Kesenian Islam di Pulau Jawa
Kesenian Islam di Pulau Jawa
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H
Kelompok 2
Anggota :
Anrio Imam Rafifqi
Daffa Pahlevi Pasha
Maria Namora Abigail
Muhamad Fakhri Athalla
Nadia Armelia Amanda
SMPN 154 JAKARTA
KELAS: 9E
1. Seni Musik
a. Karawitan
Istilah karawitan dikenal masyarakat Jawa sebagai terminologi musik yang memiliki
pengertian musik yang menggunakan perangkat gamelan slendro dan pelog. Dalam budaya
Jawa, karawitan ini dibedakan menjadi dua yaitu karawitan vokal dan karawitan yang
melibatkan gamelan kompit selendro dan pelog. Karawitan dalam bentuk vokal ini berbentuk
sekar macapat, sekar tengahan dan sekar ageng.
Dari sudut pandang agama diketahui hampir seluruh makna dalam macapat mengandung
amar ma’ruf nahi munkar. Isi macapat jelas tentang ajaran agama yang berisi ajaran moral
dan budi pekerti yang ideal. Dengan kandungan semacam ini, macapat disajikan untuk
disimak dan direnungkan oleh masyarakat.
Jenis lainnya yaitu karawitan yang menggunakan gamelan selendro dan pelog. Repertoarrepertoar lagunya dikenal dengan istilah gendhing. Gendhing pada mulanya digunakan dalam
berbagai peristiwa budaya. Ia juga merupakan properti berbagai upacara ritual kerajaan dan
sosial masyarakat Jawa.
b. Qasidah
Qasidah adalah
bentuk syair epik kesusastraan Arab yang
dinyanyikan.
Penyanyi
menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim.
Qasidah merupakan seni suara yang bernapaskan Islam, di mana lagu-lagunya banyak
mengandung unsur-unsur dakwah Islamiyah dan nasihat-nasihat baik sesuai ajaran Islam.
Biasanya lagu-lagu itu dinyanyikan dengan irama penuh kegembiraan yang hampir
menyerupai irama-irama Timur Tengah dengan diiringi rebana, yaitu sejenis alat tradisional
yang terbuat dari kayu, dibuat dalam bentuk lingkaran yang dilobangi pada bagian tengahnya
kemudian di tempat yang dilobangi itu di tempel kulit binatang yang telah dibersihkan bulubulunya.
c. Janengan
Janeng adalah sebuah kesenian tradisional yang berupa nyanyian sholawat dan diiringi
dengan musik tradisional. Alat musik yang digunakan berupa terbang (rebana dengan ukuran
diameter 50-100 cm ), kendang, calung, dan alat musik tradisional lainnya. Sholawat yang
dilatunkan berupa puji-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw, ada yang berbahasa
arab dan tak jarang pula menggunakan bahasa jawa.
Ciri khas dari Janengan adalah sholawat dilantunkan dengan suara “ngelik” (suara tinggi).
Biasanya pegelaran Janengan dibawakan dalam waktu semalam suntuk (dari pukul 10 malam
sampai pukul 3 dini hari). Biasanya para pemain Janengan memakan jahe, kencur, bawang
merah dan gula jawa agar tetap kuat mengeluarkan suara “ngelik” sepanjang malam.
Janengan adalan kebudayaan asli dari Penginyongan (Gagrak Banyumas/ngapak).
2. Seni Bangunan/Arsitektur
a. Masjid
Masjid merupakan seni arsitektur Islam yang paling menonjol. Masjid adalah tempat
peribadatan umat Islam. Berbeda dengan masjid-masjid yang ada sekarang, atap masjid
peninggalan sejarah biasanya beratap tumpang bersusun. Semakin ke atas atapnya makin
kecil. Jumlah atap tumpang itu biasanya ganjil, yaitu tiga atau lima. Atap yang paling atas
berbentuk limas. Di dalam masjid terdapat empat tiang utama yang menyangga atap tumpang.
Pada bagian barat masjid terdapat mihrab. Di sebelah kanan mihrab ada mimbar. Di halaman
masjid biasanya terdapat menara. Keberadaan menara tidak hanya untuk menambah
keindahan bangunan masjid. Fungsi menara adalah sebagai tempat muazin
mengumandangkan azan ketika tiba waktu salat. Sebelum azan dikumandangkan, dilakukan
pemukulan tabuh atau beduk.
b. Keraton
Keraton adalah daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat
tinggalnya (istana). Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana
penguasa di Jawa. Dalam Bahasa Jawa, kata karaton (ke-ratu-an) berasal dari kata dasar
ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam Bahasa Melayu;
datuk/datu.
Dalam Bahasa Jawa sendiri dikenal istilah kedaton yang memiliki akar kata dari datu, di
Keraton Surakarta istilah kedaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton
tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Masyarakat yang tinggal di dalam lingkungan keraton
pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan. Keraton merupakan bangunan yang bercorak
islam.
3. Seni Kaligrafi
Kaligrafi atau Khot adalah menulis indah dan disusun dalam aneka bentuk menarik dengan
menggunakan bahasa Arab. Dalam dunia Islam, kaligrafi terdiri atas petikan ayat-ayat suci Al
Qur’an. Bentuknya beraneka macam, dari yang sederhana, berbentuk tulisan mendatar,
sampai bentuk yang rumit seperti sebuah lingkaran, segitiga atau membentuk suatu bangun
tertentu seperti masjid.
Seni kaligrafi Islam berkembang pesat sebab agama Islam melarang melukis makhluk hidup
sehingga para pelukis Islam mencurahkan bakat lukisannya pada seni kaligrafi.
Beraneka ragam hias kaligrafi dapat kita temukan pada dinding masjid, keramik, keris, batu
nisan, dan berbagai hiasan di rumah-rumah. Batu nisan pertama yang ditemukan di Indonesia
adalah batu nisan pada makam Fatimah binti Maimun di Leran, Surabaya. Kaligrafi pada
gapura terdapat di gapura makam Sunan Bonang di Tuban, gapura makam raja-raja Mataram,
Demak, dan Gowa.
4. Tradisi Islam yang Bercorak Islam
a. Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid Nabi
Tradisi Sekaten dan grebeg Maulid Nabi sudah dilaksanakan sejak pertama penyebaran
agama Islam di Jawa. Penyebar Islam pertama seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga
yang mempergunakan instrument musik Jawa gemelan sebagai sarana untuk memikat
masyarakat agar menikmati pagelaran seni karawitan.
Untuk pagelaran tersebut mempergunakan dua perangkat gamelan yang memiliki suara
merdu, dinamakan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.
Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW atau Maulid Nabi yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal. Kata
sekaten berasal dari bahasa Arab yaitu syahadatain. Upacara ini dimulai dengan
membunyikan gamelan kraton bertalu-talu.
Suara gamelan tersebut secara filosofis berbunyi : ning, nong, neng, gung, ndang-ndang deng,
ndang-ndang dong. Oleh Sunan Bonang, komposisi suara gamelan tersebut diartikan : “ati
kang bening mesti oleh kenongan, hawa nafsu kudu meneng, ben agung, mula ndang deng =
masuk masjid, ndang-dang dong = biar faham (mudheng)”. Dahulu yang melakukan adalah
Sunan Kalijaga untuk berdakwah.
Pada umumnya masyarakat berpartisipasi ikut merayakan hari kelahiran Muhammad ini, dan
dipercaya akan memperoleh pahala dan dianugerahi awet muda. Setelah masyarakat datang
dan menonton, maka dimulai pembacaan basmalah dan ucapan syahadatain yang sekarang
disebut sekaten.
Ucapan syahadat sebagai pertanda taat kepada ajaran agama Islam. Setiap tanggal 5 bulan
Maulud, kedua perangkat gamelan tersebut yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu
dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dari bangsal Sri Mangantri ke bangsal Pancaniti,
dan sore harinya mulai dibunyikan antara pukul 23.00 sampai pukul 24.00 WIB.
Upacara sekaten merupakan upacara keagamaan yang diadakan di keraton Jogjakarta dan
keraton Surakarta secara bersamaan. Upacara ini menurut sejarahnya digunakan oleh
Hamengkubuwono I pendiri keraton jogjakarta untuk mengikuti kegiatan peringatan Maulud
dan memeluk agam Islam.
Tahapan pelaksanaan sekaten
Pada hari pertama upacara dimulai pada malam hari dan diiringi oleh barisan punggawa
keraton bersama-sama dengan dua set gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.
Iring-iringan ini dimulai dari pendapa Pancaniti menuju Masjid Agung di alun-alun dengan
dikawal oleh prajurit keraton.
Kyai Nogowilogo ditempatkan di sisi utara masjid Agung dan Kyai Guntur Madu di sisi
sebelah selatan masjid. Kedua gamelan ini akan dibunyikan setiap tanggal 11 bulan Maulud
selam 7 hari. Pada malam, hari terakhir akan dibawa pulang ke dalam keraton.
Acara puncak peringatan sekaten adalah Grebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12
Mulud jam 8.00 WIB dengan dikawal oleh 10 regu prajurit. Setelah grebeg Maulud selesai
dilanjutkan upacara Tumplak Wajik.
Tumplak Wajik adalah upacara pendahuluan Grebeg Mulud yang dilakukan di halaman istana
Magangan pada pukul 16.00 WIB. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan
menggunakan kentongan, lumpang untuk menumbuk padi dan semacamnya yang menandai
awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Maulud.
Grebeg Maulud adalah upacara mengarak sedekah raja yang berupa makanan dan buahbuahan dari kediaman raja ke Masjid Agung di depan keraton kemudian diberikan kepada
pengunjung atau rakyat. Upacara sekaten dan grebeg ini sering diselenggarakan di kota
Surakarta, Yogyakarta, Demak, dan Cirebon.
b. Selikuran
Selikuran berasal dari kata selikur yang dalam bahasa Indonesia berarti 21. Setiap pada
tanggal 21 Ramadhan di kota Surakarta dan Yogyakarta diadakan upacara Selikuran untuk
menyambut malam lailatul qodar dengan membuat makanan berupa nasi untuk dibagikan
kepada masyarakat.
c. Megengan / Dandangan
Acara megengan diselenggarakan di Semarang, bertujuan untuk menyambut bulan suci
Ramadhan yang ditandai dengan pemukulan bedug oleh bupati dan para rakyatnya sebagai
tanda jatuhnya tanggal 1 Ramadhan yaitu dimulainya bulan puasa serta melaksanakan
kegiatan bersih-bersih. Acara megengan juga dilaksanakan di Kudus dengan nama
dandangan.
d. Nyadran
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa
Tengah. Nyadran berasal daribahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran
adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam
bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah
suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan
puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Pelaksanaan
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan adalah:
Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa,
kemudian ditutup dengan makan bersama.
Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di
area makam.
Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan
Sya'ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih.
Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang akrab antara peziarah
dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa
untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal.
Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang
telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa
makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam
ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem,
dan lain sebagainya.
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H
Kelompok 2
Anggota :
Anrio Imam Rafifqi
Daffa Pahlevi Pasha
Maria Namora Abigail
Muhamad Fakhri Athalla
Nadia Armelia Amanda
SMPN 154 JAKARTA
KELAS: 9E
1. Seni Musik
a. Karawitan
Istilah karawitan dikenal masyarakat Jawa sebagai terminologi musik yang memiliki
pengertian musik yang menggunakan perangkat gamelan slendro dan pelog. Dalam budaya
Jawa, karawitan ini dibedakan menjadi dua yaitu karawitan vokal dan karawitan yang
melibatkan gamelan kompit selendro dan pelog. Karawitan dalam bentuk vokal ini berbentuk
sekar macapat, sekar tengahan dan sekar ageng.
Dari sudut pandang agama diketahui hampir seluruh makna dalam macapat mengandung
amar ma’ruf nahi munkar. Isi macapat jelas tentang ajaran agama yang berisi ajaran moral
dan budi pekerti yang ideal. Dengan kandungan semacam ini, macapat disajikan untuk
disimak dan direnungkan oleh masyarakat.
Jenis lainnya yaitu karawitan yang menggunakan gamelan selendro dan pelog. Repertoarrepertoar lagunya dikenal dengan istilah gendhing. Gendhing pada mulanya digunakan dalam
berbagai peristiwa budaya. Ia juga merupakan properti berbagai upacara ritual kerajaan dan
sosial masyarakat Jawa.
b. Qasidah
Qasidah adalah
bentuk syair epik kesusastraan Arab yang
dinyanyikan.
Penyanyi
menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim.
Qasidah merupakan seni suara yang bernapaskan Islam, di mana lagu-lagunya banyak
mengandung unsur-unsur dakwah Islamiyah dan nasihat-nasihat baik sesuai ajaran Islam.
Biasanya lagu-lagu itu dinyanyikan dengan irama penuh kegembiraan yang hampir
menyerupai irama-irama Timur Tengah dengan diiringi rebana, yaitu sejenis alat tradisional
yang terbuat dari kayu, dibuat dalam bentuk lingkaran yang dilobangi pada bagian tengahnya
kemudian di tempat yang dilobangi itu di tempel kulit binatang yang telah dibersihkan bulubulunya.
c. Janengan
Janeng adalah sebuah kesenian tradisional yang berupa nyanyian sholawat dan diiringi
dengan musik tradisional. Alat musik yang digunakan berupa terbang (rebana dengan ukuran
diameter 50-100 cm ), kendang, calung, dan alat musik tradisional lainnya. Sholawat yang
dilatunkan berupa puji-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw, ada yang berbahasa
arab dan tak jarang pula menggunakan bahasa jawa.
Ciri khas dari Janengan adalah sholawat dilantunkan dengan suara “ngelik” (suara tinggi).
Biasanya pegelaran Janengan dibawakan dalam waktu semalam suntuk (dari pukul 10 malam
sampai pukul 3 dini hari). Biasanya para pemain Janengan memakan jahe, kencur, bawang
merah dan gula jawa agar tetap kuat mengeluarkan suara “ngelik” sepanjang malam.
Janengan adalan kebudayaan asli dari Penginyongan (Gagrak Banyumas/ngapak).
2. Seni Bangunan/Arsitektur
a. Masjid
Masjid merupakan seni arsitektur Islam yang paling menonjol. Masjid adalah tempat
peribadatan umat Islam. Berbeda dengan masjid-masjid yang ada sekarang, atap masjid
peninggalan sejarah biasanya beratap tumpang bersusun. Semakin ke atas atapnya makin
kecil. Jumlah atap tumpang itu biasanya ganjil, yaitu tiga atau lima. Atap yang paling atas
berbentuk limas. Di dalam masjid terdapat empat tiang utama yang menyangga atap tumpang.
Pada bagian barat masjid terdapat mihrab. Di sebelah kanan mihrab ada mimbar. Di halaman
masjid biasanya terdapat menara. Keberadaan menara tidak hanya untuk menambah
keindahan bangunan masjid. Fungsi menara adalah sebagai tempat muazin
mengumandangkan azan ketika tiba waktu salat. Sebelum azan dikumandangkan, dilakukan
pemukulan tabuh atau beduk.
b. Keraton
Keraton adalah daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat
tinggalnya (istana). Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana
penguasa di Jawa. Dalam Bahasa Jawa, kata karaton (ke-ratu-an) berasal dari kata dasar
ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam Bahasa Melayu;
datuk/datu.
Dalam Bahasa Jawa sendiri dikenal istilah kedaton yang memiliki akar kata dari datu, di
Keraton Surakarta istilah kedaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton
tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Masyarakat yang tinggal di dalam lingkungan keraton
pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan. Keraton merupakan bangunan yang bercorak
islam.
3. Seni Kaligrafi
Kaligrafi atau Khot adalah menulis indah dan disusun dalam aneka bentuk menarik dengan
menggunakan bahasa Arab. Dalam dunia Islam, kaligrafi terdiri atas petikan ayat-ayat suci Al
Qur’an. Bentuknya beraneka macam, dari yang sederhana, berbentuk tulisan mendatar,
sampai bentuk yang rumit seperti sebuah lingkaran, segitiga atau membentuk suatu bangun
tertentu seperti masjid.
Seni kaligrafi Islam berkembang pesat sebab agama Islam melarang melukis makhluk hidup
sehingga para pelukis Islam mencurahkan bakat lukisannya pada seni kaligrafi.
Beraneka ragam hias kaligrafi dapat kita temukan pada dinding masjid, keramik, keris, batu
nisan, dan berbagai hiasan di rumah-rumah. Batu nisan pertama yang ditemukan di Indonesia
adalah batu nisan pada makam Fatimah binti Maimun di Leran, Surabaya. Kaligrafi pada
gapura terdapat di gapura makam Sunan Bonang di Tuban, gapura makam raja-raja Mataram,
Demak, dan Gowa.
4. Tradisi Islam yang Bercorak Islam
a. Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid Nabi
Tradisi Sekaten dan grebeg Maulid Nabi sudah dilaksanakan sejak pertama penyebaran
agama Islam di Jawa. Penyebar Islam pertama seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga
yang mempergunakan instrument musik Jawa gemelan sebagai sarana untuk memikat
masyarakat agar menikmati pagelaran seni karawitan.
Untuk pagelaran tersebut mempergunakan dua perangkat gamelan yang memiliki suara
merdu, dinamakan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.
Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW atau Maulid Nabi yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal. Kata
sekaten berasal dari bahasa Arab yaitu syahadatain. Upacara ini dimulai dengan
membunyikan gamelan kraton bertalu-talu.
Suara gamelan tersebut secara filosofis berbunyi : ning, nong, neng, gung, ndang-ndang deng,
ndang-ndang dong. Oleh Sunan Bonang, komposisi suara gamelan tersebut diartikan : “ati
kang bening mesti oleh kenongan, hawa nafsu kudu meneng, ben agung, mula ndang deng =
masuk masjid, ndang-dang dong = biar faham (mudheng)”. Dahulu yang melakukan adalah
Sunan Kalijaga untuk berdakwah.
Pada umumnya masyarakat berpartisipasi ikut merayakan hari kelahiran Muhammad ini, dan
dipercaya akan memperoleh pahala dan dianugerahi awet muda. Setelah masyarakat datang
dan menonton, maka dimulai pembacaan basmalah dan ucapan syahadatain yang sekarang
disebut sekaten.
Ucapan syahadat sebagai pertanda taat kepada ajaran agama Islam. Setiap tanggal 5 bulan
Maulud, kedua perangkat gamelan tersebut yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu
dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dari bangsal Sri Mangantri ke bangsal Pancaniti,
dan sore harinya mulai dibunyikan antara pukul 23.00 sampai pukul 24.00 WIB.
Upacara sekaten merupakan upacara keagamaan yang diadakan di keraton Jogjakarta dan
keraton Surakarta secara bersamaan. Upacara ini menurut sejarahnya digunakan oleh
Hamengkubuwono I pendiri keraton jogjakarta untuk mengikuti kegiatan peringatan Maulud
dan memeluk agam Islam.
Tahapan pelaksanaan sekaten
Pada hari pertama upacara dimulai pada malam hari dan diiringi oleh barisan punggawa
keraton bersama-sama dengan dua set gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.
Iring-iringan ini dimulai dari pendapa Pancaniti menuju Masjid Agung di alun-alun dengan
dikawal oleh prajurit keraton.
Kyai Nogowilogo ditempatkan di sisi utara masjid Agung dan Kyai Guntur Madu di sisi
sebelah selatan masjid. Kedua gamelan ini akan dibunyikan setiap tanggal 11 bulan Maulud
selam 7 hari. Pada malam, hari terakhir akan dibawa pulang ke dalam keraton.
Acara puncak peringatan sekaten adalah Grebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12
Mulud jam 8.00 WIB dengan dikawal oleh 10 regu prajurit. Setelah grebeg Maulud selesai
dilanjutkan upacara Tumplak Wajik.
Tumplak Wajik adalah upacara pendahuluan Grebeg Mulud yang dilakukan di halaman istana
Magangan pada pukul 16.00 WIB. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan
menggunakan kentongan, lumpang untuk menumbuk padi dan semacamnya yang menandai
awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Maulud.
Grebeg Maulud adalah upacara mengarak sedekah raja yang berupa makanan dan buahbuahan dari kediaman raja ke Masjid Agung di depan keraton kemudian diberikan kepada
pengunjung atau rakyat. Upacara sekaten dan grebeg ini sering diselenggarakan di kota
Surakarta, Yogyakarta, Demak, dan Cirebon.
b. Selikuran
Selikuran berasal dari kata selikur yang dalam bahasa Indonesia berarti 21. Setiap pada
tanggal 21 Ramadhan di kota Surakarta dan Yogyakarta diadakan upacara Selikuran untuk
menyambut malam lailatul qodar dengan membuat makanan berupa nasi untuk dibagikan
kepada masyarakat.
c. Megengan / Dandangan
Acara megengan diselenggarakan di Semarang, bertujuan untuk menyambut bulan suci
Ramadhan yang ditandai dengan pemukulan bedug oleh bupati dan para rakyatnya sebagai
tanda jatuhnya tanggal 1 Ramadhan yaitu dimulainya bulan puasa serta melaksanakan
kegiatan bersih-bersih. Acara megengan juga dilaksanakan di Kudus dengan nama
dandangan.
d. Nyadran
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa
Tengah. Nyadran berasal daribahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran
adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam
bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah
suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan
puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Pelaksanaan
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan adalah:
Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa,
kemudian ditutup dengan makan bersama.
Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di
area makam.
Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan
Sya'ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih.
Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang akrab antara peziarah
dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa
untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal.
Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang
telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa
makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam
ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem,
dan lain sebagainya.