MACAM MACAM HUKUM PERIKATAN ISLAM

MACAM-MACAM HUKUM PERIKATAN ISLAM
Untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Hukum Perikatan Islam
Dosen Pengampu: Faridatul Fitriyah, M.Sy

Disusun oleh:
1. Rany Silvia Pebrian

(931307116)

2. Lailatul Tarwiyah

(931313616)

3. Sitta Pratiwi

(931320516)

4. Lisa Utami

(931401116)


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2018

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, hidayah
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Macam-macam Hukum Perikatan Islam”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw. yang membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman yang
benar yakni agama Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT
2. Ibu Farida selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan Islam.
3. Teman-teman atau pihak-pihak terkait yang telah memberikan
dukungan moral atau material hingga terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini, masih jauh dari
kesempurnaan karena adanya kerbatasan ilmu dan pengetahuan serta referensi

yang penulis miliki. Namun demikian, penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Selain itu penulis berharap adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pihak pembaca demi terwujudnya kesempurnaan
makalah ini, sehingga dapat menambah pengetahuan kita.

Kediri, 12 April 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ..............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan Masalah..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Macam-macam Praktek Perikatan Umum.................................................2
B. Macam-macam Hukum Perikatan Syariah................................................9

C. Macam-macam praktik Hukum Perikatan Hukum Islam........................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................18
B. Referensi..................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Perikatan Islam berkaitan dengan hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya teruntuk bidang muamalah yang menyangkut
ekonomi Islam. Adanya hukum tersebut begitu penting bagi masyarakat
Indonesia, terlebih umat Islam.
Indonesia sendiri mempunyai tiga macam sistem hukum yang
fungsinya mengatur masalah perikatan, yakni Hukum Adat, Hukum Perdata
Barat (KUHPerdata), dan Hukum Islam. Sebagai mahasiswa prodi Ekonomi
Syariah, maka dari itu perlu bagi kita untuk mengetahui macam-macam
Hukum Perikatan Islam yang ada di Indonesia sebagai pedoman kita dalam
bermuamalah.
B. Rumusan Masalah

1. Terdapat berapa macam–macam Praktek Perikatan Umum?
2. Ada berapa macam-macam Hukum Perikatan Syariah?
3. Berikan contoh dari macam-macam praktik Hukum Perikatan Hukum
Islam!
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui macam–macam dari Praktek Perikatan Umum.
2. Mengetahui macam-macam Hukum Perikatan Syariah.
3. Mengerti akan contoh dari macam-macam praktik Hukum Perikatan
Hukum Islam.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam – Macam Praktek Perikatan Umum
1. Perikatan Murni
Apabila di dalam suatu perikatan masing-masing pihak terdiri atas
hanya satu orang saja, sedangkan yang dituntut juga berupa satu hal saja
dan penuntutannya dapat dilakukan seketika maka perikatan semacam ini
disebut perikatan murni (bersahaja).

2. Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada
suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan
terjadi, baik dengan cara menangguhkan perikatan hingga terjadinya
peristiwa semacam itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadi peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH
Perdata).
Kata “syarat” dalam rumusan tersebut diartikan “peristiwa” yang
masih akan datang dan belum tentu akan terjadi. Kerapkali perikatan
bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tak
mengandung syarat. Adanya peristiwa (syarat) di dalam perikatan tidak
memerlukan pernyataan (tegas) dari para pihak.
Mengingat syarat (peristiwa) dalam ketentuan pasal tersebut, maka
terdapat dua macam perikatan bersyarat, yakni sebagai berikut.
a.

Perikatan bersyarat tangguh
Perikatan bersyarat tangguh adalah perikatan yang lahir apabila
peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Misalnya, saya berjanji untuk
menyewakan rumah saya, kalau saya benar dipindahkan ke luar

Jakarta. Jadi, perikatan itu terjadi bila betul saya dipindahkan ke luar
Jakarta.1 Dalam perjanjian jual beli, dibolehkan menyerahkan

1

I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), 7-8.

2

3

harganya kepada perkiraan seorang pihak ketiga dan bila pihak ketiga
itu tidak mampu membuat perkiraan tersebut maka tidaklah terjadi
pembelian. Jual beli semacam ini tergolong perikatan dengan syarat
tangguh.
b.

Perikatan bersyarat batal
Perikatan bersyarat batal adalah perikatan yang sudah lahir, justru
berakhir atau dibatalkan bila peristiwa yang dimaksud terjadi.

Misalnya, saya menyewakan rumah kepada Ali, dengan ketentuan
bahwa perikatan akan berakhir kalau anak saya yang berada di luar
negeri kembali ke tanah air. Jadi, perikatan (persewaan) itu akan
berakhir secara otomatis kalau anak saya kembali ke tanah air.
Semua syarat yang bertujuan untuk melaksanakan sesuatu
yang tidak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan
kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang
adalah batal, dan berakibat bahwa persetujuan yang digantungkan
padanya tak berdaya apapun (Pasal 1254 KUH Perdata).
Undang-undang menetukan syarat-syarat yang tidak boleh
dicantumkan oleh pihak-pihak di dalam suatu perikatan. Bila
dilanggar, maka perikatan tersebut batal, karena syarat tersebut adalah
bertujuan melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana,
misalnya, saya berjanji menhadiahkan rumah kepada Ali. Kalau ia
berhasil menurunkan rembulan dari langit. Syarat yang bertentangan
dengan kesusilaan baik, misalnya, saya akan brjanji menghadiahkan
sepeda motor kepada Badu bila ia mampu menzinahi gadis
tetangganya. Syarat yang dilarang oleh undang-undang mislanya, saya
berjanji kepada Ali memberi uang 50% dari harga barang
dagangannya (narkoba kepada orang asing itu).

Syarat yang pelaksanaanya tergantung dari kemauan salah satu
pihak yang terikat di dalamnya dinamakan Potestatieve voorwaarde.
Syarat yang demikian adalah batal misalnya, saya berjanji

4

menyewakan rumah kepada seseorang bila saya menghendakinya.
Janji seperti ini tidak mempunyai kekuatan apapun.
3. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan
hanya menangguhkan pelaksanaanya (Pasal 1268 KUH Perdata). Perikatan
dengan ketetapan waktu bertolak belakang dengan perikatan bersyarat.
Karena yang disebutkan belakangan itu mengandung peristiwa yang belum
pasti terjadi, sedangkan yang disebutkan sebelumnya mengandung
peristiwa

yang

telah


pasti

terjadi,

hanya

pelaksanaannya

yang

ditangguhkan.
Misalnya, pengaksesan surat wesel yang hari bayarnya ditetapkan
pada tanggal tertentu atau satu bulan sesudah pengaksesan. Contoh lain
lagi, saya menjual sawah saya kalau sudah panen atau menjual sapi saya
kalau sudah beranak. Bagaimanakah bila saya menjual rumah kontrakan
saya kalau penghuninya meninggal ? contoh seperti terkesan sebagai
perikatan bersyarat, padahal matinya seseorang juga merupakan sesuatu
yang pasti, hanya kapan hal itu terjadi tidak dapat diketahui. Karena
memiliki unsur kepastian akan kematian maka soal itu tergolong perikatan
ketetapan waktu.

Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, kreditur tidak berhak
untuk menagih pembayaran sebelum waktu yang dijanjikan itu tiba. Oleh
karena itu, perikatan dengan ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk
kepentingan debitur, kecuali sifat dan tujuan perikatan itu sendiri, ternyata
ketetapan waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur (Pasal 1264 jo.
Pasal 1270 KUH Perdata).
Debitur tidak lagi dapat menarik manfaat dari suatu ketetapan
waktu jika ia telah dinyatakan pailit atau jika karena kesalahannya jaminan
yang diberikan bagi kreditur telah merosot (Pasal 1271 KUH Perdata). 2
4. Perikatan Manasuka
2

Ibid hlm 9-11

5

Perikatan semacam ini diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata yang
berbunyi: “Dalam perikatan-perikatan manasuka si berhutang dibebaskan
jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam
perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa si berpiutang untuk menerima

sebagian dari barang yang lain.
Hak memilih itu ada pada si berhutang, jika hak ini tidak secara
tegas diberikan kepada pihak si berpiutang (Pasal 1273 KUH Perdata).
Misalnya, si Ali mempunyai tagihan uang kepada si Badu yang sudah lama
tidak dibayarnya. Kemudian Ali mengadakan perjanjian dengan Badu,
bahwa Badu akan dibebaskan oleh Ali atas utangnya jika saja ia mau
menyerahkan mobil atau motor kesayanganngya.
Menurut Badrulzaman (1995: 60). Perikatan manasuka dapat
berubah menjadi perikatan murni (bersahaja) dengan beberapa cara, yaitu :
a.

Bila salah satu dari barang yang dijanjikan tidak dapat menjadi pokok
perikatan (Pasal 1274 KUH Perdata).

b.

Bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan itu hilang atau
musnah (Pasal 1275 KUH Perdata)/

c.

Bila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan karena kesalahan si
berhutang tidak lagi dapat diserahkan (Pasal 1275 KUH Perdata).
Bila kedua barang itu hilang dan debitur salah tentang hilangnya

salah satu barang itu, ia harus membayar harga barang yang hilang paling
akhir. Bila hak memiliki diserahkan kepada kreditur dan hanya salah satu
barang saja yang hilang, sedangkan kesalahan tidak ada pada pihak debitur
maka kreditur harus mendapat barang yang masih ada.
Bila hilangnya salah satu barang karena kesalahan debitur maka
kreditur dapat menuntut penyerahan barang yang masih ada atau harga
barang yang telah hilang. Bila kedua barang telah musnah dan kesalahn
ada pada debitur mka kreditur dapat menuntut pembayaran harga salah
satu barang tersebut menurut pilihannya (Pasal 1276 KUH Perdata). 3
5. Perikatan Tanggung-Menanggung (Tanggung Renteng)
3

Ibid hlm 11-12.

6

Perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng
terjadi ketika di salah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal di
pihak debitur terdiri atas beberapa orang (ini yang lazim), dengan sebutan
“perikatan tanggung menanggung aktif”, sedangkan bila sebaliknya di
pihak kreditur terdiri atas beberapa orang disebut “perikatan tanggung
menanggung pasif” (Pasal 1280 KUH Perdata)
Dalam hal perikatan tanggung menanggung aktif, maka tiap-tiap
kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utangnya. Sebaliknya
pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan
debitur-debitur lainnya. Begitu juga pembayaran yang dilakukan seorang
debitur kepada seorang kreditur membebaskan debitur terhadap kreditur
lainnya.
Bila debitur berhadapan dengan beberapa kreditur maka terserah
kepada debitur untuk memilih apakah ia akan membayar utangnya kepada
kreditur yang satu atau kepada kreditur lainnya (Pasal 1279 KUH Perdata).
Dalam hukum perjanjian ada suatu aturan, bahwa tiada suatu
perikatan dianggap tanggung-menanggung, kecuali hal itu dinyatakan
(diperjajikan) secara tegas, atau ditetapkan oleh undang-undang. Misalnya
bila A, B, dan C bersama-sama meminjam uang Rp 3.000,00 maka hanya
dapat ditagih masing-masing Rp 1.000,00, kecuali kalau telah dijanjikan
bahwa masing-masing dapat ditagih untuk seluruh utang, yaitu Rp
3.000,00.
Dalam perjanjian penanggungan (borgtocht), bila beberapa orang
telah mengikatkan dirinya sebagai penanggungan untuk seorang debitur,
maka masing-masing mereka terikat untuk seluruh utang (Pasal 1836 KUH
Perdata).
6. Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi semata-mata
menyangkut soal peristiwanya, apakah dapat dibagi atau tidak. Misalnya,
perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang (hasil bumi merupakan

7

perikatan dapat dibagi, sedangkan menyerahkan seekor kuda, merupakan
perikatan yang tidak dapat dibagi).
Mengenai dapat dibagi atau tidak dapat dibagi suatu perikatan,
barulah mempunyai arti bila perikatan itu terdiri atas lebih dari seorang
debitur. Oleh karena itu, bila suatu perikatan hanya terdiri dari seorang
debitur maka perikatan itu harus dianggap tidak dapat dibagi, walaupun
prestasinya dapat dibagi. Tiada seorang debitur pun dapat memaksakan
krediturnya menerima pembayaran utangnya sebagian, meskipun utang itu
dapat dibagi-bagi (Pasal 1390 KUH Perdata).
Akibat hukum dari dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan
adalah bila perikatan tidak dapat dibagi, maka tiap-tiap kreditur berhak
menuntut seluruh prestasinya pada tiap-tiap debitur, sedangkan masingmasing debitur diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya, dengan
pengertian bahwa pemenuhan perikatan tidak dapat dituntut lebih dari satu
kali. Bila perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanyalah berhak
menuntut suatu bagian menuntut imbangan dan prestasi tersebut,
sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi
bagiannya.
Persamaan perikatan dapat dibagi dan tidak dapat dibagi dengan
perikatan tanggung-menanggung (walaupun prestasi dapat dibagi) yakni
tiap kreditur berhak menuntut dari masing-masing debitur untuk
memenuhi seluruh utangnya. Adapun bedanya, perikatan tidak dapat
dibagi menu]yangkut soal prestasinya itu sendiri, sedangkan pada
perikatan tanggung-menanggung mengenai orang-orangnya yang berutang
atau yang berpiutang. 4
7. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu ketetuan
sedemikian rupa, dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu
perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak
dipenuhi (Pasal 1304 KUH Perdata).
4

Ibid hlm 13-15.

8

Menurut Subekti, penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai
penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang, karena tidak
dipenuhinya atau dilarangnya perjanjian.
Selanjutnya dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1304 KUH Perdata
mempunyai dua maksud, yaitu :
a.

Untuk mendorong (menjadi cambuk) si berutang supaya ia memenuhi
kebutuhannya.

b.

Untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah
atau besarnya kerugian yang dideritanya.
Sedangkan menurut Badrulzaman maksud ancaman dalam Pasal

1304 KUH Perdata itu adalah :
a.

Untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi.

b.

Untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu, apabila terjadi
wanprestasi dan menghindari pertengkaran tentang hal itu.
Perlu diingat bahwa perikatan dengan ancaman hukuman berbeda

dengan perikatan manasuka. Perikatan yang disebutkan belakangan itu, si
berhutang boleh memilih antara beberapa prestasi, sedangkan perikatan
yang disebutkan sebelumnya si berhutang hanya boleh memenuhi satu
prestasi yang harus dilakukannya. Kalau ia lalai, barulah ia harus
memenuhi apa yang telah ditetapkan sebagai (ancaman). 5

5

Ibid hlm 16.

9

B. Macam-macam Hukum Perikatan Syariah
Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, hukum perikatan syariah dilihat
dari segi kaitan dengan objeknya, dibagi menjadi empat macam yaitu:6
1. Perikatan Utang (Al-Iltizam i Ad-Dain)
Perikatan yang objeknya adalah sejumlah uang atau sejumlah benda missal
(misli). Kunci utamanya dalam memahami konsep utang dalam hukum
islam bahwa utag itu dinyatakansebagai suatu yang terletak dalam
dzimmah (tanggungan seseorang). Contohnya adalah kesanggupan
pembeli untuk menyerahkan sejumlah uang atau kesanggupan seseorang
tukan mebel pesanan seorang pelanggan.
2. Perikatan Benda (Il-Iltizam i Al’ain)
Maksudnya adalah suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda
tertentu untuk dipindahmilikan, baik bendanya sendiri atau manfaatnya,
atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain seperti menjual
tanah kepada seseorang, atau menyewakan gedung untuk diambil
manfaatnya, atau menyerahkan, atau menipkan barang tertentu.
3. Perikatan Kerja atau Melakukan Sesuatu (Al-Iltizam Bi Al ‘Amal)
Merupakan suatu hubungan hukum antar dua belah pihak untuk
melakukan sesuatu. Contohnya adalah akad istishna’ dan ijarah.
Perjanjian ini lebih dikenal dengan perjanjian perburuan. Secara umum,
perjanjian kerja adalah perjanjian yang didasarkan oleh dua orang atau
lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk untuk melakukan pekerjaan
tersebut.
4. Perikatan Menjamin (Al-Iltizam Bi At Tautsiq)
Suatu perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu
perikatan. Maksudnya adalah pihak ketiga mengikatkan diri untuk
menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama. Misalnya, A
bersedia menjadi penanggung utang B kepada C. Jadi perikatan A untuk

6

40-42.

Madani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.

10

menanggung utang B terhadap C adalah periaktan menjamin. Sumber
periaktan ini adalah akad kafalah (penaggungan).
C. Macam-macam praktik Hukum Perikatan Hukum Islam
1.

Perburuhan dalam Islam (Al-Ijarah)
a. Pengertian
Al-Ijarah artinya mempersewakan, ijarah merupakan akad
sewa-menyewa barang atau jasa dengan pembayaran yang telah
disepakati sesuai dengan batas waktu habis masa sewa menyewa yang
besangkutan. Menurut istilah, ijarah adalah akad atas manfaat barang
atau jasa yang dilakukan oleh pihak pemilik barang atau jasa dengan
pihak penyewa menurut syarat-syarat yang dibenarkan oleh syariat
Islam. Dari pengertian tersebut, dalam praktek ijarah, terdapat
beberapa hal penting, yaitu:
1) Barang yang disewakan benar-benar memiliki manfaat
2) Jasa yang dapat diambil manfaatnya
3) Penggantian dari manfaat barang atau jasa
4) Penggantian atas manfaat jasa berupa upah yang disebut dengan
ujrah.
Ijarah merupakan sistem perburuhan apabila dikaitkan dengan
sewa-menyewa jasa. Ijarah tidak terdapat akad kepemilikan zat benda,
melainkan hanya pada manfaatnya dan hak benda tetap ada pada
tangan pemilik barang atau yang menyewakan. Oleh karena itu ijarah
disebut pula dengan jual beli manfaat atas suatu barang atau jasa.
Pelaksanaan

sewa-menyewa

haruslah

jelas

mengenai

pembayaran, harga sewa, batas waktu penggunaan atas suatu barang.7
b. Rukun dan syarat-syarat ijarah:
Rukun-rukun ijarah yaitu: ‘Aqid, Shighat akad, Ujrah (upah),
Manfaat barang atau jasa.
7

Wawan Muhwan Hariri, HUKUM PERIKATAN Dilengkapi Hukum Perikatan dalam
Islam,( Bandung: Pustaka Setia, 2011) hlm 250-251

11

Syarat-syarat ijarah yaitu: Terjadinya akad, Pelaksanaan akad,
Sahnya akad.
c. Sahnya pelaksanaan akad ijarah terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan, diataranya:
1) Orang yang melakukan perjanjian sewa-menyewa telah memenuhi
syarat,
2) Kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum,
3) Kedua belah pihak harus mencerminkan sikap saling merelakan
dalam hal sewa-menyewa dan upah mengupah tidak ada unsur
paksaan,
4) Barang atau jasa yang dijadikan objek sewa-menyewa jelas
keberadaannya, serah terimanya pun juga jelas dan mengandung
manfaat yang jelas sesuai dengan kebutuhan penyewanya.
Hukum asal ijarah adalah mubah atau dibolehkan sepanjang
tidak terdapat dalil yang mwngharamkannya. Disamping itu ada yang
menyebutkan bahwa hukum ijarah adalah shahih dan ada juga yang
menyebutkan hukumnya adalah fasid.
Dalam penyewaan jasa atau perburuhan, terdapat hal-hal yang
harus diperhatikan
1) Orang yang disewa adalah orang yang telah dewasa dan memiliki
keahlian yang jelas.
2) Orang yang disewa menyanggupi permintaan penyewaan dan
penyewa menyanggupi besaran upah.
3) Upah dapat diberikan sebelum atau sesudah bekerja sesuai dengan
kesepakatan.8
d. Dasar Hukum ijarah
Artinya:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka
8

Ibid hlm251-256

12

menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. Surat AtTalaq [65] ayat 6
e. Macam-macam ijarah
1. Ijarah benda atau barang yang kekal zatnya untuk diambil
manfaatnya.
2. Ijarah jasa atau keahlian daan tenaga, baik manusia maupun
hewan, yang disebut dengan perburuhan.9
2.

Mudharabah
Ba’i al- Mudharabah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tambhan keuntungan yang telah disepakati. Karakteristiknya
adalah penjual harus memberitahukan produk yang dibeli dan
menemtukan keuntungan sebagai tambahannya.
Murabahah

secara

etimologi,

merupakan

memberikan

keuntungan atau laba atau menunjukkan kebersamaan dan saling
memberi keuntungan atau laba di antara yang berakad atau orang yang
sedang mengadakan persekutuan atau kerja sama.
Murabahah menurut definisi ulama fiqh adalah akad jual beli
atas barang tertentu, yang dalam transaksi tersebut , penjual menyebutkan
secara jelas barang yang yang akan dibeli, termasuk harga pembelian
barang dan keuntungan yang akan diambil.10
Rukun yang terdapat dalam mudharabah, yaitu:
a. Ba’i adalah penjual (pihak yang memiliki barang)
b. Musytari adalah pembeli
c. Mabi adalah barang yang akan diperjual belikan
d. Tsaman adalah harga
e. Ijab qabul adalah pernyataan serah terima.
Syarat dalam mudharabah yaitu:
9

Ibid hlm 257-260

10

ibid hlm 263

13

a. Pihak yang berakad, yaitu penjual dan pembeliharus cakap hukum
atau baliq dan saling meridai.
b. Kusus untuk barang dagangan, persyaratan harus jelas dari segi sifat,
jumlah, jenis yang akan ditransaksi. Selain itu, barang tersebut bukan
termasuk barang haram, harus mengandung manfaat yang jelas
sehingga penyerahannya dari penjual kepada pembeli dapat dilakukan
karena barang merupakan hak milik sepenuhna pihak yang berakad.
c. Harga dan keuntungan harus disebutkan, begitu pula sistem
pembayarannya dinyatakan di depan sebelum akad resmi (ijab qabul)
tertulis

sehingga

tidak

mengandung

klausal

yang

bersifat

menggantungkan keabsahan transaksi atau kejadian pada masa yang
akan datang.
d. Tidak membatasi jangka waktu.11
3.

Jual beli
a. Pengertian
Jual beli adalah pertukaran benda dengan benda lain dengan
jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada
penggantinya melalui cara yang diperbolehkan. Kata al-bay (jual) dan
asy-syira (beli), dipergunakan dalam pengertian yang sama yaitu,
perniagaan yang berkaitan dengan pertukaran barang dengan alat
penukarnya atau dengan barang yang nilainya sama.
b. Hukum jual beli
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak baik),
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh
Allah Maha Penyayang kepadamu”.12 QS:An-Nisa:4:[29]
c. Rukun dan syarat jual beli

11

Ibid hlm 264-265

12

ibid hlm 271-273

14

Prinsip jual beli adalah ‘antaradhin minkum’, sikap saling
merelakan oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Rukun jual beli: Shighat, Aqid, Ma’qud ‘alaih.
Syarat-syarat jual beli:
1) Syarat bagi penjual daan pembeli
a) Sudah baliq, sehat lahiriyah dan batiniah
b) Atas kehendak sendiri tidak ada unsur paksaan
2) Syarat barang yang dijual:
a) Barang bukan barang yang dilarang oleh syara’
b) Barang yang memberikan manfaat satu sama lain
c) Tidak terdapat khiyar syarat
Dalam pelaksanaan jual beli tidak diperbolehkan jual beli
barang gharar, larangan dalam pelaksanaanl beli terjadi riba, dan
merugikan sallah satu pihak. 13
4.

Khiyar
Khiyar merupakan hak pembeli dalam menentukan pilihan
terhadap objek yang dakadkan dalam jual beli. Khiyar terdiri atas
beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a. Khiyar ru’yah
Khiyar ru’yah merupakan masa memerhatikan keadaan
barang, mempertimbangkan sebelum mengambil keutusan dalam
melakukan transaksi atau akad. Kemungkinan timbulnya akibat buruk
jik dilakukan transaksi bagi barang gaib, para fuqaha mensyaratkan
dilihatnya ru’yah barang untuk sah tidaknya jual beli.
Salah satu persyaratan dalam jual beli harus jelas sifat atau
kualitas dari barangnya. Demikian juga harga-harganya , calon
pembeli berhak melihat barang yang akan dibelinya. Hak melihat-lihat
dan memilih barang yang akan dibeli disebut khiyar syarat.

13

Ibid hlm 276-279

15

Hikmah dari adanya khiyar ru’yah adalah untuk menghindari
terjadinya penipuan, kesamaran, dan penyelesaian yang mengundang
sengketa bagi kedua belah pihak.
b. Khiyar Majelis
Apabila alad jual beli telah dilakukan, kedua belah pihak
masih mempunyai hak khiyar, selama keduanya belum berpisah dari
majelis akad, khiyar tersebut dinamakan khiyar majelis. Hal ini karen
hak membatalkan transakasi masih tetap ada selama kedua belah
pihak masih berada di majelis.
c. Khiyar syarat
Khiyar merupakan hak aqidain untuk melangsungkan akad
atau

membatalkannya

selama

batas

waktu

tertentu

yang

dipersyaratkan ketika akad berlangsung. Khiyar dimaksudkan untuk
melindungi pihak yang berakad dari unsur kecurangan akad.
d. Khiyar Aib
Pihak penjual diwajibkan menerangkan keadaan barang dan
tidak menyembunyikan cacatnya kepada calon pembeli. Apabila
seseorang membeli barang yang cacatnya baru diketahui ketika
beberapa waktu setelah akad jual beli berlangsung, maka pembeli
berhak mengembalikan barang dan menerim kembali uangnya dari
pihak pemnjual sesuai kesepakatan.14
5.

Syirkah (kerja sama usaha)
a. Pengertian
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath, artinya campur
atau

percampuran.

Percampuran

adalah

seseorang

yang

mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak dapat
dibedakan lagi. Syirkah sama dengan syarikat dagang aitu dua orang
atau lebih melkukan perjanjian untuk bekerja samaa mengelola modal
dalam dagang, sedangkan modal merupakan kumpulan harta dua

14

Ibid hlm 285-289

16

belah pihak yang disatukan sehingga keuntungan dan kerugian
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
b. Dasar hukum syirkah
Artinya:
“Dia (Dawud) berkata , ‘sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada
kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu
itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajika; dan hanya sedikitlah mereka
yang begitu’. Dan Dawud meenduga bahwa kami mengujinya; maka
dia memeohn ampunan kepada Tuhannya lalu menyukur sujud dan
bertaubat”. QS:Sad [38] ayat 24
c. Rukun dan syarat syirkah
Menurutt Ulama Hanafiah, rukun syirkah ada dua yaitu ijab
dan kabul, sebab ijab qabul (akad) yang menentukan adanya syirkah.15
d. Macam-macam syirkah:
1) Syirkah Amlak adalah kerja sama yang bersifat memaksa dalam
hukum positif. Syirkah amlak adalah lebih dari satu rang yang
memiliki suatu jenis barang tanpa akad. adakalanya sifatnya
ikhtiyari atau jabari.
2) Syirkah ‘uqud adalah dua orang atau lebih yang melakukan akad
untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya
berupa keuntungan, hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.
3) Syirkah ‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap
pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan

dana dan

berparipasi dalam kerja. Kedua belah pihak saling berbagi dalam
keuntungan dan kerugian secara sama.
4) Syirkah mufawadhah adalah kontra kerja sama antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi daklam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama.16
6.

Kafalah
15

Ibid hlm 289

16

Ibid hlm 298-299

17

a. Pengertian
Secara bahasa, kafalah bermakna tanggungan atau sering disebut
hamalah, dhamah, atau za’amah. Dalam istilah fiqh muamalah berarti
suatu bentuk perbuatan tolong menolong orang lain dengan cara
memberikan jaminan bagi orang yang berhutang ketika belum mampu
membayarnya.
b. Rukun dan syarat kafalah: Kafil, Makfullah, Makful’anhu, Makfulbih,
Lafadz.
c. Dasar hukum kafalah
“ Penjamin itu menjadi penanggung jawab utang”. (HR.Abu Daud,
At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban).17

17

Ibid hlm 303-305

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Macam-macam Praktek Perikatan Umum: Perikatan Murni, Perikatan
Bersyarat, Perikatan bersyarat tangguh, Perikatan bersyarat batal,
Perikatan dengan Ketetapan Waktu, Perikatan Manasuka, Perikatan
Tanggung-Menanggung (Tanggung Renteng), Perikatan Dapat Dibagi dan
Tidak Dapat Dibagi, Perikatan dengan Ancaman Hukuman
2. Macam-macam Hukum Perikatan Syariah: Perikatan Utang (Al-Iltizam i
Ad-Dain), Perikatan Benda (Il-Iltizam i Al’ain), Perikatan Kerja atau
Melakukan Sesuatu (Al-Iltizam Bi Al ‘Amal), Perikatan Menjamin (AlIltizam Bi At Tautsiq)
3. Macam-macam

praktik

Hukum

Perikatan

Hukum

Islam,

yakni:

Perburuhan dalam Islam (Al-Ijarah), Murabahah, Khiyar, Syirkah (kerja
sama usaha), Kafalah.

18

DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, I Ketut Oka. 2016. Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika.
Madani. 2013. Hukum Perikatan Syariah di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika.
Hariri, Wawan Muhwan. 2011. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan
dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.

19