Kebijakan ORBA Di Luar Negeri

Kebijakan ORBA Di Luar Negeri
Langkah-langkah yang diambil oleh Kabinet Ampera dalam menata kembali politik luar negeri, antara
lain sebagai berikut.
Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat sebagai anggota
ke-60. Sebagai anggota PBB, Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi
internasional tersebut. Manfaat dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut.
 PBB turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto ataupun de jure kemerdekaan Indonesia
oleh dunia internasional.
 PBB turut berperan dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
 PBB banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial, dan
kebudayaan.
Penghentian Konfrontasi dengan Malaysia
Pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan
Malaysia yang sejak 1964 terputus. Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai
dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan normalisasi hubungan
Indonesia–Malaysia merupakan hasil perundingan di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966). Perundingan telah
menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai Persetujuan Bangkok. Adapun persetujuan Bangkok
mengandung tiga hal pokok, yaitu sebagai berikut.
 Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah diambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

 Kedua pemerintah menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.
 Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan.
Pembentukan Organisasi ASEAN
ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima menteri luar negeri
negaranegara di kawasan Asia Tenggara. Kelima menteri luar negeri tersebut adalah Narsisco Ramos dari
Filipina, Adam Malik dari Indonesia, Thanat Khoman dari Thailand, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan
S. Rajaratnam dari Singapura. Penandatanganan naskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal
8 Agustus 1967 di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi Bangkok.
Syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN seperti yang
tercantum dalam Deklarasi ASEAN.
ASEAN mempunyai tujuan utama, antara lain:
 meletakkan dasar yang kukuh bagi usaha bersama secara regional dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial, dan perkembangan kebudayaan;
 meletakkan landasan bagi terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera dan damai di kawasan Asia
Tenggara;
 memberi sumbangan ke arah kemajuan dan kesejahteraan dunia;
 memajukan perdamaian dan stabilitas regional dengan menghormati keadilan, hukum, serta prinsip-prinsip
Piagam PBB;
 memajukan kerja sama aktif dan tukar-menukar bantuan untuk kepentingan bersama dalam bidang
ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;

 memajukan pelajaran-pelajaran (studies) tentang Asia Tenggara;
 memajukan kerja sama yang erat dan bermanfaat, di tengah-tengah organisasi-organisasi regional dan
internasional lainnya dengan maksud dan tujuan yang sama dan menjajaki semua bidang untuk kerja
sama yang lebih erat di antara anggota.
Dasar kerja sama ASEAN adalah:

 saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, dan identitas semua bangsa;
 mengakui hak setiap bangsa untuk penghidupan nasional yang bebas dari ikut campur tangan, subversi, dan
konversi dari luar;
 tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing;
 menyelesaikan pertengkaran dan persengketaan secara damai;
 tidak menggunakan ancaman dan penggunaan kekuatan;
 menjalankan kerja sama secara efektif.
Keikutsertaan Indonesia dalam Berbagai Organisasi Internasional
 Consultative Group on Indonesia (CGI)
Sebelum pemerintah Indonesia mendapat bantuan dana pembangunan dari Consultative Group on
Indonesia (CGI) terlebih dahulu mendapat bantuan dana pembangunan dari Inter-Governmental Group on
Indonesia (IGGI). Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) didirikan pada tahun 1967. Tujuannya,
memberi bantuan kredit jangka panjang dengan bunga ringan kepada Indonesia untuk biaya
pembangunan. Anggota IGGI terdiri atas dua kelompok.

 Negara-negara kreditor, seperti Inggris, Prancis, Belgia, Italia, Swiss, Jepang, Belanda, Jerman Barat,
Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
 Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank),Dana Moneter Internasional (International Monetary
Fund), dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Bantuan dari IGGI yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek produktif dan kesejahteraan sosial
itu, antara lain sebagai berikut.
 Bantuan teknik, umumnya tidak diterima dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk bantuan tenaga ahli,
peralatan laboratorium, dan penelitian.
 Grant digunakan untuk biaya berbagai macam keperluan pembangunan, misalnya untuk membeli kapal
angkutan laut.
 Devisa kredit dan bantuan pangan digunakan untuk biaya impor barang modal, bahan baku, dan bahan
makanan.
 Bantuan proyek digunakan untuk biaya pembangunan proyek listrik, pembangunan telekomunikasi,
pengairan, pendidikan, kesehatan (program KB), dan prasarana lainnya.
 Bantuan program digunakan untuk biaya penyusunan program pembangunan.
Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)
Latar belakang terbentuknya APEC adalah perkembangan situasi politik dan ekonomi dunia pada waktu
itu yang berubah dengan cepat. Hal ini diikuti dengan kekhawatiran gagalnya perundingan Putaran
Uruguay (masalah perdagangan bebas). Apabila perdagangan bebas gagal disepakati, diduga akan

memicu sikap proteksi dari negara-negara maju.
Indonesia, sebagai anggota APEC, mempunyai peranan yang cukup penting. Dalam pertemuan di Seattle,
Amerika Serikat (1993), Indonesia ditunjuk sebagai Ketua APEC untuk periode 1994–1995. Sebagai
Ketua APEC, Indonesia berhasil menyelenggarakan pertemuan APEC di Bogor pada tanggal 14–15
November 1994 yang dihadiri oleh 18 kepala negara dan kepala pemerintahan negara anggota. Sidang
APEC di Tokyo tahun 1995, memutuskan bahwa era perdagangan bebas akan mulai diberlakukan tahun
2003 bagi negara maju dan 2010 bagi negara berkembang

Kebijakan Dalam Negeri Pemerintahan Orde Baru
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah Orde
Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita,
keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai berikut.

a. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur
perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.

b. Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di
pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari
Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan
tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat

diproduksi di dalam negeri.

c. Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga industri dalam
negeri kurang berkembang.

d. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an hanya
mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India,
Bangladesh, dan Nigeria saat itu.

e. Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk
sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).

f. Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.

g. Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot.
Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam
keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin
mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.

Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina

landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban tugas
utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana tertuang dalam program
jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada
pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan
pencukupan kebutuhan sandang.

Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat
terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan
ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi. Dengan usaha
keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969
pemerintah telah meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan
ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa
Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama. Berbagai prasarana
penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi dikembangkan.

Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi karena menjadi kunci bagi
pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita
I dapat dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat
sehingga dapat diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang
bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih

dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.

Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektorsektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia
memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yang
dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan,
cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani
melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan
dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui
kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan
harga dasar dan kebijakan stok beras.

Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta
kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan.
Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini
merupakan titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan
negara pengimpor beras terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan
sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat
ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.

Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/1970–1973/1974, merupakan awal

pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/1970–1993/1994). Pembangunan
dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar diarahkan pada
pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta
menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
Ditempatkannya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam Repelita I
tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dengan tahapan-tahapan yang
telah ditentukan (diprioritaskan).

Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah
negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–75%) bermata pencaharian di
bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor
pertanian memberi sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja.
Mengingat pula bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan.

Oleh karena itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya
pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti
meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi
(inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan
mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian,

seperti pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan
jalan.

Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup
menggembirakan, antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta
ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata

penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar
Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).

Repelita II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah
bahan mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dengan Repelita III untuk
periode 1979/1980–1983/1984, yakni dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian
menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi bahan
jadi. Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dengan titik berat pada
sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya.


Pembangunan sektor industri meliputi industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang
banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan Repelita V (1989/1990–
1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan menetapkan
GBHN pertama merupakan strategi pembangunan nasional.

Perkembangan industri pertanian dan nonpertanian telah membawa hasil yang cukup
menggembirakan. Hasil-hasilnya telah dapat dirasakan dan dinikmati saat itu oleh masyarakat
Indonesia, antara lain sebagai berikut.

a. Swasembada Beras
Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian dibangun sektor-sektor
lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan,
cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru diajarkan dan disebarluaskan kepada para
petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, penyediaan pupuk dengan membangun pabrikpabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.
Pemasaran hasil-hasil produksi mereka diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan
kebijakan stok beras oleh pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang
mendahulukan pembangunan pertanian tadi telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia
berswasembada beras, menyebarkan pembangunan secara luas kepada rakyat, dan mengurangi

kemiskinan di Indonesia.

Tujuan setiap pelita sebagai berikut.
1. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteran rakyat.
2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat meningkat. Dalam tahun
1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton dan pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton
yang berarti meningkat hampir tiga kalinya. Perkembangan ini berarti bahwa dalam periode yang
sama, produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi yang
besar, khususnya di sektor pertanian, telah mengubah posisi Indonesia dari negara pengimpor
beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an menjadi negara yang mencapai swasembada pangan
sejak tahun 1984. Kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu, juga
selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun terakhir Repelita V tetap dapat dipertahankan.
Pelita I-V menitikberatkan pada sektor pertanian, sehingga Indonesia mampu mengatasi masalah
pangan. Indonesia sebagai negara agraris tidak lagi menjadi negara pengimpor beras terbesar.
b. Kesejahteraan Penduduk
Strategi mendahulukan pembangunan bidang pertanian disertai dengan pemerataan pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat yang meliputi penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, air bersih, dan
perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen dalam setiap Repelita. Dengan
strategi ini pemerintah telah berhasil mengurangi kemiskinan di tanah air. Hasilnya adalah
jumlah penduduk miskin di Indonesia makin berkurang. Pada tahun 1970-an ada 60 orang di
antaranya yang hidup miskin dari setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini
sangat besar, yaitu sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yang miskin ini terus berkurang
jumlahnya dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yang masih hidup miskin dari
setiap 100 orang.

Hanya sedikit negara yang berhasil menurunkan jumlah kemiskinan penduduknya secepat
pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri bangsa Indonesia bertambah tebal.
Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun 1969, penghasilan rata-rata per jiwa rakyat
Indonesia hanya sekitar 70 dolar Amerika per tahun. Tahun 1993, penghasilannya sudah di atas
600 dolar Amerika. Selain menurunnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya penghasilan
rata-rata penduduk sebagaimana tersebut di atas, juga harapan hidup masyarakat telah
meningkat.

Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata 50 tahun,
maka dalam tahun 1990-an harapan hidup itu telah meningkat menjadi lebih dari 61 tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1.000
kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, pertumbuhan
penduduk juga dapat dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB). Selama
dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai sekitar 2,3% pertahun. Pada awal
tahun 1990-an, angka tadi sudah dapat diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.

c. Perubahan Struktur Ekonomi
Berdasarkan amanat GBHN 1983 dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan telah
terjadi perubahan struktur ekonomi. Dari titik berat pada sektor pertanian menjadi lebih
berimbang dengan sektor di luar pertanian. Pada saat Indonesia mulai membangun (tahun 1969),
peranan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) secara persentase adalah 49,3%.

Sektor-sektor di luar sektor pertanian, seperti sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%,
perdagangan dan jasa-jasa 30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan
sektor pertanian telah menurun. Sebaliknya, peranan sektor-sektor di luar sektor pertanian
(nonpertanian, seperti industri pengolahan, bangunan, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya)
menunjukkan peningkatan peranan terhadap PDB.

Pada tahun 1990, sektor industri pengolahan meningkat mencapai 19,3%. Perdagangan, hotel,
dan restoran mencapai 16,1%, sedangkan jasa-jasa mencapai 3,4%. Apabila dijumlahkan sektorsektor di luar sektor pertanian tersebut, peranannya terhadap PDB tahun 1990 mencapai 38,8%,
berarti jauh lebih tinggi dari peranan sektor pertanian yang hanya 19,6%.

d. Perubahan Struktur Lapangan Kerja
Lebih banyak tenaga kerja yang beralih dari lapangan usaha sektor pertanian ke sektor usaha
lainnya karena bertambahnya lapangan kerja baru yang diciptakan. Selama periode tahun 1971
sampai dengan 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih cepat dibandingkan
dengan pertumbuhan di sektor pertanian. Perubahan struktur tenaga kerja tersebut telah pula
membawa dampak terhadap cara hidup dan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya
akan berpengaruh terhadap pola konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).

e. Perkembangan Investasi
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang senantiasa dilakukan pemerintah di berbagai
sektor ekonomi serta ditunjang adanya sarana infrastruktur yang makin bertambah baik di
daerah-daerah, akan membawa iklim segar bagi investor baik dari dalam maupun luar negeri.
Para investor ini akan menanamkan modalnya di daerah dengan berbagai produk baik dalam
rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).

f. Perkembangan Ekspor
Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa dampak terhadap produk yang dihasilkan.
Produk yang dihasilkan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pasaran dalam negeri, tetapi lebih
banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran luar negeri). Jenis barang yang dihasilkan industri dalam
negeri setiap tahun menunjukkan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat
dilihat perkembangannya.

Sejak Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh lebih
tinggi dari penerimaan migas. Namun, setelah investor asing menanamkan modal di sektor
perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor migas telah
meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan dan bukan pajak).
Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dalam negeri sangat bertumpu
pada hasil ekspor migas.

Namun, saat terjadi krisis ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut
telah berdampak negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga
minyak bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi dapat diharapkan. Sejak itu harga
minyak bumi telah anjlok dari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986 turun
menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986. Anjloknya harga minyak bumi
di pasaran dunia telah memengaruhi penerimaan dalam negeri.

Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri keuangan RI pada
tanggal 12 September 1986, telah mengambil tindakan devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang
asing dan segera mengubah struktur penerimaan dalam negeri dari ketergantungan pada
penerimaan migas beralih kepada penerimaan nonmigas. Dengan devaluasi ini diharapkan
komoditas nonmigas Indonesia akan meningkat karena dengan perhitungan sederhana, devaluasi

sebesar 45% barang (komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar
Amerika Serikat.

Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya saing lebih
kuat di pasaran internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor
nonmigas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah khusus untuk menaikkan penerimaan
dari ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.

Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor akan meningkat harganya
45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan gambaran perhitungan sederhana ini, maka dampak
devaluasi yang bisa diharapkan adalah di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain
pihak impor akan berkurang. Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia akan dapat
dipertahankan pada tingkat yang sehat.

g. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah mendorong laju
pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi Domestik Bruto (PDB).
Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 1969–1989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku
maupun menurut harga konstan menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai
dengan tahun 1983 yang merupakan tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertumbuhannya
sebesar 7,2% per tahun. Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV
yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada ratarata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%.

Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun pertama
pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun
kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju pertumbuhannya adalah tahun 1991
sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang merupakan tahun terakhir
pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9%
per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang
direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.

Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yang merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama
dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi
yang direncanakan dalam Repelita VI adalah rata-rata 6,2% per tahun.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional setiap tahap pelita harus bertumpu pada Trilogi
Pembangunan, yaitu sebagai berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0