JEANNE ISBEANNY PEMULIAAN TANAMAN BAWA

TUGAS MATA KULIAH PEMULIAAN TANAMAN
PEMULIAAN TANAMAN BAWANG MERAH DENGAN MOTODE
KONVENSIONAL DAN NON KONVENSIONAL

JEANNE ISBEANNY LFH

Dosen Pengampu:
Ir. Junaidi, M.Si

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M / 1437 H

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia yang
dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk tanpa memperhatikan tingkat sosial. Komoditas ini
mempunyai prospek yang sangat cerah, mempunyai kemampuan untuk menaikan taraf hidup petani,

nilai ekonomis yang tinggi, merupakan bahan baku industri, dibutuhkan setiap saat sebagai bumbu
masak, berpeluang ekspor, dapat membuka kesempatan kerja, dan merupakan sumber kalsium dan
fosfor yang cukup tinggi (Direktorat Bina Produksi Hortikultura, 1999).
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Di Indonesia, daerah yang
merupakan sentra produksi bawang merah adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates
(Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Sunarjono dan Soedomo 1989). Konsumsi rata-rata
bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan. Estimasi
permintaan domestik tersebut pada tahun 2004 mencapai 915.550 ton (konsumsi 795.264 ton, benih
ekspor dan industry 119.286 ton). (Litbang, 2008).
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Holtikultura (DJH) menyebutkan bahwa
produksi bawang merah di Indonesia dari tahun 2006 - 2010 selalu mengalami peningkatan yaitu
sebesar 794.929 ton, 802.810 ton, 853.615 ton, 965.164 ton, 1.048.934 ton. Akan tetapi, sepanjang
tahun 2010 impor bawang merah di Indonesia tercatat sebesar 73.864 ton dan dalam tiga bulan
pertama tahun 2011, impor bawang merah di Indonesia mencapai 85.730 ton. Hal itu membuktikan
bahwa kebutuhan akan bawang merah di dalam negeri masih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Dengan demikian, produktivitas bawang merah dalam negeri perlu ditingkatkan. Kebutuhan pasar
dunia akan bawang merah ini sangat tinggi, begitu pula kebutuhan nasional. Tetapi produksi di
Indonesia sangat terbatas, bahkan beberapa jumlah harus diimpor. Karena meskipun iklim, musim dan
lahan di Indonesia mendukung untuk budidaya, kebanyakan petani tinggal di dataran rendah,
sedangkan tumbuhan bawang umumnya merupakan tumbuhan dataran tinggi (Rismunandar, 1989;

Samadi dan Cahyono, 1999).
Saat ini ketersediaan bibit bawang merah mengalami kesulitan karena keterbatasan varietas
lokal yang ada, karena petani lebih memilih untuk mengembangkan varietas asal impor, seperti
varietas impor Ilokos dan Tanduyung yang ukurannya lebih besar, kandungan airnya lebih banyak
serta warnanya lebih pucat, sementara aromanya jauh lebih rendah dibandingkan bawang merah
varietas lokal. Meski demikian, bawang merah varietas ini dinilai lebih tahan terhadap serangan hama
bawang sehingga banyak ditanam petani (Basuki, 2005). Tersedianya varietas lokal yang beragam
memberikan banyak pilihan kepada petani, di samping dapat mengurangi penggunaan benih impor.
Penggunaan benih bawang merah impor untuk konsumsi oleh petani sangat berpotensi menularkan
patogen yang terbawa benih ke wilayah Indonesia, karena bawang tersebut tidak dihasilkan lewat
proses serifikasi benih. Sementara di dalam negeri tersedia cukup banyak varietas lokal dengan
karakter berumbi besar dan berdaya hasil tinggi (Sinaga, 2013).
Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu faktor yang menentukan peningkatan
produktivitas bawang merah. Bawang merah umumnya diproduksi dengan menggunakan umbi
sebagai bahan tanam atau sumber benih. Penyediaan benih bermutu secara kuantitas sangat terbatas
setiap tahunnya sekitar 15–16%/ tahun (Direktorat Jenderal Hortikultura 2010). Kebutuhan benih
banyak dipe-nuhi dari umbi konsumsi atau benih impor. Penggunaan benih secara terus menerus oleh
petani juga menyebabkan semakin menurunnya mutu umbi karena akumulasi penyakit tular benih
termasuk virus, layu Fusarium yang berakibat kepada munurunnya produktivitas tanaman (Permadi
1995).

Salah satu cara untuk memproduksi bawang merah dalam skala besar dan kualitas unggul
guna memenuhi kebutuhan bawang merah dalam negeri adalah dengan menggunakan teknik

pemuliaan tanaman, sehingga dapat diperoleh kultivar – kultivar dataran rendah dengan penampakan
yang menarik, ukuran besar, masa panen yang singkat, tahan penyakit, dan lain – lain (Pike, 1989).
Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskrisikan teknik pemuliaan tanaman bawang
merah.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini sebagai berikut:
a. Mengetahui cara memperbanyak tanaman bawang merah melalui teknik pemuliaan tanaman.
b. Mengetahui varietas bawang merah hasil teknik pemulian tanaman bawang merah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sejarah Bawang Merah
Berdasarkan sejarahnya, tanaman bawang merupakan berasal dari Syiria, beberapa ribu tahun
yang lalu sudah dikenal umat manusia sebagai penyedap masakan. Sekitar abad VIII tanaman bawang
merah ini mulai menyebar ke wilayah Eropa Timur, Eropa Barat dan Spanyol, kemudian menyebar
luas ke 8 dataran Amerika, Asia Timur dan Asia Tenggara (Singgih, 1991). Abad XIX bawang merah

telah menjadi salah satu tanaman komersial di berbagai negara di dunia. Negara-negara produsen
bawang merah antara lain adalah Jepang, USA, Rumania, Italia, Meksiko dan Texas (Rahmat, 1994).
1.2. Klasifikasi Bawang Merah
Rahayu dan Berlian (1999) menjelaskan bahwa bawang merah (Allium cepa, grup
Aggregatum) merupakan komoditas holtikultura yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Tanaman ini umumnya ditanam dua kali dalam satu tahun. Sementara itu klasifikasi
bawang merah berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio :
Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Kelas : Monocotyledonae, Ordo : Liliales, Family :
Liliaceae, Genus : Alium, Spesises : Alium ascalonicum L.
1.3. Morfologi Bawang Merah
Akar tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang
terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang
merah dapat mencapai 20-200 akar, 5-2 mm diameter, akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5
akar (AAK, 2004). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut “discus” yang berbentuk
seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya akar dan mata tunas 7 (titik tumbuh),
diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah - pelepah daun dan batang semua yang
berbeda di dalam tanah berubah dan fungsi menjadi umbi lapis. Daun berbentuk silindris kecil
memanjang antara 50-70 cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing, berwarna hijau muda sampai
tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek.
Tangkai bunga keluar dari ujung tanaman (titik tumbuh) yang panjangnya antara 30-90 cm,

dan di ujungnya terdapat 50-200 kuntum bunga yang tersusun melingkar (bulat) seolah berbentuk
payung. Tiap kuntum bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga yang berwarna putih, 6 benang sari
berwarna hijau atau kekuning-kuningan, 1 putik dan bakal buah berbentuk hampir segitiga.
Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2-3 butir. Bentuk
biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam.
(Wibowo, 1994). Adapun menurut Singgih (1994) menyatakan bahwa berdasarkan warna umbi,
maka bawang merah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Kelompok yang umbinya merah tua, seperti kultivar Medan, Sri Sakate, Maja dan Gurgur.
b. Kelompok yang umbinya kuning muda pucat, seperti kultivar Sumenep.
c. Kelompok yang umbinya kuning kemerahan, seperti kultivar Lampung, Bima, ampenan dan
sebagainya.

2.4 Varietas Bawang Merah
Menurut Maskar (2007), terdapat beberapa varietas bawang merah yang dianjurkan antara
lain varietas Bima Brebes, medan, Keling, Meja Cipanas, Bauji, Super Philip, Kramat -1, Kramat -2,
Kuning, Tiron, dan sebagainya. Sedangkan untuk kebutuhan bawanggoreng dianjurkan varietas Lokal
palu dan Sumenep. Adapun keterangan secara lebih rinci beberapa varietas yang ada sebagai berikut:
a. Bima Brebes
Varietas ini memiliki umbi yang berwarna merah muda, berbentuk lonjong, agak kecil dengan
bobot susut 22%, umur panen 60 hari, mampu menghasilkan 10 ton/ha dalam sekali panen dan

banyak di tanam di daerah Brebes karena varietas ini sangat cocok ditanam di dataran rendah.
Namun bawang varietas ini sangat peka terhadap penyakit busuk daun.
b. Medan
Varietas ini dapat ditanam baik di dataran tinggi maupun rendah, saat ini banyak ditanam di
daerah Sumatera Utara. Bawang merah varietas Medan mempunyai umur panen 70 hari setelah
tanam, dengan bobot susut 25%, produksi rata – rata 7 ton/hektar umbi kering, satu rumpun
terdiri daru 6-12 anakan, mudah berbunga. Adapun karakteristiknya sebagai berikut: umbi
berwarna merah, berbentuk bulat dengan ujung runcing, serta tahan terhadap busuk umbi, namun
peka terhadap penyakit busuk ujung daun.
c. Keling
Keling merupakan varietas local yang banyak di tanam di Majalengka. Produksinya dapat
mencapai 8 ton/ha umbi kering dengan suust bobot sebesar 15%, dapat dipanen pada umur 70
hari. Keeling memiliki umbi muda berbentuk bulat, cukup tahan terhadap busuk umbi, tetapi
peka terhadap penyakit busuk ujung daun.
d. Jenis Lokal Palu
Bawang merah jenis local Palu merupakan slaah satu jenis local yang banyak diusahakan di
Lembah Palu, dan banyak dipakai sebagai bahan dasar bawnag goreng, akrena memiliki rasayang
khas. Jenis ini mempunyai adaptasi yang tinggi, cocok ditanam di dataran rendah yang beriklim
kering dengan curah hujan kurang, jenis ini memiliki umbi berwarna keputihan dan berbentuk
lonkong namun berukuran agak kecil.


BAB III
PEMULIAAN TANAMAN BAWANG MERAH

Perbaikan varietas bawang merah pada umumnya dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat
tanaman induk bawang merah yang memiliki keunggulan tertentu. Sifat unggul yang dimiliki bawang
merah seperti tahan penyakit, tipe pertumbuhan dengan tinggi tanaman dan jumlah tahan penyakit,
tipe pertumbuhan dengan tinggi tanaman dan jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, ukuran
umbi yang besar, warna umbi merah tua, serta bentuk umbinya bulat sesuai preferensi konsumen
adalah tipe bawang merah yang ideal. Penggabungan sifat induk tanaman tersebut dilaksanakan
melalui kegiatan persilangan dan seleksi tanaman. Beberapa sifat penting harus dimiliki tanaman
induk adalah kemampuan berbunga dan kemampuan membentuk biji, sehingga tanaman tersebut
dapat disilangkan baik secara alami maupun buatan (Permadi 1995).
Indonesia memiliki varietas bawang merah Sumenep yang tahan terhadap penyakit utama
(bercak ungu maupun antraknose). Namun demikian, tanaman tersebut belum berhasil dibungakan
baik secara alami maupun buatan (Putrasamedja dan Permadi 1994), seperti melalui vernalisasi,
penggunaan zat perangsang tumbuh dengan GA3, bahkan dicoba ditanam di daerah subtropis. Dengan
demikian sifat-sifat unggul yang dimiliki bawang Sumenep tersebut belum dapat dimanfaatkan untuk
tujuan perbaikan varietas di Indonesia. Beberapa jenis bawang merah yang populer di Indonesia,
selain Sumenep adalah mampu berbunga baik secara alami maupun dengan bantuan, hanya saja sifatsifat unggulnya seperti tingkat ketahanan terhadap penyakit utama masih sulit diperoleh. Beberapa

sifat bawang merah yang ada di Indonesia disajikan dalam Tabel 3.

Upaya perbaikan bawang merah selain dapat ditempuh melalui pemuliaan tanaman secara
konvensional, yaitu melalui persilangan dengan penggabungan sifat-sifat tanaman yang diharapkan,
juga dapat ditempuh dengan cara non-konvensional melalui mutasi, poliploidisasi dan/atau rekayasa
genetik.
3.1 Pemuliaan Bawang Merah secara Konvensional
3.1.1

Perbanyakan vegetative dengan Umbi

Perbanyakan vegetative dengan menggunakan umbi merupakan metode yang paling umum
digunakan oleh para pembudidaya bawang merah. Namun, bibit dari umbi seringkali memiliki
kelemahan yaitu adanya pathogen virus yang dibawa dari induk, akumulasi patogen dari induk akan
diturunkan pada setiap generasi sehingga dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas bawang
merah. Bawang merah biasanya dapat diperbanyak dengan menggunakan umbi lapis (Bulb). Bulb
merupakan umbi yang tersusun atas lapisan-lapisan yang membungkus bagian yang disebut cakram,
dari cakram inilah nantinya muncul individu baru sebagai keturunannya.

Gambar 1. Umbi Lapis Bawang Merah

Sumber: Prasdiantana, 2014
3.2.2 True Shallot Seed
 Teknik produksi TSS (bulb to seed)
Teknologi produksi TSS dengan perlakuan vernalisasi umbi benih, aplikasi zat pengatur
tumbuh BAP, aplikasi boron, dan penggunaan serangga penyerbuk lebah madu local (Apis cerana)
dapat meningkatkan pembungaan, memperbaiki viabilitas serbuk sari dan menghasilkan produksi
benih TSS (Rosliani et al. 2012, Palupi et al. 2015). Spesifikasi teknis dari teknologi produksi TSS
adalah vernalisasi umbi benih selama 4 minggu pada suhu 10 0C dan BAP 37,5 ppm yang
diaplikasikan dengan cara perendaman umbi benih selama 1 jam, Boron 3 kg/ha diaplikasikan dengan
cara penyiraman tiga kali pada umur 3, 5 dan 7 MST, dan introduksi lebah madu Apis cerana pada
waktu kuntum bunga mekar. Penggunaan naungan plastik putih transparan pada produksi TSS selain
untuk melindungi bunga dan kapsul (istilah buah pada genus Allium) yang terbentuk juga untuk
meningkatkan kebernasan biji/ TSS. Produksi TSS yang diperoleh untuk varietas Bima Brebes adalah
1–1,5 g per rumpun atau setara dengan 150–225 kg/ha (Rosliani et al. 2012, Palupi et al. 2015),
sedangkan pada varietas Trisula yang ditanam massal pada bedengan untuk 700 m2 dihasilkan 9,7 kg
TSS atau setara dengan 135 kg/ha (Rosliani, 2013).
 Teknik produksi umbi mini (seed to mini bulb)
Model perbenihan bawang merah asal TSS dengan teknologi produksi umbi mini (bobot 3
g/umbi) bertujuan untuk membantu petani dalam memanfaatkan TSS yang dirasakan akan
menyulitkan dalam transfer teknologi TSS. Perbanyakan benih dalam bentuk umbi mini akan

diproduksi di petani penangkar sampai dengan benih siap dilepas untuk diproduksi sebagai umbi
konsumsi. Dalam memproduksi umbi mini tersebut digunakan sistem tanam benih langsung (tabela)

yang akan diproduksi oleh petani penangkar hingga dilepas sebagai benih untuk umbi konsumsi.
Teknologi produksi umbi mini dengan sistem tabela dirasakan akan lebih mudah diadopsi oleh
penangkar benih karena relatif praktis dibandingkan dengan sistem transplanting yang telah
dikenalkan pada varietas Tuk Tuk. Spesifikasi teknis dari teknologi produksi umbi mini (Rosliani et
al. 2014) adalah komposisi media arang sekam, kompos pupuk kandang matang, dan tanah (1:1:1),
penggunaan pupuk SP-36 yang dicampurkan pada media tanam dan pupuk susulan NPK (16:16:16)
dengan dosis 100 kg/ha (10 g/m) yang diberikan pada umur tanaman 30 dan 60 hari setelah semai,
cara penanaman benih TSS yang disebar merata pada larikan yang berjarak 5 cm dengan kerapatan 2
3 g/m2, serta penggunaan naungan plastik putih transparan (PE) untuk melindungi semaian TSS dari
terpaan air hujan.
Dengan berkembangnya inovasi sistem perbenihan bawang merah asal TSS, maka diharapkan
akan diperoleh beberapa manfaat seperti tersedianya alternative sumber benih bawang merah bermutu
secara mudah, massal dan berkesinambungan, mendorong terwujudnya swasembada benih bawang
merah, terbukanya peluang industri benih untuk para penangkar benih, dan produktivitas bawang
merah yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani.

3.1.3


Persilangan

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah sekurang-kurangnya 30%
produksi nasional adalah mengadakan perbaikan secara genetic yaitu menggabungkan sifat-sifat baik
dari beberapa bawang local dengan bawang yang berasal dari luar negeri. Cara ini dilakukan dengan
persilangan-persilangan dan dari persilangan akan diperoleh keragaman genetic secara luas, yang
pada akhirnya selain diperoleh beberapa klon-klon unggul juga beberapa klon sebagai induk tetua.
Metode persilangan yang digunakan adalah metode satu arah dan 2 arah tergantung tujuan dari
masing - masing persilangan.
- Prosedur kerja:
1. Sebelum tanaman disilangkan, dilakukan kastrasi yaitu dengan cara membuang pollen dari jam
6-siang, pekerjaan ini dilakukan semenjak bunga mulai mekar pertaman sampai habis
keseluruhan.
2. Selanjutnya dilakukan persilangan, yaitu dengan memindahkan polen-polen yang kita kehendaki
sebagai penjantan dengan menggunakan kuas-kuas halus kemudian dioles-oleskan.
3. Polen-polen dari hasil pengambilan yang dijadikan pejantan setiap pengambilan disimpan pada
Petridis disimpan pada suhu rendah dengan suhu kamr 100C.
4. Polen-polen yang akan dipakai sebagai pejantan sebelum dilakukan penyerbukan di keluarkan
dari ruang dingin agar pecah dari gumpalan-gumpalan.
3.1.3

Introduksi

Salah satu cara untuk memperluas keragaman genetik adalah melakukan introduksi tanaman.
Namun tidak semua sumber genetik hasil introduksi dapat berkembang dengan baik di Indonesia,
sehingga diperlukan adanya persilangan-persilangan dengan jenis lokal. Demikian juga hasil
persilangan antara spesies yang berbeda belum menjamin diperoleh hasil yang diharapkan, sehingga
agar diperoleh kultivar bawang merah yang mempunyai nilai produksi tinggi maka langkah awal
dalam pemuliaan bawah merah adalah melakukan introduksi tanaman dari beberapa daerah di
Indonesia, varietas yang digunakan adalah bima brebes, Bauji, Cokol Ijo, Singkil Gajah, Philipina,
Timor, Bethok, Tiron, Kuning, Maja, Bangkok Warsa, dan Bombay (Soedomo, 1989).
Setelah tahap introduksi ada dua macam tahap pemuliaan yang diterapkan, yaitu langsung
diseleksi untuk mendapatkan varietas unggul dan tahap yang lainnya adalah dari introduksi diperoleh
tetua yang digunakan untuk hibridisasi. Tanaman diintroduksi dari beberapa daerah di Indonesia, yaitu
sebagai berikut:

Tabel 1. Varietas bawang merah

Kultivar
Ilokos
Bima Brebes
Bauji
Cokol Ijo
Singkil Gajah
Philipina
Timor
Bethok
Tiron
Kuning
Maja
BangkokWarso
Bombay

Asal koleksi
Tegal, Jawa Tengah
Brebes, Jawa Tengah
Tulungagung, Jawa Timur
Kendal, Jawa Tengah
Ciledug, Cirebon
Tegal, Jawa Tengah
Brebes, Jawa Tengah
Nganjuk, Jawa Timur
Bantul, Jogyakarta
Brebes, Jawa Tengah
Kec. Maja,Majalengka
Tegal, Jawa Tengah
Brebes, Jawa Tengah

Asal mula tanaman
Philipina
Bima, Lombok
Tulungangung
Kendal
. Sumatera Barat
Philipina
. Pulau Timor
. Nganjuk
Bantul
Brebes
. Maja
Thailand
India

Tahap berikutnya adalah seleksi massa dari varietas intoduksi tersebut. Pelaksanaan dari
seleksi massa adalah:
a. Dari populasi dasar yang ditanam → dipilih individu-individu terbaik berdasarkan fenotipe yang
sesuai dengan kriteria seleksi
b. Biji dari individu terpilih dipanen → di campur
b. Diambil sejumlah biji secara acak → ditanam pada satu petak →
Dipilih individu-individu
terbaik sesuai dengan kriteria seleksi
a. Biji dari individu terpilih dipanen → dicampur
b. Diambil sejumlah biji secara acak → ditanam pada satu petak → dipilih individu-individu terbaik
sesuai dengan kriteria seleksi
c. Demikian seterusnya sampai diperoleh suatu populasi yang seragam dengan sifat-sifat sesuai
dengan kriteria seleksi yang telah ditentukan
Adapun bagan alur proses introduksi tanaman bawang merah secara umum sebagai berikut:

Gambar . Bagan Proses Introduksi Bawang Merah

Tahapan-tahapan

dari

seleksi

massa

sendiri

adalah

sebagai

berikut

:

Setelah seleksi dilakukan akhirnya diperoleh kultivar unggul yang dapat ditanam
langsung ataupun digunakan sebagai tetua dalam hibridisasi. FI yang dihasilkan mempunyai
karakteristik: tanaman yang cukup tinggi, persentase tumbuh yang tinggi, jumlah anakan
banyak, diameter umbi cukup besar, umur panen normal yaitu 60 hari, dan tahan penyakit.
Setelah diperoleh klon, klon tersebut diseleksi dengan metode seleksi massa seperti tahap
pertama sampai mendapatkan varietas unggul yang dapat dibudidayakan secara vegetatif.
Dari sekian varietas bawang merah yang ada termasuk varietas introduksi belum didapatkan
varietas yang tahan terhadap penyakit di atas kecuali varietas Sumenep yang relatif tahan
terhadap penyakit “Otomatis” tetapi tidak tahan terhadap penyakit “Alternaria”. Namun
varietas ini tidak mampu berbunga dan belum diketahui cara merangsang bunganya, serta
berumur panjang walaupun mempunyai kualitas terbaik untuk bawang goreng (Permadi,
1992).

3.2 Pemuliaan Tanaman Secara Non-Konvensional
3.2.1 Mutasi dan Poliploidisasi
Kultivar-kultivar unggul dapat diperoleh melalui pemuliaan tanaman, diantaranya
mutasi dan prosedur transgenik. Pemuliaan dengan mutasi dapat dilakukan dengan kolkisin
pada jaringan meristem (Suryo, 1995). Kolkisin (C22H25ON) merupakan suatu alkaloid
berwarna putih yang diperoleh dari umbi tanaman Colchichum autumnale L. (Familia
Liliaceae). Senyawa ini dapat menghalangi terbentuknya benang-benang spindel pada
pembelahan sel sehingga menyebabkan terbentuknya individu poliploidi (Eigsti dan Dustin,
1957; Suryo, 1995).

Apabila kolkisin digunakan pada konsentrasi yang tepat maka jumlah kromosom akan
meningkat, sehingga tanaman bersifat poliploid. Tanaman yang bersifat poliploid umumnya
memiliki ukuran morfologi lebih besar dibandingkan tanaman diploid. Dengan demikian
kualitas tanaman yang diberi perlakuan diharapkan lebih baik dibandingkan tanaman diploid.
Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada konsentrasi 0,01-1%. Untuk jangka waktu 6-72
jam, namun Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbedabeda (Eigsti dan Dustin,
1957; Suryo, 1995).
Individu poliploid merupakan suatu organisme yang memiliki kromosom lebih dari
dua set (2n) atau diploid. Sedangkan poliploidi adalah peristiwa organisme memiliki
kromosom lebih dari dua set, dan poliploidisasi merupakan usaha-usaha untuk menghasilkan
organisme atau individu poliploid (Suryo,1995). Menurut Erniawati (2007), poliploidisasi
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tanaman. tanaman poliploid biasanya
memiliki banyak kelebihan dibandingkan tanaman diploidnya, antara lain:
 penampakan mor'ologi lebih kekar
 daun lebih lebar
 sel-sel lebih besar
 lebih tahan terhadap perubahan lingkungan
 produksinya lebih tinggi
Adapun Crowder (1996), mengungkapkan kelebihan tanaman poliploid memiliki arti
penting dalam proses evolusi. jenis dan kultivar baru yang mempunyai tingkat ploidi berbeda
dapat dikembangkan. Sedangkan kekurangan tanaman poliploid antara lain adanya si'at semisterilisasi sehingga gamet tidak viabel dan dapat menurunkan hasil biji.

Gambar 2. Kiri: Bawang merah tanpa kolkisin (control); kanan: bawang merah dengan
kolkisin (perlakuan)
Sumber: biologi-community.blogspot.com

Suminah et al., (2002) telah melakukan penelitian mengenai pemuliaan tanaman
menggunakan metode mutasi dengan cara pemberian senyawa kolkisin 1% pada tanaman
bawang merah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi variasi bentuk,
ukuran, dan jumlah kromosom Allium ascalonicum L. akibat pemberian kolkisin 1%.
Poliploidi yang terbentuk dapat dikelompokkan menjadi tetraploid, pentaploid, heksaploid,
oktaploid, dan nonaploid akibat pemberian kolkisin 1%.
Dalam dunia pertanian, peningkatan keanekaragaman genetik akibat mutasi,
rekombinasi serta separasi dan segregasi selama meiosis merupakan sumber plasma nutfah
untuk pemuliaan tanaman. Keanekaragaman ini dapat terjadi secara spontan dengan laju yang
rendah atau dapat diinduksi oleh pengaruh kimia dan fisik dengan mematahkan kromosom
atau mengubah perilakuannya selama pembelahan meiosis atau mitosis (Crowder, 1986).
Keanekaragaman ini memungkinkan untuk mengetahui banyak karakter gen, sehingga
aberasi dan poliploidi mempunyai nilai tinggi dalam penemuan kultivar unggul. Tanaman
poliploid biasanya lebih kuat dari pada tanaman diploid, ukuran daun, batang, bunga, buah,
dan inti sel lebih besar, kandungan vitamin dan protein bertambah, tekanan osmotic
berkurang, serta pembelahan sel melambat, sehingga umur vegetatif lebih lama (Suryo,
1995).

3.2.2 Rekayasa Genetika
3.2.1 Kuultur Jaringan
Teknikkultur jaringan merupakan teknik yang efisien untuk perbanyakan klonal
tanaman. Teknik kultur jaringan juga memberi peluang untukterbentuknya individu dengan
karakter unggul melalui induksi variasi somaklonal atauteknik rekayasa genetika.
Perbanyakan tanaman bawang merah secara in vitrotelah dilakukan pada Allium cepa dan
Allium ascalonicum [suhendra, 2014].
Metode regenerasi tunas pada mediadengan penambahan BAP atau BAP yang
dikombinasikan dengan NAA hanya menghasilkan 3-4 tunas per kalus [Dixit, 2013]. Zat
pengatur tumbuh sitokinin dalam hal ini BAP menunjukkan hasil yang kurang optimal.
Penelitian oleh Khar [2005] pada regenerasi tunas Allium cepa menggunakan zat pengatur
tumbuh kinetin 2 mg/Lmenunjukkan hasil yang lebih baik dengan terinduksinya 5-8 tunas
pada kalus, sementara penggunaan BAP menghasilkan pertumbuhan tunasyangalbino dengan
defisiensi klorofil. Beberapa hasil penelitianmenunjukkan zat pengatur tumbuh NAA dan
kinetin dapat memacu regenerasi tunas pada beberapa tanaman kultur bawang [monemi,
2014]. Oleh karena itu penggunaan kombinasi NAA+kinetin untuk regenerasi tunas bawang
merah berpeluang untuk menghasilkan regenerasi secara in vitro bawang merah.
Diperolehnya metode regenerasi bawang merah secarain vitroakan mendukung
pengembangan tanaman bawang merah.

Gambar 3. Kultur Jaringan tanamanBawang Merah.

Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin berperan penting dalam regenerasi tanaman
secara umum, auksin mampu menginduksi proliferasi dan pertumbuhan kalus, sedangkan
sitokinin lebih berperan memacu regenerasi pemanjangan dan pertumbuhan tunas [3].
Regenerasi tanaman melalui eksplan kalus dipengaruhi oleh auksin dan sitokinin pada kalus
yang menentukan arah diferensiasi. Kombinasi NAA dan kinetin dapat menginduksi
munculnya mata tunas pada eksplan kalus tanaman Ipomoea obscura[10]. Peningkatan
konsentrasi kinetin pada media dapat menghambat waktu muncul tunas pada eksplan kalus
Allium cepa[4]dan tunas Allium sativum.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pemuliaan tanaman bawang merah dapat diakukan dengan metode konvesnional
maupun non konvensional
2. Metode konvensional dapat dilakukan dengan cara persilangan, perbanyakan
vegetative dengan umbi, metode TSS dan juga introduksi serta seleksi massa,
sedangkan metode non konvensional dapat dilakukan dengan rekayasa genetika dan
poliploidisasi/mutasi

DAFTAR PUSTAKA

Gunadi, N. dan Suwandi. 1989. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi pemupukan fosfat pada tanaman
bawang merah kultivar Sumenep I. Pertumbuhan dan hasil. Bull. Penel. Hort. XVIII (2): 98106.
Hidayat, A. dan R. Rosliani. 2003. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit bawang merah
terhadap hasil dan distribusi ukuran umbi bawang merah. Lap. Hasil Penel. Balitsa Lembang.
Hidayat, A. 2004. Budidaya bawang merah. Beberapa hasil penelitian di Kabupaten Brebes. Makalah
disampaikan pada Temu Teknologi Budidaya Bawang Merah. Direktorat Tana. Sayuran dan
Bio Farmaka, Brebes, 3 September 2004.
Hidayat, A. dan R. Rosliani. 1996. Pengaruh pemupukan N, P dan K pada pertumbuhan dan produksi
bawang merah kultivar Sumenep. J. Hort 5 (5): 39-43.
Hidayat, A., R. Rosliani, N. Sumarni, T.K. Moekasan, E. S. Suryaningsih dan S. Putusambagi. 2004.
Pengaruh varietas dan paket pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah.
Lap. Hasil Penel. Balitsa-Lembang.
Hilman, Y. dan Suwandi. 1990. Pengaruh penggunaan pupuk nitrogen dan fosfat pada bawang
merah. Kerjasama Balai Penelitian Hortikultura dengan Petrokimai Gresik.
Marid E. E. and M. R. Vega. 1971. Duration of weed control ad wild competition and the effect on
yield. Phil. Agric. 55: 216-220.
Muhammad, H., S. Sabihan, A. Rachim, H. Adijuirana. Penentuan batas kritis sulfat untuk bawang
merah di tanah Vertisol, Inexprosal dan Entisal di Kabupaten Jeneponto. J. Hort. 11(2): 110118.
Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah. Penebar Swadaya.
Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Teknologi produksi
bawang merah. Puslitbang Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Rahmat Rukman. 1994. Bawang merah, budidaya dan pengolahan pasca panen. Penerbit Kanisius
Yogyakarta.
Rismunandar. 1986. Membudidayakan lima jenis bawang. Penerbit Sinar Baru Bandung.
Singgih Wibowo. 1991. Budidaya bawang putih, bawang merah, bawang Bombay. PT. Penebar
Swadaya Jakarta.
Stallen, M. P. K. and Y. Hilman. 1991. Effect plant density and bulb size on yield and quality of
shallot. Bul. Penel. Hort. XX Ed. Khusus (1) 1991.
Sumarna, A. 1992. Pengaruh ketinggian dan frekuensi pemberian air terhadap pertumbuhan dan
produksi bawang merah. Bull. Penel. Hort. XXIV(1): 6-15.
Sunarjono, H. dan P. Soedomo. 1989. Budidaya bawang merah (A. ascalonicum L.). Penerbit Sinar
Baru Bandung.
Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995. Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah Mada
University Press. Prosea Indonesia – Balai Penel. Hortikultura Lembang.
Suwandi, R. Rosliani dan T. A. Soetiarso. Perbaikan teknologi budidaya bawang merah di dataran
medium. J. Hort 7 (1): 541-549.

Dokumen yang terkait

PENGARUH KOMPOSISI KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA HIBRID TANAMAN ANGGREK Dendrobium sp.

10 148 1

KAJIAN APLIKASI PUPUK KASCING PADA TIGA JENIS TANAMAN SELADA (Lactuca sativa L.) DENGAN PERBANDINGAN MEDIA YANG BERBEDA

3 58 19

PENGARUH TINGKAT SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN ASAM JAWA (Tamarindus indica, Linn.)

2 32 14

INSTRUMEN UKUR KADAR KEBUTUHAN PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN METODE FUZZY LOGIC

13 68 149

INTEGRASI APLIKASI METARHIZIUM ANISOPLIAE DAN NEMATODA PATOGEN SERANGGA SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI HAMA URET LEPIDIOTA STIGMA YANG MENYERANG TANAMAN TEBU

5 78 10

KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN IKAN WADER (Rasbora jacobsoni) SECARA ENZIMATIS DENGAN ENZIM PROTEASE DARI TANAMAN BIDURI (Calotropis gigantea)

5 51 48

PENGARUH JENIS DAN POPULASI GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)

4 23 54

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF TANAMAN PADI TADAH HUJAN (Oryza sativa L.) PADA LAHAN KELMPOK TANI KARYA SUBUR DI DESA PESAWARAN INDAH KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN

3 52 58

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merr) PADA MUSIM TANAM KETIGA

2 27 50

PENGARUH APLIKASI BEBERAPA BAHAN PEMBENAH TANAH DAN TANAMAN SELA TERHADAP BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH PADA TANAH PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis) YANG DITANAMI TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta)

1 18 9