Buku Ekowisata dan Pembangunan Berkelanj
Design Layout
Ferdinal Asmin
EKOWISATA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: DIMULAI DARI KONSEP SEDERHANA
“Untuk Istri dan Anak - Anakku”
KATA PENGANTAR
Berawal dari mengikuti Mata Kuliah Kebijakan dan Ma- najemen Ekowisata pada saat mengikuti program doktor di IPB, penulis mencoba menulis buku sederhana ini. Meskipun seder- hana, buku ini diharapkan akan mampu memberikan pemaha- man konseptual kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertarik mempelajari ekowisata.
Pemahaman konseptual yang sederhana ini perlu bagi ma- hasiswa-mahasiswa yang baru mempelajari prinsip-prinsip eko- wisata. Anda dapat menggali pemahaman yang lebih mendalam setelah konsep sederhana ini dimaknai secara baik. Banyak li- teratur membahas tentang ekowisata dengan berbagai diskursus dan narasi yang mungkin bisa membingungkan anda, sehingga dengan buku ini diharapkan anda akan mampu berpikir lebih kritis ( critical thinking ) terhadap konsep dan implementasi eko- wisata itu sendiri.
Bagian pertama dari buku ini memberikan beberapa pe- ngertian ekowisata dari sekian banyak pengertian yang dapat an-
da temui. Mendefinisikan sesuatu (termasuk ekowisata) mung- kin saja dibangun dari perspektif yang berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dari anda sendiri. Yang paling penting adalah jangan sampai anda terjebak dalam paradigma pariwisata massal ( mass tourism ).
Bagian kedua menjelaskan sedikit tentang kenapa konsep ekowisata belum berkembang baik di Indonesia. Konteks ka- pasitas menjadi fokus utama dalam menilai kondisi tersebut. Empat kendala dan keterbatasan yang dihadapi merupakan pe- nilaian umum berdasarkan fakta-fakta yang diketahui. Sangat Bagian kedua menjelaskan sedikit tentang kenapa konsep ekowisata belum berkembang baik di Indonesia. Konteks ka- pasitas menjadi fokus utama dalam menilai kondisi tersebut. Empat kendala dan keterbatasan yang dihadapi merupakan pe- nilaian umum berdasarkan fakta-fakta yang diketahui. Sangat
Bagian ketiga mendeskripsikan proses perencanaan pe- ngembangan ekowisata secara umum. Sisi produk dan pasar memang menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan ekowisata, namun demikian, kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologis dari berbagai stakeholder pada kawasan harus menjadi pertimbangan prioritas. Seorang perencana/pengembang eko- wisata harus memastikan bahwa komponen prinsip ekowisata dapat dipenuhi dengan optimal.
Bagian keempat merupakan pembahasan salah satu kom- ponen ekowisata yang harus menjadi perhatian setiap peren- cana/pengembang ekowisata, yaitu pelibatan masyarakat lokal. Tantangan utama dalam pengembangan ekowisata adalah ba- gaimana menciptakan partisipasi masyarakat tersebut sebagai sebuah tujuan. Untuk itu, sangat perlu memperluas kesempatan bagi masyarakat lokal, mendorong kemauannya, dan mening- katkan kemampuannya dalam setiap tahapan pengembangan ekowisata.
Bagian kelima mengilustrasikan bagaimana menilai suatu kawasan sebagai salah satu destinasi wisata (termasuk untuk ekowisata). Penilaian kesesuaian dan daya dukung yang dije- laskan pada bagian ini adalah salah satu cara yang sederhana. Tentunya, masih banyak cara lain yang dapat anda gunakan se- suai dengan tujuan pengelolaan kawasan yang anda inginkan.
Bagian keenam menerangkan implementasi konsep keber- lanjutan dalam wisata yang perlu dipahami bagi anda yang me- nekuni bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan ling- kungan. Banyak peran yang bisa dimainkan dalam pengem- Bagian keenam menerangkan implementasi konsep keber- lanjutan dalam wisata yang perlu dipahami bagi anda yang me- nekuni bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan ling- kungan. Banyak peran yang bisa dimainkan dalam pengem-
Bagian ketujuh mengupas tentang peran penelitian eko- wisata dalam mempengaruhi kebijakan. Bagian ini dirumuskan dalam bentuk review terhadap suatu tulisan tentang adopsi ilmu pengetahuan. Bagian kedelapan memberikan contoh alternatif kebijakan dalam pengembangan ekowisata di Indonesia. De- ngan menggunakan analisis SWOT ( Strength, Weakness, Op- portunity, and Threat ), alternatif-alternatif strategi dirumuskan dan diusulkan sebagai pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dan pengelola kawasan wisata.
Memang diakui bahwa buku ini memberikan penjelasan singkat dengan konsep-konsep yang sederhana. Penulis berha- rap buku ini dapat membantu anda untuk mengkonstruksikan pola pikir yang memadai dalam melihat ekowisata sebagai salah satu bentuk wisata bertanggung jawab.
Konstruksi berpikir anda akan lebih baik bila mampu menggali berbagai aspek dalam pengembangan ekowisata dari sumber-sumber referensi lainnya, baik yang sudah diacu atau yang belum diacu dalam buku ini. Penulis berharap agar anda tetap berpikir kritis dalam mempelajari konsep dan imple- mentasi ekowisata dari berbagai sumber yang anda dapatkan, te- rutama bagi anda yang sedang menempuh studi S-2 dan S-3. Semoga bermanfaat.
Padang, Desember 2017
FA
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
3 Daftar Tabel
7 Daftar Gambar
7 Bagian Pertama: Pengertian Ekowisata 9
Perspektif Perjalanan ke Kawasan Alami
10 Perspektif Bentuk Wisata
11 Perspektif Konsep dan Implementasi yang Berbeda
11 Kesimpulan
12 Daftar Pustaka
12 Bagian Kedua: F akta Ekowisata di Indonesia 14
Kendala Suplai ( Product Driven )
15 Kurangnya Pemahaman terhadap Pasar ( Market Driven ) 16 Kendala Kelembagaan
16 Kurangnya Dukungan Kebijakan Pemerintah
17 Kesimpulan
18 Daftar Pustaka
19 Bagian Ketiga: Merencanakan Ekowisata 21
Tahapan Perencanaan
22 Tipologi Ecotourist 23
Arahan Pengembangan
25 Kesimpulan
27 Daftar Pustaka
27 Bagian Keempat: Peran Masyarakat Lokal 29
Pentingnya Peran Masyarakat Lokal
29 Cara Meningkatkan Peran Masyarakat Lokal
31 Kesimpulan
32 Daftar Pustaka
Bagian Kelima: Penilaian Suatu Kawasan Wisata 35 Kesimpulan
39 Daftar Pustaka
39 Bagian Keenam: Konsep Keberlanjutan dalam Pariwisata 40 Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma
40 Peran Ilmuwan Lingkungan
43 Kesimpulan
45 Daftar Pustaka
45 Bagian Ketujuh: Pengaruh Penelitian Ekowisata 47
Kenapa Peneliti Gagal Mempengaruhi?
47 Bagaimana Kerangka Interaksi dalam Mempengaruhi?
49 Bagaimana Meningkatkan Pengaruh Penelitian?
50 Kesimpulan
53 Daftar Pustaka
Bagian Kedelapan: Perubahan Paradigma Kepariwisata-
an di Indonesia 57 Kenapa Perlu Perubahan?
57 Kekuatan dan Peluang Ekowisata
58 Kelemahan dan Ancaman bagi Ekowisata
59 Analisis SWOT untuk Strategi Ekowisata
61 Kesimpulan
62 Daftar Pustaka
Biografi Penulis
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata
Tabel 4.1. Potensi Dampak Wisata dalam Suatu Masya- rakat
Tabel 8.1. Analisis SWOT Pengembangan Ekowisata
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Diagram Tahapan Proses Perencanaan dan Pengembangan Ekowisata
Gambar 3.2. Tipe-Tipe Wisatawan Berdasarkan Tingkat Minatnya terhadap Lingkungan
Gambar 5.1. Diagram Alir Model Pengembangan Eko- wisata
Gambar 6.1. Model Pembangunan Berkelanjutan dalam Kepariwisataan
BAGIAN PERTAMA PENGERTIAN EKOWISATA
“Pahamilah sesuatu dengan mem- bandingkannya secara setara ”
Pariwisata dapat dianggap sebagai sebuah sistem yang me- mungkinkan wisatawan menikmati objek dan daya tarik wisata (ODTW) pada suatu wilayah. Sebagai sebuah sistem, pariwisata terdiri atas elemen-elemen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya secara terorganisir. Karena pariwisata merupakan bentuk perjalanan, maka tidak mungkin wisatawan dapat menik- mati ODTW tanpa pelayanan dari biro perjalanan. Karena pari- wisata juga untuk mendapatkan pengalaman, tidak mungkin wi- satawan mencapai kepuasan tanpa adanya profesionalitas penge- lola ODTW, dan begitulah seterusnya.
Namun demikian, anda mungkin pernah melihat kawasan wisata yang kotor akibat sampah yang dibuang secara sem- barangan, tindakan merusak sumber daya alam dan lingkungan, munculnya perilaku menyimpang dari norma-norma dan nilai- nilai universal, dan sebagainya. Akibat, paradigma pariwisata pun berubah dari pariwisata lama yang bersifat massal ( mass tourism ) ke pariwisata baru yang ramah lingkungan, dan ekowi- sata adalah satu diantaranya.
Tapi anda tidak boleh keliru, karena tidak semua wisata bentuk baru tersebut dapat dianggap sebagai ekowisata. Anda harus memahami prinsip-prinsip kunci yang menyusun suatu pemaknaan ekowisata itu sendiri. Ada beberapa perspektif da- lam mendefinisikan ekowisata, dan hal tersebut akan dijelaskan berikut ini.
Perspektif Perjalanan ke Kawasan Alami
Sekurang-kurangnya ada tiga pengertian ekowisata yang dirumuskan dalam konteks perjalanan ke kawasan alami seperti dirangkum oleh Drumm dan Moore (2005:15) dan Wood (2002: 9), sebagai berikut:
1. Definisi yang pertama kali diterima secara luas adalah defini- si yang diberikan oleh The International Ecotourism Society pada tahun 1990, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab ke kawasan alami untuk mengkonservasi lingkungan dan
memperbaiki kesejahteraan masyarakat lokal”
2. Martha Honey pada tahun 1999 juga mengusulkan pengertian yang lebih detail, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan ke kawasan rentan, belum terjamah, dan dilindungi namun berdampak ren-
dah dan skala kecil. Ekowisata mendidik wisatawan, menyediakan dana untuk konservasi, memberikan man- faat langsung bagi pembangunan ekonomi dan pember- dayaan masyarakat lokal, dan mengedepankan respek
terhadap perbedaan budaya dan hak azasi manusia”
3. IUCN pada tahun 1996 memberikan pengertian yang diadopsi oleh banyak organisasi, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan bertang gung jawab se- cara lingkungan dan kunjungan ke kawasan alami, da-
lam rangka menikmati dan menghargai alam (serta se- mua ciri-ciri budaya masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi, memiliki dampak kecil dan mendorong pelibatan sosial ekonomi masyarakat lokal
secara aktif sebagai penerima manfaat”
Perspektif Bentuk Wisata
David Bruce Weaver, seorang pengajar pada Fakultas Ma- najemen Pariwisata dan Perhotelan Universitas Griffith mende- finisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata, sebagai beri- kut:
“Ekowisata adalah suatu bentuk wisata berbasis alam yang berupaya melestarikannya secara ekologis, sosial budaya, dan ekonomi dengan menyediakan kesempatan penghargaan dan pembelajaran tentang lingkungan alami atau unsur- unsur spesifik lainnya” (seperti ditulis dalam Weaver 2001:105).
“Ekowisata adalah bentuk wisata yang mengedepankan pengalaman pembelajaran dan penghargaan terhadap
lingkungan alami, atau beberapa komponennya, dalam konteks budaya yang berkaitan dengannya. Ekowisata memiliki keunggulan (dalam praktek terbaiknya) dalam kelestarian lingkungan dan sosial budaya, terutama dalam meningkatkan basis sumber daya alam dan budaya dari
destinasi dan mempromosikan pertumbuhan” (seperti di-
tulis Weaver (2002) dalam Dowling dan Fennell 2003:3).
Perspektif Konsep dan Implementasi yang Berbeda
Ekowisata menjelma menjadi sebuah konsep dan imple- mentasi yang berbeda dengan bentuk wisata lainnya. Ada bebe- rapa pengertian yang menegaskan perbedaan tersebut, seperti yang ditulis oleh Ryel dan Grasse (1991:164) sebagai berikut:
“Ekowisata sebagai perjalanan penuh tujuan untuk men - ciptakan suatu pemahaman sejarah budaya dan alam, de- “Ekowisata sebagai perjalanan penuh tujuan untuk men - ciptakan suatu pemahaman sejarah budaya dan alam, de-
Western (1993:8) juga mencoba menegaskan konsep dan implementasi ekowisata sebagaimana telah ditulisnya sebagai berikut:
“Ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memu - askan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,
kebudayaan, dan keindahan”
Kesimpulan
Jika Dowling dan Fennell (2003:3) menyebutkan bahwa lebih dari 80 definisi ekowisata ditemukan dalam berbagai lite- ratur tentang ekowisata, maka anda berpotensi mengalami pe- nyimpangan dalam memaknai ekowisata. Oleh karena itu, ber- pikir kritis adalah salah satu langkah tepat untuk memaknai se- suatu sesuai perspektif yang menyertainya.
Pengertian yang disampaikan dalam bagian pertama ini merupakan beberapa pengertian yang dapat kita kelompokkan dalam perspektif yang berbeda. Tentunya, anda akan lebih me- mahami pengertian ekowisata bila anda dengan tekun membaca berbagai pengertian yang sejawat diantara banyak pengertian yang ada.
Daftar Pustaka
Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Ecotou- rism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Planning . Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.
Ryel R dan Grasse T. 1999. Marketing Tourism: Attracting the Elusive Ecotourist. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment . Washington. Island Press. Hal 164-186.
Western D. 1993. Memberikan Batasan tentang Ekoturisme. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekotu- risme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terje- mahan) . Jakarta. Private Agencies Collaborating Toge- ther (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALA- MI). Hal 15-33.
Weaver DB. 2001. Ecotourism as mass tourism: Contradiction or reality? Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly . 42(2):104-112.
Wood ME. 2002. Ecotourism: Principles, Practices, and Poli- cies for Sustainability . Paris. United Nation Environment Programme.
BAGIAN KEDUA FAKTA EKOWISATA DI INDONESIA
“Setiap masalah berawal dari kelemahan kita sendiri”
Perjalanan dan wisata telah menjadi industri yang tumbuh sangat pesat dan sumber utama pendapatan bagi banyak negara berkembang (Wood 2002:7), termasuk di Indonesia. Berda- sarkan data BPS (2013:111), jumlah kunjungan wisatawan man- canegara ke Indonesia meningkat dari ± 6,3 juta wisatawan pada tahun 2009 menjadi ± 8 juta wisatawan pada tahun 2012. Namun demikian, World Economic Forum (WEF) menilai in- deks daya saing kepariwisataan Indonesia masih berada di ba- wah rata-rata indeks dunia dan masih kalah dengan negara- negara kompetitor di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malay- sia, dan Thailand (Ditjen PDP 2012:11).
Sebenarnya, Indonesia memiliki banyak objek dan daya tarik wisata (ODTW) yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan nasional, kesejahteraan masyarakat, dan upaya kon- servasi melalui pengembangan ekowisata. Buckley (1994) da- lam Dowling dan Fennell (2003:3) serta Roxana (2012:219) me- nyebutkan bahwa pada prinsipnya ekowisata peduli pada ke- alamian ODTW, etika konservasi, pendidikan, dan keberlan- jutan. Tapi pada kenyataannya, pariwisata massal ( mass tou- rism ) yang terbukti telah menyebabkan kerusakan lingkungan masih mendominasi praktek pengembangan pariwisata pada ba- nyak daerah di Indonesia.
Penyebab kurang tergalinya dan terkelolanya objek ekowi- sata dapat dilihat dalam konteks sistem kepariwisataan itu sen- diri, yaitu adanya kendala pada sisi suplai ( product driven ), ku- rangnya pemahaman terhadap pasar ( market driven ), banyaknya kendala dalam kelembagaan, dan kurangnya dukungan kebija- kan. Secara rinci, kendala dan keterbatasan yang dihadapi dije- laskan dalam bagian kedua ini.
Kendala Suplai (Product Driven)
Indonesia memiliki ODTW dengan keunikan flora dan fauna (biodiversitas) sebagaimana ditemui di kawasan cagar alam, cagar biosfir, kawasan lindung, taman nasional, serta eko- sistem alami dan buatan lainnya dengan keindahan lanskap yang menakjubkan. Indonesia juga memiliki ragam warisan budaya dan pola kehidupan sosial pedesaan dan perkotaan yang me- ngandung makna pembelajaran dan dapat meningkatkan penga- laman wisatawan dalam berbagai aspek. Kondisi ODTW terse- but dapat menjadi penarik ( pull factor ) dan dapat juga menjadi alasan wisatawan tidak berkunjung.
Alasan aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur adalah faktor penentu berkembangnya suatu destinasi wisata. Sebagian besar ODTW yang kita miliki sangat susah diakses karena tidak adanya infrastruktur yang mendukung seperti jalur transportasi, sarana kebersihan, layanan kesehatan, layanan informasi, dan sebagainya. Sebagian lainnya memang sudah dapat diakses tapi dengan kualitas infrastruktur yang tidak memadai, seperti sarana kesehatan dan kebersihan. Ditjen PDP (2012:53) mengakui bah- wa rendahnya daya saing kepariwisataan Indonesia karena peni- Alasan aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur adalah faktor penentu berkembangnya suatu destinasi wisata. Sebagian besar ODTW yang kita miliki sangat susah diakses karena tidak adanya infrastruktur yang mendukung seperti jalur transportasi, sarana kebersihan, layanan kesehatan, layanan informasi, dan sebagainya. Sebagian lainnya memang sudah dapat diakses tapi dengan kualitas infrastruktur yang tidak memadai, seperti sarana kesehatan dan kebersihan. Ditjen PDP (2012:53) mengakui bah- wa rendahnya daya saing kepariwisataan Indonesia karena peni-
Kurangnya Pemahaman terhadap Pasar (Market Driven)
Ekowisata merupakan tipe pariwisata dengan segmen pa- sar yang memiliki karakteristik spesifik, baik secara demografis, psikografis, maupun geografis. Ryel dan Grasse (1991:171-172) menjelaskan bahwa segmen pasar ekowisata adalah wisatawan yang rata-rata berumur 45-65 tahun, sedangkan Whelan (1991:
5) menyebutkan rata-rata umur ecotourists antara 31-50 tahun dan pada umumnya berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Jepang. Kisaran segmen pasar yang beragam menyebabkan pe- laku wisata (terutama pengusaha wisata) harus mengenal target wisatawan dengan baik.
Pelaku wisata Indonesia masih kurang memahami target pasar ekowisata. Pemahaman yang kurang baik terhadap wisa- tawan menyebabkan diversifikasi atraksi wisata kurang beragam (paket program yang cenderung monoton) dan tawaran infra- struktur pendukung yang kurang memuaskan wisatawan itu sen- diri. Pemerintah, pengusaha wisata, dan masyarakat lokal se- ringkali terjebak pada konsep pariwisata massal sehingga meng- abaikan sejumlah atraksi yang seharusnya dapat dikembangkan.
Kendala Kelembagaan
Kapasitas kelembagaan yang rendah merupakan faktor penghambat perkembangan ekowisata di Indonesia dan terjadi hampir pada seluruh level stakeholder penyedia jasa pariwisata itu sendiri (unsur pemerintah, pengusaha, dan masyarakat). Ka- Kapasitas kelembagaan yang rendah merupakan faktor penghambat perkembangan ekowisata di Indonesia dan terjadi hampir pada seluruh level stakeholder penyedia jasa pariwisata itu sendiri (unsur pemerintah, pengusaha, dan masyarakat). Ka-
Wang (2010:262) menyebutkan bahwa ekowisata yang berhasil tergantung pada kualitas penyedia jasa wisata (termasuk perencana, pengembang, operator, dan pengelola). Drumm dan Moore (2005:23) juga telah menggambarkan perlunya kemitraan antara pemerintah, industri pariwisata, masyarakat lokal, pen- yandang dana, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan wi- satawan untuk mencapai keberhasilan ekowisata. Untuk kasus Indonesia, masalah kualitas aparatur pemerintah dan masyarakat serta jejaring dan kemitraan dalam pengembangan ekowisata memang masih belum maksimal. Menurut Machnik (2013:93), kekurangan staf yang berkualitas pada kelembagaan lokal dapat menghambat pengembangan ekowisata dan upaya pelestarian sumber daya alam.
Kurangnya Dukungan Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah seharusnya menjadi suatu faktor pendorong ( push factor ) bagi pengembangan atraksi ekowisata. Fonseca (2012:5) menyatakan bahwa suatu aktivitas yang tidak mendapat dukungan pemerintah atau peraturan yang adil dapat menenggelamkan potensi sumber daya alam untuk dikembang- kan menjadi kawasan ekowisata. Bila kita memperhatikan kem- bali Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) tahun 2010-2025 sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011, paradigma ekowi- sata dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia belum jelas.
Dalam prakteknya, pemerintah (baik pusat dan daerah) lebih memberikan ruang yang dominan dalam pengembangan wisata massal (seperti terlihat pada kebijakan anggarannya). Kelemahan pemahaman terhadap konsep ekowisata dapat men- jadi penghambat, namun Magio et al. (2013:485) menegaskan bahwa keberhasilan pengembangan ekowisata juga ditentukan oleh tujuan pengembangan, pilihan alternatif wisata, dan pening- katan efektifitas kelembagaan yang biasanya dapat digunakan sebagai ruang kebijakan ( policy space ) mendorong pengem- bangan ekowisata. Strategi pemasaran wisata di Indonesia juga belum mampu menggali segmen pasar ( niche market ) yang po- tensial untuk pengembangan ekowisata dan wisata minat khusus lainnya.
Kesimpulan
Empat kendala atau keterbatasan dalam pengembangan ekowisata di Indonesia merupakan beberapa fakta yang dihadapi oleh berbagai stakeholder . Masalahnya lebih banyak berada pa-
da kapasitas pelaku pariwisata itu sendiri. Kita punya sesuatu yang bisa dijual, tapi kita tidak punya minimal satu dari tiga hal, yaitu menangkap kesempatan, menginisiasi kemauan, dan me- ningkatkan kemampuan.
Peran pemerintah sangat penting dalam mendorong pe- ngembangan ekowisata. Hal-hal pokok yang harus dimainkan adalah benar dalam menetapkan tujuan, bertanggung jawab de- ngan segala resiko dan dampak, cerdas dalam membuat strategi Peran pemerintah sangat penting dalam mendorong pe- ngembangan ekowisata. Hal-hal pokok yang harus dimainkan adalah benar dalam menetapkan tujuan, bertanggung jawab de- ngan segala resiko dan dampak, cerdas dalam membuat strategi
Daftar Pustaka
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2013 . Jakarta. Badan Pusat Statistik.
[Ditjen PDP] Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata. 2012. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata (PDP) 2012-2014 . Jakarta. Kementerian Pariwisata dan Ekono- mi Kreatif.
Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Ecotourism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Plan- ning . Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.
Drumm A dan Moore A. 2005. Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers. Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edi- tion) . Virginia. The Nature Conservancy.
Fonseca FG. 2012. Challenges and opportunities in the world of tourism from the point of view of ecotourism. Higher Learning Research Communications . 2(4):5-22.
Machnik A. 2013. Nature-based tourism as an introduction to ecotourism experience: A new approach. Journal of Tou- rism Challenges and Trends . VI(1):75-96.
Magio KO, Velarde MV, Santillán MAN, Rios CAG. 2013. Ecotourism in developing countries: A critical analysis of the promise, the reality and the future. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS) . 4(5):481-486.
Roxana DM. 2012. Considerations about ecotourism and nature-based tourism: Realities and perspectives. Interna- tional Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences . 1(5):215-221.
Ryel R dan Grasse T. 1999. Marketing Tourism: Attracting the Elusive Ecotourist. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment . Washington. Island Press. Hal 164-186.
Wang X. 2010. Critical aspects of sustainable development in tourism: Advanced ecotourism education. Journal of Sus- tainable Development . 3(2):261-263.
Whelan T. 1991. Ecotourism and Its Role in Sustainable Deve- lopment. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment . Washington. Island Press. Hal 3-22.
Wood ME. 2002. Ecotourism: Principles, Practices, and Poli- cies for Sustainability . Paris. United Nation Environment Programme.
BAGIAN KETIGA MERENCANAKAN EKOWISATA
“Merencanakan dapat menjadi awal menggagalkan ”
Karena tidak ada definisi ekowisata yang definitif, banyak muncul perbedaan pendapat dalam menentukan ciri-ciri ecotou- rists (Holden 2000:196). Pengertian ekowisata di Indonesia dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Da- erah, yaitu “ Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah
yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidi- kan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha -usaha konser- vasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masya - rakat lokal ”.
Berdasarkan pengertian tersebut, ekowisata merupakan bentuk wisata yang harus mengkombinasikan hal-hal sebagai berikut: (1) perjalanan ke suatu kawasan (seperti hutan alam, goa, kehidupan bawah laut, kehidupan masyarakat hukum adat, kehidupan perkotaan, dan sebagainya), (2) aktivitas pembela- jaran ( learning ) dalam rangka meningkatkan pengalaman wisa- tawan, (3) menggalakkan upaya konservasi flora, fauna, dan bu- daya, serta (4) mengembangkan kepedulian dan kapasitas masyarakat lokal. Dengan demikian, ecotourist dapat dibedakan menurut tujuan ODTW yang dipilihnya, jenis pengalaman yang diinginkannya, tingkat perhatian konservasi sumber daya alam- nya, dan tingkat partisipasi masyarakat yang diharapkannya.
Tahapan Perencanaan
Gambar 3.1 memberikan deskripsi proses perencanaan ka- wasan ekowisata untuk menjawab kebutuhan kawasan itu sen- diri. Jika suatu kawasan baru teridentifikasi sebagai kawasan ekowisata yang potensial, maka perlu dilakukan penilaian ka- wasan (baik sisi produk maupun pasarnya) untuk menentukan rencana pengelolaan kawasan dan rencana pengembangan usaha ekowisata. Jika kawasan tersebut telah berkembang dan sedang menghadapi ancaman kerusakan, maka perlu didiagnosa penye- babnya sebelum menentukan rencana pengembangan selan- jutnya. Penyusunan rencana harus memperhatikan 3 (tiga) tuju- an pengembangan ekowisata yang dijelaskan Drumm dan Moore (2005:91), yaitu (1) menghindari ancaman terhadap target kon- servasi, (2) mengalokasikan pendapatan untuk konservasi, dan (3) mengoptimalkan manfaat bagi masyarakat lokal.
Pengembangan ekowisata juga harus mampu mening- katkan pengalaman wisatawan itu sendiri dengan memper- hatikan tingkat minatnya terhadap lingkungan. Pengetahuan ter- hadap jenis pengalaman yang dibutuhkan wisatawan dapat men- justifikasi terpenuhinya kebutuhan pengelolaan kawasan secara maksimal dan penentuan paket wisata yang harus diciptakan.
Mackay (1994) dalam Holden (2000:196) membedakan ecotourists dengan 3 istilah, yaitu The little “E”, The big “E”, dan soft adventurer . The little “E” dicirikan dengan keingin- tahuan bahwa fasilitas yang disediakan mengikuti standar-stan- dar lingkungan yang dapat diterima. The big “E” ingin menge- tahui daerah-daerah baru dan suka menerima akomodasi dan layanan yang ditawarkan masyarakat lokal atau berkemah di alam terbuka. Soft adventurer juga ingin mengunjungi alam ter- Mackay (1994) dalam Holden (2000:196) membedakan ecotourists dengan 3 istilah, yaitu The little “E”, The big “E”, dan soft adventurer . The little “E” dicirikan dengan keingin- tahuan bahwa fasilitas yang disediakan mengikuti standar-stan- dar lingkungan yang dapat diterima. The big “E” ingin menge- tahui daerah-daerah baru dan suka menerima akomodasi dan layanan yang ditawarkan masyarakat lokal atau berkemah di alam terbuka. Soft adventurer juga ingin mengunjungi alam ter-
Gambar 3.1. Diagram Tahapan Proses Perencanaan dan Pe- ngembangan Ekowisata (Drumm dan Moore 2005: 61)
Tipologi Ecotourists
Cleverdon (1999) dalam Holden (2000:196-197) juga memberikan gambaran tipologi wisatawan menurut tingkat Cleverdon (1999) dalam Holden (2000:196-197) juga memberikan gambaran tipologi wisatawan menurut tingkat
Gambar 3.2. Tipe-Tipe Wisatawan Berdasarkan Tingkat Mi- natnya terhadap Lingkungan (Cleverdon 1999 da- lam Holden 2000:197)
Arahan Pengembangan
Arahan pengembangan ekowisata untuk memenuhi kebutuhan kawasan juga dapat dirumuskan melalui elaborasi masing-masing komponen ekowisata. Menurut Wood (2002: 10), komponen ekowisata itu adalah: (1) kontribusi terhadap konservasi biodiversitas, (2) keberlanjutan kesejahteraan masya- rakat lokal, (3) mencakup interpretasi/pengalaman pembela- jaran, (4) melibatkan tindakan bertanggung jawab dari wisa- tawan dan industri pariwisata, (5) berkembangnya usaha skala kecil, (6) menggunakan sumber daya baru dan terbarukan, dan (7) fokus pada partisipasi masyarakat, kepemilikan, dan kesem- patan usaha, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Tabel 3.1 memberikan deskripsi arahan rencana untuk masing-masing komponen tersebut.
Keberhasilan program dan strategi yang disusun oleh pengelola destinasi wisata ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengajak tour operator agar peduli pada penyediaan biaya dan manfaat konservasi (Monteros 2002:1548) serta kepedulian akan peningkatan partisipasi masyarakat. Untuk mengurangi gap antara teori dan praktek, Li (2013:61) menilai bahwa promosi keberlanjutan ekowisata berdasarkan komunitas, sumber daya, dan ekonomi dapat mengurangi gap tersebut.
Hal yang juga penting dari Tabel 3.1 adalah penggunaan ecolabeling dan ecocertification , karena, menurut Piper dan Yeo (2011:291), ecolabeling dalam wisata merupakan bagian dari proses politik yang dapat menyamakan persepsi terhadap definisi, standar, dan program sertifikasi ekowisata. Pemasaran dan promosi juga dinilai penting karena perkembangan media Hal yang juga penting dari Tabel 3.1 adalah penggunaan ecolabeling dan ecocertification , karena, menurut Piper dan Yeo (2011:291), ecolabeling dalam wisata merupakan bagian dari proses politik yang dapat menyamakan persepsi terhadap definisi, standar, dan program sertifikasi ekowisata. Pemasaran dan promosi juga dinilai penting karena perkembangan media
Tabel 3.1. Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata
No. Komponen Ekowisata Beberapa Arahan Rencana
1. Kontribusi terhadap kon- Sharing biaya dan manfaat untuk upaya servasi biodiversitas
konservasi, ecolabeling, ecocertifica- tion , dan kampanye
2. Keberlanjutan Guide dari tenaga setempat, souvenir kesejahteraan masyarakat
lokal, akomodasi lokal, kegiatan yang lokal
meningkatkan length of stay, jaminan tenurial , perspektif gender, dan kapa- sitas pengetahuan/kearifan lokal
3. Mencakup Membuat jalur interpretasi, menyedia- interpretasi/pengalaman
kan sarana informasi, paket atraksi pembelajaran
yang beragam, inklusi dalam kegiatan alam terbuka dan sosial masyarakat, serta kepedulian terhadap kerentanan
4. Melibatkan tindakan ber- Wisata dalam bentuk kelompok kecil, tanggung jawab dari wisa-
evaluasi bersama, keterlibatan multi- tawan dan industri pari-
pihak, dan menghindari eksploitasi wisata
atraksi alam dan budaya yang rentan 5. Berkembangnya usaha
Membentuk kelompok usaha produktif, skala kecil
kemitraan usaha, dan jaringan pemasa- ran/promosi
6. Menggunakan sumber daya Penggunaan energi lokal, fasilitas yang baru dan terbarukan
ramah lingkungan, dan introduksi tek- nologi ramah lingkungan
7. Fokus pada partisipasi Menggunakan tenaga pendamping/ masyarakat, kepemilikan,
fasilitator, membentuk lembaga dan kesempatan usaha
multipihak, memberikan peluang sebagai tour operator dan pengelola kawasan, masyarakat sebagai agen perubahan, jaminan peran tokoh, dan keberpihakan politik
Kesimpulan
Secara prinsip, perencanaan ekowisata harus memperha- tikan konservasi sumber daya alam, menjamin pelibatan masya- rakat lokal, meningkatkan pengalaman, mencakup kegiatan- kegiatan yang bertanggung jawab, dan mendorong usaha skala kecil yang produktif. Perencanaan yang dilakukan harus kom- prehensif dan holistik dengan integrasi kompleksitas sistem pari- wisata itu sendiri.
Tujuan perencanaan ekowisata adalah untuk menjamin ke- mudahan pengorganisasian, efektifitas dan efisiensi pelaksa- naan, serta koreksi interaktif dalam pengendaliannya. Perencana ekowisata merupakan orang-orang yang mampu berpikir kritis dalam kompleksitas sistem yang dihadapinya untuk memenuhi prinsip-prinsip pengembangan ekowisata.
Daftar Pustaka
Drumm A dan Moore A. 2005. Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers. Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edition) . Virginia. The Nature Conservancy.
Holden A. 2000. Environment and Tourism . London. Rout- ledge.
Li J. 2013. Sustainable ecotourism established on local com- munities and its assessment system in Costa Rica. Journal of Environmental Protection . Hal 61-66.
Monteros RLD. 2002. Evaluating ecotourism in natural pro- tected areas of La Paz Bay, Baja California Sur, Me´xico:
Ecotourism or nature-based tourism? Biodiversity and Conservation . 11: 1539 –1550.
Ndahimana M, Musonera E, dan Weber M. 2013. Assessment of marketing strategies for ecotourism promotion: A case of RDB/tourism and conservation in Rwanda. Journal of Marketing Development and Competitiveness . 7(2):37-57.
Piper LA dan Yeo M. 2011. Ecolabels, ecocertification, and ecotourism. Sustainable Tourism: Socio-Cultural, Envi- ronmental and Economics Impact . Hal 279-294.
Wood ME. 2002. Ecotourism: Principles, Practices, and Policies for Sustainability . Paris. United Nation Envi- ronment Programme.
BAGIAN KEEMPAT PERAN MASYARAKAT LOKAL
“Partisipasi tanpa peran dan tanggungjawab adalah sia -sia ”
Pentingnya Peran Masyarakat Lokal
Wisata ramah lingkungan muncul pada saat wisata massal terbukti menyebabkan dampak negatif yang merusak. Mow- forth dan Munt (1998:95) menyebutkan bahwa dampak negatif tersebut meliputi: (1) degradasi lingkungan, sosial, dan budaya, (2) distribusi manfaat finansial yang tidak adil, (3) promosi peri- laku paternalistik, dan (4) penyebaran penyakit. Masyarakat lo- kal merupakan kelompok yang paling rentan mengalami dam- pak-dampak negatif tersebut. Tabel 4.1 memberikan gambaran potensi dampak pariwisata bagi masyarakat lokal dan kawasan wisata itu sendiri.
Drake (1991:132) menegaskan bahwa partisipasi masya- rakat lokal merupakan salah satu komponen berkelanjutan pada umumnya dan ekowisata pada khususnya. Dowling dan Fennell (2003:13) selanjutnya menjelaskan bahwa manfaat penting dari kebijakan dan perencanaan ekowisata adalah memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan lingkungan di sekitarnya. Hal tersebut meliputi pekerjaan baru, tambahan pendapatan, pasar bagi produk lokal, perbaikan infrastruktur, fasilitas dan layanan masyarakat, teknologi dan keahlian baru, peningkatan kepedulian budaya dan lingkungan, perlindungan dan konservasi, serta perbaikan pola penggunaan lahan.
Tabel 4.1. Potensi Dampak Wisata dalam Suatu Masyarakat (Drumm dan Moore 2005:42)
POSITIF NEGATIF (Dengan Partisipasi Masyarakat)
(Tanpa Partisipasi Masyarakat) No. Bagi
Bagi kawasan masyarakat
Bagi kawasan
Bagi
masyarakat 1. Pendapatan
Ancaman ber- Hilangnya Ketidaksesuaian berkelanjutan
kurang dan basis sumber pembangunan pembangunan
ekonomi ekonomi sesuai
daya alam
2. Perbaikan Ancaman Meningkatnya Perambahan, layanan
berkurang dan ketidakadilan penggunaan pembangunan
sumber daya se- ekonomi
ekonomi
cara berlebihan sesuai 3. Pemberdayaan
Ancaman Pengikisan Hilangnya budaya
berkurang dan
kearifan lokal pembangunan
nilai-nilai
budaya
ekonomi sesuai
Ekowisata sebagai inti wisata berkelanjutan, menurut Machnik (2013:94), juga dipahami sebagai bentuk paradigma pengelolaan wilayah secara mendalam dan hati-hati (terutama terhadap penduduk setempat, budaya, dan alam). Karena des- tinasi ekowisata pada umumnya berada pada daerah rentan dan tersebar pada wilayah pelosok, maka peranan partisipasi masya- rakat lokal menjadi sangat penting sekali, terutama pada wila- yah-wilayah terpencil dan kepulauan seperti yang diungkapkan oleh Fotiou et al. (2002:87).
Tetapi ada juga praktek kelola ekowisata yang gagal mem- perluas peran masyarakat lokal dalam proses pengembangan Tetapi ada juga praktek kelola ekowisata yang gagal mem- perluas peran masyarakat lokal dalam proses pengembangan
da pengunjung, (3) konservasi lingkungan, dan (4) memini- malkan kebocoran ekonomi.
Pentingya peran masyarakat lokal dalam wisata dan kaitannya dengan operator perjalanan juga telah dijelaskan oleh Self et al. (2010:122). Operator perjalanan harus mampu mem- berikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya kepada masyarakat lokal serta mendahulukan pelibatan masyarakat. Standar eko- wisata juga dirumuskan dalam konteks dampak yang minimum terhadap budaya masyarakat lokal serta rancangan atraksi dan akomodasi yang sesuai dengan kondisi setempat.
Cara Meningkatkan Peran Masyarakat Lokal
Ojong et al. (2013:280), jika ekowisata telah ditetapkan, merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) masyarakat lokal dalam zona ekowisata harus mendapatkan informasi yang benar tentang potensi dampak ekowisata, (2) stakeholders industri wisata harus menyediakan lingkungan yang kondusif untuk mendorong peran masyarakat lokal, dan (3) kekurangan penge- tahuan dan kepedulian masyarakat terhadap ekowisata diting- katkan melalui pendidikan komunitas. Dengan demikian, dalam konteks pelibatan masyarakat lokal, pendekatan pengembangan ekowisata merupakan suatu pendekatan partisipatif.
Apabila pengembangan ekowisata menggunakan pende- katan partisipatif, menurut Fandeli (2002:242), kesejahteraan masyarakat akan dapat ditingkatkan dan lingkungan dapat dipertahankan kualitasnya. Brandon (1993:157) mengemukakan
10 isu spesifik untuk menumbuhkembangkan partisipasi, yaitu peranan partisipasi lokal, pemberian penguasaan sebagai tujuan, partisipasi dalam siklus proyek, penciptaan pemegang saham, mengkaitkan keuntungan dengan pelestarian, menyebaratakan keuntungan, melibatkan pemimpin masyarakat, menggunakan agen-agen perubahan, memahami kondisi-kondisi spesifik, serta pengawasan dan penilaian dari kemajuan.
Karena masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam pengembangan ekowisata, perencanaan partisipasi masyarakat perlu dilakukan dengan baik sesuai dengan tahapan proses yang dapat menggali partisipasi masyarakat. Drake (1991:148-156) telah mengembangkan suatu model yang terdiri atas tahapan sebagai berikut: (1) menentukan peran partisipasi masyarakat dalam kegiatan, (2) memilih tim peneliti, (3) melakukan studi awal, (4) menentukan level partisipasi masyarakat, (5) menen- tukan mekanisme partisipasi yang tepat, (6) menginisiasi dialog dan penyuluhan, (7) mengambil keputusan secara kolektif, (8) membuat rencana aksi dan mekanisme implementasi, dan (9) monitoring dan evaluasi kegiatan.
Kesimpulan
Berbicara tentang ekowisata adalah salah satunya berbi- cara tentang masyarakat lokal sebagai subjek. Ekowisata tanpa partisipasi masyarakat lokal adalah sebuah kekeliruan. Parti- sipasi harus memberikan kesempatan, mendorong kemauan, dan Berbicara tentang ekowisata adalah salah satunya berbi- cara tentang masyarakat lokal sebagai subjek. Ekowisata tanpa partisipasi masyarakat lokal adalah sebuah kekeliruan. Parti- sipasi harus memberikan kesempatan, mendorong kemauan, dan
Ekowisata merupakan salah satu bentuk pembangunan yang bersifat partisipatif, terutama dari masyarakat lokal. Akan tetapi, keberhasilan partisipasi tergantung pada tujuan dan ideologi dari masing-masing stakeholder (Mohan dan Stokke 2000:263). Peran pemerintah untuk memastikan partisipasi ma- syarakat lokal merupakan peran yang strategis untuk keber- lanjutan pariwisata.
Daftar Pustaka
Brandon K. 1993. Langkah-Langkah Dasar untuk Mendorong Partisipasi Lokal dalam Proyek-Proyek Wisata Alam. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terjemahan) . Jakarta. Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI). Hal 155- 175.
Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Eco- tourism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Planning . Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.
Drake SP. 1991. Local Participation in Ecotourism Projects. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment . Washington. Island Press. Hal 132- 163.
Drumm A dan Moore A. 2005. Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers. Volume
I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edi- tion) . Virginia. The Nature Conservancy.
Fandeli C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam . Yogya-
karta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fotiou S, Buhalis D, dan Vereczi G. 2002. Sustainable
development of ecotourism in small islands developing states (SIDS) and other small islands. Tourism and Hospitality Research . 4(1):79-88.
Hill JL dan Hill RA. 2011. Ecotourism in Amazonian Peru: Uniting tourism, conservation and community develop- ment. Geography . 96(2):75-85
Ling CY, Pleumarom A, dan Raman M. 2001. Cancel the 'Year of Ecotourism'. Earth Island Journal . 16(3):47
Machnik A. 2013. Nature-based tourism as an introduction to ecotourism experience: A new approach. Journal of Tourism Challenges and Trends . VI(1):75-96.
Mohan G dan Stokke K. 2000. Participatory development and empowerment: The dangers of localism. Third World Quarterly . 21(2):247 –268.
Mowforth M dan Munt I. 1998 . Tourism and Sustainability:
New Tourism in the Third World . London. Routledge. Ojong FA, Eja EI, Undelikwo VA, dan Agbor EA. 2013.
Indigenous peoples’ perception of ecotourism in Cross River State, Nigeria. Part-I: Social Sciences and Huma- nities. Academic Research International . 4(1):275-281.
Self RM, Self DR, dan Bell-Haynes J. 2010. Marketing tourism in the Galapagos Islands: Ecotourism or greenwashing? The International Business & Economics Research Jour- nal . 9(6):111-125.
BAGIAN KELIMA PENILAIAN SUATU KAWASAN WISATA
“Sesuatu yang berjalan baik belum tentu tanpa kekurangan”
Pengembangan suatu kawasan menjadi suatu destinasi ekowisata diawali dengan menilai situasi dan potensi wisata saat ini. Boo (1993:15-33) menggunakan istilah diagnosa untuk mengetahui situasi dan potensi tersebut. Ada beberapa perta- nyaan yang biasa digunakan dalam diagnosa, antara lain: (1) ba- gaimana status sumber daya alam, (2) bagaimana tingkat per- mintaan dan perkembangan pariwisata, (3) siapa yang mendapat manfaat dari pariwisata, (4) apa saja biayanya, dan (5) apa saja potensi dari pengembangan pariwisata.
Siklus pengembangan ekowisata seperti Gambar 5.1 menjelaskan tahapan-tahapan dalam pengembangan suatu kawasan menjadi destinasi wisata. Diagnosa dilakukan terhadap kawasan itu sendiri ( product driven ) dan pasar wisata ( market driven ). Hasil diagnosa akan menentukan potensi suatu wilayah dan situasi pariwisata yang diinginkan serta dapat mengiden- tifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai situasi tersebut.
Ketika potensi kawasan sudah diketahui, maka selanjutnya dilakukan penilaian kesesuaian ( suitability ) dan daya dukung ( carrying capacity ) sebagai dasar penyusunan rencana pengem- bangan kawasan ekowisata. Bila hasil evaluasi terhadap imple- mentasi bernilai buruk maka perlu dilakukan kembali penilaian Ketika potensi kawasan sudah diketahui, maka selanjutnya dilakukan penilaian kesesuaian ( suitability ) dan daya dukung ( carrying capacity ) sebagai dasar penyusunan rencana pengem- bangan kawasan ekowisata. Bila hasil evaluasi terhadap imple- mentasi bernilai buruk maka perlu dilakukan kembali penilaian
Gambar 5.1. Diagram Alir Model Pengembangan Ekowisata
Untuk mengilustrasikan penilaian kesesuaian dan daya dukung (lihat Mowforth dan Munt 1998:107-108), kita anggap sedang menilai kawasan taman nasional. Penilaian kesesuaian dilakukan terhadap aspek pasar (wisatawan) dan produk (ka- wasan taman nasional itu sendiri). Secara umum, kawasan ini memiliki sejumlah atraksi alami (baik flora, fauna, maupun ke- indahan lanskap) yang membutuhkan jalur-jalur trekking. Ber- dasarkan data kelerengan/kemiringan topografi kawasan dan memperhatikan kriteria kesesuaian menurut US Bureau of Land Management (1985) dalam Fandeli (2002:158) diketahui kese- suaian kawasan untuk jalur trekking dapat dikatakan sesuai karena memiliki kemiringan 0-15 persen.
Asumsi yang digunakan adalah lebar jalur hanya 1 meter dengan ketentuan 1 orang wisatawan per meter persegi, wisa- tawan dalam bentuk kelompok yang tidak lebih dari 25 orang (tiap kelompok dengan satu orang guide ), jarak antar kelompok paling tidak sekitar 100 m, panjang jalur 1.1 km, rata-rata waktu yang dibutuhkan 1 jam, dan atraksi ini terbuka setiap hari selama 7 jam. Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat meng- hitung Physical Carrying Capacity (PCC), yang dihitung menu- rut ruang yang diperlukan untuk bergerak secara bebas yaitu:
PCC = panjang jalur x jumlah turis/m x lama atraksi
= 1,100 m x 1 turis/m x 7 jam/hari = 7,700 turis/hari = 7,700 turis/hari x 360 hari/tahun= 2,772,000 turis/tahun Kemampuan kawasan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain seperti curah hujan, kerentanan dari erosi, dan derajat kemiringan. Apabila kita mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka kita dapat menghitung Real Carrying Capacity (RCC), yang merupakan PCC yang terkoreksi dengan faktor-faktor yang lain seperti curah hujan, kerentanan dari erosi, dan derajat kemiringan. Apabila kita mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka kita dapat menghitung Real Carrying Capacity (RCC), yang merupakan PCC yang terkoreksi dengan faktor-faktor yang
RCC = PCC x (100-FP)/100 x (100-FE)/100 x (100-FS)/100 = 7,770 turis/hari x 0.9861 x 0.6172 x 0.6172 = 2,892 turis/hari = 2,892 turis/hari x 360 hari/tahun= 1,041,276 turis/tahun RCC juga dapat dikoreksi akibat perbedaan antara kapa-
sitas manajemen aktual dan kapasitas manajemen ideal (atau di- lambangkan dengan FM). Koreksi terhadap RCC ini disebut de- ngan Effective Carrying Capacity (ECC). Jika kapasitas mana- jemen aktual adalah 10 orang (staf administrasi, penjaga taman, dan guide ) dan kapasitas manajemen yang ideal adalah 39 orang, maka FM dan ECC dapat dihitung sebagai berikut:
FM = (39-10)/39 x 100 = 74.36 % ECC = RCC x (100-FM)/100
= 2,892 turis/hari x 0.2564 = 741.5 turis/hari = 741.5 turis/hari x 360 hari/tahun = 266,943 turis/tahun Dengan memperhatikan kembali Gambar 5.1, bila atraksi
yang dikembangkan bernilai buruk dari hasil evaluasi, maka koreksi dapat dilakukan terhadap perhitungan daya dukung atau kriteria kesesuaian, bahkan mendiagnosa kembali produk dan pasar wisata. Pengelola kawasan ekowisata yang baik akan selalu memperhatikan penilaian kesesuaian dan daya dukung.
Kesimpulan
Metode penilaian suatu kawasan wisata sudah semakin berkembang, baik kesesuaian maupun daya dukung. Setiap metode tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal yang terpenting anda pastikan adalah bahwa penggunaan metode dapat dilakukan sepanjang anda mengetahui dengan baik asumsi-asumsi yang digunakan dan kebutuhan-kebutuhan ka- wasan yang akan dikembangkan.
Daftar Pustaka
Boo E. 1993. Pelaksanaan Ekoturisme untuk Kawasan-Kawas- an yang Dilindungi. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terjemahan) . Jakarta. Private Agencies Colla- borating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indo- nesia (ALAMI). Hal 15-33.
Fandeli C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam . Yogya-
karta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Mowforth M dan Munt I. 1998 . Tourism and Sustainability:
New Tourism in the Third World . London. Routledge.
BAGIAN KEENAM KONSEP KEBERLANJUTAN DALAM PARIWISATA
“Lanjutkan usaha sampai tujuan yang tak berhingga ”
Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma