Batasan Neo Wilsonianisme di dalam Kebij

BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Tepat dua tahun setelah pemerintah AS melakukan penarikan pasukan militer dari Iraq
pada tahun 2011, muncul sebuah gerakan radikal baru bernama Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS/ISIS) yang secara perlahan mengubah dinamika politik kawasan, baik secara praktis
maupun akademis. Dengan adanya kekosongan kekuasaan—vacuum of power—di Irak
sebagai dampak dari penarikan pasukan militer AS secara total, kelompok radikal dengan
basis Islam Sunni ini melakukan okupasi terhadap beberapa wilayah di Irak dan Suriah.
Wilayah-wilayah yang diambil tersebut merupakan wilayah yang terkena dampak perang
sipil maupun daerah dengan mayoritas penduduknya memeluk ajaran Sunni.1 Berbeda dari
kelompok-kelompok Islam radikal terdahulu, NIIS memiliki kemampuan penggunaan
teknologi dan propaganda yang lebih sistematis dan terstruktur sehingga kelompok ini
mampu merekrut para militan dari seluruh dunia, baik pria maupun perempuan. Mengacu
kepada keadaan tersebut, CIA memperkirakan per September 2014 NIIS memiliki pengikut
sebanyak 20,000 hingga 31,500 orang—15,000 di antaranya merupakan foreign fighters yang
berasal dari 80 negara.2
NIIS pada awalnya merupakan pecahan dari kelompok teroris Al-Qaeda di Irak (AQI)
pimpinan Abu Musab Al-Zarqawi. Kelompok ini sempat aktif dari tahun 2002 hingga 2006;
para militan yang merupakan bagian dari AQI maupun afiliasinya menciptakan sebuah
gerakan baru bernama Negara Islam Irak (NIS/ISI).3 Semenjak 2006 kelompok ini melakukan

serangan-serangan yang menjadikan pasukan militer AS menjadi targetnya. Namun setelah
NIS kehilangan dua pemimpinnya pada tahun 2010, kelompok ini sempat melemah sebelum
tampuk kepemimpinan diambil alih oleh Abu Bakr Al-Baghdadi pasca penarikan pasukan
militer AS pada tahun 2011. Al-Baghdadi mengumpulkan kembali kekuatan NIS sehingga
pada tahun 2013 kelompok ini mampu melakukan serangkaian serangan di Irak. 4 Dengan
semakin berkembangnya kekuatan dan pengaruh kelompok ini, Al-Baghdadi memutuskan
untuk menggabungkan kekuatan antara NIS dengan Jabhat al-Nusra di Suriah dengan
membentuk NIIS. Merespon kepada keadaan tersebut, terdapat beberapa argumen yang
1

Kenneth Katzman, et. al, “The ‘Islamic State’ Crisis and U.S. Policy,” (Policy Paper, Congressional Research
Service, 12 November 2014), summary
2
Katzman, “The ‘Islamic State’,” p. 1.
3
Katzman, “The ‘Islamic State’,” p. 2.
4
Katzman, “The ‘Islamic State’,”

1


menyatakan bahwa pembentukkan NIIS serta keberadaan serangkaian serangan di kawasan
merupakan akibat dari ketidakpuasan beberapa orang atas penurunan dan hukuman mati yang
dijatuhkan kepada Saddam Hussein—mantan presiden Irak yang dijatuhkan oleh pemerintah
AS melalui invasi Irak. Oleh sebab itu, terdapat perdebatan mengenai invasi Irak,
demokratisasi, dan Doktrin Bush sebagai pemicu munculnya ancaman baru terhadap AS di
kawasan Timur Tengah.
Kembali kepada invasi yang dilakukan oleh pemerintah AS pada tahun 2003,
administrasi Presiden Bush pada saat itu yakin bahwa Saddam merupakan musuh yang nyata
bagi keamanan AS karena ditenggarai memiliki kemampuan untuk membangun kapabilitas
nuklir dan senjata kimia.5 Prasangka tersebut diperkuat dengan ditolaknya pengawas dan
inspektur PBB oleh pemerintahan Saddam. Keadaan inilah yang menjadi alasan bagi
pemerintah AS untuk mengadopsi sebuah kebijakan luar negeri yang lebih bersifat unilateral.
Kebijakan ini diejawantahkan ke dalam keputusan untuk menginvasi Irak yang memiliki
tujuan akhir yaitu perubahan rezim. Pemerintah AS menilai bahwa kepemimpinan Saddam
atas Irak dapat mengancam kepentingan AS baik dalam hal politik maupun ekonomi di
kawasan Timur Tengah. Maka dari itu, perubahan rezim di Irak yang lebih bersahabat
terhadap kebijakan AS di kawasan dianggap sangat perlu. Melalui Doktrin yang
diatasnamakan namanya, Presiden Bush memutuskan untuk menginvasi Irak dengan
penyebarluasan demokrasi (promotion of democracy) sebagai argumen utama tindakan

tersebut.6 Invasi tersebut terjadi selama sembilan tahun hingga pada akhirnya pemerintahan
Presiden Obama memutuskan untuk menarik pasukan militer AS pada 2009. Hasil dari
sembilan tahun invasi sekaligus proses state-building yang dilakukan oleh AS di Irak adalah
berubahnya sistem politik Irak yang mengadopsi sistem demokrasi prosedural; berbeda
dengan sistem politik di bawah kepemimpinan Saddam Hussein yang lebih bersifat otoriter.
Namun, perubahan sistem politik ini tidak berdampak positif terhadap pembangunan
stabilitas dalam negeri di Irak, ditandai dengan munculnya NIIS dan serangkaian serangan
terornya di beberapa wilayah Irak.
I.2 Perumusan Permasalahan
Munculnya NIIS sebagai sebuah kelompok radikal baru yang secara akademis
menantang konsep kedaulatan serta tanggung jawab negara pada tahun 2013 di Irak dinilai
5

John J. Mearshimer dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War,” Foreign Policy (Januari/Februari, 2003): p.
52.
6
Anne-Marie Slaughter, et. al, The Crisis of American Foreign Policy: Wilsonianism in the Twenty-First
Century (Oxford: Princeton University Press, 2009), p. 90.

2


tidak sejalan dengan proposisi (neo)-Wilsonianisme. Perdamaian dan stabilitas merupakan
dua hal yang secara konseptual akan hadir setelah sebuah negara mengadopsi sistem
demokrasi dan pasar bebas—ekonomi liberal—ke dalam sistem politik dan ekonomi
domestiknya. Dimensi eksternal yakni intervensi sebuah negara atau sekelompok negara
demokratis lainnya dinilai oleh proposisi (neo)-Wilsonianisme sebagai faktor pendukung
tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Namun, hal serupa tidak tergambar dari kejadian yang ada
di Irak. Berangkat dari hal tersebut, makalah ini berupaya untuk menjawab pertanyaan
penelitian: “Mengapa instabilitas yang disebabkan oleh kelompok radikal NIIS muncul
di dalam sebuah negara yang sudah mengalami proses promosi demokrasi dan statebuilding?”. Di dalam elaborasi dan analisis demi menjawab pertanyaan tersebut, makalah ini
akan menggunakan beberapa konsep seperti Wilsonianisme dan neo-Wilsonianisme sebagai
kerangka berpikir.
I.3 Kerangka Pemikiran
I.3.1 Wilsonianisme
Wilsonianisme merupakan sebuah paradigma berpikir di dalam perumusan kebijakan
luar negeri AS. Paradigma ini menggunakan nama Presiden AS yang ke-28 yaitu Woodrow
Wilson. Di dalam beberapa kesempatan, Wilson menganggap bahwa setiap entitas politik
memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Hak tersebut dinilai
oleh Tony Smith berjalan bersamaan dengan promosi dan penyebarluasan demokrasi
sekaligus sebagai sebuah upaya untuk melakukan globalisasi terhadap Doktrin Monroe.7 Pola

pikir Wilsonian ini berakar dari beberapa fenomena kemunculan kelompok-kelompok
nasionalis di kawasan Eropa pada rentang waktu dua Perang Dunia. Menurut Smith, di dalam
menginterpretasikan proposisi Wilsonianisme, kelompok-kelompok nasionalis ini memiliki
kemampuan untuk melawan kaum-kaum imperialis dan otoriter. Nilai yang dibawa oleh
kelompok nasionalis ini adalah kebebasan atas wilayahnya sendiri dari penguasaan kedua
kaum tersebut. Namun, Smith melihat bahwa kelompok nasionalis ini tidak cukup mapan
untuk menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang mampu merepresentasikan orang-orang
di dalamnya. Oleh sebab itu, demokrasi liberal dinilai sebagai sistem yang tepat untuk
diimplementasikan oleh kelompok-kelompok ini.
Selain

dipicu

oleh

munculnya

kelompok-kelompok

nasionalis,


kemunculan

Wilsonianisme juga disebabkan oleh kritik Presiden Wilson terhadap cara-cara diplomasi
7

Alexander DeConde, Richard Dean Burns, dan Fredrik Logevall (eds.), Encyclopedia of American Foreign
Policy: Volume 3, 2nd ed. (New York: Scribner, 2002), p. 617.

3

lama (old diplomacy) yang dapat menciptakan instabilitas—bahkan perang—seperti balance
of power, perjanjian rahasia, dan lain sebagainya. Berangkat dari beberapa hal tersebut,
Presiden Wilson di dalam sebuah kesempatan menyebutkan empat belas hal 8 sebagai kritik
terhadap cara-cara diplomasi lama tersebut antara lain:
i.

Perjanjian perdamaian yang sifatnya terbuka;

ii.


Kebebasan dalam navigasi laut;

iii.

Penghapusan batasan ekonomi (economic barriers) dan pembentukkan perdagangan
yang berasaskan kesetaraan antar negara;

iv.

Pengurangan jumlah senjata oleh negara;

v.

Keputusan yang bersangkutan dengan negara-negara koloni harus imparsial atau tidak
memihak;

vi.

Tentara Jerman harus ditarik dari Rusia; Rusia diberikan kesempatan untuk

membangun sistem politiknya sendiri—self-determination;

vii.

Belgia harus independen seperti sebelum perang terjadi;

viii.

Perancis harus dibebaskan seluruhnya dan diperbolehkan untuk memulihkan AlsaceLorraine;

ix.

Semua orang Italia berhak untuk tinggal di wilayah teritorial Italia;

x.

Hak untuk menentukan nasib harus diberikan kepada orang-orang yang tinggal di
Austria-Hungaria;

xi.


Hak untuk menentukan nasib dan jaminan kemerdekaan harus diberikan kepada
negara-negara Balkan;

xii.

Orang Turki harus diperintah oleh pemerintah Turki; orang-orang non-Turki yang
sebelumnya berada di wilayah Kekaisaran Turki harus diperintah oleh dirinya sendiri;

xiii.

Negara Polandia yang independen harus diciptakan sekaligus harus memiliki akses
terhadap laut dan;

xiv.

Liga Bangsa-Bangsa harus dibentuk sebagai sebuah organisasi yang dapat menjamin
kemerdekaan politik dan teritorial semua negara.

Mengacu kepada empat belas hal tersebut, terdapat tiga poin penting yang dapat diambil

sebagai dasar dari proposisi Wilsonianisme di dalam kebijakan luar negeri AS yaitu [1] selfdetermination; [2] perdagangan dan; [3] institusi/organisasi internasional (multilateralisme).
8

“President Woodrow Wilson’s Fourteen Points,” Yale Law School,
http://avalon.law.yale.edu/20th_century/wilson14.asp (diakses pada 13 Desember 2014).

4

Ketiga hal tersebut tidak secara langsung menyatakan bahwa penyebarluasan demokrasi ke
seluruh dunia merupakan kepentingan penting AS di dalam ranah politik global. Meskipun
demikian, menurut paham Wilsonianisme apabila di suatu komunitas politik (negara) terdapat
proses penciptaan damai yang diikuti oleh proses pembentukkan kesetaraan sosial dan
kemakmuran ekonomi yang sifatnya bottom-up dan berlangsung pada rentang waktu yang
lama, maka demokrasi akan tercipta di dalam negara tersebut.9 Oleh sebab itu, para Wilsonian
meyakini bahwa demokrasi yang efektif dan dapat bertahan lama hanya akan tercipta ketika
proses-proses tersebut terjadi secara domestik dan organik; tidak dipaksa oleh dimensi
eksternal.10
I.3.2 Neo-Wilsonianisme
Kondisi setelah Perang Dingin berakhir sedikit banyak memiliki persamaan dengan
kondisi saat Perang Dunia II berakhir: terdapat beberapa kemunculan negara baru. Namun,

terdapat beberapa perbedaan di dalam karakteristik kemunculan negara-negara baru di antara
dua masa tersebut. Pada masa pasca-Perang Dunia II, kemerdekaan negara-negara baru
tersebut merupakan hasil dari perjuangan kelompok-kelompok nasionalis melawan negara
penjajah. Sementara itu, pada masa setelah Perang Dingin usai, negara-negara baru yang
muncul merupakan wilayah-wilayah bekas negara bagian Uni Soviet. Meskipun demikian,
yang menjadi fokus atas negara-negara tersebut tetap sama yaitu ketidakmampuan untuk
menciptakan sebuah sistem politik yang stabil. Berangkat dari situasi ini, kalangan pembuat
kebijakan luar negeri di AS mengadopsi sebuah paham yang merupakan kelanjutan dari
Wilsonianisme yakni neo-Wilsonianisme. Berbeda dari paham sebelumnya yang tidak secara
eksplisit membahas mengenai demokrasi, intervensi, dan proses state-building, neoWilsonianisme menekankan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengadopsi sistem
demokrasi dengan harapan akan tercipta sebuah kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang
stabil. Oleh sebab itu, para neo-Wilsonian menganggap bahwa pembentukkan demokrasi
tidak bisa hanya bergantung kepada kemauan dan proses organik sebuah negara, melainkan
juga campur tangan pihak luar yang diwakili oleh keberadaan organisasi internasional. 11
Keadaan ini muncul karena adanya fenomena negara lemah—weak states—di dalam
perdebatan akademis ilmu Hubungan Internasional. Berkenaan dengan hal tersebut, neoWilsonianisme lebih berfokus kepada proses state-building dan penyebarluasan demokrasi
9

Slaughter, The Crisis, p. 95.
Stephen Wertheim, “The Wilsonian Chimera: Why Debating Wilson’s Vision Hasn’t Saved American Foreign
Relations,” White House Studies 10, No. 4 (2011): p. 347.
11
David Chandler, “Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideals of Exporting Democracy,” Review
of International Studies 32, No. 3 (Jul., 2006): pp. 475-477.
10

5

melalui dimensi eksternal yaitu intervensi kemanusiaan maupun responsibility to protect
(R2P).
I.4 Operasionalisasi Konsep
Setelah melalui elaborasi mengenai kerangka pemikiran tersebut, makalah ini akan
menyederhanakan proposisi-proposisi dari kerangka pemikiran yang ada ke dalam sebuah
diagram di bawah ini:

Weak/Failing
States

Demokrasi dan
Liberalisasi

Stabilitas

Intervensi

I.5 Asumsi Penelitian
Berangkat dari latar belakang, pertanyaan permasalahan, serta kerangka pemikiran di
atas, makalah ini berasumsi bahwa:
i.

Di dalam kasus invasi Irak, pemerintah AS melihat demokrasi hanya sebagai sebuah
tujuan akhir dan bukan proses di dalam state-building;

ii.

Karakteristik pemerintah Irak di bawah Saddam tidak cocok dengan preskripsi status
negara tujuan intervensi di dalam konsep neo-Wilsonianisme atau liberal
internasionalisme sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dan;

iii.

Upaya liberalisasi politik dan ekonomi di bawah kerangka market democracy tanpa
adanya proses endogen/organik memudahkan langkah kelompok radikal NIIS di
dalam menciptakan instabilitas di Irak dan kawasan sekitarnya.

6

BAB II
Pembahasan
II.1 Rezim Saddam Hussein dan Status Negara Irak Tahun 1968-2003
Irak pada masa pemerintahan Saddam Hussein terkenal akan sistem politiknya yang
otoriter dan tidak demokratis. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan terkait eksklusi politik,
ekonomi, dan pendidikan terhadap sebagian besar rakyat Irak di saat administrasinya.
Kebijakan dan sistem politik yang demikian pada awalnya berasal dari kemunculan sebuah
partai politik Ba’ath yang pada awalnya memiliki afiliasi dengan gerakan pan-Arabisme di
Suriah. Partai Ba’ath ini memiliki ideologi politik sekuler dengan haluan sosialisme.12
Pada tahun 1949, ditenggarai paham Ba’athisme masuk ke Irak melalui seorang guru
yang berasal dari Suriah. Paham ini kemudian disebarkan melalui ruang-ruang sekolah serta
perbincangan-perbincangan informal yang terjadi di antara masyarakat Irak pada saat itu.
Setelah melalui proses tersebut, gerakan resmi pertama partai ini terekam pada tahun 1951
ketika seorang insinyur Shi’a mengambil alih basis massa Partai Ba’ath ini. Penyebaran
paham dan cara pandang politik Ba’ath ini semakin cepat karena menawarkan hal yang
berbeda dan lebih pro-rakyat dibandingkan sistem politik dan ekonomi yang ada pada saat itu
yakni sistem ekonomi kepemilikan tanah atau feudalisme.13 Dengan semakin membesarnya
bentuk serta jumlah massa pendukungnya, Partai Ba’ath Irak di dalam sejarahnya telah
melakukan kudeta sebanyak dua kali yaitu tahun 1963 dan 1968. Pada kudeta tahun 1968
inilah yang dianggap oleh beberapa orang sebagai titik balik—tipping point—karir Saddam
Hussein di politik Irak.
Saddam Hussein disumpah menjadi presiden Irak pada tahun 1979 setelah presiden
sebelumnya, Al-Bakr, dilengserkan dari jabatannya oleh loyalis Saddam Hussein di dalam
pemerintahan serta partai dengan membuat Dewan Komando Revolusi (Revolutionary
Command Council).14 Hal tersebut mengubah jalannya dinamika sistem politik, sosial, dan
ekonomi yang ada di Irak. Partai Ba’ath praktis dimonopoli oleh kelompok-kelompok
pendukung serta orang-orang terdekat Saddam Hussein. Berangkat dari kondisi ini, sistem
rekrutmen partai menganut asas kekerabatan (kinship). Oleh karena sistem politik domestik
dikuasai oleh Partai Ba’ath, tata cara pelaksanaan pemerintahan seperti distribusi public
goods, akses politik, ekonomi, dan pendidikan juga terpengaruh oleh prosedur yang sudah
12

Miranda Sissons dan Abdulrazzaq Al-Saiedi, “A Bitter Legacy: Lessons of De-Baathification in Iraq,”
(Research Paper, International Center for Transnational Justice, Maret 2013), p. 3.
13
Sissons dan Al-Saiedi, “A Bitter Legacy,” p. 3.
14
Sissons dan Al-Saiedi, “A Bitter Legacy,” p. 4.

7

diimplementasikan terlebih dahulu oleh Partai Ba’ath. Dalam hal ekonomi misalnya, seorang
atau sebuah keluarga yang merupakan anggota dari partai akan mendapatkan tunjangan per
bulannya sebesar US$ 250 pada tahun 2002.15 Selain dari tunjangan tersebut, masih terdapat
beberapa keuntungan lainnya yang didapatkan oleh anggota partai dibandingkan rakyat biasa
yaitu kemudahan akses pendidikan menengah, promosi jabatan, serta kemudahan mendaftar
sebagai pegawai negeri sipil. Hal tersebut merupakan keuntungan yang didapatkan oleh
anggota dengan pangkat menengah di partai; keuntungan yang lebih besar akan didapatkan
seiring semakin tingginya jabatan di dalam partai. Untuk memberikan gambaran mengenai
struktur Partai Ba’ath tersebut, terdapat tabel di bawah ini:
Tabel 1.1 Struktur Partai Ba’ath
Tingkatan Hierarkis

Tingkatan Tertinggi

Ranking Inggris
Anggota
Komando
Nasional

Ranking Arab
Udu
Qiyada
Qawmiyy
a

Belongs
to

Kekuasaan

Komando
Nasional

Fungsi Simbolis

(Kawasan
Arab)
Tingkatan Tertinggi
Kepemimpinan di Irak

Anggota
Komando
Regional

Udu
Qutriyya

Komando

Mengatur Kebijakan Partai

Regional
(Irak)
Kantor
Wilayah

dan Negara, Kekuatan untuk
Melakukan Operasi Militer
Mengawasi Pemimpin
Cabang,
Memiliki Otoritas Militer dan
Keamanan
Memimpin Bagian (section)
Partai serta
Memiliki Otoritas
Penggunaan Senjata namun
Bukan Militer
Memimpin Grup, Melakukan
Follow-up
Terhadap Kinerja Badan
Keamanan Lokal
Tidak Memiliki Fungsi
Pembuatan Kebijakan,
Mengawasi Keamanan dan
Administrasi

Anggota
Kantor
(Office
Member)

Udu
Maktab

Anggota
Cabang

Udu Far

Kantor
Cabang

Anggota
Bagian

Udu
Shu'ba

Kantor
Bagian

Anggota
Unit

Udu
Ferqa

Kantor
Unit

(Biro)

Biro (Biro Wilayah atau
Biro Profesional)

Sumber: Sissons dan Al-Saeidi, pp. 6-7, dimodifikasi penulis

15

Sissons dan Al-Saeidi, “A Bitter Legacy,” p. 5.

8

Dengan struktur partai sekaligus sistem pemerintahan yang demikian, pemerintah Irak hingga
pada tahun 2003 sebelum tidak seratus persen menjalankan kewajiban negara sebagai entitas
politik tertinggi untuk mendistribusikan public goods kepada masyarakat yang berada di
wilayahnya.
Mengacu kepada tulisan Rotberg, sebuah negara berkewajiban untuk menghadirkan [1]
keamanan [2] kebebasan berpolitik [3] kemudahan ekonomi dan pendidikan terhadap
masyarakat yang teregistrasi ke dalam undang-undangnya sebagai bentuk distribusi public
goods.16 Oleh sebab itu, menurut Rotberg, apabila sebuah negara tidak dapat memenuhi hal
tersebut—indikator kuat atau tidaknya sebuah negara—maka dapat dikatakan bahwa negara
tersebut berada di dalam status negara yang lemah, menuju kepada kegagalan, atau gagal
(weak/failing/failed states).17 Selain dari ketiga hal tersebut, sebuah negara dapat dikatakan
sebagai negara yang lemah apabila terdapat konflik-konflik sektarian yang akan atau sudah
pecah menjadi konflik bersenjata serta ketidaksanggupan atau bahkan keengganan negara di
dalam menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam
wilayahnya.18 Berangkat dari kondisi tersebut, negara lemah biasanya memiliki sistem
pemerintahan yang otokrasi dengan distribusi public goods yang sedikit dan tidak merata.19
Merespon proposisi konsep negara lemah tersebut, Irak di bawah kepemimpinan
Saddam Hussein dapat dimasukkan ke dalam kategori negara lemah karena banyaknya
kejadian-kejadian yang menunjukkan ketidakmampuan negara di dalam memberikan dan
mendistribusikan public goods terhadap rakyatnya. Hal ini ditunjukkan dari investigasi
mengenai masalah-masalah HAM oleh Kantor Urusan Luar Negeri dan Commonwealth
Kerajaan Inggris di London pada tahun 2002. Investigasi tersebut menyatakan bahwa terdapat
banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Irak, terutama orang-orang
terdekat Saddam Hussein, mulai dari pemerkosaan hingga pembersihan etnis.
Berkenaan dengan konflik internal dan sektarian di Irak antara Shi’a dengan Sunni—
rezim pemerintahan dipimpin oleh minoritas—banyak gerakan-gerakan Islam Shi’a yang
mencoba untuk melawan kebijakan negara. Oleh sebab itu, tidak heran apabila terdapat
banyak orang yang ditahan atas dasar tuduhan tersebut, tak terkecuali perempuan. Banyak
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah
saat bertugas untuk menyelidiki tuduhan terhadap perempuan-perempuan yang ikut di dalam
16

Robert I. Rotberg (ed.), When States Fail: Causes and Consequences (Princeton: Princeton University Press,
2003), pp. 2-3.
17
Rotberg, When States Fail, pp. 4-5.
18
Rotberg, When States Fail,
19
Rotberg, When States Fail, p. 5.

9

gerakan separatis tersebut. Bahkan, terdapat segelintir pegawai pemerintah dan keamanan
yang bertugas untuk melakukan ‘penistaan terhadap kehormatan perempuan’. 20 Hal ini tentu
sangat bertentangan dengan kewajiban dasar negara yaitu memberikan rasa aman kepada
seluruh rakyatnya. Di Irak pada zaman pemerintahan Saddam Hussein, tidak ada tempat bagi
individu-individu yang menentang kebijakan dan status quo pemerintah. Rakyat non-anggota
Partai Ba’ath pun juga tidak bisa menikmati kebebasan, keamanan, akses kesejahteraan sosial
dan ekonomi seluas apa yang dinikmati oleh para anggota partai. Berangkat dari kondisi ini,
Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein dapat dikatakan sebagai negara lemah.
II.2 Justifikasi Doktrin Bush dan Invasi Amerika Serikat di Irak
Dipicu oleh tragedi 9/11 pada tahun 2001, pemerintah AS mulai mengadopsi diskursus
War on Terror di dalam upaya berperang melawan terorisme yang diakomodasi oleh
kelompok Al-Qaeda. Bukti nyata akan hal tersebut tergambar dari sikap pemerintah AS di
bawah kepemimpinan Presiden Bush dengan mengeluarkan otorisasi penggunaan kekerasan
di dalam memberantas agen-agen terorisme yang dikenal dengan Doktrin Bush. 21 Di dalam
doktrin tersebut dijelaskan bahwa kekhawatiran akan keamanan dan stabilitas AS terletak
pada kombinasi radikalisme dan teknologi, terutama kepemilikan senjata pemusnah massal.
Kombinasi antara radikalisme dan teknologi yang dapat mengancam keamanan nasional AS
dapat tersebar serta dibawa oleh tiga agen utama yaitu [1] kelompok teroris [2] negara lemah
dan [3] rogue states. Untuk poin terakhir, Presiden Bush memberikan penekanan khusus
mengenai karakteristik rogue states yang tergambar dari cuplikan pidatonya:
“…brutalize their own people and squander their national resources for the
personal gain of the rulers; display no regard for international law, threaten their
neighbors, and callously violate international treaties to which they are party; are
determined to acquire weapons of mass destruction, along with other advanced
military tech- nology, to be used as threats or offensively to achieve the aggressive
designs of these regimes; sponsor terrorism around the globe; and reject human
values and hate the United States and everything it stands for.”. 22

Berdasarkan definisi tersebut, Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein dianggap oleh
pemerintah AS sebagai ancaman yang nyata karena rogue states memiliki kapabilitas seperti
negara kuat namun kemampuan tersebut disalahgunakan oleh segelintir elit politik untuk
mendapatkan keuntungan. Dengan kondisi tersebut yang diikuti oleh ‘kudeta yang bisu’ oleh
20

Foreign & Commonwealth Office, Saddam Hussein: Crimes and Human Rights Abuses (London: BfS,
November 2002), pp. 8-9.
21
Jeffrey Record, “The Bush Doctrine and War with Iraq,” Parameters XXXIII, No. 1 (Spring, 2003): p. 4.
22
Record, “The Bush Doctrine,” p. 5.

10

kaum neo-konservatisme di dalam pemerintahan Bush23, pemerintah AS mengotorisasi
penggunaan militer sekaligus kebijakan invasi yang sangat unilateral terhadap pemerintah
Irak demi melawan terorisme yang ditenggarai berpusat di Irak. Menimbang status Irak
sebagai sebuah rogue states pada saat itu, pemerintah AS memasukkan strategi demokratisasi
—perubahan rezim—sebagai salah satu cara untuk memberantas ancaman yang dihadirkan
oleh keberadaan rogue states tersebut.24 Oleh sebab itu tidak heran di dalam perjalanannya,
AS beserta Pasukan Multinasional (Multi-national Forces/Coalition Forces) selain
melakukan infiltrasi militer ke dalam kantung-kantung persembunyian kelompok teroris AlQaeda di Irak, mereka juga ikut serta di dalam upaya perubahan rezim pemerintahan di Irak
yaitu dengan cara menangkap Saddam Hussein, mengadili, menghukum, serta membuat
sistem pemerintahan dan pemimpin yang baru. Proses ini lebih dikenal sebagai state-building
di dalam pemahaman kebijakan luar negeri AS yang berhaluan neo-Wilsonianisme.
II.3 De-Ba’athifikasi Sebagai Demokratisasi dan Liberalisasi di Irak
Mengingat bahwa Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein memberikan
keistimewaan kepada anggota-anggota Partai Ba’ath mulai dari kemudahan dalam hal
ekonomi, politik, hingga sosial dan hukum serta menomorduakan kesejahteraan rakyat Irak
non-anggota lainnya, agen perubahan yang berasal dari Irak—yang dibentuk oleh koalisi
multinasional—mencetuskan untuk diadakannya sebuah proses atau rencana de-Ba’athifikasi
sebagai upaya normalisasi serta demokratisasi sistem pemerintahan di Irak.25 Proses ini
disponsori oleh utusan pemerintah AS dengan cara membentuk Kantor Urusan Rekonstruksi
dan Bantuan Kemanusiaan (Office of Reconstruction and Humanitarian Assistance/ORHA).
Kantor ini bertujuan pada awalnya untuk mengimplementasikan kebijakan de-Ba’athifikasi
yang sifatnya halus/mild. Akan tetapi, melihat respon media AS dan Irak yang negatif,
pemerintah AS akhirnya mengadopsi strategi baru yaitu dengan cara menjauhkan eks-anggota
Partai Ba’ath—kebanyakan dari mereka adalah Islam Sunni—dari segala hal yang berkaitan
dengan pemerintahan. Strategi tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa sub-strategi
CPA/Coalition Provisional Authority) antara lain:
1. Perintah 1 CPA: Pembersihan Pusat Pelayanan Sipil;
2. Perintah 2 CPA: Pembubaran Organisasi Militer dan Keamanan Ba’ath;
3. Pembentukkan Dewan Pemerintahan Irak (Iraqi Governing Council) dan;
23

Raymond Hinnebusch,” The US Invasion in Iraq: Explanations and Implications,” Critique: Critical Middle
Eastern Studies 16, No. 3 (Fall, 2007): p. 210. (209-228)
24
Record, “The Bush Doctrine,” pp. 14-16.
25
Sissons dan Al-Saeidi, “A Bitter Legacy,” pp. 9-10.

11

4. Pembuatan Kerangka Abadi (Enduring Framework).26
Keempat program atau sub-strategi tersebut merupakan langkah-langkah yang diambil oleh
pemerintah AS di dalam menerapkan proses state-building terhadap pemerintah Irak. Menilai
pemerintahan otoriter yang lalu—di bawah Sunni—tidak memperlihatkan keberpihakan
kepada rakyat Irak secara keseluruhan, penting bagi aktor-aktor eksternal—termasuk AS dan
koalisi multinasional—untuk mengambil sikap yaitu menjauhkan posisi-posisi pemerintahan
dari eks-anggota Parta Ba’ath yang Sunni. Kebijakan ini tergambar dari beberapa data yang
disediakan oleh Council on Foreign Relations (CFR) yang mencatat terdapat lebih dari
100,000 eks-anggota Partai Ba’ath yang sebelumnya menjabat di segala sektor pemerintahan
diberhentikan dan diganti.27 Selain itu, kedudukan Sunni di pemerintahan di potong menjadi
hanya menguasai sebesar 25% dari keseluruhan bangku Majelis Transisi Nasional dengan
persentase sisanya dikuasai oleh Islam Shi’a dan Suku Kurdi. 28 Dengan diadopsinya
konstitusi nasional yang baru di Irak yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan berbasis
demokrasi berbentuk federalisme, kondisi keterwakilan penduduk Sunni di dewan perwakilan
terancam dan terkesan tidak terlalu terurus.29 Kondisi inilah yang membuat stabilitas dalam
negeri Irak masih belum mencapai tingkatan terkuasai dengan baik.
II. 4 Kemunculan NIIS Sebagai Antagonis Proposisi Neo-Wilsonianisme di Irak
Melihat proses state-building, rekonstruksi pasca-konflik, serta kinerja Majelis Transisi
Nasional Irak yang kooperatif dan baik di bawah kepemimpinan Nouri Al-Maliki, pemerintah
AS merasa bahwa Irak sudah cukup mapan dan stabil untuk berjalan dan melaksanakan
kewajibannya sebagai sebuah negara sendiri. Oleh sebab itu, pada tahun 2009 administrasi
Presiden Obama memutuskan untuk melakukan penarikan pasukan militer secara bertahap
dan diproyeksikan untuk tuntas pada tahun 2011. Namun, anggapan dan hasil penaksiran
pemerintah AS terhadap kondisi di Irak ternyata tidak berjalan paralel dengan keadaan di
lapangan. Beberapa saat setelah pasukan militer AS ditarik mundur secara total pada tahun
2011, muncul sebuah kelompok radikal baru yang ditenggarai merupakan pecahan dari sel
kelompok Al-Qaeda di Irak (AQI). Menurut Richard Barrett, selain berasal dari pecahan sel26

Sissons dan Al-Saeidi, “A Bitter Legacy,” pp. 11-13.
Sharon Otterman, “Iraq: Debaathification,” Council on Foreign Relations, modifikasi terakhir 7 April 2005
http://www.cfr.org/iraq/iraq-debaathification/p7853 (diakses pada 15 Desember 2014).
28
Otterman, “Iraq: Debaathification,”
29
Hingga sesaat sebelum Perdana Menteri Haider al-Abadi yang berasal dari kalangan Shi’a terpilih untuk
menggantikan PM sebelumnya yaitu Nouri Al-Maliki, kondisi masyarakat Sunni dan terkadang masyarakat
Kurdi sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah. Lihat Mohamed Madi, “Haider al-Abadi: A New Era for Iraq?”
BBC, modifikasi terakhir 9 September 2014 http://www.bbc.com/news/world-middle-east-28748366 (diakses
pada 15 Desember 2014).
27

12

sel AQI, kemunculan NIIS juga dipicu oleh bergabungnya pemimping-pemimpin Sunni eksBa’ath ke dalam organisasi tersebut.30 Di samping itu, pertumbuhan pesat yang dialami oleh
kelompok radikal baru ini juga merupakan hasil dari kontribusi dukungan masyarakatmasyarakat Sunni di Suriah dan terutama di Irak yang ditekan oleh rezim kepemimpinan
Shi’a di bawah administrasi Nouri Al-Maliki.
Di dalam menjalankan aksinya, NIIS menggunakan pendekatan yang berbeda
dibandingkan kelompok-kelompok radikal dan teroris yang terdahulu. Kelompok ini
memberdayakan teknologi informasi dan media sosial seperti Twitter, Facebook, hingga
Youtube di dalam upaya mempromosikan tujuan dari aksi-aksi tersebut sekaligus mencari
dukungan. Perbedaan lainnya yang diperlihatkan oleh NIIS dibandingkan kelompokkelompok terdahulu ialah pendeklarasian diri sebagai sebuah embrio ke-khalifah-an Islam di
dunia.31 Dengan deklarasi ini, NIIS setidaknya menunjukkan bahwa kemunculannya memiliki
tujuan politik yang jelas dan bukan hanya semata-mata bertujuan untuk mengadakan
perlawanan sengit terhadap AS dan negara Barat lainnya. Deklarasi tujuan politik tersebut
didukung juga oleh langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh kelompok radikal ini di
dalam membiayai aksi terorisme yakni dengan menguasai kilang-kilang minyak di beberapa
daerah di Irak, penarikan pajak terhadap usaha-usaha dan bisnis yang ada, biaya penggunaan
jalan tol, penjualan barang-barang rampasan perang, hingga uang yang berasal dari
pembayaran tebusan tawanan.32 Kondisi tersebut tentu berlawanan dengan proposisi yang
digalakan oleh para neo-Wilsonian melalui konsep mengenai ekspor demokrasi, liberalisasi
ekonomi, dan politik.
Mengacu kepada tulisan Chandler mengenai cara pandang neo-Wilsonianisme, aktoraktor eksternal yang akan mengintervensi sebuah negara lemah (weak state) cenderung
memiliki kehendak untuk turut serta di dalam membentuk dan mengkonstruksi proses
implementasi demokrasi di dalam sistem politiknya sehingga institusi politik di dalam negara
tersebut tidak mencapai titik menuju kegagalan atau bahkan gagal (failing atau failed).33
Proposisi ini lebih dikenal sebagai proses state-building di dalam pendekatan neoWilsonianisme. Keberhasilan sebuah proses state-building yang dilakukan oleh aktor-aktor
eksternal biasanya merupakan buah dari tidak adanya/absennya kepentingan politik pihakpihak yang melakukan intervensi terhadap negara yang menjadi target intervensi tersebut.
Namun, yang terjadi pada kasus invasi AS terhadap Irak ialah sebaliknya: proses state30

Richard Barrett, “The Islamic State,” (Research Paper, The Soufan Group, November 2014), p. 5.
Barrett, “The Islamic State,” pp. 8-9.
32
Barrett, “The Islamic State,” p. 10.
33
Chandler, “Back to the Future,” p. 477.
31

13

building terkesan dipaksakan serta lebih bernuansakan upaya AS (US-driven process)
dibandingkan upaya-upaya endogen dari pihak masyarakat Irak itu sendiri. Hal ini tentu jelas
bertolak belakang dengan proposisi penyebaran demokrasi menurut Presiden Wilson yang
menyatakan bahwa demokrasi itu harus berasal dari bawah (bottom-up)34 dan bersifat
organik (organically constructed)35.
Selain permasalahan demokrasi, paham neo-Wilsonianisme juga berfokus kepada
penciptaan sebuah sistem ekonomi yang berbasiskan pasar di dalam sebuah negara sehingga
dapat mendukung keberadaan sistem demokrasi dalam waktu yang lama.36 Di dalam kasus
Irak, program state-building binaan pemerintah AS terkesan hanya lebih mengurusi
permasalahan politik dibandingkan ekonomi. Hal ini diperlihatkan dengan kebijakankebijakan CPA yang berfokus hanya kepada upaya untuk menjauhkan eks-anggota Partai
Ba’ath dari kekuasaan. Meskipun demikian, perubahan sistem pemerintahan dari awalnya
yang berbentuk otoriter menjadi federalisme secara tidak langsung memberikan akses kepada
semua kalangan rakyat Irak untuk terintegrasi dengan sistem ekonomi pasar, baik itu di
kawasan maupun global. Kondisi ini dianggap berisiko oleh Belloni apabila tidak ada
perhitungan yang cukup matang oleh aktor eksternal dalam mempromosikan demokrasi dan
sistem ekonomi pasar di negara lemah karena kedua hal tersebut memberikan kesempatan
yang sama besarnya bagi kelompok-kelompok yang berkonflik satu sama lain untuk
berkompetisi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menghasilkan konflik yang
lebih parah lagi.37
Kombinasi antara kedua kekeliruan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah AS dalam
menginvasi Irak menyebabkan kemunculan instabilitas baru dalam bentuk hadirnya
kelompok radikal baru. Kelompok NIIS ini muncul sebagai akibat kurang peka dan tajamnya
serta kurang sensitifnya para pengambilan kebijakan di lembaga pemerintah AS—terutama
saat di bawah kepemimpinan Presiden Bush—di dalam menerapkan langkah-langkah
intervensi/invasi sekaligus proses state-building di Irak. Selain daripada itu, upaya
penggunaan proposisi neo-Wilsonianisme—promosi demokrasi—di dalam pengambilan
kebijakan unilateral oleh para neo-konservatif juga dapat dilihat sebagai penyebab mengapa

34

Slaughter, The Crisis, p. 95.
Wertheim, “The Wilsonian Chimera,” p. 347.
36
Roberto Belloni, “Rethinking ‘Nation-Building:’ The Contradictions of the Neo-Wilsonian Approach to
Democracy Promotion,” The Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations, (Spring/Winter,
2007): p. 98.
37
Belloni, “Rethinking ‘Nation-Building’,” p. 98.
35

14

stabilitas politik, ekonomi, dan sosial tidak dapat tercapai sebagaimana proposisi neoWilsonianisme mengungkapkan.
BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah ini berkesimpulan bahwa munculnya
instabilitas di suatu negara yang telah mengalami proses state-building yang diinisiasi oleh
negara-negara Barat dan atau organisasi internasional merupakan hasil dari miskalkulasi atas
kondisi sosial dan akar permasalahan yang ada oleh aktor eksternal tersebut. Di dalam kasus
invasi AS atas Irak dan upaya state-building setelahnya, makalah ini melihat bahwa
instabilitas baru hadir dalam bentuk kemunculan kelompok radikal baru bernama NIIS
sebagai hasil kekeliruan pemerintah AS, terutama pemerintahan Bush, di dalam menerapkan
kebijakan invasi dan demokratisasi di Irak. Kekeliruan tersebut diperlihatkan di dalam
pembentukkan satuan ad-hoc yang lebih mengakomodasi kepentingan politik pemerintah AS
yang bersifat jangka pendek dibandingkan kepentingan politik dan sosial rakyat Irak secara
umum. Selain daripada itu, makalah ini juga menilai bahwa masuknya dimensi unilateralisme
yang dibawa oleh para neo-konservatif di dalam proposisi demokratisasi Irak berdasarkan
pendekatan neo-Wilsonianisme berdampak fatal terhadap penciptaan stabilitas yang
berkelanjutan di Irak. Hal ini disebabkan oleh dasar proposisi kedua pendekatan ini yang
sangat berbeda dan saling bertolak belakang—neo-Wilsonianisme berpijak pada konsep
multilateralisme.

15

DAFTAR PUSTAKA
Media Online:
“President
Woodrow
Wilson’s
Fourteen
Points.”
Yale
Law
School,
http://avalon.law.yale.edu/20th_century/wilson14.asp (diakses pada 13 Desember
2014).
Madi, Mohamed. “Haider al-Abadi: A New Era for Iraq?” BBC, modifikasi terakhir 9
September 2014 http://www.bbc.com/news/world-middle-east-28748366 (diakses pada
15 Desember 2014).
Otterman, Sharon. “Iraq: Debaathification.” Council on Foreign Relations, modifikasi
terakhir 7 April 2005 http://www.cfr.org/iraq/iraq-debaathification/p7853 (diakses pada
15 Desember 2014).
Buku, Research Paper, Jurnal:
Barrett, Richard. “The Islamic State.” Research Paper, The Soufan Group, November 2014.
Belloni, Roberto. “Rethinking ‘Nation-Building:’ The Contradictions of the Neo-Wilsonian
Approach to Democracy Promotion.” The Whitehead Journal of Diplomacy and
International Relations, (Spring/Winter, 2007): pp. 97-109.
Chandler, David. “Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideals of Exporting
Democracy.” Review of International Studies 32, No. 3 (Jul., 2006): pp. 475-494.
DeConde, Alexander, Richard Dean Burns, dan Fredrik Logevall eds. Encyclopedia of
American Foreign Policy: Volume 3, 2nd ed. New York: Scribner, 2002.
Foreign & Commonwealth Office. Saddam Hussein: Crimes and Human Rights Abuses.
London: BfS, November 2002.
Hinnebusch, Raymond. “The US Invasion in Iraq: Explanations and Implications.” Critique:
Critical Middle Eastern Studies 16, No. 3 (Fall, 2007): pp. 209-228.
Katzman, Kenneth, et. al. “The ‘Islamic State’ Crisis and U.S. Policy.” Policy Paper,
Congressional Research Service, 12 November 2014.
Mearshimer, John J. dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War,” Foreign Policy
(Januari/Februari, 2003): pp. 51-59.
Record, Jeffrey. “The Bush Doctrine and War with Iraq.” Parameters XXXIII, No. 1 (Spring,
2003): pp. 4-21.
Rotberg, Robert I. ed. When States Fail: Causes and Consequences. Princeton: Princeton
University Press, 2003.
Sissons, Miranda dan Abdulrazzaq Al-Saiedi. “A Bitter Legacy: Lessons of De-Baathification
in Iraq.” Research Paper, International Center for Transnational Justice, Maret 2013.
Slaughter, Anne-Marie, et. al. The Crisis of American Foreign Policy: Wilsonianism in the
Twenty-First Century. Oxford: Princeton University Press, 2009.
Wertheim, Stephen. “The Wilsonian Chimera: Why Debating Wilson’s Vision Hasn’t Saved
American Foreign Relations.” White House Studies 10, No. 4 (2011): pp. 343-359.

16