Manajemen konflik pada merupakan serangkaian

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang maupun pihak berorientasi pada
proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah
laku) dari pelaku luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik)
sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat
tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah
yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan
ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir
berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan
ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat
melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan
atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.
Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada
pola komunikasi
mempengaruhi

(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana

kepentingan
dan
penafsiran
terhadap

mereka
konflik.

FISHER DKK (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum
dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
• Pencegahan

Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang
keras. penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui

persetujuan damai.
• Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Resolusi
Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru
dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.

• Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan
sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam
mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap
sebelumnya misalnya
penyelesaian konflik.

pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa

manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota
merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen
konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif,
artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif
dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah
yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan),
klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka

dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk
mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak
ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam
konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola
konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
TEORI-TEORI KONFLIK
Sebab-sebab konflik
a. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang
mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa
saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar
manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang
sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi,
dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang

tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
C. Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi
dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan
negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah
tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua
belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering
berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak
diselesaikan.

Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami
konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak
tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara
komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.

Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya
pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain,
meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan
jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik,
mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.

Konflik yang Produktif Kategori Organisasi Industri Oleh : Ubaydillah,
AN Jakarta, 8/13/2007
Pengertian Konflik
"YOU CANNOT NOT TO BE IN CONFLICT".
Mungkin ungkapan ini pas buat orang yang bekerja. Tidak ada satu orang pun yang
tidak pernah terlibat dalam konflik di tempat kerja. Kalau melihat praktek hidup,
konflik itu adalah konsekuensi dari komunikasi / interaksi. Karena kita selalu
berkomunikasi atau berinteraksi, baik secara lisan atau non-lisan, maka salah satu

konsekuensinya adalah konflik.
Apa itu konflik? Secara teori, konflik itu punya pengertian fisik dan non-fisik
(perasaan, pemikiran, dll). Menurut Kamus Merriam Webster dan Advance, arti
·

konflik itu antara lain:
Perlawanan mental sebagai akibat dari: kebutuhan, dorongan, keinginan atau

·

tuntutan yang berlawanan.
Tindakan perlawanan karena ketidakcocokan / ketidakserasian.

·

Berkelahi, berperang, atau baku hantam.
Berdasarkan teori yang dikembangkan para ahli, konflik itu memiliki kelas,
stadium atau mungkin bisa disebut tingkatan. Dalam Encyclopedia of Professional
Management (Editor Lester Robet Bittle, McGraw-Hill, Inc, 1998), di sana terdapat
penjelasan bahwa tingkatan konflik dalam organisasi itu antara lain dijelaskan

seperti berikut:

1.

Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada
tingkatan ini adalah konflik yang masih ada di batin kita (tidak kelihatan). Ada
beberapa ketidakcocokan antara kita dengan orang lain, tetapi ketidakcocokan itu
tidak nampak atau tidak muncul ke dalam ucapan mulut, sikap, dan tindakan.

2.

Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict. Konflik yang
terjadi pada tingkatan ini adalah konflik yang sudah kita ketahui, kita alami atau
sudah nampak. Kita dengan orang lain sudah sama-sama mengalami perbedaan
yang kita munculkan dalam bentuk perlawanan. Perbedaan itu bisa jadi berbeda
dalam pendapat, harapan, kebutuhan, motif, tuntutan atau tindakan. Perlawanan itu
bisa jadi dalam bentuk perlawanan mulut atau sikap.

3.


Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah
menjadi perlawanan fisik, baku hantam, perkelahian, atau hal-hal yang semisal
dengan itu. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan
atau senjata (blow or weapon).
Berdasarkan kasus yang kerap mucul di tempat kerja, konflik itu disebabkan karena,
antara lain:

·

Perlakuan yang mendiskreditkan atau ada pihak yang merasa tidak dihargai,
terutama pada momen-momen yang sensitif.

·

Manajemen gagal dalam mendefinisikan peranan dan tugas masing-masing orang
atau bagian secara jelas sehingga terjadi ketumpang-tindihan peranan.

·

Komunikasi yang lemah atau munculnya kesalahpahaman tentang apa yang perlu

dilakukan dan kapan. Ini terkait dengan keputusan yang tidak jelas atau sosialisasi

·
·

·

kebijakan yang tidak jelas.
Kegagalan dalam mengontrol diri atau kehilangan kendali (losing temparement).
A personalitiy clash yang bentuknya macam-macam. Kalau ada orang yang tidak
suka terhadap gaya kempemimpinan atau gaya kerja orang-orang tertentu mungkin
ini bisa menimbulkan konflik di tempat kerja.
Kurang pengalaman dalam menduduki posisi tertentu atau peranan tertentu. Orang
yang baru menduduki posisi atau jabatan tertentu, biasanya sering melakukan halhal yang bisa menimbulkan konflik.

·

Kurang pengalaman
belakangnya.


dalam

memimpin

orang

yang

bermacam-macam

latar

Konflik Produktif & Konflik Kontra Produktif
Secara teori, konflik itu memang jelek. Cuma, perspektif yang perlu
dimunculkan di sini bukan semata mengatakan itu jelek atau tidak. Kenapa? Seperti
yang saya singgung di muka, konflik itu pada prakteknya seringkali susah kita
hindari, meskipun kita tidak menginginkannya. Konflik itu merupakan salah satu
konsekuensi komunikasi atau interaksi. Karena itu, yang perlu dimunculkan di sini
adalah menemukan perspektif positif pada saat itu tidak bisa dihindari.
Ini agar kita tetap menjadi orang yang selalu lebih positif pada saat kita

menghadapi hal-hal yang tidak positif. Nah, salah satu perspektif yang perlu
dimunculkan itu adalah bagaimana kita bisa mengelola konflik itu supaya menjadi
materi batin yang dapat memacu produktivitas kerja. Berdasarkan studi dan
pengalaman, konflik akan produktif ketika:
·
·

Fokus konflik itu adalah kepentingan, kebutuhan, atau pencapaian (prestasi).
Menggunakan cara-cara atau pendekatan yang terbuka (open).

·

Masing-masing pihak masih tetap menjaga hubungan kemanusiaan atau masih
punya perspektif positif terhadap lawannya.

·

Dapat mendorong keduanya untuk memacu diri dalam mencapai sasaran-sasaran
yang diinginkan.

·

Dapat mendorong pihak untuk mengasah kreativitas dalam menemukan cara yang
lebih baik atau hasil yang lebih bagus
Lalu, kapan konflik itu akan destruktif atau kontra-produktif? Menurut praktek
yang sudah umum, sebagian besar konflik memang destruktif. Tanda-tanda konflik

·

yang sudah destruktif itu antara lain:
Ketika isu utama yang kita konflikkan atau fokus konfliknya adalah orang. Konflik
yang sudah mengangkat orang sebagai isu utama ini biasanya berlangsung lama.
Apalagi jika masing-masing orang merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan

·

(masing-masing merasa benar).
Ketika konflik itu sudah merupakan bentuk penyerangan

terhadap kepribadian,

gaya, atau diri seseorang, bukan pada tingkah laku atau tindakan yang spesifik. Ini
misalnya kita mengatakan si A itu selalu salah kerjanya padahal yang salah adalah
·

pekerjaan tertentu, bukan seluruhnya.
Ketika yang menjadi alasan adalah dorongan untuk mempertahankan egoismekebenaran-sendiri (posisi), bukan kepentingan bersama atau kemanfaatan (misi).
Kita menganggap diri sendiri sebagai orang yang paling benar dan orang lain kita

·

anggap sebagai pihak yang paling salah.
Ketika konflik itu sudah menghancurkan sendi-sendi hubungan antarmanusia atau
bermusuhan, baik permusuhan lahir atau permusuhan batin. Ini biasanya akan
melahirkan office politic yang kotor dan munculnya gang yang ber-"kongkurensi".

·

Ketika yang kita konflikkan adalah solusi jangka pendek atau sesaat untuk
menyelesaikan problem yang berjangka lama atau problem abadi.
Kalau membaca hasil kajian Hawk Williams (1996), konflik destruktif itu juga bisa
mencul ketika:

·
·

Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain.
Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap

·

punya masalah dengan kita.
Problem itu tetap muncul atau terus bertambah.

·
·

Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi).
Kita kehilangan perspektif tentang orang itu (pokoknya kita benci, ingin dia pergi,
tidak cocok, dst)
Solusi Personal & Organisasional
Nah, satu pertanyaan penting dari penjelasan di atas adalah, lalu siapa yang
bisa membikin konflik itu produktif dan tidak? Siapa yang bisa mengkondisikan
konflik itu konstruktif atau destruktif? Kalau kita mengharapkan itu pada konfliknya,
tentu ini sangat jauh. Kalau kita mengharapkan orang lain, lawan kita dalam
berkonflik itu, ini juga sangat jauh.
Dengan kata lain, yang bisa mengelola konflik itu supaya tetap bisa
memberikan perspektif yang konstruktif dan produktif adalah kita sendiri. Karena itu,
kompetensi yang diperlukan di sini adalah manajemen-diri (self-management). Unsur
terpenting dalam manajemen-diri di sini adalah mengontrol emosi. Kontrol emosi
artinya kita, secara mental, bertindak selaku penguasa, pemilik, atau pengendali

emosi itu. Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk bisa mengontrolnya adalah
menerapkan formula 3C (Catch, Change, and Create).
Catch artinya kita benar-benar tahu dan sadar bahwa emosi kita memang lagi
bermasalah atau meledak. Atas kesadaran dan pengetahuan ini kita berusaha untuk
mengendalikannya. Change di sini adalah berusaha untuk mengganti dengan yang
lebih positif bagi diri kita supaya ledakan emosi itu tidak sampai menimbulkan
konflik dengan stadium tinggi. Sedangkan Create di sini adalah menciptakan
perspektif, penyikapan, respon atau tindakan yang tidak memperkeruh suasana.
Dengan cara ini, kita masih punya ruang untuk menemukan spirit untuk
memperbaiki diri dari konflik yang terjadi. Kita masih punya ruang untuk memikirkan
cara-cara konflik yang terbuka. Kita masih punya ruang untuk menjaga hubungan
kemanusiaan. Kita masih punya ruang untuk tetap fokus pada apa yang penting buat
kita. Kita masih punya ruang untuk memikirkan cara-cara kreatif dalam mengatasi
konflik.
Apa ada orang yang masih mengingat formula 3C itu ketika konflik terjadi?
Kalau pun ada, mungkin jumlahnya sangat sedikit. Kalau pun ada, mungkin itu
adalah buah (kemampuan) dari kebiasaan sebelumnya. Nah, satu-satunya jurus
penyelamat bagi yang belum biasa mengatasi konflik secara tactfully adalah,
menahan diri supaya tidak mengeluarkan reaksi yang berlebihan secara langsung.
Keluarkan reaksi yang proporsional dan setelah itu temukan ruang batin untuk
mengerem, alias jangan berlanjut sampai ke tingkat yang di luar kontrol. Itu semua
adalah solusi personal yang mungkin bisa kita lakukan. Adapun untuk solusi
organisasionalnya, kita pun bisa menjalankan saran-saran di bawah ini:
Pertama, biasakan menyelesaikan masalah yang sudah muncul atau yang masih
terpendam (problem solving). Masalah tidak hilang karena kita abaikan. Masalah itu
bersembunyi dan biasanya akan muncul dalam bentuk pukulan mendadak. Karena
itu perlu kita selesaikan supaya tidak membesar atau supaya tidak meledak menjadi
konflik stadium tiga alias fighting.
Kedua, biasakan melihat masalah secara proporsional: tidak membesar-besarkan,
tidak mengada-ngada, tidak meremehkan (smoothing). Kerapkali terjadi bahwa
hubungan kita menjadi bermasalah padahal tidak ada masalah yang perlu
dimasalahkan atau masalah itu hanya berupa semacam penilaian-perasaan yang
subyektif. Dengan belajar memproporsionalkan cara pandang kita terhadap masalah,
maka kita bisa terhindar dari konflik, bisa mengurangi atau meredamnya.
Ketiga, mintalah orang yang sudah punya otoritas lebih tinggi (Refering to higher
authority) sebagai penengah, peredam atau pemberi solusi. Selama masalah yang
menimbulkan konflik itu berkaitan dengan pekerjaan dan melibatkan orang banyak,
biasanya penggunaan otoritas / kekuasaan sangat membantu, entah sebagai
mediator atau decision maker.
Keempat, antisipasi hal-hal yang

bisa

menimbulkan

konflik

dalam

praktek

hubungan kita. Sekedar untuk bertukar pengalaman, saya kebetulan sering diminta
untuk menjadi penengah orang-orang yang berkonflik. Kesimpulan saya, masingmasing pihak memang menginginkan kompromi, kesepakatan atau kedamaian. Tapi,
yang sering dilupakan oleh masih-masing pihak adalah menghindarkan diri dari hal-

hal yang dapat memancing konflik. Ini misalnya tetap kekeuh mempertahankan
posisi defensifnya, menutup diri dari berbagai masukan, menolak berdialog secara
rasional, tidak mau mengorbankan kepentingan kecil demi terwujudnya kepentingan
yang lebih besar, dan lain-lain. Artinya, ketika kita ingin damai, maka kita pun harus
mempersiapkan diri untuk menanggung konsekuensi alamiyahnya. Salah satu
konsekuensi penting di sini adalah menghindarkan diri (avoid from) dari hal-hal yang
dapat memancing konflik atau yang dapat menutup pintu kesepakatan.
Kelima, berkompromi (Compromise). Kerapkali terjadi bahwa berkompromi ini punya
manfaat yang jauh lebih banyak ketimbang berkonflik. Berkompromi adalah belajar
untuk menjadi "soft"(baca: fleksibel seperti air) dan belajar untuk tidak menjadi
"hard" (baca: keras seperti kayu). Semua orang sudah tahu, dengan menjadi soft
akan mengalahkan yang hard, tetapi sayangnya, kita lebih sering memilih menjadi
hard untuk mengalahkan yang hard. Nah, itu semua adalah bentuk-bentuk solusi
yang bisa kita ambil. Tentu, pengertian solusi di sini adalah proses pembelajaran di
mana kita berusaha untuk memperbaiki diri dari praktek yang kita lakukan seharihari. Semoga bermanfaat.
Pilkada Langsung dan Teori Konflik (Tanggapan Prof. Wan Usman) Kamis, 22
November 2007
MENGAPA setiap konflik kepentingan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada)
selalu cenderung diikuti tindakan anarkis atau konflik di antara para pendukungnya?
Di Padang Pariaman (Sumatra Barat) misalnya, pilkada berbuntut perusakan kantor
KPUD setempat. Aksi pendudukan, pengepungan kantor KPUD, bentrokan dengan
petugas keamanan, dan sejenisnya terjadi di tempat-tempat seperti Depok (Jawa
Barat), Semarang dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Mataram (NTB), Toli-Toli (Sulawesi
Tengah), Gowa (Sulsel), Gorontalo, Cilegon (Jawa Barat), Tanah Bumbu (Kalimantan
Selatan), dan Kaur (Bengkulu).
Dan yang paling terbaru adalah kasus pilkada Maluku Utara, dimana tanpa
pertimbangan yang benar-benar arif dan bijak, KPU Pusat menarik keputusan yang
dikeluarkan oleh KPU Daerah yang telah memenangkan Thaib Armain-Gani Kasuba
dalam pilkada Malut. Hal yang paling dikhawatirkan oleh banyak pengamat adalah
terjadinya konflik yang lebih besar. Karena memang tidak ada landasan hukum yang
mendasari keputusan KPU Pusat tersebut. Adapun keberatan dan peninjauan ulang
hanya dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung
Dalam praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan,
persepsi, interpretasi terhadap mekanisme pilkada sebetulnya tidak saja
mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan
strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam
praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang
memiliki multipartai politik.
Konflik di masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang
perlu diketahui bukanlah apakah konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana
intensitas dan tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu. Apakah
menyangkut masalah fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan tajam atau
sekadar perbedaan pandangan?

Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan
pihak-pihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik. Sedangkan kekerasan konflik
menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi
hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antarkelompok yang menyangkut
masalah
prinsip
dasar
(fundamental)
akan
menimbulkan
pertentangan
antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat
sekunder atau dinilai tak penting.
Teori Konflik telah diulas dan dikembangkan oleh banyak sosiolog. Mereka
antara lain, Karl Marx, Ralf Dahrendorf, George Simmel, dan Lewis Coser.
Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada
sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx,
dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum
borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh
yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Antara kedua kelompok ini selalu terjadi
konflik. Dalam The Communist Manifesto, Marx (Johnson, 186: 146) mengatakan,
"Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan
kelas," yaitu kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan
dimenangkan kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarkis,
yakni komunisme. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses
perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134).
Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan
revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya
didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubunganhubungan kekuasaan. Terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam
struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan. Menurut
Dahrendorf, sebagai koreksi atas pemikiran Marx, telah terjadi dekomposisi modal
(menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolistis karena
para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan); dekomposisi tenaga kerja
(kaum proletar tidak lagi homogen; secara hierarkis di antara mereka tersebar
menempati posisi tertentu), dan timbulnya kelas menengah baru (karena terjadinya
peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh). Dalam hal ini terkandung tiga
konsep penting: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti,
menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan
kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena
punya kepentingan antagonistik.
Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial
dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya
dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem
sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas (Garna, 1992: 67). Karena
konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang
dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial.
Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan
penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan
penghadapan antara in-group dan out-group. Ketika konflik terjadi, masing-masing

anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah
kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik
dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya. (Poloma, 1987: 108).
Ketika ada ancaman dari luar, maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi
pada perselisihan internal.
Demokratisasi secara

konseptual

menurut

Kenneth

Minogue,

(2000)

merupakan proses di mana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim
demokratis. Proses transisi menuju demokratis dalam pilkada kali ini menjadi
fenomena kuat apakah demokratisasi berjalan sesuai dengan substansinya itu
sendiri atau lagi-lagi terjebak pada "slogan-slogan dan verbalisme" kampanye yang
tak mampu menangkap aspirasi dan kepercayaan rakyat pemilih. Kemauan dan
kerelaan para pemimpin terpilih untuk secara cepat atau lambat melepaskan
dominasi mental priayi ataupun otoriter. Pada pada platform inilah proses
demokratisasi akan menemukan "ruang gerak"-nya secara dinamis, kendatipun tak
ada yang bisa menjamin sepenuhnya karena berbagai realitas dan fenomena sosial,
budaya, ekonomi, dan politik rakyat saling terkait dan saling memengaruhi. Pada
tataran ini, pilkada secara langsung akan menjadi satu momentum berharga bagi
rakyat dalam memilih pemimpinnya dan sekaligus tantangan dan ujian bagi proses
pendidikan politik rakyat Indonesia.
Yang perlu diingat, dalam proses demokratisasi ini terdapat kelemahan, di
mana kebebasan dan pengabaian rakyat untuk memilih secara bebas, rasional,
terbuka dan reflektif akan berdampak pada munculnya apatisme politik rakyat yang
lebih membahayakan bentuk pemerintahan konstitusional.
Solusi atas konflik
Menurut Johnson (1990: 162), perhatian utama Teori Konflik adalah pada
mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan
bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial. Dengan
demikian, konflik perlu dikelola. Konflik yang tidak dikelola dapat menimbulkan
perubahan sosial yang tidak diharapkan, sementara konflik yang dikelola dapat
mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Teori Konflik dengan
analisis fungsional terus dikembangkan oleh sejumlah pakar, antara lain melalui
berbagai studi eksperimen, di antaranya yang sangat menonjol adalah eksperimen
Muzafer Sherif.
Dalam upaya pengembangan teori ini, Sherif melakukan eksperimen, dengan
mengumpulkan sejumlah orang, dengan tahapan sebagai berikut: (1) pemilihan
teman secara spontan, (2) pembentukan kelompok, (3) konflik antarkelompok, dan
(4) kerja sama antarkelompok atau pengurangan konflik antarkelompok (Taylor dan
Moghaddam, 1994). Pada awalnya setiap orang mencari pilihan kawan yang cocok
sehingga terbentuklah kelompok-kelompok. Dalam pembentukan kelompok ini
diperlukan adanya kerja sama antarindividu. Mereka melakukan serangkaian tugas
bersama. Pada saat yang sama, mereka juga membangun kultur kelompok.

Ketika konflik terjadi, di kalangan para anggota kelompok terjadi persepsi
yang bias. Terjadi peningkatan sikap positif terhadap kelompok dirinya masingmasing (in-group) berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok
lain (out-group). Kekompakan, komitmen, konformitas pada in-group makin tinggi,
juga muncul kepemimpinan yang bersifat agresif. Konflik antarkelompok ini
kemudian dapat dikendalikan ketika semua kelompok dihadapkan pada tugas
bersama yang merupakan tujuan bersama yang lebih tinggi (superordinate goals),
yang pencapaiannya tak mungkin tanpa partisipasi seluruh kelompok. Maka
terjadilah tranformasi dari situasi konflik ke relasi antarkelompok yang harmonis.
Penyelesaian konflik antarkelompok berdasarkan Teori Konflik, menurut eksperimen
Sherif, adalah berada pada tahap terakhir, yakni bagaimana mengubah konflik,
pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Menurut Sherif,
konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerja sama antarkelompok apabila
kepada mereka diintroduksikan superordinate goals secara meyakinkan bahwa di
atas hal-hal yang membuat mereka saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih
penting untuk dihadapi bersama.
Maraknya elite birokrasi yang bermasalah (KKN), rendahya penegakan
kepastian hukum, rendahnya kualitas pelayanan publik, minimnya penciptaan
lapangan kerja, tingginya angka pengangguran yang riil, rendahnya kualitas
kesadaran, keteladanan dan kedewasaan para elite politik akan menjadi muatan
yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pilkada secara langsung dan sekaligus
menjadi indikator bagaimana memberi makna demokratisasi bagi rakyat pemilih,
sehingga kualitas dan kepercayaan rakyat pada para pemimpin terpilih menjadi
kunci keberhasilan. Sejauh mana demokratisasi ini betul-betul memberi manfaat dan
makna bagi kehidupan yang lebih baik, bukan pada tataran utopia dan slogan saat
kampanye semata, di mana akhirnya rakyat menjadi penonton pasif dan
dimarginalisasikan. Sehingga jangan lagi muncul istilah bahwa "kue" pembangunan
lebih banyak dinikmati segelintir elite yang "memainkan" dan membuat kebijakan.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa pilkada secara
langsung di satu sisi akan memberi pendidikan politik berharga dalam suasana
demokratis yang transisional dan menjadi momentum berharga bagi lahirnya
pemimpin yang berasal dari pilihan dan kepercayaan rakyat, namun akan sekaligus
menjadi batu ujian bagi perilaku elite politik untuk menunjukkan keberpihakan pada
rakyat banyak dalam segala bentuk kebijakannya. Jika hal ini tidak menjadi acuan
dan pedoman, rakyat saat ini relatif mudah untuk melakukan
ketidakpuasan yang rentan diiringi dengan konflik fisik dan anarkis

aksi-aksi

Pemecah Konflik ala Schelling dan Aumann (Pieter P Gero)
Hidup tak lepas dari konflik. Jika tidak ingin kisruh berkepanjangan, konflik harus
dipecahkan. Pilihan ini yang diambil Thomas C Schelling dan Robert J Aumann. Konflik
perlu di selesaikan dan karena itu perlu strategi yang bisa membantu menyelesaikan
konflik.Schelling memunculkan ”Game Theory” guna mendapat cara yang strategis dalam
mengatasi konflik Perang Dingin. Teori ini lantas dikembangkan Aumann

menggunakan perangkat matematika untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik bisnis
dan dagang yang kian marak saat ini.
”Teori ini membantu menjelaskan dan menyelesaikan konflik bisnis dan dagang.
Bahkan teori ini bias memainkan peran dalam menghindari pecahnya perang,” ujar Akademi
Sains Kerajaan Swedia di Stockholm, Senin (10/10). Atas penilaian tadi Schelling dan
Aumann berhak atas Nobel Ekonomi 2005. Memang Schelling mengembangkan ”Game
Theory” ini untuk pemecahan konflik Perang Dingin antara Amerika Serikat dan bekas Uni
Soviet. Namun, Aumann yang ahli matematika mengembangkan untuk
Menyelesaikan konflik bisnis, seperti antarmitra bisnis, pekerja, serikat buruh atau
kelompok mafia. ”’Game Theory’ memunculkan ide yang diperlukan dalam pemecahan dan
pendekatan konflik secara umum,” ujar Aumann, warga AS yang kini mengajar di
HebrewUniversity, Jerusalem, ketika dikontak soal Nobel Ekonomi 2005 ini. Aumann bahkan
berharap suatu waktu teori ini bisa digunakan dalam penyelesaian konflik Palestina.
Panitia Nobel juga berpendapat, ”Hasil karya mereka telah mentransformasikan ilmu
sosial jauh melampaui batas-batas ekonomi”. Terbukti, pandangan ini punya relevansi yang
kuat bagi penyelesaian konflik dan upaya menghindari pecahnya perang.
Lomba senjata
Cukup rancu mengaitkan ”Game Theory” yang dikembangkan Schelling dengan
Nobel Ekonomi 2005 yang disandangnya bersama Aumann. Karena pria kelahiran
Oakland,California, AS, tahun 1921 ini lebih banyak menghubungkan teorinya tadi dengan
upaya mengatasi Perang Dingin seperti keamanan dunia ataupun lomba senjata. Doktor
ekonomi dari Harvard University di Cambrigde, Massachussets, AS, ini dalam hidupnya
memang banyakstudi berkaitan dengan perundingan dan konflik. Semua ini diperlukan dalam
diplomasi, strategi, dan control senjata. Latar belakang ini, menyebabkan
Schelling bergabung pada Marshall Plan, program bantuan pasca-Perang Dunia II yang
disiapkan AS guna membangunkembali Eropa.
Dari Eropa, Schelling menjadi staf Gedung Putih tahun1950-an. Tahun 1958 dia
kembali mengajar di HarvardUniversity dan melewatkan sebagian besar kariernya di sana.
Kini pada usia 84 tahun, Schelling masih aktif mengajar di Maryland University. Salah satu
bukunya, The Strategy of Conflict tahun 1960 yang menjadi dasar dari pandangannya soal
”Game Theory”, Schelling menjelaskan jalan keluar strategis seperti melakukan konsesi jalan
pintas guna meraih keuntungan jangka panjang. Tak ubahnya, mengalah mundur satu langkah
untuk dapat menerobos maju lima atau enam langkah. ”Saya hanya mempelajari kerja sama
dan konflik. Saya tidak mendalam soal ’Game Theory’. Saya tidak serius menekuninya
sebagaimana yang saya lakukan pada ekonomi,” ujar Schelling merendah. Meski demikian,
diamengaku gembira karena pekerjaannya diakui.
Formulasi ringkas
Apabila Schelling merasa kurang mendalam dalam ”Game Theory”, Aumann yang
melengkapinya. Doktor matematika murni dari Massachusetts Institute of Technology
(MIT)tahun 1955 ini mulai tertarik pada ”Game Theory” begitu bergabung dalam sebuah
konsultan riset. Lantas muncullah analisis yang dikenal dengan infinitely repeated games,
permainan yang terus berulang-ulang yang membantu memahami mengapa sejumlah orang
atau masyarakat lebih senang bekerja sama di antara mereka, sekalipun pada awal ada saling
curigadi antara mereka.

Dengan memasukkan sejumlah perangkat matematika, Aumann membuat konsep dan
hipotesis ”Game Theory”, suatu formulasi dan konklusi yang ringkas. ”Dia bekerja di antara
kelompok-kelompok yang sering berinteraksi dalam periode yang panjang (permainan yang
berulang-ulang) dan memperlihatkan bahwa kerja sama damai merupakan solusi yang pantas
disbanding kepentingan konflik jangka pendek,” ujar Panitia Nobel seperti dikutip Reuters
dan AFP. Aumann, kelahiran Frankfurt, Jerman, 8 Juni 1930 ini, mungkin merasa perlu
mendorong suatu kerja sama damai karena masa lalunya yang kelam. Dia dan
keluarganya lari ke AS tahun 1938 menghindari dari kekejaman Nazi Jerman. Persinggungan
dengan ”Game Theory” membuatnya ngotot bahwa sebuah konflik tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22