Chapter II Evaluasi Kinerja Operasi Dan Pemeliharaan Sistem Irigasi Serbangan Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Irigasi
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 tahun 2006
tentang irigasi menyatakan bahwa: pasal 1 (3) Irigasi adalah usaha penyediaan,
pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya
meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa,
dan irigasi tambak. (4) sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi,
manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumber daya manusia.
Penilaian kinerja sistem irigasi dilaksanakan oleh pengelola Daerah Irigasi
(DI) sesuai dengan kewenangan masing-masing setiap satu tahun sekali. Kegiatan
ini penting dilakukan untuk memantau tugas dan kinerja seluruh aspek sistem
irigasi. Nilai yang dihasilkan dari evaluasi ini akan menentukan kinerja suatu
daerah irigasi sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan usulan kegiatan pada
tahun berikutnya (Liestiasari, 2014).
Jaringan Irigasi
Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya
yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagi,
pemberi, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Saluran irigasi merupakan
infrastruktur yang mendistribusikan air yang berasal dari bendungan kelahan
pertanian yang dimiliki oleh masyarakat (Ayuningtias, 2014).

Jaringan irigasi umumnya memiliki empat unsur fungsional pokok yaitu:
bangunan-bangunan utama (headwork) dimana air diambil dari sumbernya yang

4

5

umum dari sungai atau waduk. Jaringan pembawa berfungsi mengalirkan air
irigasi ke petak-petak tersier. Petak-petak tersier berfungsi membagi air irigasi dan
dialirkan ke petak-petak sawah dan kelebihannya ditampung dalam suatu sistem
pembuangan didalam petak tersier. Sistem pembuangan berfungsi membuang
kelebihan air irigasi ke sungai atau saluran alamiah lainnya (Helyantina, 2012).
Dari segi kontruksi jaringan irigasinya, diklasifikasikan sistem irigasi
menjadi empat jenis yaitu :
1. Irigasi sederhana
Adalah sistem irigasi yang sistem kontruksinya dilakukan dengan
sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur
sehingga air irigasinya tidak teratur dan tidak terukur, sehingga
efisiensinya menjadi rendah.
2. Irigasi semi teknis

Adalah suatu sistem irigasi dengan kontruksi pintu pengatur dan alat
pengukur pada bangunan pengambilan saja, sehingga air hanya teratur dan
terukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya
sedang.
3. Irigasi teknis
Adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi dengan alat pengatur dan
pengukur air pada bangunan pengambilan, bangunan bagi dan bangunan
sadap sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap,
diharapkan efisiensinya tinggi.
(Sostrodarsono dan Takeda, 1985).

6

Salah satu bangunan di jaringan irigasi yaitu bangunan distribusi,
bangunan bagi, bangunan sadap, bangunan sadap akhir dan bangunan box tersier.
Bangunan distribusi berfungsi untuk mendistribusikan air dari saluran yang satu
ke saluran yang lainnya. Bangunan bagi berfungsi untuk membagi air dari saluran
primer atau saluran sekunder kedua buah saluran atau lebih yang masing-masing
debitnya lebih kecil. Bangunan sadap akhir adalah bangunan pembagi air pada
bagian akhir dari saluran sekunder dimana debitnya disadap habis oleh saluransaluran tersier. Bangunan box tersier adalah sebuah bangunan berupa kolom atau

kotak (Mawardi, 2007).
Kinerja Jaringan Irigasi
Kinerja jaringan irigasi merupakan resultanse dari kinerja manajemen
operasi dan pemeliharaan irigasi serta kondisi fisik jaringan irigasi secara
simultan. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik dimana kondisi fisik
jaringan irigasi yang rusak mengakibatkan pengoperasiannya tidak optimal, di
sisi lain jika operasi dan pemeliharaannya tidak memenuhi ketentuan teknis
maka kondisi fisik jaringan irigasi juga tidak akan berfungsi secara optimal
(Ritonga, 2013).
Kinerja

operasi

dan

pemeliharaan

jaringan

irigasi


yang

buruk

mengakibatkan luas areal sawah yang beririgasi baik akan berkurang. Secara
umum, kinerja jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan meningkatnya water
stress yang dialami tanaman sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman tidak optimal. Permasalahan lain dalam penyediaan air irigasi adalah

7

dalam hal pengaturan dan pendistribusian atau operasi dan pemeliharaan
(Salam, 2014).
Setiap komponen indikator kinerja irigasi memiliki rentang nilai 1 hingga
4. Komponen-komponen indikator kinerja sistem irigasi dalam Setyawan, dkk.,
(2013), dapat dilihat pada Lampiran 2. Komponen indikator yang telah diketahui
nilai atau skornya dikalikan dengan bobotnya, kemudian dijumlahkan sehingga
diperoleh jumlah nilai total komponen-komponen indikator dengan rentang niai 1
hingga 4. Setelah itu ditentukan kriteria kinerja sistem irigasi berdasarkan Tabel 3.

Secara sederhana perhitungan jumlah nilai total komponen-komponen indikator
kinerja sistem irigasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
∑ I = I1 × B1 + I2 × B2… … + In × Bn………….…………………...........(1)
dimana:
∑ I = Jumlah nilai total komponen indikator kinerja sistem irigasi
I

= Nilai komponen indikator

B = Bobot indikator (%)
Kinerja Operasi dan Pemeliharaan Sistem Irigasi
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2006
Tentang Irigasi menyatakan bahwa: Pasal 1 (37) Operasi jaringan irigasi adalah
upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membukamenutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem
golongan,

menyusun

rencana


pembagian

air,

melaksanakan

kalibrasi

pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau dan mengevaluasi. (38)
Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan

8

irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan
operasi dan mempertahankan kelestariannya. Komponen kriteria dan kategori
penilaian kinerja Operasi dan Pemeliharaan (O&P) Irigasi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komponen penilaian kinerja operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
Komponen penilaian
Kriteria penilaian

Kinerja fungsi infrastruktur Kondisi fisik insfrastruktur
jaringan irigasi
Kondisi
fungsional
insfrastruktur
Kinerja pelayanan air
Tingkat kecukupan air
Tingkat
ketepatan
pemberian air
Kinerja kelembagaan
Manajemen kelembagaan
pemerintah
Ketersediaan dana
SDM
Kinerja kelembagaan petani Struktur
kelembagaan
(AD/ART,
anggota,
program kinerja), prasarana

(fasilitas dan dana) dan
keaktifan anggota

Kategori penilaian
Baik, rusak sedang, rusak
berat
Baik, terganggu ringan,
terganggu berat
Berlebih, cukup, kurang
Tepat, kadang terlambat,
sering terlambat
Baik, cukup, kurang
Berlebih, cukup, kurang
Berlebih, cukup, kurang

Baik, cukup, kurang

Sumber : Setyawan, dkk., 2013.
Tolak ukur yang diterapkan untuk mengevaluasi kinerja Operasi dan
Pemeliharaan (O&P) irigasi mencakup aspek-aspek berikut:

1. Tolak ukur keluaran O&P jaringan irigasi sebagai penyedia, penyalur, dan
distribusi air.
2. Tolak ukur menurut sudut pandang petani. Ini dapat dinilai melalui:
tingkat kecukupan air, ketepatan waktu (Sumaryanto, dkk., 2006).
Jenis-jenis pemeliharaan jaringan irigasi terdiri atas:
1.

Pengamanan yaitu upaya untuk menanggulangi kerusakan.

2. Pemeliharaan

rutin

yaitu

kegiatan

mempertahankan kondisi jaringan.

perawatan


dalam

rangka

9

3. Pemeliharaan berkala yaitu kegiatan perawatan dan perbaikan yang
dilaksanakan secara berkala.
4. Penanggulangan/perbaikan darurat dilakukan akibat bencana alam dan
kerusakan berat.
(Mansoer, 2010).
Untuk menilai kinerja operasi dan penilaian kinerja operasi dan
pemeliharaan sistem irigasi, maka perlu diketahui bobot penilaian kinerja operasi
dan pemeliharaan sistem irigasi untuk setiap kriteria penilaian. Bobot penilaian
operasi dan pemeliharaan kinerja sistem irigasi, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bobot penilaian kinerja operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
Komponen
penelaian


Kriteria
penilaian

Bobot
(%)

Kinerja fung
Sional
infrastruktur
jaringan
irigasi
Kinerja
pelayanan air

Kondisi fisik
infrastruktur
Kondisi
fungsional
infrastruktur
Tingkat
kecukupan air
Tingkat
ketepatan
pemberian air

14

Manajemen
kelembagaa
n

Kinerja
kelembagaan
pemerintah

Kinerja
kelembagaan
petani

Nilai
1
Rusak
berat
Rusak
berat

2
Rusak
sedang
Rusak
sedang

3
Rusak
ringan
Rusak
ringan

4
Baik

Sangat
kurang
Sangat
terlambat

Kurang

Cukup

Terlambat

Tepat

Sangat
cukup
Sangat
tepat

10

Sangat
buruk

Buruk

Baik

Sangat
baik

Keterediaan
dana
SDM

11

11

Kurang
memadai
Kurang
memadai
Buruk

Memadai

Struktur
kelembagaan
(AD/ART,
anggota,
program
kerja),
prasarana dan
keaktifan
anggota

Tidak
memadai
Tidak
memadai
Sangat
buruk

Sangat
memadai
Sangat
memadai
Sangat
baik

Sumber: Setyawan, dkk., 2013.

14

15
15

10

Memadai
Baik

Baik

10

Setelah bobot penilaian kinerja operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
diketahui, maka dapat dianalisis kriteria kinerja operasi dan pemeliharaan sistem
irigasi, dengan menggunakan Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
No
1
2
3
4

Jumlah skor
3–4
2 - 2,9
1 – 1,9
40%

Klasifikasi

Keterangan
Pemeliharaan rutin
Pemeliharaan berkala
Perbaikan
Rehabilitasi

Baik
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat

Sumber: Mansoer, 2010.
Sedangkan untuk kriteria kondisi fisik infrastruktur jaringan irigasi dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi fisik infrastruktur jaringan irigasi
No
1
2
3
4

Kondisi fisik infrastruktur
Tingkat kerusakan 40%

Kriteria
Baik
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat

Sumber: Mansoer, 2010.
Penilaian kondisi fisik insfrastruktur dalam Mansoer (2013), dapat
diketahui dengan cara berikut:
-

Indikator bangunan utama (Bu): Bangunan utama berfungsi baik
(Buf)/jumlah total bangunan utama (But) kemudian dikali bobotnya.
Atau: Bu =

Buf

But

x bobot………………………...………………………...(2)

Bangunan utama terdiri dari: bendungan,pintu air pengambilan dan pintu
air penguras.
-

Indikator saluran irigasi (Is): panjang saluran berfungsi baik (Sf)/panjang
saluran total (St) kemudian dikali dengan bobotnya.
Atau : Is =

Sf

St

x bobot…………………….…….……………………… (3)

12

Saluran yang dimaksud ialah saluran primer, sekunder dan tersier.
-

Indikator bangunan (Ib): jumlah bangunan yang berfungsi baik
(Bf)/jumlah bangunan total (Bt) kemudian dikali dengan bobotnya.
Atau : Ib =

Bf

Bt

x bobot…………………………...……………………….(4)

Bangunan yang dimaksud ialah mencakup bangunan-bangunan yang
menunjang kegiatan irigasi disuatu daerah irigasi, seperti bangunan bagi,
bangunan sadap, bangunan talang, siphon, gorong-gorong, jembatan dan
lain sebagainya.
Setelah nilai masing-masing indikator diketahui, maka dihitung persentase
kondisi fisik infrastruktur dengan rumus:
Kondisi fisik infrastruktur = Bu + Is + Ib ……………………………………… (5)
Bobot indikator untuk menentukan kriteria kondisi fisik jaringan irigasi,
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot indikator kriteria kondisi fisik jaringan irigasi
No
1
2
3

Indikator
Bangunan utama
Saluran pembawa
Bangunan pada saluran

Bobot (%)
38,65
31,65
29,65

Sumber: Mansoer (2013).
b. Kondisi fungsional infrastruktur jaringan irigasi
Kondisi fungsional infrastruktur jaringan irigasi erat kaitannya terhadap
kondisi fisik infrastruktur jaringan irigasi. Jika kondisi fisik infrastruktur baik,
maka hampir dapat dipastikan kondisi fungsional infrastruktur jaringan irigasinya
juga demikian. Penilaian kondisi fungsional infrastruktur jaringan irigasi dapat
dilakukan dengan cara berikut:

13

-

Indikator saluran irigasi (Is): panjang saluran berfungsi baik (Sf)/panjang
saluran total (St) kemudian dikali 100%.
Atau: Is =

-

Sf

St

x 100%…………..………….……………………..………..….(5)

Indikator bangunan irigasi (Ib): jumlah bangunan irigasi yang berfungsi baik
(Bf)/jumlah bangunan total (Bt) kemudian dikali dengan 100%.
Atau: Ib =

Bf

Bt

x 100%……………………………………………………..….(6)

Setelah nilai masing-masing indikator diketahui, maka dihitung persentase
kondisi fisik infrastruktur dengan rumus:
Kondisi fungsional infrastruktur =

Is+Ib
2

…………….………………………(7)

Kriteria kondisi fungsional infrastruktur jaringan irigasi, seperti yang
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kriteria kondisi fungsional infrastruktur jaringan sistem irigasi
No
1
2
3
4

Kondisi fungsional infrastruktur
Tingkat kerusakan fungsional 40%

Kriteria
Baik
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat

Sumber: Mansoer, 2010.
Secara alami jaringan irigasi cenderung mengalami penurunan tingkat
layanan sarana dan prasarana serta penurunan kinerja operasi. Untuk
menanggulangi hal tersebut, dalam jangka waktu tertentu perlu dilakukan upayaupaya rehabilitasi guna mengembalikan kemampuan layanan jaringan irigasi
sesuai dengan desain rencana. Rehabilitasi adalah suatu proses perbaikan sistem
jaringan yang meliputi perbaikan fisik atau non-fisik untuk mengembalikan
tingkat pelayanan sesuai desain semula sesuai dengan kondisi lapangan. Sesuai
dengan kebijakan pemerintah, dana untuk kegiatan rehabilitasi sistem irigasi yang

14

menjadi kewenangan dan tangung jawab pemerintah daerah hanya dikhususkan
untuk kegiatan fisik (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39 Tahun 2006).
Kinerja Pelayanan Air
Kinerja pelayanan air meliputi: tingkat kecukupan air dan tingkat
ketepatan memperoleh air. Rencana penyediaan air tahunan dibuat oleh instansi
teknis tingkat kabupaten atau tingkat provinsi sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan ketersediaan air (debit andalan) dan mempertimbangkan usulan
rencana tata tanam dan rencana kebutuhan air tahunan serta kondisi
hidroklimatologi (Sebayang, 2014).
a. Tingkat kecukupan air
Pemanfaatan air oleh petani dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air di
sawah, pertanian ladang kering, peternakan dan perikanan. Umumnya air
diperoleh dari sarana dan prasarana irigasi yang dibangun pemerintah ataupun
masyarakat petani sendiri. Untuk lahan pertanian, jumlah air yang dibutuhkan
disesuaikan dengan kebutuhan air tanaman. Pemberian air dapat dinyatakan
efisien bila debit air yang disalurkan melalui sarana irigasi seoptimal mungkin
sesuai dengan kebutuhan tanaman pada lahan pertanian (Sumadiyono, 2012).
Kecukupan air adalah banyaknya bagian lahan yang menerima air cukup
untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas produksi tanaman pada tingkat
menguntungkan. Analisa kecukupan air adalah analisa penilaian tingkat
kecukupan air selama satu tahun dengan perbandingan antara debit yang tersedia
di bendungan dengan debit yang dibutuhkan tanaman (Sayekti, 2012).

15

Tingkat kecukupan air ditandai dengan kemampuan suatu sumber air
untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan tertentu. Pada areal beririgasi,
lahan dapat ditanami padi 3 kali dalam setahun, tetapi pada sawah tadah hujan
harus dilakukan pergiliran tanaman dengan palawija. Pergiliran tanaman ini juga
dilakukan pada lahan beririgasi (Prihatman, 2000).
Tingkat kecukupan air dapat diketahui dengan cara berikut ini: jika dalam
satu tahun pada suatu areal sawah tertentu dapat ditanami padi 3 kali dan air yang
dialirkan memadai, maka tingkat kecukupan airnya dapat dikategorikan sangat
cukup, jika areal sawah dapat ditanami dua kali, maka tingkat kecukupan airnya
dapat dikategorikan cukup. Jika areal sawah hanya dapat ditanami padi satu kali
dalam setahun meskipun air yang dialirkan sangat memadai, tingkat kecukupan
airnya dapat dikatagorikan kurang dan jika suatu areal sawah hanya dapat satu
kali ditanami padi dalam satu tahun serta air yang dialirkan tidak memadai, maka
tingkat kecukupan air pada suatu daerah irigasi dapat dikategorikan sangat kurang
(Sebayang, 2014).
b. Tingkat ketepatan pemberian air
Tingkat ketepatan pemberian air erat kaitannya terhadap tingkat
kecukupan air. Jika tingkat kecukupan air ditandai dengan kemampuan suatu
sumber air untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan tertentu, maka tingkat
ketepatan pemberian air dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi untuk
menyatakan kesesuaian waktu pemberian air sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati bersama. Tingkat ketepatan pemberian air dapat dianalisis dengan cara
berikut ini, jika pemberian air telah sesuai dengan jadwal yang telah disepakati
bersama, maka tingkat ketepatan pemberian airnya dapat dikategorikan sangat

16

tepat. Jika jadwal pemberian air terlambat beberapa jam dari jadwal yang telah
disepakati bersama, maka tingkat ketepatan pemberian airnya masih dapat
dikategorikan tepat. Jika jadwal pemberian air terlambat lebih dari satu hari, maka
tingkat ketepatan pemberian airnya dikategorikan terlambat dan jika jadwal
pemberian airnya terlambat hingga lebih dari 3 hari, maka tingkat ketepatan
pemberian dikategorikan sangat terlambat (Sebayang, 2014).
Kinerja Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan berdampak terhadap kinerja produksi, penggunaan input,
kesempatan kerja, perolehan hasil dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh
kelembagaan diterima masyarakat tergantung kepada struktur wewenang,
kepentingan

individu,

keadaan

masyarakat,

adat

dan

kebudayaan.

Ini

mengisyaratkan bahwa kelembagaan mampu menjadikan anggotanya memiliki
totalitas kinerja yang tinggi (Pakpahan, 1991).
Indikator kelembagaan pemerintah meliputi: manajemen kelembagaan,
ketersediaan dana dan Sumber Daya Manusia (SDM).
a. Manajemen kelembagaan
Manajemen kelembagaan terdiri atas:
1. Kepala ranting/pengamat/ Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)/cabang
dinas/ korwil.
- mempersiapkan penyusunan Rencana Tata Tanam Global (RTTG) dan
Rencana Tata Tanam Detail (RTTD) sesuai usulan Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A), Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A)
atau Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A).

17

- rapat di kantor ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil setiap minggu
untuk mengetahui permasalahan operasi, hadir para mantri/juru pengairan,
Petugas Pintu Air (PPA), Petugas Operasi Bendung (POB) serta
P3A/GP3A/IP3A.
- menghadiri rapat di kecamatan dan Dinas PSDA kabupaten.
- membina P3A/GP3A/IP3A untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan operasi.
- membantu proses pengajuan bantuan biaya operasi yang diajukan
P3A/GP3A/IP3A.
- membuat laporan kegiatan operasi ke1sxdinas.
2. Petugas mantri/juru pengairan
- membantu kepala ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil untuk tugastugas yang berkaitan dengan operasi.
- melaksanakan instruksi dari ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil
tentang pemberian air pada tiap bangunan pengatur.
- memberi instruksi kepada PPA untuk mengatur pintu air sesuai debit yang
ditetapkan.
- memberi saran kepada petani tentang awal tanam dan jenis tanaman.
- pengaturan giliran.
- mengisi papan operasi/eksploitasi.
- membuat laporan operasi.
- pengumpulan data debit.
- pengumpulan data tanaman dan kerusakan tanaman.
- pengumpulan data curah hujan sesuai kebutuhan daerah.
- menyusun data mutasi baku sawah sesuai kebutuhan daerah.

18

- mengumpulkan data usulan rencana tata tanam.
- melaporkan kejadian banjir kepada ranting/pengamat.
- melaporkan jika terjadi kekurangan air yang kritis kepada pengamat.
3. Staf ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil
- membantu kepala ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil dalam
pelaksanaan operasi jaringan irigasi.
4. Petugas Operasi Bendung (POB)
- melaksanakan pengaturan pintu penguras bendung terhadap banjir yang
datang.
- melaksanakan pengurasan kantong lumpur.
- membuka dan menutup pintu pengambilan utama, sesuai debit dan jadwal
yang direncanakan.
- mencatat besarnya debit yang mengalir atau masuk ke saluran induk pada
blangko operasi.
- mencatat elevasi muka air banjir.
5. Petugas Pintu Air (PPA)
- membuka dan menutup pintu air sehingga debit air yang mengalir sesuai
dengan perintah juru/ mantri pengairan.
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 Tahun 2007).
Apabila kepala ranting, petugas mantri, staf ranting, POB dan PPA
tersedia dalam suatu sistem irigasi maka manajemen kelembagaannya dapat
dikategorikan sangat baik, jika salah satu petugas tidak tersedia, maka masih dapat
dikategorikan manajemen kelembagaan irigasi tersebut baik. Jika dua dari lima
kategori petugas di atas tidak tersedia, maka manajemen kelembagaannya dapat

19

dikategorikan buruk dan jika lebih dari dua kategori petugas tidak tersedia dalam
suatu sistem irigasi, maka dapat dikategorikan manajemen kelembagaannya
sangat buruk (Sebayang, 2014).
b. Ketersediaan dana
Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi
tanggung jawab pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya. Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer
dan sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada
setiap daerah irigasi (Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006).
Penyediaan dana dari pemerintah untuk mendukung operasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi yang sangat terbatas, dan juga tingkat kesadaran
para petani dalam pengamanan bangunan dan saluran irigasi belum optimal, serta
pengumpulan dana yang bersumber dari anggota P3A setiap tahunnya masih jauh
dari kebutuhan, akibatnya banyak kerusakan serta kurang berfungsinya bangunan
maupun fasilitas jaringan irigasi, sehingga penggunaan air menjadi boros dan
tidak efisien (Supadi, 2009).
Kemudian dalam UU RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 41 merevisi kewenangan dalam pengembangan sistem irigasi primer dan
sekunder dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan
kabupaten/kota dengan batas strata luasan irigasi sebagai berikut :
1. Daerah Irigasi (DI) dengan luas kurang dari 1.000 Ha (DI kecil) dan berada
dalam satu kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota. Ketersediaan tenaga untuk menangani daerah irigasi

20

mencukupi, namun ketersediaan dana untuk menunjang kegiatan O&P yang
dialokasikan oleh kabupaten belum memadai termasuk dana iuran yang
bersumber dari P3A untuk penanganan jaringan tersier dan kuarter belum
mencukupi, sedangkan tingkat konflik pengaturan air irigasi dapat diatasi.
2. Daerah Irigasi (DI) dengan luasan 1.000 s.d. 3.000 Ha (DI sedang) atau DI kecil
yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi menjadi kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah provinsi. Dana dan tenaga O&P belum memadai, dan konflik
pengaturan air irigasi lebih kompleks, sehingga penggunaan air irigasi kurang
efektif dan efisien.
3. Daerah Irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 Ha (DI besar) atau DI sedang
yang bersifat lintas provinsi, strategis nasional dan lintas negara menjadi
menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat. Ketersediaan dana
dan tenaga O&P yang disediakan oleh pemerintah pusat kurang memadai,
kemudian koordinasi di lapangan mengalami banyak kesulitan sehingga
penanganan O&P kurang tepat sasaran.
Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab
perkumpulan petani pemakai air. Artinya, segala tanggung jawab pengembangan
dan pengelolaan sistem irigasi di tingkat tersier menjadi tanggung jawab lembaga
P3A (Direktorat Pengelolaan Air Irigasi, 2014).
Sumber-sumber pembiayaan pemeliharaan jaringan irigasi berasal dari :
a. Alokasi biaya pemeliharaan dari sumber APBN atau APBD.
b. Kontribusi biaya pemeliharaan oleh perkumpulan petani pemakai air.
c. Alokasi biaya dari badan usaha atau sumber lainnya.
( Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 Tahun 2007).

21

c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Kebutuhan tenaga pelaksana operasi dan pemeliharaan terdiri dari:
- Kepala ranting/pengamat/UPTD/cabang dinas/korwil terdiri dari 1 orang + 5
staff per 5.000 - 7.500 Ha.
- Mantri/juru pengairan terdiri dari 1 orang per 750 – 1.500 Ha
- Petugas Operasi Bendung (POB)

terdiri

dari

1 orang

per

bendung,

dapat ditambah beberapa pekerja untuk bendung besar
- Petugas Pintu Air (P2A) terdiri dari 1 orang per 3 sampai 5 bangunan sadap
dan bangunan bagi pada saluran berjarak antara 2 sampai 3 km atau daerah
layanan 150-500 Ha.
- Pekerja Saluran (PS) terdiri dari 1 orang per 2-3 km panjang saluran
( Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 Tahun 2007 ).
Sumber daya manusia dapat dianalisis dengan cara berikut ini. Apabila
jumlah petugas pada masing-masing kategori telah terpenuhi, maka SDM sangat
memadai. Jika kategori petugas telah terpenuhi namun personil petugasnya belum
memenuhi hal di atas, maka SDM masih dapat dikategorikan memadai, jika satu
hingga dua kategori petugas tidak terpenuhi, maka SDM dikategorikan kurang
memadai dan jika lebih dari dua kategori petugas yang tidak terpenuhi, maka
SDM dikategorikan sangat buruk (Sebayang, 2014).
Kinerja Kelembagaan Petani
Agar upaya pemerintah dalam hal melibatkan masyarakat petani bisa
terwujud maka diperlukan adanya lembaga pengelola jaringan irigasi ditingkat
desa yang sudah berbadan hukum. Lembaga pengelola jaringan irigasi tersebut
dinamakan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau Himpunan Petani

22

Pemakai Air (HIPPA). Peran pemerintah dalam pembentukan kelembagaan petani
adalah sebagai fasilitator melalui penyuluhan tentang pentingnya keberadaan
lembaga pengelola jaringan irigasi (Prasetijo, 2012).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2006
menyatakan bahwa: Pasal 1 (21) Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah
kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam
suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokratis,
termasuk kelembagaan lokal pengelola irigasi. Pasal 10 (1) Petani pemakai air
wajib membentuk perkumpulan petani pemakai air secara demokratis pada
setiap daerah layanan/petak tersier atau desa.
Di

dalam

sebuah

wadah

organisasinya kelembagaan petani wajib

menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang
disusun berdasarkan kemampuan petani dan ditandatangani oleh ketua dan
sekretaris. Selanjutnya diketahui oleh kepala desa dan camat serta disahkan
oleh bupati/walikota. Untuk mendapatkan status badan hukum, anggara dasar
tersebut selanjutnya didaftarkan pada pengadilan negeri setempat di wilayah
hukum kelembagaan petani bertempat (Prasetijo, 2012).
Kinerja kelembagaan petani dapat dianalisis dengan cara berikut ini.
Apabila struktur kelembagaan, prasarana dan keaktifan anggota memadai,
misalnya saja AD/ART tersedia, program kerja berjalan dengan baik, prasarana
seperti peralatan bertani, gudang dan lain sebagainya lengkap serta anggota turut
aktif dalam kegiatan yang menyangkut irigasi maka kinerja kelembagaan petani
dapat dikategorikan sangat baik. Jika salah satu elemen tidak memadai, misalnya

23

buruknya kondisi prasarana, maka kelembagaan petani masih dapat dikatakan
baik, jika dua diantara elemen kelembagaan petani tidak berjalan dengan baik
maka dikatakan kinerja kelembagaan petani ialah buruk dan jika ketiga elemen
tesebut tidak tersedia, maka kinerja kelembagaan petani tersebut dikatagorikankan
sangat buruk (Sebayang, 2014).