Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Lingk (1)
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Sumber Daya Alam Kehutanan
( Makalah )
Oleh :
Agus Suyanti (1620011012)
Diyan Ahmad S. (1620011010)
M. Ridlo Heriyanto (1620011005)
Wahyu Saputro (1620011007)
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1982 Indonesia mengeluarkan
undang-undang mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu: UU No. 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang kemudian telah diganti dengan UU No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut
UUPLH) yang mana bertumpu
pada
“pengelolaan”. Disahkanya UU Lingkungan
Hidup tersebut merupakan tanggapan
(response)
pemerintah
dan
bangsa
Indonesia terhadap hasil The United Nations
Conference on the Human Environment
yang diselenggarakan tanggal 5 sampai
dengan 16 Juni tahun 1972 di Stockholm.
Guna mewujutkan pendayagunakan SDA dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup serta
pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu adannya kebijakan
yang mengatur hal tersebut. Dalam makalah ini akan membahas
permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan
dan hukum lingkungan yang ada di Indonesia
Rumusan
Masalah
1. Apa saja permasalahan yang terjadi dalam
pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia ?
2. Kapan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
kehutanan diterapkan di Indonesia?
Tujuan
Makalah
1. Mengetahui permasalahan kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup kehutanan di Indonesia?
2. Mengetahui awal mula
pengelolaan lingkungan
Indonesia?
penerapan kebijakan
hidup kehutanan di
PEMBAHASAN
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan
lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.
Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah
yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus
hidrologik, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu
aspek biofer bumi yang paling penting.
Pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda.
Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha
kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi
kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan
ekonomi nasional.
Namun pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan
utamanya hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar,
yaitu semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan.
PERMASALAHAN TERJADI DALAM PELAKSANAAN
PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
Tingkat Pembalakan
Pembalakan Yang Lestari
Melampaui
Tingkat
Beberapa faktor yang mendorong hal tersebut adalah :
1.Maraknya kasus penebangan
liar dimana datanya
tidak dilaporkan sehingga estimasi data statistik resmi
mengenai jumlah kayu yang ditebang lebih rendah dari
jumlah yang sebenarnya.
2.Permintaan kayu bulat yang lebih besar dibandingkan
ambang produksi lestari
3.Ukuran dan jumlah kayu bulat yang ditebang (secara
legal) tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan,
sehingga laporan tentang jumlah kayu bulat yang ditebang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya
terjadi.
Metode Pembalakan Yang Tidak Efisien
Metode Pembalakan Yang Menimbulkan
Kerusakan Ekologis Berlebihan
Pemanenan yang dilakukan dengan sistem
TPTI (tebang pilh tanam Indonesia)
telah
menyebabkan kerusakan antara 28-48% dari
tegakan
sisa yang tinggal (Resosudarno,
2003).
Teknik pembalakan
konvensional
Perbaikan pada
metode pembalakan
bisa mengurangi
tingkat kerusakan
hingga 25-30%.
TPTI (tebang
pilh tanam
Indonesia)
Metode Pembalakan Yang
Menyebabkan Konversi Hutan Tak
Terencana Bagi Penggunaan Hutan
Kegiatan pemanenan ulang pada kawasan bekas tebangan
sebelum kawasan tersebut siap untuk dipanen kembali, dapat
menyebabkan
proses
deforestasi
tak
terencana
dan
menyebabkan kerusakan stok tegakan dan secara permanen
menghambat pertumbuhan
Praktik Penanaman Kembali
Dan Regenerasi Hutan Yang
Buruk (hanya 4 % dari kerusakan)
Ekspansi Minyak Sawit
dan Kebakaran Hutan
Perusahaan
PT Austindo
Nusantara Jaya
PT Eagle High
Plantations
(Sub PT dari
Rajawali Grup)
SubPerusahaan
PT Permata
Putera Mandiri
PT Putera
Manunggal
Perkasa
Lokasi
Kerusakan
Papua Barat
1.
PT Arrtu Energie
Resources
Ketapang,
Kalimantan
Barat
2.
1.
2.
3.
4.
Good
Hope/ PT Nabire Baru
Carson
dan PT Sariwana
Cumberbatch
Adi Perkasa
Papua
1.
2.
3.
Deforestasi: perusakan hutan primer di Papua (PT
Permata Putera Mandiri dan PT Putera Manunggal
Perkasa, Papua Barat)
Eksploitasi: sengketa lahan, tidak adanya Persetujuan
Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan dari
masyarakat lokal (PT Permata Putera Mandiri dan PT
Putera Manunggal Perkasa, Papua Barat)
Deforestasi: peringatan deforestasi dari satelit
menunjukkan hilangnya hutan sejak awal tahun 2015
(PT Arrtu Energie Resources, Kalimantan Barat)
Gambut: pembangunan konsesi pada lahan gambut (PT
Arrtu Energie Resources, Kalimantan Barat)
Kebakaran: Kebakaran yang luas menimbulkan
pertanyaan tentang salah pengelolaan yang disengaja
atau pengabaian (PT Arrtu Energie Resources,
Kalimantan Barat)
Eksploitasi: penggunaan kekuatan yang berlebihan,
penggunaan aparat keamanan negara dan pekerja
anak (PT Tandan Sawita Papua, Papua)
Deforestasi: pembukaan hutan primer di Papua (PT
Nabire Baru dan PT Sariwana Adi Perkasa, Papua)
Gambut: pengembangan perkebunan di lahan gambut
(PT Nabire Baru, Papua)
Eksploitasi: mengambil alih tanah adat tanpa
Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan
dan menggunakan aparat keamanan negara untuk
menindas penentangan masyarakat setempat (PT
Nabire Baru, Papua)
Indofood/
Grup
Salim
Kalimantan
Timur,
Sumatera
UTara
1.
2.
3.
4.
Korindo
PT Tunas Sawa
Erma, PT Dongin
Prabhawa
TH Plantatios/
PT Persada
Lembaga Tabung Kencana Prima,
Haji
dsb
Papua
1.
2.
Kalimantan
Utara
1.
2.
Deforestasi: pembukaan lahan yang cukup luas
di tahun 2013-2014, termasuk pembukaan 1.000
Ha hutan primer; peringatan berbasis satelit
menunjukkan terus berlangsungnya pembukaan
lahan di tahun 2016 (Isuy Makmur/Kedang
Makmur, Kalimantan Timur)
Gambut: kemungkinan deforestasi di lahan
gambut (Isuy Makmur / Kedang Makmur,
Kalimantan Timur)
Kebakaran: kebakaran yang marak selama tahun
2014 dan 2015, termasuk di kawasan hutan
primer yang dibuka (Isuy Makmur/Kedang
Makmur, Kalimantan Timur)
Eksploitasi:
penggunaan
pekerja
anak,
membayar di bawah upah minimum dan
pelanggaran
standar
kesehatan
dan
keselamatan pekerja (konsesi PT Lonsum,
Sumatera Utara)
Deforestasi: 50.000 hektar hutan primer dan hutan
sekunder dalam konsesi Korindo di Papua telah dibuka.
Kebakaran: Penggunaan secara api secara nyata untuk
pembukaan lahan
Deforestasi:
peringatan
deforestasi
satelit
menunjukkan adanya pembukaan hutan dari awal
tahun 2015 (PT Persada Kencana Prima, Kalimantan
Utara)
Gambut: pembukaan lahan gambut dalam di lanskap
gambut prioritas (PT Persada Kencana Prima,
Kalimantan Utara
Berbagai Kebijakan Dan Pengaturan
Kelembagaan Yang Menyebabkan Timbulnya
Praktik- Praktik Yang Mengabaikan Kelestarian.
Belum terbentuknya unit pengelolaan di tingkat
tapak
(KPH),
sehingga
terhadap
kegiatan
pengelolaan hutan di lapangan tidak jelas siapa
yang harus bertanggung jawab
Lemahnya pengawasan yang disebabkan karena
jumlah SDM kehutanan terbatas di luar Jawa. Sebagai
perbandingan, area yang harus diawasi oleh setiap
ahli kehutanan di luar Jawa adalah 26.700 ha/orang,
sedangkan di Pulau Jawa adalah 6.900 ha/orang.
Masa daur HPH yang 20 tahun yang jauh lebih
pendek dibandingkan daur pemanenan yang 35
tahun
menyebabkan
pengelolaan
tidak
memperhatikan
aspek
kelestarian,
karena
pemegang HPH tidak mempunyai jaminan
penguasaan kawasan untuk periode berikutnya.
Masalah kepastian pemilikan lahan terutama di
era reformasi yang tumpang tindih, tidak
terdapatnya
kepastian
lahan
menyebabkan
terjadinya konflik tenurial yang mengakibatkan
terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan.
Program pengembangan masyarakat sekitar hutan (PMDH).
Kebijakan PMDH dinilai mempunyai banyak kelemahan dan
kegagalan. Kebutuhan masyarakat tidak benar-benar digali
melalui peran serta dalam perencanaan.
Hak masyarakat yang berkaitan dengan akses terhadap lahan
tidak diakui. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses untuk
memanen kayu secara komersial.
Disisi lain HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) merasa tidak mendapat keuntungan
apapun terhadap program tersebut.
Kegagalan melibatkan masyarakat lokal sekitar hutan dalam
pengelolaan hutan dan mengintegrasikan hak serta kebutuhan
mereka bisa mendorong terjadinya penebangan liar yang pada
akhirnya akan menyebabkan pengelolaan hutan tidak lestari.
Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada
tahun
- 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No.
169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada
Daerah Swatantra Tingkat I.
-
Undang No. 1 tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing
dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri.
Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut
diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan
modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya
tarik utama, yaitu:
1. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di
Indonesia
dipandang
sangat
menguntungkan,
lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan
dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang
dibutuhkan masyarakat internasional.
2. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas
serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi
investasi modal asing di dalam negeri.
3. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan
juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis
maupun industri di Indonesia.
Maka pemerintah membangun instrumen hukum
teknis dengan pembentukan
UU No. 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, dan untuk
melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan
hutan yang mendasari kebijakan pemberian
konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka
dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP
No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan
Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan
HPHH).
Berikut daftar beberapa kebijakan / produk hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan
upaya pengelolaan hutan lestari :
1. UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2. UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman Industr dalam Hutan Tanaman
pada Hutan Produksi.
3. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4. PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
5. PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.\
6. Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana Kerja,
Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan
Tanaman.
7. Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana Strategis
Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen
Kehutanan.
8. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana Kerja dan
Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem dalam
Hutan Alam pada Hutan Produksi.
9. Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana
Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil
Hutan Kayu.
10. Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara
Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi.
11. Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata Cara
Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam
Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
12.Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata
Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada Hutan
Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
13.Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil
Hutan Bukan Kayu.
14.Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
15.Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
16.Permenhut
Nomor
:
P.6/
Menhut-II/2008
Penyelenggaraan Statistik Kehutanan
17.Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008
Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/ MenhutII/2007.
THANKS …
“Bumi memiliki kulit dan kulit yang
memiliki penyakit, salah satu
penyakit yang disebut manusia”
Friedrich Nietzsche
“…Obat dari bahan kimia tidak akan
pernah berdiri menguntungkan
dibandingkan dengan produk dari Nature,
sel hidup tanaman, hasil akhir dari sinar
matahari, ibu dari semua kehidupan.”
– Thomas Alva Edison 1847-1931
Bandar Lampung 16 Desember 2016
1. Permasalahan terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan
hutan di Indonesia antara lain : Tingkat pembalakan
melampaui
tingkat pembalakan
yang lestari, metode
pembalakan yang tidak efisien, metode pembalakan yang
menimbulkan
pembalakan
kerusakan
yang
ekologis
menyebabkan
berlebihan,
konversi
metode
hutan
tak
terencana bagi penggunaan hutan, praktik penanaman
kembali
dan
regenerasi
hutan
yang
buruk,
berbagai
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang menyebabkan
timbulnya praktik- praktik yang mengabaikan kelestarian.
Kebijakan pembangunan kehutanan di
Indonesia diawali pada tahun 1957 yang
ditandai
dengan
keluarnya
Peraturan
Pemerintah
Nomor
64
tahun
1957
(Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169)
tentang
Penyerahan
urusan
bidang
kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat
I
Lingkungan Sumber Daya Alam Kehutanan
( Makalah )
Oleh :
Agus Suyanti (1620011012)
Diyan Ahmad S. (1620011010)
M. Ridlo Heriyanto (1620011005)
Wahyu Saputro (1620011007)
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1982 Indonesia mengeluarkan
undang-undang mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu: UU No. 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang kemudian telah diganti dengan UU No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut
UUPLH) yang mana bertumpu
pada
“pengelolaan”. Disahkanya UU Lingkungan
Hidup tersebut merupakan tanggapan
(response)
pemerintah
dan
bangsa
Indonesia terhadap hasil The United Nations
Conference on the Human Environment
yang diselenggarakan tanggal 5 sampai
dengan 16 Juni tahun 1972 di Stockholm.
Guna mewujutkan pendayagunakan SDA dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup serta
pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu adannya kebijakan
yang mengatur hal tersebut. Dalam makalah ini akan membahas
permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan
dan hukum lingkungan yang ada di Indonesia
Rumusan
Masalah
1. Apa saja permasalahan yang terjadi dalam
pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia ?
2. Kapan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
kehutanan diterapkan di Indonesia?
Tujuan
Makalah
1. Mengetahui permasalahan kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup kehutanan di Indonesia?
2. Mengetahui awal mula
pengelolaan lingkungan
Indonesia?
penerapan kebijakan
hidup kehutanan di
PEMBAHASAN
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan
lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.
Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah
yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus
hidrologik, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu
aspek biofer bumi yang paling penting.
Pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda.
Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha
kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi
kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan
ekonomi nasional.
Namun pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan
utamanya hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar,
yaitu semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan.
PERMASALAHAN TERJADI DALAM PELAKSANAAN
PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
Tingkat Pembalakan
Pembalakan Yang Lestari
Melampaui
Tingkat
Beberapa faktor yang mendorong hal tersebut adalah :
1.Maraknya kasus penebangan
liar dimana datanya
tidak dilaporkan sehingga estimasi data statistik resmi
mengenai jumlah kayu yang ditebang lebih rendah dari
jumlah yang sebenarnya.
2.Permintaan kayu bulat yang lebih besar dibandingkan
ambang produksi lestari
3.Ukuran dan jumlah kayu bulat yang ditebang (secara
legal) tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan,
sehingga laporan tentang jumlah kayu bulat yang ditebang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya
terjadi.
Metode Pembalakan Yang Tidak Efisien
Metode Pembalakan Yang Menimbulkan
Kerusakan Ekologis Berlebihan
Pemanenan yang dilakukan dengan sistem
TPTI (tebang pilh tanam Indonesia)
telah
menyebabkan kerusakan antara 28-48% dari
tegakan
sisa yang tinggal (Resosudarno,
2003).
Teknik pembalakan
konvensional
Perbaikan pada
metode pembalakan
bisa mengurangi
tingkat kerusakan
hingga 25-30%.
TPTI (tebang
pilh tanam
Indonesia)
Metode Pembalakan Yang
Menyebabkan Konversi Hutan Tak
Terencana Bagi Penggunaan Hutan
Kegiatan pemanenan ulang pada kawasan bekas tebangan
sebelum kawasan tersebut siap untuk dipanen kembali, dapat
menyebabkan
proses
deforestasi
tak
terencana
dan
menyebabkan kerusakan stok tegakan dan secara permanen
menghambat pertumbuhan
Praktik Penanaman Kembali
Dan Regenerasi Hutan Yang
Buruk (hanya 4 % dari kerusakan)
Ekspansi Minyak Sawit
dan Kebakaran Hutan
Perusahaan
PT Austindo
Nusantara Jaya
PT Eagle High
Plantations
(Sub PT dari
Rajawali Grup)
SubPerusahaan
PT Permata
Putera Mandiri
PT Putera
Manunggal
Perkasa
Lokasi
Kerusakan
Papua Barat
1.
PT Arrtu Energie
Resources
Ketapang,
Kalimantan
Barat
2.
1.
2.
3.
4.
Good
Hope/ PT Nabire Baru
Carson
dan PT Sariwana
Cumberbatch
Adi Perkasa
Papua
1.
2.
3.
Deforestasi: perusakan hutan primer di Papua (PT
Permata Putera Mandiri dan PT Putera Manunggal
Perkasa, Papua Barat)
Eksploitasi: sengketa lahan, tidak adanya Persetujuan
Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan dari
masyarakat lokal (PT Permata Putera Mandiri dan PT
Putera Manunggal Perkasa, Papua Barat)
Deforestasi: peringatan deforestasi dari satelit
menunjukkan hilangnya hutan sejak awal tahun 2015
(PT Arrtu Energie Resources, Kalimantan Barat)
Gambut: pembangunan konsesi pada lahan gambut (PT
Arrtu Energie Resources, Kalimantan Barat)
Kebakaran: Kebakaran yang luas menimbulkan
pertanyaan tentang salah pengelolaan yang disengaja
atau pengabaian (PT Arrtu Energie Resources,
Kalimantan Barat)
Eksploitasi: penggunaan kekuatan yang berlebihan,
penggunaan aparat keamanan negara dan pekerja
anak (PT Tandan Sawita Papua, Papua)
Deforestasi: pembukaan hutan primer di Papua (PT
Nabire Baru dan PT Sariwana Adi Perkasa, Papua)
Gambut: pengembangan perkebunan di lahan gambut
(PT Nabire Baru, Papua)
Eksploitasi: mengambil alih tanah adat tanpa
Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan
dan menggunakan aparat keamanan negara untuk
menindas penentangan masyarakat setempat (PT
Nabire Baru, Papua)
Indofood/
Grup
Salim
Kalimantan
Timur,
Sumatera
UTara
1.
2.
3.
4.
Korindo
PT Tunas Sawa
Erma, PT Dongin
Prabhawa
TH Plantatios/
PT Persada
Lembaga Tabung Kencana Prima,
Haji
dsb
Papua
1.
2.
Kalimantan
Utara
1.
2.
Deforestasi: pembukaan lahan yang cukup luas
di tahun 2013-2014, termasuk pembukaan 1.000
Ha hutan primer; peringatan berbasis satelit
menunjukkan terus berlangsungnya pembukaan
lahan di tahun 2016 (Isuy Makmur/Kedang
Makmur, Kalimantan Timur)
Gambut: kemungkinan deforestasi di lahan
gambut (Isuy Makmur / Kedang Makmur,
Kalimantan Timur)
Kebakaran: kebakaran yang marak selama tahun
2014 dan 2015, termasuk di kawasan hutan
primer yang dibuka (Isuy Makmur/Kedang
Makmur, Kalimantan Timur)
Eksploitasi:
penggunaan
pekerja
anak,
membayar di bawah upah minimum dan
pelanggaran
standar
kesehatan
dan
keselamatan pekerja (konsesi PT Lonsum,
Sumatera Utara)
Deforestasi: 50.000 hektar hutan primer dan hutan
sekunder dalam konsesi Korindo di Papua telah dibuka.
Kebakaran: Penggunaan secara api secara nyata untuk
pembukaan lahan
Deforestasi:
peringatan
deforestasi
satelit
menunjukkan adanya pembukaan hutan dari awal
tahun 2015 (PT Persada Kencana Prima, Kalimantan
Utara)
Gambut: pembukaan lahan gambut dalam di lanskap
gambut prioritas (PT Persada Kencana Prima,
Kalimantan Utara
Berbagai Kebijakan Dan Pengaturan
Kelembagaan Yang Menyebabkan Timbulnya
Praktik- Praktik Yang Mengabaikan Kelestarian.
Belum terbentuknya unit pengelolaan di tingkat
tapak
(KPH),
sehingga
terhadap
kegiatan
pengelolaan hutan di lapangan tidak jelas siapa
yang harus bertanggung jawab
Lemahnya pengawasan yang disebabkan karena
jumlah SDM kehutanan terbatas di luar Jawa. Sebagai
perbandingan, area yang harus diawasi oleh setiap
ahli kehutanan di luar Jawa adalah 26.700 ha/orang,
sedangkan di Pulau Jawa adalah 6.900 ha/orang.
Masa daur HPH yang 20 tahun yang jauh lebih
pendek dibandingkan daur pemanenan yang 35
tahun
menyebabkan
pengelolaan
tidak
memperhatikan
aspek
kelestarian,
karena
pemegang HPH tidak mempunyai jaminan
penguasaan kawasan untuk periode berikutnya.
Masalah kepastian pemilikan lahan terutama di
era reformasi yang tumpang tindih, tidak
terdapatnya
kepastian
lahan
menyebabkan
terjadinya konflik tenurial yang mengakibatkan
terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan.
Program pengembangan masyarakat sekitar hutan (PMDH).
Kebijakan PMDH dinilai mempunyai banyak kelemahan dan
kegagalan. Kebutuhan masyarakat tidak benar-benar digali
melalui peran serta dalam perencanaan.
Hak masyarakat yang berkaitan dengan akses terhadap lahan
tidak diakui. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses untuk
memanen kayu secara komersial.
Disisi lain HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) merasa tidak mendapat keuntungan
apapun terhadap program tersebut.
Kegagalan melibatkan masyarakat lokal sekitar hutan dalam
pengelolaan hutan dan mengintegrasikan hak serta kebutuhan
mereka bisa mendorong terjadinya penebangan liar yang pada
akhirnya akan menyebabkan pengelolaan hutan tidak lestari.
Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada
tahun
- 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No.
169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada
Daerah Swatantra Tingkat I.
-
Undang No. 1 tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing
dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri.
Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut
diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan
modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya
tarik utama, yaitu:
1. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di
Indonesia
dipandang
sangat
menguntungkan,
lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan
dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang
dibutuhkan masyarakat internasional.
2. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas
serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi
investasi modal asing di dalam negeri.
3. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan
juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis
maupun industri di Indonesia.
Maka pemerintah membangun instrumen hukum
teknis dengan pembentukan
UU No. 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, dan untuk
melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan
hutan yang mendasari kebijakan pemberian
konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka
dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP
No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan
Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan
HPHH).
Berikut daftar beberapa kebijakan / produk hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan
upaya pengelolaan hutan lestari :
1. UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2. UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman Industr dalam Hutan Tanaman
pada Hutan Produksi.
3. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4. PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
5. PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.\
6. Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana Kerja,
Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan
Tanaman.
7. Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana Strategis
Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen
Kehutanan.
8. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana Kerja dan
Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem dalam
Hutan Alam pada Hutan Produksi.
9. Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana
Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil
Hutan Kayu.
10. Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara
Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi.
11. Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata Cara
Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam
Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
12.Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata
Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada Hutan
Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
13.Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil
Hutan Bukan Kayu.
14.Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
15.Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
16.Permenhut
Nomor
:
P.6/
Menhut-II/2008
Penyelenggaraan Statistik Kehutanan
17.Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008
Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/ MenhutII/2007.
THANKS …
“Bumi memiliki kulit dan kulit yang
memiliki penyakit, salah satu
penyakit yang disebut manusia”
Friedrich Nietzsche
“…Obat dari bahan kimia tidak akan
pernah berdiri menguntungkan
dibandingkan dengan produk dari Nature,
sel hidup tanaman, hasil akhir dari sinar
matahari, ibu dari semua kehidupan.”
– Thomas Alva Edison 1847-1931
Bandar Lampung 16 Desember 2016
1. Permasalahan terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan
hutan di Indonesia antara lain : Tingkat pembalakan
melampaui
tingkat pembalakan
yang lestari, metode
pembalakan yang tidak efisien, metode pembalakan yang
menimbulkan
pembalakan
kerusakan
yang
ekologis
menyebabkan
berlebihan,
konversi
metode
hutan
tak
terencana bagi penggunaan hutan, praktik penanaman
kembali
dan
regenerasi
hutan
yang
buruk,
berbagai
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang menyebabkan
timbulnya praktik- praktik yang mengabaikan kelestarian.
Kebijakan pembangunan kehutanan di
Indonesia diawali pada tahun 1957 yang
ditandai
dengan
keluarnya
Peraturan
Pemerintah
Nomor
64
tahun
1957
(Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169)
tentang
Penyerahan
urusan
bidang
kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat
I