Membaca Sastra Mengalami Kehidupan Menci
MEMBACA SASTRA, MENGALAMI KEHIDUPAN, MENCIPTA DUNIA
Bramantio
Prolog
Masih segar di dalam ingatan saya, perjumpaan pertama saya dengan sastra modern
belasan tahun yang lalu. Pada suatu malam yang belum terlalu larut, ketika aroma
matahari masih menggantung di udara yang mulai memberat oleh penurunan suhu
meskipun hanya beberapa derajat, saya menerima sebuah buku dari orangtua saya.
Kalimat don’t judge the book by its cover sesungguhnya tidak pernah berlaku pada
saya, karena sampul adalah yang pertama‐tama menjerat mata untuk mendekat,
merangsang rasa ingin tahu, menggoda jemari untuk membuka halaman pertama
hingga lembar pamungkas menamatkan sebuah cerita sebentuk dunia. Dengan
sampulnya yang berwarna biru cerah, buku itu benar‐benar membuat saya tertarik,
dan beberapa saat kemudian saya tahu bahwa buku itu adalah sebuah novel: The Life
and Death of Superman. Ada pesona tersendiri yang dihadirkan novel itu, bukan
karena sampul biru cerah dan Superman‐nya, tetapi pada judul tentang kematian
Superman disertai gambar emblem S berwarna merah yang meleleh menyerupai
leleran darah. Malam itu saya bertekad menyelesaikan membaca sepenggal kehidupan
Superman yang tidak seperti yang saya ketahui sebelumnya. Malam itu saya seolah
mendapat kebebasan untuk melihat Superman dan tokoh‐tokoh lain di sekitarnya
tidak seperti sosok‐sosok yang sama yang pernah hadir di film layar lebar maupun
serial televisi. Hanya saja, ingatan tentang esok pagi harus pergi ke sekolah berhasil
menghentikan saya pada titik tertentu sehingga durasi tidur malam saya pun tidak
terpotong terlalu lama dan tidak menjadi alasan untuk bangun kesiangan. Sejak saat
itu pencarian saya pada buku‐buku serupa pun dimulai. Dengan bekal pengetahuan
yang masih begitu sedikit tentang sastra, termasuk nama‐nama pengarang, pencarian
saya sepenuhnya dipandu oleh impresi sampul depan, judul, dan penggalan cerita di
sampul belakang.
Cakrawala Pengetahuan dan Kerendahhatian
Pengalaman saya bersentuhan dengan sastra tentu juga dialami oleh para pembaca
sastra meskipun impresi dan sensasinya mungkin berbeda. Ada sesuatu yang hadir
1
setiap kali membaca sastra. Adakalanya serupa padang pasir tandus yang tidak
memberikan banyak kecuali panas menganga yang menghisap udara, di lain waktu
seperti permukaan air samudera yang tenang tetapi menyimpan jerat arus dan
monster mematikan di kedalamannya, dan tidak jarang bagaikan labirin yang
bagaimanapun menyesatkannya tetap memiliki pesona tidak tertahankan untuk
dimasuki, dijelajahi dalam gelap, hingga di ujung entah di mana ada sebentuk cahaya
manis atau Minotaur pemangsa segala yang hidup. Sastra memberi peluang bagi
pembacanya untuk menyaksikan peristiwa demi peristiwa melalui sudut pandang yang
mungkin tidak pernah dibayangkan, merasakan dan mengalami yang dirasakan dan
dialami oleh sosok‐sosok yang adakalanya hidup jauh di tanah seberang atau bahkan
berasal dari dunia yang tidak termaktub di dalam Atlas setebal apa pun terbitan kapan
pun, mempelajari sejarah dengan cara yang tidak ditawarkan oleh buku‐buku
pelajaran, mengenal teori‐teori spekulatif yang tetap berpijak pada perkembangan
ilmu pengetahuan di balik dinding laboratorium rahasia, menyelami kondisi kejiwaan
individu dan masyarakat pada suatu ruang dan waktu, menelusuri jejak evolusi
pemikiran dari masa ke masa, dan menjadi bagian dari sebuah kehidupan yang bukan
kehidupannya. Sejalan dengan hal itu, membaca sastra adalah semacam laku menahan
diri, melatih kesabaran, dan menjadi manusia yang rendah hati karena ketika
seseorang memutuskan untuk membaca sastra, ada kesepakatan tidak terucap lebih‐
lebih tertulis bahwa ia bersedia untuk terseret sedemikian rupa di dalam kelindan kata
dan menerima dengan lapang dada kebahagiaan surgawi, keharuan yang membiru,
kesenangan alakadarnya, goresan luka, kekecewaan mendalam, bahkan dendam
kesumat di akhir cerita.
Realitas, Imajinasi, Interpretasi
Banyak orang membaca sastra, mengetahui mana yang sastra dan mana yang bukan,
menjadikan sastra sebagai bagian hari‐harinya, dan sepenuhnya memahami eksistensi
sastra di dalam kehidupan. Meskipun demikian, hal yang berbeda akan terjadi ketika
pembicaraan mulai menginjak tentang apa itu sastra. Di salah satu sisi dunia,
fiksionalitas menjadi hal terpenting di dalam sastra. Di sisi yang berbeda, realitas dan
sejarahlah yang dianggap menjadi nafas utama sastra sehingga sastra adalah realitas
dan sejarah itu sendiri. Ada pula yang menyatakan bahwa sastra adalah tarik‐menarik
2
antara fakta dan fiksi. Bagi saya, sastra adalah sintesis realitas, imajinasi, dan
interpretasi. Semusykil apa pun dunia yang terdapat di dalam sastra, realitas tetap
menjadi dasarnya. Seorang pengarang dalam mencipta sastra tidaklah berbekal
kemelompongan. Meskipun tidak menulis tentang diri dan kehidupannya sendiri,
segenap pengetahuan dan pengalamannyalah yang memberikan sumbangan terbesar
di dalam proses penciptaannya. Pengalaman di sini tentu tidak hanya dipahami sebagai
pengalaman langsung, tetapi juga termasuk pengalaman baca dan pergaulannya
dengan orang‐orang di sekitar. Karena sastra bukan berita, realitas saja tidak cukup.
Imajinasi diperlukan dalam merekonstruksi realitas, bahkan dalam sastra beraliran
realisme pun imajinasi tetap memiliki peran besar. Dalam menulis sastra, pengarang
tidak mencipta ulang realitas secara utuh, ia hanya mencipta ulang realitas dari sudut
pandangnya. Pengarang mencipta sastra sebagai interpretasinya atas realitas. Oleh
karena itu, merupakan sebuah kewajaran apabila adakalnya pembaca memiliki
argumen yang berbeda dengan hal‐hal yang tersaji di dalam sastra, merupakan hal
yang biasa ketika pembaca menjumpai dunia yang hadir di dalam sastra sebagai dunia
yang lebih buruk atau lebih baik daripada dunia yang sebenarnya, sebuah dunia yang
dibuka oleh “pada suatu hari” dan ditutup dengan “berbahagia selama‐lamanya”, atau
bahkan sebuah dunia yang hanya bisa dibayangkan tetapi tidak untuk dijalani hingga
kapan pun.
Jurugambar dan Jurufoto
Sastra dan tulisan lain pada umumnya memiliki setidaknya dua metode dalam
pembentukannya. Metode pertama: katakanlah seorang jurugambar duduk di sebuah
kursi beroda lima lengkap dengan sandaran punggung dan tangan di sebuah studio
dengan sebatang pensil di satu tangan dan kertas gambar ditindih tangan yang lain di
atas meja berpenerang lampu yang cahaya putihnya lebih putih daripada susu. Dengan
pensil itu ia bisa membentuk apa pun yang ada di pikirannya ke dalam kertas, menarik
garis lurus untuk kemudian dibengkokkannya, membesarkan atau mengecilkan,
memberi isi dan hidup berdasarkan pengalamannya mengindera tanpa harus
menghadirkan secara langsung benda‐benda yang akan digambarnya ke hadapannya.
Ia memiliki kebebasan penuh dalam membentuk sebuah dunia yang diinginkannya. Ia
bisa saja membiarkan dunianya tetap dalam monokromatik hitam, kelabu, putih, atau
3
melapisinya dengan warna‐warni yang bisa jadi jauh berseberangan dengan warna‐
warni aslinya. Metode kedua: anggaplah seorang fotografer dengan kamera yang
mungkin lengkap dengan penyangga kaki tiganya terpancang di sebuah titik di muka
Bumi. Ia sebelumnya telah memilih objek yang tepat yang sekiranya memiliki potensi
untuk memuaskan hasratnya dalam menangkap momen, memerangkap benda‐benda,
dan mengabadikan kesementaraan dalam sebentuk materi bernama foto yang bisa
jadi hanya berukuran tak lebih dari luas telapak tangan atau panjang kali lebar
lapangan sepak bola. Fotografer ini nantinya bisa saja mengubah objek‐objek di dalam
foto hasil jepretannya menjadi sesuatu yang berbeda dari aslinya. Meskipun demikian,
tidak seperti jurugambar yang sejak awal memiliki kebebasan dalam berekspresi,
fotografer dengan sadar telah mengikatkan dirinya pada objek. Ia tidak akan
menghasilkan apa‐apa tanpa adanya objek yang mengada di hadapannya. Baik sebagai
jurugambar maupun fotografer, sastra secara tidak langsung membebankan semacam
hampir kewajiban bagi penulisnya untuk menjadi pengamat cermat atas hal‐hal yang
tertangkap secara gamblang oleh pancainderanya, yang bergejolak di bawah
permukaan raga berupa dinamika perasaannya, dan yang tidak kasat mata namun
teraba oleh nuraninya.
Kreativitas Berbahasa
Penceritaan. Kata itulah yang merealisasikan kata cerita. Cerita tidak akan sampai ke
pembaca tanpa ada penceritaan, tanpa ada yang menceritakan, jurucerita yang
mungkin luar biasa, mungkin biasa‐biasa saja, atau begitu buruknya hingga membuat
jenuh lalu mengantuk. Sebuah cerita yang sesungguhnya mengagumkan bisa jadi
membosankan ketika diceritakan dengan cara yang itu‐itu saja dan bertele‐tele.
Gagasan‐gagasan besar akan kehilangan artinya ketika sang empunya terlalu asyik
dengan dirinya sendiri, terus‐menerus menggali relung‐relung pikirannya yang
bercecabang jalin‐menjalin serupa labirin gelap pekat tanpa setitik terang yang hanya
ia yang tahu jalan keluarnya, mungkin juga masih ditambah dengan bahasa yang
belepotan, sehingga gagal berkomunikasi dengan para mitra tuturnya. Sebaliknya, hal‐
hal sederhana menjadi istimewa atau setidaknya menggugah ketika diceritakan
dengan sedemikian rupa, membawa udara yang meskipun tidak luar biasa
menyegarkan, cukup untuk memasok kehidupan pembacaan. Segala yang remeh‐
4
temeh, yang tadinya dianggap tidak bermakna karena telah begitu tidak berjarak, bisa
saja menjelma mencengangkan ketika jurucerita menghadirkannya dalam bentuk atau
wadah yang tidak biasa. Dengan kata lain, sastra adalah kreativitas berbahasa.
Kreativitas di sini pun tidak diartikan sebatas sebagai usaha menciptakan semacam
sirkus dengan bahasa akrobatik dan berbunga‐bunga di dalamnya, tetapi bagaimana
menghadirkan kembali begitu banyak hal melalui tenunan kata dari bahasa yang
perbendaharaannya terbatas dan tidak sekaya realitas. Bersastra berarti
mengeksplorasi kemungkinan berbahasa untuk mencapai bentukan‐bentukan estetis
yang menghasilkan efek‐efek tertentu pada pembaca. Eksplorasi yang demikian pun
pada perjalanannya dapat pula dipahami sebagai usaha merawat bahasa, memberi
kehidupan kedua bagi kata‐kata yang telah terasing atau dianggap mati, dan bahkan
menciptakan konstruksi‐konstruksi baru untuk memperkaya khazanah bahasa suatu
bangsa.
Menulis dapat berawal dari banyak hal: pengalaman pribadi atau orang lain, sebuah
pertanyaan tentang hal‐hal sederhana yang dekat dengan keseharian, rasa ingin tahu,
pembacaan atas buku‐buku, media audio visual, atau bahkan atas kehidupan itu
sendiri, dan gairah untuk menyingkap tabir yang menjadikan sejumlah hal serupa teka‐
teki silang sengkarut. Setiap lema atau entri pendek dalam sebuah kamus bahasa pun
dapat menjadi embrio sebuah tulisan. Masa lalu yang setia hadir menyesaki ingatan
juga merupakan materi yang sesungguhnya tidak pernah usang untuk ditulis ulang
selama disajikan dengan perspektif yang segar.
Hakikat menulis adalah menulis, sebuah tindak komunikasi melalui media berupa
aksara, penanda bebunyian, atau simbol‐simbol tertentu yang bisa bermakna tidak
sekadar satu. Jadi, yang penting menulis saja dulu dan tidak perlu terlalu merasa
terbebani oleh hal‐hal pascapenulisan. Sebuah kalimat hari ini memiliki kemungkinan
menjadi cikal‐bakal atau menjadi salah satu unsur pembangun sebuah tulisan yang
lebih besar pada suatu hari nanti. Berkaitan dengan hal itu, tradisi mencatat apa pun
menjadi penting dalam proses penulisan karena gagasan adakalanya serupa kelebat
bintang jatuh yang cemerlang, tetapi tidak membekaskan apa pun di langit ingatan
beberapa detik setelah kemunculannya.
5
Selama proses penulisan adakalanya seseorang menemui jalan buntu yang dikenal
dengan sebutan writer’s block. Meskipun demikian, bukan berarti tulisan tersebut
benar‐benar kehilangan peluangnya untuk terus tumbuh, lahir, dan melanjutkan hidup
di tengah‐tengah para pembacanya di kemudian hari. Seorang penulis, diakui atau
tidak, pada beberapa titik selama proses penulisannya memerlukan jeda untuk rehat
sejenak sekaligus membangun jarak dari tulisannya. Hal ini tidak sama dengan
tindakan melarikan diri, tetapi lebih pada semacam usaha untuk menyegarkan diri
sekaligus melihat dengan lebih menyeluruh hal‐hal yang telah ditulisnya. Di sisi lain,
seorang penulis pun semestinya menyadari bahwa ia tidak boleh terus‐menerus dalam
kondisi atau melakukan refreshing. Salah satu hal yang menjadikan seorang penulis
dapat mengondisikan dirinya produktif adalah dengan menetapkan deadline
penyelesaian tulisannya. Setiap akhir adalah sebuah awal yang baru. Ketika sebuah
tulisan berhasil diselesaikan, secara otomatis penulis pun akan memasuki sebuah
tahap “siap menulis” lagi dengan mengoptimalkan kembali kinerja pancaindera,
pikiran, dan kemampuan berbahasanya.
Nalar Sastra
Tulisan seimajinatif apa pun dan interpretasi atas sastra tidak semestinya mengabaikan
nalar. Nalar di sini tidak dalam pengertian masuk akal atau tidak masuk akal dalam
perspektif realitas, tetapi lebih pada kecermatan dalam pengolahan data,
kekonsistenan dalam berbahasa, dan keruntutan dalam menafsir. Di dalam sebuah
cerita, sebuah dunia, hal‐hal kecil dan sepele bisa jadi justru memiliki peran besar
dalam memperindah atau menghancurkan strukturnya. Lebih lanjut, sastra memang
memiliki ruang‐ruang terbuka untuk diisi oleh pembacanya, tetapi bukan berarti
pengisiannya boleh sesuka hati. Pengisian ruang‐ruang terbuka atau interpretasi sastra
harus tetap berdasar pada sastra, bukan pada keinginan dan harapan pembaca.
Hasilnya pun semestinya dapat dikembalikan kepada teks. Dengan begitu, menulis dan
membaca sastra tidaklah sesederhana yang mungkin selama ini dibayangkan oleh
sebagian orang. Menulis dan membaca sastra memerlukan kejernihan nalar atau
katakanlah latihan terus‐menerus untuk menjernihkan nalar.
6
Epilog
Sastra merupakan sebuah dunia yang diciptakan oleh pengarang untuk kemudian
diciptakan kembali oleh pembacanya. Senantiasa ada jarak yang kadang terbentang
begitu jauh antara yang diniatkan oleh pengarang dengan yang berhasil ditangkap dan
dipahami oleh pembaca karena masing‐masing menulis dan membaca dengan
pengalamannya yang tidak pernah sama persis. Bersastra menjadi sebuah laku
pengoptimalan berbahasa sekaligus penghormatan atas bahasa. Sastra memang tidak
bisa melakukan hal‐hal gigantik dan kasatmata untuk mengubah wajah dunia secara
material, tetapi sastra mampu memperluas cakrawala pengetahuan hingga ke sisi‐sisi
yang tidak terduga, menggerakkan pikiran untuk menelusuri riwayat segala sesuatu,
menghembuskan pertanyaan‐pertanyaan untuk direnungkan, memijarkan rasa yang
mungkin telah terpinggirkan oleh kehidupan industrial mekanik robotik, mewariskan
ingatan dari satu generasi ke generasi berikutnya berabad‐abad kemudian, dan dengan
caranya yang unik mengingatkan manusia pada kemanusiaannya. Dunia dalam sastra
adalah sebuah dunia alternatif yang memiliki potensi untuk membebaskan baik
pengarang maupun pembacanya.
7
Bramantio
Prolog
Masih segar di dalam ingatan saya, perjumpaan pertama saya dengan sastra modern
belasan tahun yang lalu. Pada suatu malam yang belum terlalu larut, ketika aroma
matahari masih menggantung di udara yang mulai memberat oleh penurunan suhu
meskipun hanya beberapa derajat, saya menerima sebuah buku dari orangtua saya.
Kalimat don’t judge the book by its cover sesungguhnya tidak pernah berlaku pada
saya, karena sampul adalah yang pertama‐tama menjerat mata untuk mendekat,
merangsang rasa ingin tahu, menggoda jemari untuk membuka halaman pertama
hingga lembar pamungkas menamatkan sebuah cerita sebentuk dunia. Dengan
sampulnya yang berwarna biru cerah, buku itu benar‐benar membuat saya tertarik,
dan beberapa saat kemudian saya tahu bahwa buku itu adalah sebuah novel: The Life
and Death of Superman. Ada pesona tersendiri yang dihadirkan novel itu, bukan
karena sampul biru cerah dan Superman‐nya, tetapi pada judul tentang kematian
Superman disertai gambar emblem S berwarna merah yang meleleh menyerupai
leleran darah. Malam itu saya bertekad menyelesaikan membaca sepenggal kehidupan
Superman yang tidak seperti yang saya ketahui sebelumnya. Malam itu saya seolah
mendapat kebebasan untuk melihat Superman dan tokoh‐tokoh lain di sekitarnya
tidak seperti sosok‐sosok yang sama yang pernah hadir di film layar lebar maupun
serial televisi. Hanya saja, ingatan tentang esok pagi harus pergi ke sekolah berhasil
menghentikan saya pada titik tertentu sehingga durasi tidur malam saya pun tidak
terpotong terlalu lama dan tidak menjadi alasan untuk bangun kesiangan. Sejak saat
itu pencarian saya pada buku‐buku serupa pun dimulai. Dengan bekal pengetahuan
yang masih begitu sedikit tentang sastra, termasuk nama‐nama pengarang, pencarian
saya sepenuhnya dipandu oleh impresi sampul depan, judul, dan penggalan cerita di
sampul belakang.
Cakrawala Pengetahuan dan Kerendahhatian
Pengalaman saya bersentuhan dengan sastra tentu juga dialami oleh para pembaca
sastra meskipun impresi dan sensasinya mungkin berbeda. Ada sesuatu yang hadir
1
setiap kali membaca sastra. Adakalanya serupa padang pasir tandus yang tidak
memberikan banyak kecuali panas menganga yang menghisap udara, di lain waktu
seperti permukaan air samudera yang tenang tetapi menyimpan jerat arus dan
monster mematikan di kedalamannya, dan tidak jarang bagaikan labirin yang
bagaimanapun menyesatkannya tetap memiliki pesona tidak tertahankan untuk
dimasuki, dijelajahi dalam gelap, hingga di ujung entah di mana ada sebentuk cahaya
manis atau Minotaur pemangsa segala yang hidup. Sastra memberi peluang bagi
pembacanya untuk menyaksikan peristiwa demi peristiwa melalui sudut pandang yang
mungkin tidak pernah dibayangkan, merasakan dan mengalami yang dirasakan dan
dialami oleh sosok‐sosok yang adakalanya hidup jauh di tanah seberang atau bahkan
berasal dari dunia yang tidak termaktub di dalam Atlas setebal apa pun terbitan kapan
pun, mempelajari sejarah dengan cara yang tidak ditawarkan oleh buku‐buku
pelajaran, mengenal teori‐teori spekulatif yang tetap berpijak pada perkembangan
ilmu pengetahuan di balik dinding laboratorium rahasia, menyelami kondisi kejiwaan
individu dan masyarakat pada suatu ruang dan waktu, menelusuri jejak evolusi
pemikiran dari masa ke masa, dan menjadi bagian dari sebuah kehidupan yang bukan
kehidupannya. Sejalan dengan hal itu, membaca sastra adalah semacam laku menahan
diri, melatih kesabaran, dan menjadi manusia yang rendah hati karena ketika
seseorang memutuskan untuk membaca sastra, ada kesepakatan tidak terucap lebih‐
lebih tertulis bahwa ia bersedia untuk terseret sedemikian rupa di dalam kelindan kata
dan menerima dengan lapang dada kebahagiaan surgawi, keharuan yang membiru,
kesenangan alakadarnya, goresan luka, kekecewaan mendalam, bahkan dendam
kesumat di akhir cerita.
Realitas, Imajinasi, Interpretasi
Banyak orang membaca sastra, mengetahui mana yang sastra dan mana yang bukan,
menjadikan sastra sebagai bagian hari‐harinya, dan sepenuhnya memahami eksistensi
sastra di dalam kehidupan. Meskipun demikian, hal yang berbeda akan terjadi ketika
pembicaraan mulai menginjak tentang apa itu sastra. Di salah satu sisi dunia,
fiksionalitas menjadi hal terpenting di dalam sastra. Di sisi yang berbeda, realitas dan
sejarahlah yang dianggap menjadi nafas utama sastra sehingga sastra adalah realitas
dan sejarah itu sendiri. Ada pula yang menyatakan bahwa sastra adalah tarik‐menarik
2
antara fakta dan fiksi. Bagi saya, sastra adalah sintesis realitas, imajinasi, dan
interpretasi. Semusykil apa pun dunia yang terdapat di dalam sastra, realitas tetap
menjadi dasarnya. Seorang pengarang dalam mencipta sastra tidaklah berbekal
kemelompongan. Meskipun tidak menulis tentang diri dan kehidupannya sendiri,
segenap pengetahuan dan pengalamannyalah yang memberikan sumbangan terbesar
di dalam proses penciptaannya. Pengalaman di sini tentu tidak hanya dipahami sebagai
pengalaman langsung, tetapi juga termasuk pengalaman baca dan pergaulannya
dengan orang‐orang di sekitar. Karena sastra bukan berita, realitas saja tidak cukup.
Imajinasi diperlukan dalam merekonstruksi realitas, bahkan dalam sastra beraliran
realisme pun imajinasi tetap memiliki peran besar. Dalam menulis sastra, pengarang
tidak mencipta ulang realitas secara utuh, ia hanya mencipta ulang realitas dari sudut
pandangnya. Pengarang mencipta sastra sebagai interpretasinya atas realitas. Oleh
karena itu, merupakan sebuah kewajaran apabila adakalnya pembaca memiliki
argumen yang berbeda dengan hal‐hal yang tersaji di dalam sastra, merupakan hal
yang biasa ketika pembaca menjumpai dunia yang hadir di dalam sastra sebagai dunia
yang lebih buruk atau lebih baik daripada dunia yang sebenarnya, sebuah dunia yang
dibuka oleh “pada suatu hari” dan ditutup dengan “berbahagia selama‐lamanya”, atau
bahkan sebuah dunia yang hanya bisa dibayangkan tetapi tidak untuk dijalani hingga
kapan pun.
Jurugambar dan Jurufoto
Sastra dan tulisan lain pada umumnya memiliki setidaknya dua metode dalam
pembentukannya. Metode pertama: katakanlah seorang jurugambar duduk di sebuah
kursi beroda lima lengkap dengan sandaran punggung dan tangan di sebuah studio
dengan sebatang pensil di satu tangan dan kertas gambar ditindih tangan yang lain di
atas meja berpenerang lampu yang cahaya putihnya lebih putih daripada susu. Dengan
pensil itu ia bisa membentuk apa pun yang ada di pikirannya ke dalam kertas, menarik
garis lurus untuk kemudian dibengkokkannya, membesarkan atau mengecilkan,
memberi isi dan hidup berdasarkan pengalamannya mengindera tanpa harus
menghadirkan secara langsung benda‐benda yang akan digambarnya ke hadapannya.
Ia memiliki kebebasan penuh dalam membentuk sebuah dunia yang diinginkannya. Ia
bisa saja membiarkan dunianya tetap dalam monokromatik hitam, kelabu, putih, atau
3
melapisinya dengan warna‐warni yang bisa jadi jauh berseberangan dengan warna‐
warni aslinya. Metode kedua: anggaplah seorang fotografer dengan kamera yang
mungkin lengkap dengan penyangga kaki tiganya terpancang di sebuah titik di muka
Bumi. Ia sebelumnya telah memilih objek yang tepat yang sekiranya memiliki potensi
untuk memuaskan hasratnya dalam menangkap momen, memerangkap benda‐benda,
dan mengabadikan kesementaraan dalam sebentuk materi bernama foto yang bisa
jadi hanya berukuran tak lebih dari luas telapak tangan atau panjang kali lebar
lapangan sepak bola. Fotografer ini nantinya bisa saja mengubah objek‐objek di dalam
foto hasil jepretannya menjadi sesuatu yang berbeda dari aslinya. Meskipun demikian,
tidak seperti jurugambar yang sejak awal memiliki kebebasan dalam berekspresi,
fotografer dengan sadar telah mengikatkan dirinya pada objek. Ia tidak akan
menghasilkan apa‐apa tanpa adanya objek yang mengada di hadapannya. Baik sebagai
jurugambar maupun fotografer, sastra secara tidak langsung membebankan semacam
hampir kewajiban bagi penulisnya untuk menjadi pengamat cermat atas hal‐hal yang
tertangkap secara gamblang oleh pancainderanya, yang bergejolak di bawah
permukaan raga berupa dinamika perasaannya, dan yang tidak kasat mata namun
teraba oleh nuraninya.
Kreativitas Berbahasa
Penceritaan. Kata itulah yang merealisasikan kata cerita. Cerita tidak akan sampai ke
pembaca tanpa ada penceritaan, tanpa ada yang menceritakan, jurucerita yang
mungkin luar biasa, mungkin biasa‐biasa saja, atau begitu buruknya hingga membuat
jenuh lalu mengantuk. Sebuah cerita yang sesungguhnya mengagumkan bisa jadi
membosankan ketika diceritakan dengan cara yang itu‐itu saja dan bertele‐tele.
Gagasan‐gagasan besar akan kehilangan artinya ketika sang empunya terlalu asyik
dengan dirinya sendiri, terus‐menerus menggali relung‐relung pikirannya yang
bercecabang jalin‐menjalin serupa labirin gelap pekat tanpa setitik terang yang hanya
ia yang tahu jalan keluarnya, mungkin juga masih ditambah dengan bahasa yang
belepotan, sehingga gagal berkomunikasi dengan para mitra tuturnya. Sebaliknya, hal‐
hal sederhana menjadi istimewa atau setidaknya menggugah ketika diceritakan
dengan sedemikian rupa, membawa udara yang meskipun tidak luar biasa
menyegarkan, cukup untuk memasok kehidupan pembacaan. Segala yang remeh‐
4
temeh, yang tadinya dianggap tidak bermakna karena telah begitu tidak berjarak, bisa
saja menjelma mencengangkan ketika jurucerita menghadirkannya dalam bentuk atau
wadah yang tidak biasa. Dengan kata lain, sastra adalah kreativitas berbahasa.
Kreativitas di sini pun tidak diartikan sebatas sebagai usaha menciptakan semacam
sirkus dengan bahasa akrobatik dan berbunga‐bunga di dalamnya, tetapi bagaimana
menghadirkan kembali begitu banyak hal melalui tenunan kata dari bahasa yang
perbendaharaannya terbatas dan tidak sekaya realitas. Bersastra berarti
mengeksplorasi kemungkinan berbahasa untuk mencapai bentukan‐bentukan estetis
yang menghasilkan efek‐efek tertentu pada pembaca. Eksplorasi yang demikian pun
pada perjalanannya dapat pula dipahami sebagai usaha merawat bahasa, memberi
kehidupan kedua bagi kata‐kata yang telah terasing atau dianggap mati, dan bahkan
menciptakan konstruksi‐konstruksi baru untuk memperkaya khazanah bahasa suatu
bangsa.
Menulis dapat berawal dari banyak hal: pengalaman pribadi atau orang lain, sebuah
pertanyaan tentang hal‐hal sederhana yang dekat dengan keseharian, rasa ingin tahu,
pembacaan atas buku‐buku, media audio visual, atau bahkan atas kehidupan itu
sendiri, dan gairah untuk menyingkap tabir yang menjadikan sejumlah hal serupa teka‐
teki silang sengkarut. Setiap lema atau entri pendek dalam sebuah kamus bahasa pun
dapat menjadi embrio sebuah tulisan. Masa lalu yang setia hadir menyesaki ingatan
juga merupakan materi yang sesungguhnya tidak pernah usang untuk ditulis ulang
selama disajikan dengan perspektif yang segar.
Hakikat menulis adalah menulis, sebuah tindak komunikasi melalui media berupa
aksara, penanda bebunyian, atau simbol‐simbol tertentu yang bisa bermakna tidak
sekadar satu. Jadi, yang penting menulis saja dulu dan tidak perlu terlalu merasa
terbebani oleh hal‐hal pascapenulisan. Sebuah kalimat hari ini memiliki kemungkinan
menjadi cikal‐bakal atau menjadi salah satu unsur pembangun sebuah tulisan yang
lebih besar pada suatu hari nanti. Berkaitan dengan hal itu, tradisi mencatat apa pun
menjadi penting dalam proses penulisan karena gagasan adakalanya serupa kelebat
bintang jatuh yang cemerlang, tetapi tidak membekaskan apa pun di langit ingatan
beberapa detik setelah kemunculannya.
5
Selama proses penulisan adakalanya seseorang menemui jalan buntu yang dikenal
dengan sebutan writer’s block. Meskipun demikian, bukan berarti tulisan tersebut
benar‐benar kehilangan peluangnya untuk terus tumbuh, lahir, dan melanjutkan hidup
di tengah‐tengah para pembacanya di kemudian hari. Seorang penulis, diakui atau
tidak, pada beberapa titik selama proses penulisannya memerlukan jeda untuk rehat
sejenak sekaligus membangun jarak dari tulisannya. Hal ini tidak sama dengan
tindakan melarikan diri, tetapi lebih pada semacam usaha untuk menyegarkan diri
sekaligus melihat dengan lebih menyeluruh hal‐hal yang telah ditulisnya. Di sisi lain,
seorang penulis pun semestinya menyadari bahwa ia tidak boleh terus‐menerus dalam
kondisi atau melakukan refreshing. Salah satu hal yang menjadikan seorang penulis
dapat mengondisikan dirinya produktif adalah dengan menetapkan deadline
penyelesaian tulisannya. Setiap akhir adalah sebuah awal yang baru. Ketika sebuah
tulisan berhasil diselesaikan, secara otomatis penulis pun akan memasuki sebuah
tahap “siap menulis” lagi dengan mengoptimalkan kembali kinerja pancaindera,
pikiran, dan kemampuan berbahasanya.
Nalar Sastra
Tulisan seimajinatif apa pun dan interpretasi atas sastra tidak semestinya mengabaikan
nalar. Nalar di sini tidak dalam pengertian masuk akal atau tidak masuk akal dalam
perspektif realitas, tetapi lebih pada kecermatan dalam pengolahan data,
kekonsistenan dalam berbahasa, dan keruntutan dalam menafsir. Di dalam sebuah
cerita, sebuah dunia, hal‐hal kecil dan sepele bisa jadi justru memiliki peran besar
dalam memperindah atau menghancurkan strukturnya. Lebih lanjut, sastra memang
memiliki ruang‐ruang terbuka untuk diisi oleh pembacanya, tetapi bukan berarti
pengisiannya boleh sesuka hati. Pengisian ruang‐ruang terbuka atau interpretasi sastra
harus tetap berdasar pada sastra, bukan pada keinginan dan harapan pembaca.
Hasilnya pun semestinya dapat dikembalikan kepada teks. Dengan begitu, menulis dan
membaca sastra tidaklah sesederhana yang mungkin selama ini dibayangkan oleh
sebagian orang. Menulis dan membaca sastra memerlukan kejernihan nalar atau
katakanlah latihan terus‐menerus untuk menjernihkan nalar.
6
Epilog
Sastra merupakan sebuah dunia yang diciptakan oleh pengarang untuk kemudian
diciptakan kembali oleh pembacanya. Senantiasa ada jarak yang kadang terbentang
begitu jauh antara yang diniatkan oleh pengarang dengan yang berhasil ditangkap dan
dipahami oleh pembaca karena masing‐masing menulis dan membaca dengan
pengalamannya yang tidak pernah sama persis. Bersastra menjadi sebuah laku
pengoptimalan berbahasa sekaligus penghormatan atas bahasa. Sastra memang tidak
bisa melakukan hal‐hal gigantik dan kasatmata untuk mengubah wajah dunia secara
material, tetapi sastra mampu memperluas cakrawala pengetahuan hingga ke sisi‐sisi
yang tidak terduga, menggerakkan pikiran untuk menelusuri riwayat segala sesuatu,
menghembuskan pertanyaan‐pertanyaan untuk direnungkan, memijarkan rasa yang
mungkin telah terpinggirkan oleh kehidupan industrial mekanik robotik, mewariskan
ingatan dari satu generasi ke generasi berikutnya berabad‐abad kemudian, dan dengan
caranya yang unik mengingatkan manusia pada kemanusiaannya. Dunia dalam sastra
adalah sebuah dunia alternatif yang memiliki potensi untuk membebaskan baik
pengarang maupun pembacanya.
7