Isolasi Minyak Atsiri dari Simplisia Kulit Kayu Sintok (Cinnamomum sintoc Blume) dengan Metode Destilasi Uap dan Air serta Analisis Komponennya Menggunakan GC-MS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Kayu sintok digunakan sebagai bahan obat untuk menyembuhkan sakit encok dan digigit serangga, mengobati tusukan dan gigitan binatang beracun, disentri, sariawan, mengurangi sekresi usus, menghilangkan sakit kejang di perut bagian bawah, penyakit murus dengan kejang, penyakit kelamin dan cacingan. Di Sukabumi, kayu sintok digunakan sebagai obat dengan cara ditumbuk dan dibalurkan ke daerah yang sakit. Kulit kayunya juga digemari sebagai obat, baunya yang khas berasal dari minyak eugenol yang dapat digunakan sebagai bahan kosmetik. Minyak atsiri yang terkandung dalam kayunya dapat memberi wangi dan juga mempunyai sifat anti bakteri. Di beberapa daerah, kayu sintok digunakan sebagai bahan bangunan (Jantan, et al., 1994; Anonim, 2009).

  Perbanyakan Cinnamomum sintoc Blume dilakukan dengan biji. Perkecambahan biji sintok terjadi 10 - 12 hari setelah tanam, sintok berbuah sekali dalam satu tahun, terjadi antara bulan Oktober-Desember. Siklus reproduksi (masa berbunga dan berbuah) tanaman terjadi pada awal musim hujan dan pada kisaran suhu 21,08°

  • – 30,83°C (Anonim, 2009).
  • – Kayu Sintok umumnya tumbuh di hutan-hutan pada ketinggian 700

  1.700 m diatas permukaan laut. Biasanya ditemukan di antara perdu dan semak hutan-hutan sekunder, pada daerah yang tidak ternaungi atau terbuka. Tanaman ini cenderung individual. Dilaporkan bahwa keberadaan sintok di Pulau Jawa jumlahnya semakin sedikit, bahkan sintok termasuk sebagai tumbuhan obat di

  Jawa yang berstatus terkikis. Penyebaran jenis ini meliputi Sumatera, Borneo, Jawa, Bali, Sumbawa, Sumba dan Timor (Agusta, 2000; Anonim, 2009).

  2.1.1 Morfologi tumbuhan

  Pohon dengan tinggi mencapai 20-35 m dan diameter batang mencapai 70 cm. Batang berkayu, bulat, kulit batang berwarna coklat abu-abu, dan beraroma.

  Daun berwarna hijau keputihan pada permukaan bawah, tulang daun menjari tiga Bunga malai. Buah bulat lonjong berbiji satu, berukuran (1,8

  • –2) x (0,8–1) cm berwarna hijau saat muda dan yang tua ungu kehitaman (Anonim, 2013).

  2.1.2 Sistematika tumbuhan

  Menurut Tjitrosoepomo, 1988 dan LIPI, 2004 sistematika tumbuhan kayu sintok adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Anak Kelas : Dialypetalae Ordo : Ranales Familia : Lauraceae Genus : Cinnamomum Spesies : Cinnamomum sintoc Blume

  2.1.3 Nama lain

  Huru sintok (Sunda), wuru sintok (Jawa), madang lawang (Sumatera) (Anonim, 2013).

2.1.4 Kandungan kimia

  Minyak yang diperoleh dari daun kayu sintok Malaysia mengandung safrole (23,4%) dan muurolene (13,5%) sebagai komponen utama. Kulit batang nya mengandung linalool (23,8%), seskuiterpen (25,2%) dan tetradekanal (16,4%) sebagai komponen utama (Jantan, et al., 1994). Minyak yang diperoleh dari Cibodas, Jawa Tengah mengandung eugenol (38,38%), miristisin (13,54%)

2.2 Minyak Atsiri

  Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap (volatile oil), minyak eteris (ethereal oil) dan minyak esensial (essential oil) karena pada suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Minyak atsiri umumnya tidak berwarna dalam keadaan segar dan murni namun pada penyimpanan lama warnanya berubah menjadi lebih gelap karena oksidasi. Upaya pencegahan berupa perlindungan minyak atsiri dari pengaruh cahaya, diisi penuh, ditutup rapat serta disimpan di tempat yang kering dan gelap (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  Kegunaan minyak atsiri sangat luas khususnya dalam bidang industri. Contoh kegunaan minyak atsiri, antara lain dalam industri kosmetik (sabun, pasta gigi, sampo, losion); dalam industri makanan digunakan sebagai bahan penyedap dan penambah cita rasa; dalam industri parfum sebagai pewangi dalam berbagai produk minyak wangi; dalam industri farmasi atau obat-obatan (antinyeri, antiinfeksi, pembunuh bakteri, dan antikanker); dalam industri bahan pengawet; bahkan digunakan pula sebagai insektisida (Lutony dan Rahmayati, 1994).

  2.2.1 Keberadaan minyak atsiri pada tumbuhan

  Minyak atsiri dalam tumbuhan terdapat dalam berbagai jaringan, seperti di dalam rambut kelenjar (pada suku Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (pada suku Zingiberaceae dan Piperaceae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada suku Myrtaceae, Pinaceae dan Rutaceae) di dalam saluran minyak (pada suku Umbelliferae) (Gunawan dan Mulyani, 2004). pemakan daun. Sebaliknya minyak atsiri dapat berfungsi sebagai penarik serangga guna membantu proses penyerbukan dan sebagai cadangan makanan (Gunawan dan Mulyani, 2004).

  2.2.2 Komposisi kimia minyak atsiri

  Perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panen, metode ekstraksi yang digunakan dan cara penyimpanan minyak (Sastrohamidjojo, 2004). Minyak atsiri merupakan campuran komponen yang terdiri dari tipe-tipe yang berbeda.

  Menurut Gunawan dan Mulyani, 2004 berdasarkan asal-usul biosintetik, konstituen kimia dari minyak atsiri dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :

1. Turunan terpenoid yang terbentuk melalui jalur asam asetat mevalonat 2.

  Turunan fenil propanoid yang merupakan senyawa aromatik, terbentuk melalui jalur biosintesis asam sikamat.

  Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpena, yaitu senyawa produk alami yang strukturnya dapat dibagi ke dalam satuan-satuan isopren.

  Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O) serta beberapa persenyawaan kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S) (Guenther, 1987).

2.3 Sifat Fisikokimia Minyak Atsiri

  Pengujian minyak atsiri dapat dilakukan dengan uji organoleptik. Selain itu pengujian penting lainnya adalah penentuan sifat fisikokimia dari minyak yang dihasilkan. Analisis sifat fisikokimia dilakukan untuk mendeteksi pemalsuan, mengevaluasi mutu dan kemurnian minyak serta mengidentifikasi jenis dan kegunaan minyak atsiri (Guenther, 1987).

2.3.1 Sifat fisika minyak atsiri

  Minyak atsiri mempunyai konstituen kimia yang berbeda, tetapi dari segi fisikanya banyak yang sama. Minyak atsiri yang baru diekstraksi (masih segar) umumnya tidak berwarna atau berwarna kekuning-kuningan. Sifat-sifat fisika minyak atsiri, yaitu: 1) bau yang karakteristik, 2) mempunyai indeks bias yang tinggi, 3) bersifat optis aktif dan 4) mempunyai sudut putar optik (optical

  rotation) yang spesifik (Armando, 2009). Parameter yang dapat digunakan untuk

  tetapan fisika minyak atsitri antara lain: a.

  Bau yang khas Minyak atsiri adalah minyak mudah menguap yang dapat dijadikan sebagai ciri khas tumbuhan. Setiap tumbuhan penghasil minyak atsiri, menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang spesifik dari komponen penyusun minyak tersebut (Agusta, 2000).

  b. Berat Jenis Nilai berat jenis (densitas) minyak atsiri merupakan perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume minyak.

  Berat jenis sering dihubungkan dengan berat komponen yang terkandung didalamnya, semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, semakin besar pula nilai densitasnya. Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Pada umumnya berat jenis minyak atsiri berkisar antara 0,696-1,188 (Armando, 2009).

  Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Jika cahaya melewati media kurang padat ke media lebih padat, maka sinar akan membelok atau

  “membias” dari garis normal. Refraktometer adalah alat yang cepat dan tepat untuk menetapkan nilai indeks bias. Refraktometer Abbe dengan kisaran 1,3 - 1,7 digunakan untuk analisis minyak atsiri dan ketepatan alat ini cukup untuk keperluan praktis.

  Pembacaan dapat dilakukan tanpa menggunakan table konversi, minyak yang digunakan 1-2 tetes. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu zat dan deteksi ketidakmurniannya (Guenther, 1987).

  d. Putaran Optik Setiap jenis minyak atsiri mempunyai kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu dan panjang gelombang cahaya yang digunakan. Sifat optis aktif suatu minyak ditentukan dengan polarimeter, dan nilainya dinyatakan dalam derajat rotasi (Guenther,1987).

2.3.2 Sifat kimia minyak atsiri

  Minyak atsiri mempunyai sifat kimia yang khas, dimana perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari kerusakan minyak yang mengakibatkan perubahan sifat kimia minyak, misalnya oleh proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi (resinifikasi).

  a. Oksidasi Reaksi oksidasi terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen.

  Peroksida yang bersifat labil akan berisomerisasi dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid, asam organik dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak dikehendaki (Ketaren, 1985).

  b. Hidrolisis Proses hirolisis terjadi dalam minyak atsiri yang mengandung ester. Proses hidrolisis ester merupakan proses pemisahan gugus OR dalam molekul ester sehingga terbentuk asam bebas dan alkohol. Ester akan terhidrolisis secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai katalisator (Guenther, 1987).

  c. Resinifikasi (polimerisasi) Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin, yang merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan

  (ekstraksi) minyak yang mempergunakan tekanan dan suhu tinggi serta selama penyimpanan. Resinifikasi menyebabkan minyak atsiri memadat dan berwarna gelap (cokelat) (Guenther, 1987).

2.4 Isolasi Minyak Atsiri

  Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1) penyulingan (distillation), 2) pengepresan (pressing), 3) ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), 4) ekstraksi dengan lemak padat, 5) ecuelle.

2.4.1 Metode penyulingan

  Penyulingan adalah salah satu metode untuk memisahkan komponen- komponen suatu campuran dari dua jenis campuran atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Metode penyulingan minyak atsiri yang sering dilakukan antara lain: a. Penyulingan dengan air (water distillation) selanjutnya direbus sampai uap air dan minyaknya mengalir dan didinginkan melalui pipa dalam kondensor. Air dan minyak yang keluar dari kondensor ditampung dalam labu pemisah (Yuliani dan Satuhu, 2012).

  b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation) Bahan tumbuhan yang akan disuling dengan metode penyulingan air dan uap ditempatkan dalam suatu tempat yang bagian bawah dan tengah berlobang- lobang yang ditopang diatas dasar alat penyulingan. Ketel diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh di bawah saringan, uap air akan naik bersama minyak atsiri kemudian dialirkan melalui pendingin. Hasil sulingannya adalah minyak atsiri yang belum murni (Guenther, 1987).

  c. Penyulingan dengan uap (steam distillation) Pada metode ini, wadah dan tangki air sebagai sumber uap panas (boiler) diletakkan terpisah, di dalam boiler terdapat pipa yang berhubungan dengan wadah. Air dari boiler akan mendidih, lalu uapnya mengalir ke wadah yang berisi bahan tumbuhan. Uap akan menembus sel-sel tumbuhan dan membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya akan mengalir melalui kondensor. Uap minyak atsiri akan mengembun menjadi cairan dan ditampung pada labu pemisah (Guenther, 1987; Yuliani dan Satuhu, 2012).

  2.4.2 Metode pengepresan

  Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat tekanan pengepresan, maka sel-sel yang mengandung minyak atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke permukaan bahan (Yuliani dan Satuhu, 2012).

  Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam pelarut organik yang mudah menguap. Metode ini digunakan untuk mengambil minyak bunga yang kurang stabil dan dapat dirusak oleh panas uap air. Dengan menggunakan pelarut yang mudah menguap seperti kloroform, eter, aseton, alkohol, petroleum eter.

  Pada ekstraksi ini, bahan pelarut dialirkan secara berkesinambungan melalui serangkaian penampan yang diisi bahan tumbuhan, sampai ekstraksi selesai.

  Cairan ekstrak yang mengandung bahan pelarut dan unsur-unsur tumbuhan itu disalurkan ketabung hampa udara yang dipanaskan pada suhu sekedar untuk menguapkan pelarut. Uap pelarut dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali, sedangkan unsur-unsur tumbuhan tertinggal dalam tabung hampa tersebut (Guenther, 1987).

  2.4.4 Ekstraksi dengan lemak padat

  Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga-bungaan, untuk mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  a. Ekstraksi dengan lemak tanpa pemanasan (Enfleurage) Cara ini menggunakan media lemak padat. Metode ini digunakan karena diketahui beberapa jenis bunga yang telah dipetik, enzimnya masih menunjukkan kegiatan dalam menghasilkan minyak atsiri sampai beberapa hari/minggu, seperti bunga melati, sehingga perlu perlakuan yang tidak merusak enzim tersebut secara langsung. Caranya dengan menaburkan bunga diatas media lilin dan dieramkan sampai beberapa hari/minggu, selanjutnya lemak padat dikerok (dikenal dengan pomade) dan diekstraksi menggunakan b. Ekstraksi dengan lemak panas (Maceration) Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila dilakukan penyulingan atau enfleurasi akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendeman yang rendah.

  Absorbsi minyak atsiri pada cara ini dilakukan oleh lemak dalam keadaan panas

  o

  pada suhu 80 C selama 1,5 jam. Selesai pemanasan, campuran disaring panas- panas, jika perlu kelebihan lemak pada ampas disiram dengan air panas. Setelah penyaringan, dilakukan penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri (Guenther, 1987).

2.4.5. Ecuelle

  Metode ini digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri yang terdapat pada buah-buahan seperti jeruk dengan cara menembus lapisan epidermis sampai ke dalam jaringan yang mengandung minyak atsiri. Metode mengeluarkan minyak jeruk dengan menusuk kelenjar minyak dan menggelindingkan buah pada wadah yang memiliki tonjolan tajam yang berjejer. Tonjolan tersebut cukup panjang untuk menembus epidermis. Tetes minyak yang jatuh pada wadah kemudian dikumpulkan (Tyler, dkk., 1976).

2.5 Analisis Komponen Minyak Atsiri dengan GC-MS

  Analisis dan karakterisasi komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit, ditambah dengan sifatnya yang mudah menguap pada suhu kamar sehingga perlu diseleksi metode yang akan diterapkan untuk menganalisis minyak atsiri. Sejak ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala dalam analisis komponen minyak atsiri ini mulai dapat diatasi walaupun terbatas hanya pada saja. Efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali pada penggunaan GC. Perkembangan teknologi instrumentasi yang sangat pesat akhirnya dapat melahirkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling menguntungkan dan saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa (GC-MS). Kedua alat tersebut dihubungkan dengan suatu interfase. Kromatografi gas disini berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran dalam sampel sedangkan spektrometer masa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Agusta, 2000).

2.5.1 Kromatografi gas

  Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solute-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solute akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solute dan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solute dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solute dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Keuntungan suhu terprogram adalah bahan-bahan yang titik didihnya berbeda dapat dipisahkan dalam jangka waktu tertentu, sehingga pemisahan campuran senyawa kompleks dapat berlangsung dengan cepat (Watson, 2005). tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat ialah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat elusi terjadi (dihasilkan puncak) (Gritter, dkk., 1985). Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu dan detektor.

  2.5.1.1 Gas pembawa

  Gas pembawa harus memenuhi persyaratan antara lain harus inert, murni dan mudah diperoleh. Keuntungannya adalah karena semua gas ini harus tidak reaktif, dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering yang dapat dikemas dalam tangki bertekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah Helium (He),Argon (Ar), Nitrogen (N ), Hidrogen(H ), dan Karbon dioksida (CO ).

  2

  2

  2 Semua gas ini tidak reaktif dan dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering yang dikemas dalam tangki bertekanan tinggi (Agusta, 2000).

  2.5.1.2 Sistem injeksi

  Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik (injection port), biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet (rubber septum). Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri, terpisah dari kolom dan biasanya pada suhu 10-15ºC lebih tinggi dari suhu kolom. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, dkk., 1985).

2.5.1.3 Kolom

  Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena didalamnya terdapat fase diam (Mc Nair dan Miller, 2009). Kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat (stainless steel), aluminium, dan kaca yang berbentuk lurus, lengkung, melingkar. Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler (Agusta, 2000; Mc Nair dan Bonelli, 1988).

  Kolom kemas biasanya dibuat dari kaca yang dilapisi silana intuk menghilangkan gugus polar Si-OH silanol dari permukaannya, yang dapat menghasilkan ekor pada punca-puncak analit polar. Kolom dikemas dengan partikel-partikel penyangga padat yang dilapisi dengan fase diam cair. Penyangga yang paling banyak diguunakan adalah kalsium silikat. Batas suhu tertinggi untuk

  o

  kolom kemas adalah 280

  C, di atas suhu ini fase diam cair akan menguap. Namun untuk pelaksanaan pengendalian mutu yang rutin, kolom ini cukup memadai (Watson, 2005).

  Kolom kapiler berbeda dengan kolom kemas, dalam hal adanya rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa (tube) dengan ukuran 0,02 - 0,2 mm. kolom kapiler kini lebih banyak digunakan untuk menganalisis komponen minyak atsiri. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kolom tersebut yang memberikan hasil analisis dengan daya pisah yang tinggi dan sekaligus memiliki sensitivitas yang tinggi. Keuntungan kolom kapiler adalah jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit dan pemisahan lebih sempurna (Agusta, 2000).

  2.5.1.4 Fase diam

  Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar, semipolar, polar dan sangat polar. Berdasarkan kepolaran minyak atsiri yang nonpolar sampai sedikit polar, maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom fase diam yang bersifat sedikit polar, misalnya SE-52 dan SE-54 (Agusta, 2000).

  2.5.1.5 Suhu

  a. Suhu injector Suhu injektor harus 10

  o

  o

  • 15

  C lebih tinggi dari suhu kolom akhir. Jadi seluruh cuplikan segera diuapkan begitu disuntikkan dan memasuki kolom (Gritter, dkk., 1985).

  b. Suhu kolom Pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap (isotermal) atau pada suhu yang berubah secara terkendali (suhu diprogram, temperature programming). GC isotermal paling banyak dilakukan pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak mengenai sifat sampel yang akan dipisahkan. Pilihan awal yang baik adalah suhu beberapa derajat dibawah titik didih komponen utama sampel. Pada GC suhu diprogram, suhu dinaikkan mulai dari suhu tertentu sampai suhu tertentu lainnya dengan laju yang diketahui dan terkendali pada waktu tertentu (Gritter, dkk., 1985).

  c. Suhu detektor Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan/fase diam tidak mengembun dan juga untuk mencegah pengembunan air atau hasil samping yang terbentuk pada proses pengionan (McNair dan Bonelli, 1988).

2.5.1.6 Detektor

  Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik (Rohman, 2009). Detektor yang populer yaitu detektor hantar- termal (thermal conductivity detector) dan detektor pengion nyala (flame

  ionization detector ) (Mc Nair dan Bonelli, 1988).

  a. Detektor hantar-termal (Thermal Conductivity Detector, TCD) Detektor ini menggunakan kawat pijar wolfram yang dipanaskan dengan dialiri arus listrik yang tetap. Gas pembawa mengalir terus menerus melewati kawat pijar yang panas itu dan suhu dibuat dengan laju tetap. Bila molekul cuplikan yang bercampur dengan gas pembawa melewati kawat pijar meningkat, terjadi perubahan tahanan yang diukur dengan jembatan Wheatstone dan sinyalnya ditangkap oleh perekam dan tampak sebagai suatu puncak. Prinsip kerjanya didasarkan pada kemampuan suatu gas menghantar panas dari kawat pijar dan merupakan fungsi bobot molekul gas tersebut (Mc Nair dan Bonelli,1988).

  b. Detektor pengion nyala (Flame Ionization Detector, FID) Hidrogen dan udara digunakan untuk menghasilkan nyala. Suatu elektroda pengumpul yang bertegangan arus searah ditempatkan diatas nyala dan mengukur hantaran nyala. Dengan hidrogen murni, hantaran sangat rendah, tetapi ketika senyawa organik dibakar, hantaran naik dan arus yang mengalir dapat diperkuat ke perekam (Mc Nair dan Bonelli, 1988).

2.5.2 Spektrometri massa (MS)

  Suatu spektrometer massa bekerja dengan membangkitkan molekul- molekul bermuatan atau fragmen-fragmen molekul baik dalam keadaan sangat hampa atau segera sebelum sampel memasuki ruang sangat hampa. Hasil analisis merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia. Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X dan intensitas pada sumbu Y yang disebut spectrum massa. Pola sehingga dapat dijadikan patokan menentukan struktur molekul suatu komponen kimia. Spektrum massa komponen kimia yang diperoleh dibandingkan dengan spektrum massa dalam suatu bank data (Watson, 2005; Agusta, 2000).

  Puncak ion molekul penting karena memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak paling kuat (tertinggi) pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Silverstein, dkk., 1986).