011, diperoleh dari www.legalitas.org, terakhir kali diakses pada tanggal 12 Juni 2012.

Manan, Abdul, Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama, Mimbar Hukum, Nomor 33, Tahun VIII,1997, hal. 59.

MD, Mahfud, Asas Keadilan dan Kemanfaatan Suara Karya, 12 Desember 2006. Mahadi, Laporan Kajian Hukum Adat, BPHN, Jakarta, 1986, hal. 10.

Naravana, Hambatan-hambatan Dalam Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama, diperoleh dari http://naravana.blogspot.com/2009/05/uas-haper.html, terakhir kali diakses pada tanggal 10 Juni 2012.

Oxlay, Makna Keadilan, diperoleh dari http://id.shvoong.com/social-sciences/2193610-makna-keadilan, terakhir kali diakses pada tanggal 9 Juni 2012.

Purba, A. Zen Umar, ULTIMATUM, Jurnal Hukum Nasional, Vol. 1, No. 3, Januari-Februari 2003, terbitan STIH “IBLAM”, hal. 67.

Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata dan Acara Perdata, (Jakarta : Mahkamah Agung Republik Indonesia,1997), hal. 80.

Runtung, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawina n di Indonesia (Toward a Legal Unification of Marriage Property in Indonesia ), hal. 69.

Sudiyat, Imam, dalam “Peta Hukum Waris di Indonesia” kertas kerja pada Simposium Hukum Waris Nasional, hal. 38

Suyatno, Thomas, Persiapan Menghadapi Sidang Kasus Perceraian, diperoleh dari www.lbh-apik.or.id , terakhir kali diakses pada tanggal 15 Maret 2012.


(6)

Syah, Ismail Muhammad, Pencaharian Bersama Istri di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang P erkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi dalam Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 1984, hal. 148.

Sutantio, Retno Wulan, Masalah-Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, makalah diajukan pada Simposium Hukum Waris Tentang Perkembangan Hukum Waris Dalam Era Pembangunan, BPHN, Jakarta, Tanggal 1-2 Nopember 1989, hal. 6.

Subekti, R., Kaitan Undang-Undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Nasional di Jakarta, Tanggal 10-12 Februari 1983, dikumpulkan dan dibundel oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman, hal. 1.

Tungadi, Tahir, Tanggapan Atas Kertas Kerja R. Subekti Kaitan Undang-Undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Wairs Nasional di Jakarta, pada tanggal 10-12 Februari 1983, hal. 3.

Varia Peradilan Tahun II Nomor 23, Agustus 1987, Tanggal 30 Juni 1984, hal. 68. Wiraatmaja, Rasjim, Persetujuan Istri/Suami Untuk Menjaminkan Harta Bersama

dan Batas Umur Kedewasaan Bagi Seorang Calon Nasabah Untuk Membuka Rejening Serta Meminjam Uang Kepada Bank, makalah pada Media Notariat Nomor 10, tahun IV, Januari 1990, hal. 6.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

3 199 18

AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 7 18

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 3 17

View of Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

0 2 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 0 21

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA SKRIPSI

0 0 10

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN - Unissula Repository

0 1 15