PPD 10 PPD 10 | Berbagi itu Indah

BAB X
PERMASALAHAN REMAJA DAN ISU-ISU KESEHATAN

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari permasalahan remaja dan isu-isu kesehatan, mahasiswa
mampu:
1. mendeskripsikan beberapa kategori utama perilaku-perilaku beresiko bagi
remaja dan peringatan yang harus diberikan terhadapnya;
2. mendefinisikan dua dimensi umum dan perilaku bermasalah: internalizing
dan externalizing;
3. memahami atribut remaja dan konteks yang berkaitan dengan remaja,
misalnya budaya;
4. memahami hakekat kemiskinan bagi remaja dan hubungannya dengan
resiko perilaku remaja;
5. mendiskusikan dasar-dasar individual dan sosial bagi terjadinya kenakalan
remaja dan hubungannya antara kejahatan terhadap diri sendiri dengan
orang lain;
6. memahami substansi masalah remaja atas dasar karakteristik remaja dan
hubungannya dengan orang tua dan teman sebaya;
7. mendeskripsikan perbedaan jender dalam menginternalisasikan perilaku
bermasalah;

8. memahami perkembangan perilaku yang diinternlisasi remaja berdasar pada
karakteristik remaja yang bersifat majemuk;
9. mengakui bahwa memahami hubungan antara remaja yang sedang
berkembang dan konteks sosialnya dapat membantu merancang kebijakan
serta program-program yang ditujukan bagi penyelesaian masalah perilaku
remaja.

229

PEMBAHASAN
Remaja merupakan masa dimana banyak menyusahkan telah menjadi topik
perhatian masyarakat selama berabad-abad. Plato menandai remaja pada jamannya
sebagai generasi yang mudah dibangkitkan dan membantah, sedangkan Aristoteles
menemukan mereka sebagai masa yang mudah menuruti kata hati, cenderung
berlebih-lebihan, dan kurang mampu mengendalikan diri. Selama berabad-abad,
dekade remaja dihidung sejak pubertas sampai awal dewasa dipandang sebagai
masa yang penuh problema dan penuh resiko.
Perilaku remaja saat ini mengalami masalah-masalah di sejumlah hal. Profil
masalah remaja saat ini menyangkut berbagai bidang antara lain kenakalan,
penyalahgunaan obat, kegagalan akademik, dan perilaku seksual yang beresiko. Di

samping itu, juga ditengarai banyaknya persoalan-persoalan emosional termasuk
depresi, bunuh diri, cemas, dan gangguan pola makan.
A.

Gejala-gejala Perilaku Bermasalah
Berikut ini dikemukakan sejumlah perilaku bermasalah remaja yang perlu

mendapatkan pelayanan khusus oleh orangtua, guru, dan masyarakat pada
umumnya.
1. Kenakalan, kejahatan, dan perkelahian


Banyak remaja yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran
tersebut terdiri atas tidak lengkapnya surat-surat (SIM dan STNK),
melanggar rambu-rambu lalu lintas, kurangnya perlengkapan sepeda motor,
tidak memakai helm pengaman, berboncengan sepeda motor lebih dari dua
orang.

230




Banyaknya kaum muda berusia antara 10 dan 17 tahun ditangkap sebagai
akibat perbuatan perkosaan, perampokan, pembunuhan, atau penodongan.
Untuk mengenali bagaimana perilaku di atas terjadi, dalam bahasan ini akan

diuraikan mengenai perilaku agresif remaja. Agresi dan kekerasan biasanya
dikaitkan dengan kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, penyerangan, dan perang.
Perilaku-perilaku tersebut bisa jadi berskala besar (antar negara, misalnya) dan bisa
terjadi pula pada skala kecil (dalam keluarga, antara suami dan isteri, antara ayah
dan anak, antara ibu dan anak, dan antara anak dengan anak lainnya, antar siswa
dan guru, antar individu). Oleh karena luasnya cakupan hakekat perilaku agresif,
maka dalam kajian ini akan dibahas dan ditentukan hakekat perilaku agresif yang
dijadikan sasaran penelitian.
Perilaku agresif telah lama menjadi salah satu kajian psikologi. Hampir
semua aliran psikologi membahas hakekat perilaku agresif sesuai dengan orientasi
masing-masing.

Fromm


(2001), misalnya,

sebagai

pengikut

psikoanalisis

membahas perilaku agresif dari sudut pandang instinctive drive. Perilaku agresif
merupakan sesuatu yang bersumber dari dunia dalam atau dari alam ketidaksadaran
manusia.
Apakah yang dimaksud dengan perilaku agresif? Salah satu pengertian
perilaku agresif dikemukakan oleh Buss (1961:1) yaitu … a response that delivers
noxious stimuli to another organism. Agresi merupakan perilaku yang
menyebabkan kerugian bagi orang lain. Tekanan dari pengertian tersebut terletak
pada tindakan dan bukan pada akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut.
Pengertian lain mengenai perilaku agresif tidak saja menyatakan tindakan,
tetapi juga memperhatikan aspek akibat. Dalam hal ini dikemukakan oleh Geen
(1990: 2-3) sebagai berikut:


231

Agression involves the delivery of noxious stimuli by one party to
other organisms or objects, under conditions in which the actor
intends to harm the target and the actor expects the noxious stimuly to
have their intended effects.
Dibandingkan dengan pengertian dari Buss, pengertian yang kedua dari
Geen lebih jelas menyatakan bahwa perilaku itu untuk melukai target dan
berharap ada pengaruh dari perbuatan itu terhadap target. Oleh karena itu
perilaku agresif tidak saja dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga
dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif.
Ada beberapa teori yang mengupas bagaimana perilaku agresif terjadi, antara
lain teori biologis, teori frustrasi, teori belajar sosial, dan teori kognitif.
Teori biologis. Ada beberapa perspektif yang berbeda mengenai perilaku agresif
ditinjau dari faktor biologis. Beberapa perspektif tersebut meliputi teori instinct
(McDougall, 1908), psikoanalitik Freudian, pendekatan ethologi (Lorenz, 1963 dan
Ardrey, 1970), teori sosiobiologis (Wilson, 1978).
Pendekatan ethologi (Lorenz, 1963) memandang agresi sebagai hasil innate
forces yang merupakan hasil adaptasi secara evolusioner. Ardrey (1970)
memperhatikan agresi sebagai penyumbang perkembangan optimal dari individu

yang memungkinkan terjadinya kompetisi. Pendekatan ethologi memandang
perilaku agresif sebagai a primary drive manifest in specific patterns of behavior.
Berkaitan erat dengan pandangan ethologi, para ahli sosiobiologi melihat
agresi sebagai mekanisme kompetisi sosial. Perilaku ini timbul di bawah kondisi
dimana ada kebutuhan yang bersamaan di antara orang-orang untuk mengakses
suatu yang sama. Dengan kata lain, ada dua atau lebih orang/kelompok yang
menginginkan hal yang sama, namun tidak mencukupi untuk memuaskan setiap
orang yang menginginkan hal tersebut. Dengan kata lain, tindakan agresif
merupakan cara yang diambil orang untuk mempertahankan hidup (survive).

232

Secara biologis, faktor yang mendorong timbulnya perilaku agresif berupa
hormon dan temperamen. Hormon dalam tubuh, khususnya hormon testosteron
(hormon kelelakian), berkaitan dengan perilaku agresif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada anak laki-laki yang berperilaku agresif dan antisosial
ditemukan hormon testosteron lebih tinggi pada darah mereka (Olweus, dalam
Durkin, 1995:400). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa temperamen
berhubungan erat dengan perilaku agresif. Anak yang diidentifikasi sebagai bayi
yang “sulit” cenderung menjadi anak yang berperilaku agresif di Taman KanakKanak dan Sekolah Dasar (Prior, 1992; Bates, Marvinney, Kelly, Dodge, Bennett, &

Pettit, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa perilaku hiperaktif merupakan
prediktor yang reliabel bagi agresifitas pada anak-anak usia 8 sampai 11 tahun
(Farrington, 1994).
Teori Frustrasi. Berbeda dari pandangan biologis di atas, Dollard, Miller, Mowrer,
& Sears, dalam Durkin (1995:402) mengemukakan bahwa perilaku agresif tidak
disebabkan oleh faktor instinct, tetapi oleh keadaan frustrasi. Frustrasi merupakan
kejadian ketika beberapa aktivitas untuk mencapai tujuan terhalang.

Beberapa

penghalang pencapaian tujuan ada dalam diri individu dan sebagian lainnya ada di
luar diri individu.
Apabila pencapain tujuan terhalang akan timbul frustrasi dan selanjutnya
dapat menimbulkan perasaan cemas. Apabila keadaan ini terus-menerus terjadi
dalam diri individu dapat menimbulkan perasaan harga diri rendah karena terjadi
self-devaluation. Reaksi atas keadaan tersebut bias dalam bentuk perilaku agresif,
perilaku kompromi, dan perilaku melarikan diri.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternyata anak-anak frustrasi lebih
cenderung berperilaku regresif dan kurang konstruktif, termasuk perilaku menyerah
(giving up). Hanya kadang-kadang saja keadaan frustrasi memunculkan respon

perilaku agresif (Berkowitz, 1993). Namun demikian, dalam rumusan yang relatif

233

lemah, beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frustrasi dan
agresi. Studi eksperimental terhadap sejumlah anak-anak (Davitz; Mallick &
McCandless; Otis & McCandless; dalam Durkin, 1995) dan terhadap orang dewasa
(Geen, dalam Durkin, 1995) menunjukkan bahwa respon-respon agresif kadangkadang meningkat mengikuti frustrasi.
Teori Belajar Sosial. Alih-alih memperhatikan sumber perilaku agresif berupa
faktor biologis (instinct atau drive), para ahli teori belajar sosial memberikan
sumbangan yang lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif (Bandura, 1973;
Eron, 1994). Dalam pandangan Bandura (1973), misalnya, perilaku agresif
merupakan perilaku yang dipelajari, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di
dalam diri manusia (not innately given). Oleh karena itu, untuk memahami sumbersumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar
diri individu ketimbang memperhatikan faktor individu itu sendiri. Dalam
pandangan teori belajar sosial, perilaku agresif diperoleh manusia melalui belajar
perilaku yang sama yang dilakukan oleh orang lain, yakni melalui observasi dan
pengalaman langsung.
Teori belajar sosial diakui sebagai perspektif psikologis yang produktif
dalam membahas perilaku agresif. Perilaku agresif merupakan hasil proses

observasional dan reinforcement yang dijembatani oleh pemrosesan informasi dan
self-regulation. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak, di bawah
iklim tertentu, meniru perilaku agresif dari model, terutama model yang kuat dan
atraktif. Salah satu aplikasi dari teori belajar sosial ditunjukkan dalam penelitian
terhadap pengaruh penayangan kekerasan di televisi (Faiver, O’Brien dan Ingersoll,
2000).
Teori Kognitif dan Pemrosesan Informasi sosial. Sejalan dengan perkembangan
psikologi kognitif, pandangan tentang perilaku agresifpun mengalami pemaknaan
baru ketika teori ini dikembangkan. Hartup (1974) mengemukakan bahwa

234

karakteristik perilaku agresif merefleksikan perkembangan kognitif manusia. Dalam
pandangan teori kognitif, agresi merupakan bentuk perilaku yang muncul dalam
berbagai aktivitas di dunia sosial sejak awal hidup. Menurut para ahli biososial, ada
nilai-nilai adaptif dalam mengenali perilaku agresif. Sejak masa kanak-kanak, anak
sudah mulai mengenali adanya aturan-aturan sosial dan mulai mereaksi aturan
tersebut dengan perilaku agresif. Dunn & Brown (1994) melaporkan bahwa sejak
anak-anak berusia 18-20 bulan, ada kecenderungan orang tua memperlakukannya
dalam bentuk menolak terhadap perilaku anak-anak. Misalnya ketika anak mau

membantu, orangtuanya menolak atas bantuan anaknya. Terhadap tindakan orang
tua ini, anak cenderung melawannya dengan tindakan agresif.
Dalam pandangan Piagetian, anak-anak sebelum usia tujuh tahun tak akan
menggunakan pertimbangan atas perilaku agresifnya. Pandangan Piagetian tersebut
terbantah, sebab beberapa bukti hasil penelitian pada anak TK menunjukkan bahwa
ternyata anak-anak telah termotivasi untuk membuat pertimbangan atas perilakunya
(Dunn & Brown, 1994).

Perubahan akan terus terjadi sejalan dengan

perkembangan kognitif anak. Walaupun sudah dengan pertimbangan, anak
cenderung mereaksi dengan perilaku agresif secara stereotip. Sedangkan pada usiausia selanjutnya mereka cenderung mereaksi secara bervariasi.
Dalam situasi di mana perilaku agresif merupakan bentuk perilaku seharihari, di lingkungan masyarakat tertentu, maka perilaku tersebut akan dipandang
rasional dan adaptif. Penelitian Ward, dalam Dunn & Brawn (1994) menghasilkan
simpulan: anak-anak remaja yang hidup di lingkungan yang banyak terjadi
perkelahian akan berkembang menjadi anak agresif dan memandang perilaku itu hal
biasa-biasa saja. Berkaca pada hasil penelitian Ward tersebut, anak-anak yang setiap
hari dihadapkan pada situasi yang cenderung semakin agresif dikhawatirkan akan
mengalami hal yang sama. Artinya, anak-anak juga akan mengembangkan persepsi
bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja. Keadaan ini


235

diperkuat dengan perilaku sejumlah perilaku guru yang cenderung agresif pula
ketika menghadapi murid-muridnya.
Dalam perspektif pemrosesan informasi, Dodge, dalam Dunn & Brawn
(1994) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa anak laki-laki cenderung lebih
agresif bila dihadapkan pada situasi yang mengancam. Di samping itu, ia juga
ditemukan bahwa ada proses kognitif, afektif, dan fisiologis secara simultan yang
menyertai setiap reaksi agresif anak laki-laki tersebut.
Akhir-akhir ini, pendekatan kognitif semakin banyak diaplikasikan dalam
mengenali perilaku agresif. Di bandingkan dengan teori-teori yang telah dibahas
sebelumnya, pendekatan kognitif-sosial jauh lebih tegas dalam mengupas isu-isu
perkembangan manusia. Dalam melakukan penyelidikan terhadap perubahanperubahan perilaku sejalan dengan perkembangan manusia. Namun, apabila dilihat
hanya dari perspektif pemrosesan informasi, tampaknya pendekatan ini kurang
memperhatikan konteks di mana perilaku terjadi.
Atas dasar pemikiran di atas, maka apabila pendekatan kognitif digunakan
oleh konselor, perlu memperhatikan konteks perilaku agresif konseli, misalnya
dalam lingkungan keluarga, teman sebaya, jender, dan budaya. Perilaku agresif
konseli terjadi dalam konteks tertentu, oleh karena itu perlu dipadukan antara
pandangan yang menekankan aspek individu (faktor internal) dan yang menekankan
pada konteks perilaku agresif (faktor eksternal).

Reaksi-Reaksi Perilaku Agresif
Bagaimana orang mereaksi saat dirinya dikuasai kondisi agresif? Sejumlah
penelitian menunjukkan reaksi agresif dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk,
yaitu perilaku agresif langsung, agresif tidak langsung, agresif yang dialihkan, dan

236

berbagai reaksi yang tidak tampak agresif. Hasil penelitian Averill, dalam Sears,
Freedman, Peplau (1985) menunjukkan bahwa serangan dan frustrasi cenderung
membuat orang menjadi marah dan bertindak agresif. Namun demikian, secara rinci
ternyata reaksi atas kemarahan itu dapat pula berbentuk perilaku tenang. Hanya
sekitar 10 persen orang berperilaku agresif fisik, 49 persen bereaksi secara verbal,
dan bahkan kebanyakan dari mereka (60 persen) tidak menunjukkan perilaku
agresif langsung.
Perilaku agresif langsung. Reaksi agresif dapat diekspresikan dalam
tindakan langsung. Ada tiga bentuk reaksi agresif langsung, yaitu (1) reaksi agresif
verbal atau simbolik, (2) penolakan atau pengabaian kebaikan, (3) agresif fisik.
Perilaku agresif tidak langsung. Perilaku agresif tidak langsung dilakukan
dalam bentuk tertuju pada sasaran tetapi melalui fihak lain. Dua bentuk perilaku
agresif tidak langsung yang biasanya dilakukan orang yaitu (1) memberitahu pihak
ketiga untuk membalas, (2) merusak sesuatu yang memiliki nilai penting bagi
sasaran perilaku agresif.
Perilaku agresif yang dialihkan. Bentuk ketiga dari perilaku agresif
ditujukan pada sasaran lain dari sasaran yang sebenarnya. Ada dua macam perilaku
agresif yang dialihkan yaitu (1) perilaku agresif yang dialihkan terha-dap obyek
bukan manusia, dan (2) perilaku agresif dialihkan kepada orang lain.
Atas dasar bentuk-bentuk perilaku agresif di atas, perilaku agresif langsung
secara verbal, agresif tak langsung dengan cara memberitahu pihak ketiga, agresif
yang dialihkan terhadap obyek bukan manusia lebih banyak dilakukan ketimbang
perilaku agresif langsung dalam bentuk perbuatan fisik maupun ucapan verbal. Jadi
melihat kenakalan remaja tidak saja dari perilaku fisik semata. Orangtua dan guru
serta orang lain yang terlibat dalam pendidikan remaja harus faham benar bahwa
ada sejumlah perilaku agresif yang tidak selalu berupa tindakan fisik.

237

2. Penyalahgunaan obat


Semakin banyak anak muda menggunakan obat-obat terlarang.



Semakin banyak anak muda yang minum minuman beralkohol. Semakin
tinggi usia remaja semakin banyak yang terlibat. Bahkan semakin tinggi usia
disinyalir minum minuman beralkohol sehari-hari.



Semakin banyak anak-anak muda yang menghisap rokok sejak anak-anak
usia SMP bahkan disinyalir banyak yang sudah mengkonsumsi rokok.
Mengapa banyak orang, termasuk remaja menggunakan obat-obat terlarang?

Sejak awal manusia selalu berusaha untuk menopang dan melindungi diri sendiri
melalui menggunakan obat-obatan yang mampu mempengaruhi sistem syaraf
sehingga menimbulkan kesenangan. Dalam banyak hal dengan menggunakan obatobat terlarang memudahkan orang untuk mengadakan penyesuaian diri dengan
lingkungan. Mengapa orang merokok, minum minuman keras, dan mengkonsumsi
obat terlarang? Mereka, pemakai, menyatakan bahwa dengan itu membuat mereka
mampu menyesuaikan diri, mampu mengusir kebosanan, mampu mengatasi rasa
lelah. Demikianpun remaja, mereka menggunakan itu semua untuk menghindar lari
dari kehidupan yang semakin keras.
Apa yang dilakukan orang, termasuk remaja, dengan mengkonsumsi rokok,
alkohol, dan obat terlarang harus dibayar mahal. Mereka mengalami kecanduan
(addiction) terhadap barang-barang tersebut. Secara ekonomis mereka harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya dan ditinjau dari kesehatan fisik
mereka akan menjadi rapuh.

Kecanduan terjadi ketika tubuh mengalami

ketergantungan kepada obat-obatan tersebut. Apabila mereka diputus dari konsumsi
obat tersebut maka ia akan mengalami rasa sakit yang hebat.

238

3. Kegagalan Akademik


Banyak anak muda yang drop out dari sekolah setiap tahunnya.



Dari antara 100% anak sekolah dasar hanya sekitar 60% melanjutkan ke
SMP, dari lulusan SMP hanya 40% yang masuk SMA atau SMK, sedangkan
lulusan SMA dan SMK yang masuk ke perguruan tinggi hanya 11%.



Banyak anak remaja yang mengulang kelas.
Atas dasar permasalahan di atas, dalam pembahasan ini akan dikemukakan

upaya pendidikan yang seharusnya dilakukan pada saat ini. Dalam persaingan
global saat ini tidak dapat tidak pendidikan harus mempersiapkan anak-anak muda
untuk menjangkau standar tinggi. Untuk maksud itu, dalam pendidikan sekolah
diperkenalkan asesmen otentik.
Tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan anak-anak muda untuk hidup
independen, produktif, dan bertanggung jawab pada abad 21. Untuk mencapai
maksud tersebut, syaratnya setiap anak muda perlu memiliki penguasaan tuntas
akan pengetahuan dan keterampilan. Academic excellence merupakan paspor
menjadi warga negara yang bertanggung jawab, mengambil keputusan secara arif,
dan puas di pekerjaaannya.
Jantung hati pendidikan bagi orangtua adalah ketika anak mereka berhasil
secara akademik. Sementara itu dalam pendidikan berbasis kontekstual yang
menjadi jantung hati adalah membantu semua siswa menjangkau standar akademik
yang tinggi. Sementara, sejauh ini, pendidikan tradisional mementingkan perolehan
kuantitas material untuk diingat melalui kuliah, dan gagal, dan gagal, dan
selanjutnya gagal.

239

Guru dididik untuk memperoleh pemahaman yang sempurna tentang
bidang garapannya. Tugas guru mengembangkan tujuan, tugas, aktivitas, dan
pengujiannya. Oleh karena itu ia harus menguasai keterampilan dan kompetensi
yang harus dikuasai siswa. Secara umum

setiap siswa harus menguasai

keterampilan dan kompetensi yang rinciannya dijelaskan sebagai berikut.
Keterampilan:
-

Basic skills: membaca, menulis, aritmatika dan matematika, mendengarkan,
berbicara.

-

Thinking skills: belajar, berpikir, berpikir kreatif, membuat keputusan,
memecahkan

masalah.

Mencakup

pula:

mensintesis,

menganalisis,

menggunakan logika, dan memisahkan bukti-bukti yang kuat dari yang
lemah.
-

Personal qualities: (1) individual responsibility, (2) self-esteem, (3) selfmanagement, (4) sociability, (5) integrity (p 152).

Kompetensi:
Semua siswa harus mengembangkan dan mampu menggunakan kompetensi:
-

Resources: mengalokasi waktu, uang, ruang, dan orang. (Ini merupakan
keterampilan manajemen dasar yang digunakan untuk merencanakan,
mengorganisasi, mengatur, dan mengambil keputusan.

-

Interpersonal: bekerja sama dengan tim, mengajar orang lain, melayani
kostumer, mengarahkan, menegosiasi, dan bekerja dengan orang lain dari
beragam budaya. (Gardner = interpersonal intelligence)

-

Information:

mengumpulkan,

mengevaluasi,

dan

menginterpretasi

informasi, mengorganisasi dan menyimpan file, mengkomunikasikan

240

informasi, dan menggunakan komputer untuk memproses informasi. (ingat:
mengembangkan pertanyaan riset, strategi riset, dst)
-

Systems: memahami bagaimana kerja sistem sosial, organisasional,
teknologikal. Memonitor dan mengkoreksi sistem, mengembangkan dan
merancang sistem baru.

-

Technology: memilih alat yang tepat, menggunakan teknologi untuk tugas
khusus, dan memelihara peralatan. (pp 152-153)
Tujuan pendidikan harus bernuansakan makna. Dalam pendidikan

kontekstual, tujuan tidak sekedar dirumuskan tetapi harus mengkombinasi antara
pengetahuan dan cara melakukannya berkaitan dengan maknanya bagi siswa.
Untuk bisa mencapai kombinasi pengetahuan dan penerapannya, perlu dilakukan
(1) nyatakan pengetahuannya, (2) gunakan kata-kata aktif, (3) jelaskan bahwa
siswa akan memperoleh keuntungan, (4) dorong siswa untuk mendemonstrasikan,
(5) ceriterakan kepada siswa secara pasti apa yang harus dilakukan untuk
memperoleh prestasi sempurna, (6) bandingkan tujuan dengan standar eksternal,
antara lain dengan standar nasional atau proses berpikir tingkat tinggi (Rothstein,
dalam Johnson, 2002).
Dalam sistem pendidikan, untuk melihat keberhasilan pendidikan biasanya
dilakukan tes. Yang seringkali dilakukan adalah melakukan tes buatan guru atau
tes terstandar nasional. Tes standar nasional dirancang untuk membimbing guru.
Standardisasi tes seolah-olah membuat keseragaman pendidikan secara nasional.
Hal ini bertentangan dengan pandangan Gardner. There is in the country today an
enormous desire to make education uniform … to apply the same kinds of onedimensional metrics to all (Gardner, 1993).
Ada beberapa asumsi yang salah mengenai penggunaan tes terstadar,
antara lain:

241

-

Pendidikan berisi pengetahun dan keterampilan yang dapat diukur. Setiap
hal yang tak dapat diukur tidaklah penting. (Tes terstandar dapat mengukur
apapun yang diingat siswa, tetapi tidak dapat mengukur respon
imaginatifnya, getar emosionalnya, dsb)

-

Bantuan tes terstandar berupa skor tes yang disasumsikan mengukur secara
akurat dan reliabel atas apa yang siswa tahu dan siswa dapat lakukan. Tapi
sebenarnya ia tak dapat mengukur keberhasilan siswa yang sebenarbenarnya.

-

Bantuan tes terstandar mengasumsikan bahwa ada kemungkinan untuk
mendidik setiap orang secara mudah melalui membuat pendidikan seragam,
mengajar semua siswa dengan cara yang sama, serta memberi tes yang
sama pula (Gardner, 1993).
Dalam kaitan mengukur hasil belajar siswa, dalam pendidikan kontekstual

diperkenalkan asesmen otentik. Dalam keseluruhan sistem belajar dan mengajar
kontekstual (CTL), asesmen otentik memusatkan pada tujuan, meliputi hands-on
learning, menghendaki pembuatan hubungan dan kolaborasi, dan penggunaan
higher order thinking. Oleh karena itu, maka CTL meminta siswa untuk
menampilkan penguasaan tuntasnya akan tujuan dan depth of understanding-nya,
dan pada waktu yang sama akan meningkatkan pengetahuan mereka

dan

menemukan cara-cara untuk mengembangkannya. Asesmen otentik mendorong
siswa untuk menggunakan kemampuan akademik dalam konteks real-world untuk
tujuan yang signifikan.
Asesmen otentik akan menguntungkan siswa, sebab:
-

siswa menampilkan secara penuh bagaimana pemahaman material
akademik mereka,

242

-

siswa akan menampilkan dan memperkuat kompetensi mereka, misalnya
dalam hal mengumpulkan informasi, menggunakan berbagai sumber,
menangani teknologi, dan berpikir secara sistematis,

-

siswa berkesempatan menghubungkan belajarnya dengan pengalaman nyata
mereka, dunianya sendiri, dan masyarakat luas.

-

Siswa berkesempatan mengasah higher order thinking-nya,

-

Siswa menerima tanggung jawab dan membuat pilihan-pilihan,

-

Dalam mengerjakan tugas, berkolaborasi dengan orang lain, dan

-

Belajar mengevaluasi tingkat performansinya sendiri.
Jadi dalam menghadapi persoalan-persoalan akademik, perlu dilakukan

upaya-upaya agar setiap individu remaja mampu menguasai kompetensi yang
dipersyaratkan kepada dirinya. Upaya pendidikan kontekstual diharapkan
menjamin dicapainya standar tinggi perolehan pendidikan remaja.
4. Perilaku seksual beresiko


Hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesi menunjukkan peningkatan
perilaku seksual para remaja. Sebagian dari remaja Indonesia (persentasi
bervariasi) mulai melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis sebelum
menikah. Walaupun belum separah di Amerika yang menunjukkan angka
80% laki-laki dan 70% perempuan telah melakukan hubungan seksual
sebelum nikah.



Mulai muncul kasus-kasus remaja melahirkan anak di luar nikah.



Ditemukan sejumlah penyakit seksual yang sebagian diidap oleh kaum
remaja.

243

Persoalan hubungan seksual beresiko yang dialami oleh para remaja masa kini
dapat diuraikan sebagai berikut. Akhir-akhir ini muncul sejumlah peristiwa
kehidupan remaja yang mengarah ke keadaan yang memprihatinkan. Sejumlah
peristiwa itu meliputi antara lain: perbuatan agresif, penyimpangan seksual, dan
pergeseran nilai-nilai pergaulan. Berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual,
kondisi-kondisi penyimpangan perilaku ini semakin memprihatinkan, sebab
bersamaan dengan isu tersebut muncul isu penyebaran HIV/AIDS di berbagai
kalangan. Sementara ini, data menunjukkan bahwa penyebaran HIV/AIDS lebih
banyak terjadi akibat hubungan seksual (Adler dan Hendrick, 1991). Perilaku
seksual dan penyebaran HIV/AIDS memiliki hubungan yang erat. Hasil-hasil
penelitian, menunjukkan bahwa perilaku seksual merupakan sumber pokok dari
penyebaran HIV/AIDS (Melchert dan Burnett, 1990; Nevid, 1993).
Di kalangan remaja, ada sejumlah bentuk hubungan seks sebelum menikah,
antara lain hubungan seks dengan pacar, berganti-ganti pasangan karena suka sama
suka, hubungan seks untuk memperoleh imbalan uang atau materi. Alasan-alasan
yang dikemukakan oleh remaja bahwa mereka melakukan hubungan seksual
sebelum menikah antara lain: ingin menunjukkan bukti kesetiaan kepada pacar,
kecewa karena dikhianati pacar, ingin mendapatkan pengakuan sebagai remaja
modern, mencari uang dalam rangka mendapatkan simbul-simbul modernitas, dan
sebagainya (Jawa Pos, 1-12-1998; Hadisaputro, 1994; Yuwono, 1992; Pali, 1997;
Wirawan, dkk 1993).
Dalam wawancara televisi (RCTI) pada acara Buah Bibir tanggal 13 April
1998 jam 22.00, seorang mahasiswi mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: (1)
hubungan seks pertama kali dilakukan pada saat sekolah SLTP, kemudian hamil dan
digugurkan dengan pertolongan lewat dukun, (2) pada saat itu (SLTP) tidak tahu
bahwa melakukan berhubungan seks dapat berakibat hamil, (3) hubungan seks
dilakukan berulang kali sampai akhirnya hamil yang kedua, kemudian digugurkan,
(4) berhubungan seks dengan pacar dilakukan demi cinta, di samping itu, hubungan

244

seks dilakukan karena orang tua tidak setuju ia berpacaran, mengingat adanya
perbedaan agama di antara mereka, dan (5) hamil yang ketiga dilakukan untuk
memaksa orang tua menyetujui pernikahan yang didahului dengan kawin lari
(Radjah, 1999).
Penelitian di Amerika tentang perilaku seksual remaja menyatakan bahwa
50% remaja perempuan dan 60% remaja laki-laki usia 15-16 tahun pernah
melakukan hubungan seks (Tenzer, 1994). Demikian pula penelitian yang dilakukan
Kinsey, Pomey dan Martin (1965) menyatakan bahwa remaja usia 16 sampai 20
tahun pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, untuk pria sebanyak
75% dan wanita sebanyak 29%.
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan Universitas Gajah Mada di kota
Manado mengenai determinan pengetahuan, sikap, dan praktik perilaku seksual
menghasilkan temuan bahwa 26,6% pernah mengadakan hubungan seks, 5,3%
remaja pria pernah menghamili, dan 2,1% remaja wanita pernah hamil (Radjah,
1999). Berbagai perilaku seksual yang dilakukan para remaja usia sekolah
menengah tersebut sangat membahayakan karena dapat menimbulkan penyakit.
Data penderita PMS (penyakit menular seksual) di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
sebanyak 25,6% adalah pelajar/mahasiswa, terdiri dari 122 orang pria dan 18 orang
wanita (Cholis, 1990). Dapat diprediksi bahwa saat ini keadaan tersebut menjadi
meningkat.
Berkaitan dengan HIV/AIDS, Working Group on AIDS Control-Nasional
AIDS Commission 1994 memproyeksikan jumlah kasus AIDS di Indonesia pada
tahun 2000 sebanyak 476.000 - 689.000, dan 934.000 - 1.644.000 kasus pada tahun
2005 apabila tidak dilakukan

upaya pencegahan secara intensif, terpadu dan

konsisten mulai tahun 1995. Hasil penelitian epidemiologis PMS di Surabaya tahun
1994 menunjukkan bahwa dari 382 pelaut yang diperiksa, ternyata 6% menderita
sifilis, 12% trichomoniasis, 13% chlamidia dan terinfeksi GO 12%. Dari 511 sopir

245

truk yang diperiksa diperoleh hasil 0% sifilis, 4% trichomoniasis, 1% chlamidia dan
1% GO. Sedangkan dari 30 orang kuli pelabuhan (buruh) yang diperiksa, diperoleh
hasil 0% sifilis, 20% trichomoniasis, 3% chlamidia, dan 13% GO. Bila dilihat
dikalangan PSK (N=2078), prevalensi PMS: 10% sifilis, 6% trichomoniasis, 11%
chlamidia, dan 12% GO.

Dari penelitian ini juga terungkap bahwa informasi

HIV/AIDS dan PMS yang diterima kebanyakan belum dipahami secara benar, dan
umumnya mereka tidak merasa beresiko tertular (Kambodji, 1996).
Di samping itu, ditemukan bukti lain bahwa penderita HIV/AIDS di
Indonesia kebanyakan usia produktif, antara 19 sampai 49 tahun dan kebanyakan
dialami oleh kaum wanita (Pali, dkk, 1997). Hal ini berarti bahwa (1) HIV telah
terjangkit lebih awal dari usia di atas, (2) kemungkinan besar hubungan seksual
telah diawali pada usia remaja, dan (3) wanita merupakan kelompok yang rentan
akan penularan HIV/AIDS.
Kelompok wanita sebagai kelompok yang rentan atas kemungkinan
penularan penyakit seksual dan HIV/AIDS perlu diidentifikasi tersendiri. Di
Amerika, menurut Campbell dan Baldwin (1991) wanita-wanita telah mengalami
perubahan perilaku seksual melalui mau menggunakan kondom, melakukan
hubungan seks dengan orang terbatas, mengurangi frekuensi hubungan seks,
menghindari hubungan seks dengan orang asing.
Bagaimanakah sebenarnya pengetahuan remaja tentang perilaku seksual
dan HIV/AIDS dan sikap mereka terhadap perilaku seksual dan HIV/AIDS
tersebut? Yuwono, dkk (1992) mengemukakan bahwa pengetahuan remaja tentang
masalah seksual dan berbagai penyakit kelamin (termasuk AIDS) cukup dan
sebagian cenderung salah. Sejumlah penelitian lain menunjukkan bahwa
pengetahuan yang benar, tidak menjamin sikap dan perilaku yang positif (Ross dan
Rosser, 1989; Segest, dkk, 1991; Campbell dan Baldwin, 1991; Ajdukovic dan
Ajdukovic, 1991; DuRant, dkk, 1992; Pali, 1997).

Remaja yang melakukan

246

hubungan seks di luar nikah, menurut Ajdukovic dan Ajdukovic (1991), cenderung
benar dan tinggi tingkat pengetahuannya tentang kehidupan seksual, namun
demikian, tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku yang tepat dalam aktivitas
seksualnya. Artinya, walaupun pengetahuan mereka tinggi mengenai kehidupan
seksual dengan berbagai resikonya, tetap saja melakukan hubungan seks di luar
nikah dan berganti-ganti pasangan (Suara Indonesia, 2, 4, 5 Desember 1998;
Hofferth dan Hayes, dalam Melchert dan Burnett, 1990).
5. Masalah Emosional


Lebih dari 15% anak muda mengalami masalah-masalah emosional serius
yang memerlukan treatment khusus.



Sekitar 20% remaja mengalami gangguan depresi.



Lebih dari 20% remaja putri mengalami gangguan perilaku makan, dan
sebagian daripadanya mengalami anorexic.

Dalam pembicaraan sehari-hari persoalan emosional dikenal dengan sebutan stress.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan stres dan bagaimana mengelolanya? Pada
bagian ini akan dikemukakan secara khusus mengenai hakekat stres tersebut.
Stres itu merupakan “baju dan air matanya” pengalaman fisik kita ketika
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah.

Stres

memiliki pengaruh fisik dan emosi, dan dapat menciptakan perasaan positif dan
negatif. Pengaruh positif, misalnya: stres membantu mendorong kita untuk berbuat,
menghasilkan kesadaran baru dan perspektif baru. Pengaruh negatif dapat berupa
perasaan curiga, menolak, marah, dan depresi yang selanjutnya dapat mengarah ke
masalah kesehatan seperti sakit kepala, sakit perut, sakit kulit, insomnia, borok,
tekanan darah tinggi, sakit hati, dan stroke.

247

Peristiwa seperti ditinggal mati orang yang dicintai, kelahiran bayi, promosi
pekerjaan, hubungan dengan teman baru, semuanya dapat membuat kita mengalami
stres, karena kita harus mengadakan penyesuaian diri kembali dalam kehidupan
kita. Dalam proses penyesuaian diri terhadap berbagai keadaan tersebut, stres akan
membantu atau menghambat kita bergantung pada bagaimana kita mereaksinya.
Menghadapi stres, ada dua kemungkinan reaksi. Pertama, menghadapi stres dengan
jalan mengurangi atau membatasi (reduction atau elimination). Kedua, menghadapi
stres melalui mengelolanya (management).
Bagaimanakah saya mengurangi/membatasi stres dalam kehidupan saya?
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa stres memiliki nilai
positif dalam kehidupan kita. Batas waktu (deadlines), kompetisi, konfrontasi, dan
bahkan frustrasi semuanya akan memperkaya hidup kita. Oleh karena itu, tujuan
utama kita sebenarnya tidak untuk membatasi stres, tetapi bagaimana kita
mengelola (me-manage) stres dan bagaimana menggunakannya untuk keperluan
hidup kita. Catatan untuk itu, bahwa stres sendiri tidak serta-merta mencukupi
dalam hidup kita, kita perlu menemukan tingkat optimal dari stres yang mampu
memotivasi orang secara individual (artinya tidak untuk orang lainnya).
Bagaimanakah stres berguna secara optimal bagi saya?
Tidak ada ukuran tunggal seberapa berat tingkat stres berguna secara
optimal dan berlaku bagi semua orang. Kita semua, secara individual memiliki ciri
unik. Ada kalanya, sesuatu menjadikan seseorang stres, tetapi bagi orang lainnya
ditanggapi secara enjoy saja. Ketika kita setuju bahwa suatu kejadian tertentu
menimbulkan stres, kita seringkali berbeda dalam meresponnya, baik secara
fisiologis maupun psikologis. Orang yang gemar dengan tantangan akan bergerak
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, sehingga ia akan menjadi stres jikalau ia

248

harus duduk melakukan pekerjaan itu-itu saja dan bersifat rutin. Sementara orang
lainnya menjadi stres berat kalau berpindah-pindah pekerjaan.
Bagaimana saya dapat me-manage stres secara lebih baik?
Mengidentifikasi stres yang ringan dan menyadari pengaruh-pengaruhnya
pada kehidupan kita, tidaklah mencukupi untuk mengurangi pengaruh stres yang
membahayakan. Senada dengan banyaknya sumber stres, maka ada banyak
kemungkinan bagaimana me-manage-nya. Namun demikian, semuanya dilakukan
menuju ke arah terjadinya perubahan, yakni mengubah sumber stres atau mengubah
reaksi kita terhadap sumber stres itu. Bagaimana melakukannya?
a. Sadari stresor-stresor1 anda, emosi-emosi anda, serta reaksi-reaksi fisik
anda2. Perhatikan penderitaan (distress) anda, jangan sampai diabaikan.
Jangan memutar-balikkan masalah anda. Tentukan kejadian-kejadian apakah
yang membuat anda menderita. Apakah anda sudah menceriterakan kepada
diri sendiri mengenai makna pribadi dari kejadian-kejadian itu? Tentukan
bagaimanakah respon tubuh anda terhadap stres. Apakah anda menjadi
nervous atau mengalami gangguan secara fisik? Jika “YA”, dalam cara yang
bagaimana?
b. Mengenali apakah yang hendak anda ubah. Dapatkah anda mengubah
stresor-stresor melalui menghindari atau membatasinya secara lengkap?
Mampukan anda mengurangi intensitasnya (me-manage-nya dalam hitungan
hari atau minggu)? Mungkinkah anda memperpendek waktu untuk
membuka stres anda? Dapatkah anda memanfaatkan waktu dan energi yang
dibutuhkan untuk keperluan membuat suatu perubahan (menentukan tujuan,

1
2

Stresor = masalah khusus, isu, tantangan, konflik pribadi (eksternal/internal).
Reaksi stres = reaksi-reaksi individual terhadap stresor (berupa tanda-tanda atau gejala-gejala
fisiologis, behavioral, emosional, kognitif). Apabila akibat stres berlanjut, maka akan
berkembang menjadi strain yaitu suatu keadaan sakit sebagai akibat stres (baca Stres? butir 4).

249

teknik manajemen waktu, dan menggunakan strategi yang paling
membantu)?
c. Kurangi reaksi emosional anda terhadap stres. Reaksi stres dipicu oleh
persepsi anda terhadap bahaya–bahaya fisik maupun bahaya emosional.
Apakah anda memandang stresor-stresor anda dalam istilah-istilah yang
berlebihan

dan/atau

meletakkannya

dalam

situasi yang

sulit

dan

membuatnya seperti bencana? Apakah anda mereaksi secara berlebihan dan
memandangnya sebagai suatu keharusan? Apakah anda merasakan bahwa
harus selalu mampu mengatasi dalam setiap situasi? Saran: bekerjalah pada
cara-cara yang lebih moderat; coba lihat stres sebagai hal yang dapat anda
atasi. Cobalah untuk menenangkan emosi anda. Jangan terlalu larut dalam
aspek-aspek negatif dan "what if's" (pokoke).
d. Belajarlah mereaksi secara fisik terhadap stres secara moderat. Bernafaslah
pelan-pelan dan dalam-dalam, cara ini akan membuat hati anda tenang dan
kembali normal. Teknik relaksasi dapat mengurangi ketegangan otot.
Biofeedback elektronik dapat membantu anda mengontrol hal-hal seperti
ketegangan otot, rasa gundah hati, dan tekanan darah. Pengobatan,
sebagaimana dilakukan dokter, dapat membantu memperpendek waktu
dalam memoderatkan reaksi fisik anda. Belajar untuk memoderatkan reaksi
anda merupakan solusi yang panjang.
e. Bangunlah cadangan kekuatan fisik anda. Lakukan fitness kardiovaskular
tiga sampai empat kali seminggu (jalan-jalan, renang, bersepeda, lari-lari
kecil). Makan secara seimbang dengan nutrisi tepat. Hindari nikotin, kofein
berlebih, dan stimulan lainnya. Padukan antara kerja dan santai. Cukup
tidur, konsisten dengan jadwal tidur anda sebisa mungkin.
f. Pertahankan persediaan emosional anda. Kembangkan beberapa hubungan
berkawan/hubungan saling menunjang. Kejarlah tujuan yang realistik yang
paling berarti bagi hidup anda, ketimbang tujuan-tujuan lain yang bagi anda

250

tidak terlalu penting. Bayangkan beberapa kemungkinan frustrasi,
kegagalan, dan kesengsaraan yang menghadang, namun anda harus selalu
senang dengan diri sendiri (be friend to yourself).

Bagaimana belajar dan/atau mengajar managemen stres?
a. Identifikasi kebutuhan audien (individu atau kelompok).
b. Tetapkan tujuan yang sesuai dan sasaran belajar yang spesifik untuk sesi
pelatihan spesifik.
c. Pilih isi yang sesuai dengan tujuan, sasaran belajar, dan waktu yang tersedia
d. Pilih strategi teaching/learning yang sesuai berdasarkan pada umur,
tingkatan bidang pendidikan, jabatan, minat, fasilitas dan lingkungan.
e. Urutkan strategi intervensi secara tepat.
f. Jelaskan pentingnya mengatur pendirian, transisi internal.
g. Sediakan peluang untuk praktek yang sesuai dengan audien.
h. Jelaskan pentingnya modeling.
i. Pertunjukkan ketrampilan bertingkahlaku baik.
j. Analisis dinamika kelompok di (dalam) situasi yang disimulasikan dan
mengidentifikasi strategi untuk menangani situasi spesifik, seperti anak-anak
lambat belajar, anggota kelompok yang bersifat menentang.
k. Evaluasi perolehan pemahaman dan ketrampilan.
l. Berikan umpan balik dan penguatan yang sesuai.
m. Tetapkan tingkat pencapaian yang sesuai.
n. Pilih peralatan, audio visual, material dan fasilitas pembelajaran yang sesuai.
o. Evaluasi pelatihan dan memodifikasinya berdasar pada hasil evaluasi.
p. Tetapkan suatu metoda untuk tindak lanjut untuk mengevaluasi efektivitas
program untuk pengembangan masa depan.
q. Jelaskan peran strategi modifikasi perilaku di (dalam) meningkatkan gaya
hidup.

251

r. Menerapkan teori motivasional di (dalam) merancang strategi pembelajaran
dengan menggunakan tipe kelompok atau individu khusus.
s. Diskusikan pentingnya umpan balik dan penguatan di (dalam) belajar
manajemen stres dalam menghadapi ketrampilan.
t. Identifikasi bagaimana bagian atau keseluruhan belajar sebagai hal yang
penting mengajar ketrampilan relaksasi.
u. Jelaskan kebutuhan akan kemajuan dan pemilihan waktu yang sesuai di
(dalam) strategi intervensi pembelajaran.
v. Jelaskan bahwa belajar bergantung keadaan.

Atas dasar temuan-temuan di atas, menjadi kewajiban bagi pendidik untuk
memperhatikan dan berupaya menemukan program-program pecegahan dan
penyembuhan bagi anak-anak yang menghadapi problema-problema di atas. Oleh
karena itu, pada bahasan berikut akan dikemukakan bagaimana sebenarnya perilaku
bermasalah terjadi pada kaum remaja.

B. Hakekat Perilaku Beresiko bagi Kaum Remaja
Perilaku bermasalah yang terus terjadi dan sejalan beriringan dengan
permasalahan jaman ini mengandung resiko bagi kaum remaja. Banyak ahli ilmu
pengetahuan sosial yakin bahwa kekurangan kendali secara mendasar selama masa
remaja mengarah ke terbentuknya profil resiko tinggi ( Gottfredson, 1994). Berikut
ini dikemukakan beberapa pemikiran mengenai upaya pencegahan bagi terjadinya
perilaku bermasalah yang mengarah ke perilaku beresiko tinggi.
a.

Pola perilaku bermasalah menunjukkan gejala yang sama baik
kelompok yang beresiko tinggi maupun yang beresiko rendah. Individu
yang memiliki banyak masalah, beberapa masalah yang dialaminya

252

sejajar dengan perubahan-perubahan perkembangan selama mengarungi
hidup sebagai remaja. Walaupun frekuensi dan intensitas masalah
berbeda-beda, namun keduanya baik kelompok yang beresiko tinggi
maupun yang beresiko rendah akan membentuk perilaku yang
menyimpang pada masa remaja akhir dan awal dewasa. Oleh karena
pola resiko tersebut dapat meningkat, maka usaha-usaha pencegahan
harus menjadi pusat perhatian bagi semua anak selama masa remajanya.
b.

Perilaku bermasalah secara dramatis dapat ditemukan pada saat anak
memasuki masa remaja awal. Oleh karena perilaku beresiko dan
bermasalah tersebut berakar dari masa pubertas dan berlanjut terus
sampai masa dewasa awal, maka pencegahan harus dilakukan sejak anak
menjelang memasuki masa remaja. Keadaan tidak baik yang mulai
tampak jelas di antara kelompok anak sekolah dasar sudah
mengisyaratkan perlunya mewaspdai dan mnyiapkan usaha-usaha
pencegahan mulai masa kanak-kanak.

c.

Dalam

wacana

penyimpangan

perilaku,

ditunjukkan

bahwa

kelompok beresiko tinggi sebenarnya bermula dari kelompok yang
beresiko rendah. Sumber-sumber untuk melakukan pencegahan terutama
harus dialokasikan bagi remaja-remaja yang diprediksi memiliki resiko
tinggi. Usaha pencegahan universal bagi semua remaja harus
dipertahankan, namun sumber-sumber pencegahan yang signifikan harus
dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan

penyimpangan antara

kelompok beresiko tinggi dan beresiko rendah.
d.

Perilaku bermasalah mulai menurun kadarnya setelah orang berusia
sekitar 23 tahun. Secara dramatis beberapa perilaklu bermasalah yang
dialami kaum remaja berangsur-angsur menurun selama masa dewasa
awal. Pada saat berusia 22 sampai 27 tahun penyimpangan perilaku
mengalami penurunan hampir 50%, dan terus menurun sampai

253

menginjak usia dewasa. Usaha-usaha pencegahan harus diperhatikan
benar bila pada usia remaja akhir dan dewasa awal tingkahlaku
bermasalah masih tampak tinggi. Namun tidak perlu terlalu khawatir,
sebab pada akhirnya perilaku bermasalah akan mengalami penurunan
sendiri, kecuali kasus khusus.
e.

Selama 10 tahun, antara usia 13 sampai 23 tahun, prilaku bermasalah
menunjukkan angka yang tinggi baik kelompok beresiko tinggi maupun
beresiko rendah. Pada usia tersebut perilaku bermasalah semakin
menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Usaha-usaha pencegahan
dan intervensi yang efektif harus menjadi target utama ketika anak
berada pada decade tersebut.

C. Implikasi Bagi Pengembangan dan Evaluasi Program
Tantangan untuk program pencegahan yang dikembangkan saat ini adalah
intervensi dini melalui menggali sumber daya yang diperlukan bagi mereka yang
berada pada resiko terbesar. Suatu strategi ganda harus dikembangkan yang
melibatkan atau padu antara remaja-remaja yang memerlukan pencegahan primer,
sekunder, dan tertier. Keberagaman usaha pencegahan yang tepat diharapkan
mampu memenuhi segala kebutuhan semua remaja. Upaya ganda ini mencakup
program pendataan status resiko yang dialami remaja secara individual dan
membantu mereka mengakses pelayanan-pelayanan pencegahan yang tepat
dipasangkan dengan tingkat-tingkat resikonya.
Dalam pendekatan pencegahan ganda tersebut program utamanya (primer)
harus tersedia bagi semua orang tua dan anak remajanya. Intervensi sekunder harus
dikembangkan dan tersedia bagi orang tua dan remaja-remaja yang teridentifikasi
memiliki faktor resiko. Terakhir, intervensi klinis tertier sejak awal harus tersedia
bagi remaja yang jelas-jelas mengalami satu atau lebih masalah. Strategi intervensi

254

ganda memberi jaminan ketersediaan program yang tepat bagi semua level masalah
mendadak. Dengan pendekatan ini, populasi yang beresiko rendah akan secara
lebih cepat terlayani sehingga mereka tidak berkembang ke arah perilaku masalah
dengan resiko tinggi.
Program pencegahan dan intervensi ganda akan melakukan pendataan awal
mengenai perilaku bermasalah. Tanpa pendataan di atas, usaha pencegahan akan
terbatas pada pendekatan primer, yang tidak cukup intensif untuk membantu
penyimpangan-penyimpangan yang beresiko lebih tinggi. Strategi asesmen, sebagai
bagian pelayanan intervensi, menjadi bagian yang penting saat tampak gejala
remaja mengarah ke perilaku beresiko tinggi. Semua remaja di masyarakat kita
perlu didata, dapat melalui sekolah, untuk menentukan gambaran umum status
resiko anak-anak remaja kita. Anak-anmak yang ditengarai masuk ke dalam profil
beresiko tinggi perlu ditelaah lebih intensif. Hasil yang berupa informasi status
resiko dapat digunakan untuk merancang program intervensi secara lebih tepat.

RANGKUMAN
Dengan jelas tampak bahwa perilaku bermasalah menyebar dan cepat
mencapai puncak selama masa remaja dan awal kedewasaan. Kebutuhan akan
program pencegahan dini terhadap perilaku bermasalah menjadi nyata. Usaha-usaha
ini harus diarahkan baik remaja yang beresiko tinggi maupun remaja yang beresiko
rendah, dengan informasi yang dimodifikasi untuk profil perilaku beresiko secara
individual. Strategi pencegahan dan intervensi ganda menjadi model yang efektif
komprehensif untuk memenuhi kebutuhan beragam populasi remaja. Program
pencegahan majemuk yang terdiri atas strategi primer, sekunder, dan trertier
dijelaskan sebagai berikut.

255

Primer.

Pencegahan dirancang untuk semua remaja tanpa kecuali, dengan asumsi
bahwa semua remaja membutuhkan informasi cara-cara untuk mencegah
terjadinya

perilaku

target

(perilaku

bermasalah).

Strategi

ini

dimaksudkan sebagai strategi universal berlaku untuk semua remaja.
Dilakukan oleh orangtua dan berkolaborasi dengan anak remajanya.
Sekunder. Pencegahan ditujukan kepada anggota populasi remaja yang oleh
lingkungannya atau karakteristik individualnya diduga beresiko. Secara
khusus tidak meliputi perilaku yang menunjukkan gejala untuk dicegah,
atau perilakunya belum

teridentifikasi secara pasti sebagai perilaku

beresiko tinggi.
Tertier. Usaha intervensi terhadap perilaku yang benar-benar menunjukkan gejala
beresiko tinggi. Intervensi ini dilakukan secara intensif oleh ahli dan
dirancang untuk mengubah perilaku bermasalah dan juga untuk
mencegah perilaku bermasalah kambuh di kelak kemudian hari.
PENDALAMAN
Selesaikan tugas berikut dengan seksama!
1.

Buatlah bagan permasalahan remaja sehingga menjadi
ringkas dan jelas mengenai jenis masalah, gejala masalah, dan sumber-sumber
penyebabnya!

2.

Pilih

salah

satu

permasalahan

remaja:

kejahatan,

penyalahgunaan obat, kegagalan akademik, perilaku seksual beresiko, atau
gangguan emosional. Kembangkan satu upaya guru untuk mencegah agar
permasalah yang Anda pilih tersebut tidak diidap oleh remaja, siswa-siswa di
sekolah!

DAFTAR RUJUKAN

256

Bandura, A. (1973). Aggression: A social learning analysis.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Berkowitz, L. (1995). Aggression: Its causes, consequences, and
control (Alih Bahasa: H. W. Susiatni). Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo.
Breakwell, G. M. (1998). Coping with aggressive behaviour (Alih
bahasa: Bernadus Hidayat). Deresan, Yogyakarta: Kanisius
Daniel, J. A. (2002). Assessing threats and school violence:
Implication for counselor. Journal of Counseling and
Development, 80(2), 215-218.
Dishion, T. J., Andrews, D. W., Kavanagh, K., & Andrews, D.W. (In press).
Preventive interventions for high-risk youth: The Adolescent Transitions
Program. In B McMahon & R.D. Peters (Eds.), Childhood Disorders,
substance abuse and delinquency: Prevention and Early Intervention
Approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications
Dryfoos, J. (1990). Adolescents at Risk: Prevalence and Prevention. New York:
Oxford University Press
Feisal, J. A. (1997). Pluralisme budaya
Pendidikan: Jurnal Pendidikan, 1, 16-21.

Indonesia.

Mimbar

Fromm, E. (2001). The anatomy of human destructiveness
(Diterjemahkan oleh Imam Mutaqin). Yogyakarya: Pustaka
Pelajar.
Gottfredson, M. (1994). General theory of adolescent problem behavior. Adolescent
Problem Behavior, Ketterlinus, R. & Lamb, M. (Eds.), Hillsdale, N. J.:
Erlbaum Press,
Lerner, R. (1995). America's Youth in Crisis. Thousand Oaks, CA: Sage,
Publications,.
Rice, K. G., and Myer, A. L. (1994). Preventing depression among young
adolescents: preliminary process results of a psycho-educational
intervention program. Journal of Consulting and Development, 73, 147-152.
Lewinsohn, P. M., Clarke, G. N., Hops, H., & Andrews, J. (1990). Cognitivebehavioral treatment for depressed adolescents. Behavior Therapy, 21, 385401.

257