Asuhan Keperawatan pada Klien Myasthenia

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala myastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine
receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita myastenia gravis,
ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada
myastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil
ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang
sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia gravis,
transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik,
dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang, kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun.

Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras
yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi
belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.
1.2 Tujuan
a. Menjelaskan definisi penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre
Sindrome
b. Menjelaskan anatomi dan Fisiologi organ atau jaringan yang berhubungan
dengan penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome

1

c. Menjelaskan etiologi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre
Sindrome

d. Menjelaskan patofiologi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
e. Menjelaskan prevalensi dan epidemiologi dari penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
f. Menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
g. Menjelaskan klasifikasi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
h. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
i. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
j. Menjelaskan komplikasi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
k. Membuat asuhan keperawatan sesuai dengan penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
1.3 Manfaat
a. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
b. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan Fisiologi organ atau jaringan

yang berhubungan dengan penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
c. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dari penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
d. Mahasiswa mampu menjelaskan patofiologi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
e. Mahasiswa mampu menjelaskan prevalensi dan epidemiologi dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
f. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
g. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
h. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan medis dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
i. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
j. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
k. Mahasiswa mampu asuhan keperawatan sesuai dengan penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome

2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
MYASTHENIA GRAVIS

2.1 Definisi Myasthenia Gravis
Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana
antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat
menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot
yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk
dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan
badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem

sambungan saraf (synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi
tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung
acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan
rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami
gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara
sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.
2.2 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate.
Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada
bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara
celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Terminal Bulb ini
memiliki membran yang disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini
bersama dengan membran post-synpatic (pada sel otot) dan celah synaptic
(celah antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular Junction.


3

Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang
disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka
Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan
mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan
vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka
asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke
dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini
terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri
dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma,
dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap
untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya
gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai

nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada
sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke
segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis
oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang
cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan
Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran
pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan
untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.

4

2.3 Etiologi Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit
autoimun. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita Myastenia Gravis secara langsung
melawan konstituen pada o t o t . Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi
pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan

otot pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam
sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein
asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh. Protein-protein ini
termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk
melindungi dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak
dimengerti, sistem imun pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat
antibodi melawan reseptor pada neuromuscular junction. Antibodi yang
tidak normal ini dapat ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan
Myasthenia Gravis. Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan
lebih cepat dibanding tubuh mereka sendiri dapat melakukannya
(Myasthenia Gravis Foundation of America).
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat
juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus
dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di
bawah tulang dada, mempunyai peranan penting dalam mengembangkan
system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini pada saat bayi ada dalam
jmlah yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur sampai masa

pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan
pertumbuhan bersama usia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan
thymoma atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi
bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia
Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa
kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai
produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi
neuromuskular.
2.4 Patofisiologi Myasthenia Gravis
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang
timbul dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syarafsyaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot.
Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada

5

tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular
junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf
bagian akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang

disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada
diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju
serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup
atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada
Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor
asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan
dan merintangi reseptor asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl
Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi antiAChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis

penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi antireseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang
dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis.
2.5 Prevalensi dan Epidemiologi Myasthenia Gravis

6

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.
Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini
lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai
usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia
60 tahun. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa
Myasthenia Gravis adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien
yang mengalami Myasthenia Gravis sebagai akibat karena memiliki
thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun
(antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasuskasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak
umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia
Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga
yang sama.
2.6 Klasifikasi Myasthenia Gravis
a. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis
(1) Kelompok I Myasthenia Okular : Hanya menyerang otot-otot
ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus
kematian.
(2) Kelompok II Myasthenia Umum
(a) Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar.
Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat
baik. Angka kematian rendah.
(b) Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan) dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena.
Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
(c) Myasthenia umum berat
o

Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit
7

berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi.
Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit
2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau
II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase
thymoma menduduki urutan kedua. Respon terhadap
obat dan prognosis buruk.
b. Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board
(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
o

(1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata,
Otot lain masih normal
(2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular
meningkat kelemahannya
(3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otototot oropharyngeal
(4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
(5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler,
Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
(6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal
(7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
(8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan
berat pada otot okuler
(9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada
otot-otot oropharyngeal
(10) Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan
oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
(11) Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus
post-operative)
2.7 Gejala Klinis Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka
gejala-gejala yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan
pada beberapa otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang
8

mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan mengunyah, dan
bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot
pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang mengontrol
pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa
gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan
untuk menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal nafas sehingga
memerlukan bantuan ventilator.
Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot
ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia
(penglihatan ganda). Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan
otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas
pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan
tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan
dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk membersihkan lendir
dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi kelemahan pada semua
otot-otot rangka.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot –otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta
fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi
kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat
aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien
akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan
kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika
dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang
menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai
kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya
berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan
akhir masa kehamilan.

9

Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara
pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia
Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada
ocular MG. Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam
waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari
kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis disebut
Myasthenia Krisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada
beberapa kasus.
2.8 Pemeriksaan Penunjang Myasthenia Gravis
a. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada
suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk
beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang
terkena akan menunjukkan ptosis.
b. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
c. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka
gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
d. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji
ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat.
e. Laboratorium (Tes darah)
Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil
positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
10

pentingpada penderita miastenia gravis.
Pada pasien tanpa
timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
dengan usia lebih dari 40 tahun,.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50%
penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini
selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru beberapa pasien
dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan
dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia gravis
sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody
f. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS
terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
g. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal
atau keberadaan dari thymoma.
h. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
11

Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.
2.9 Penatalaksanaan Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling
dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia
gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada myasthenia gravis
yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis
generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Penatalaksanaan myastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi
yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia
gravis.
Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan
imunosupresif dan imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang
ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan
morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset
lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.
a. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan
pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani
timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca
operasi.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi
untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan
salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam
pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya
hipotensi. Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
12

berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer
antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian
besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk
tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data,
tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
c. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika
respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap
IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan
respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu
sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki
efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti
13

terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata
selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid
akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia
gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah
60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas
serta hipertensi.
e. Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog
dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis
nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat
yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine
biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari
hingga dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada
sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan
dengan obat imunomodulasi yang lain.
f. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/
kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine
berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
14

g. Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi
dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang
berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat
menekan sintesis imunoglobulin.
h. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar
timus dengan kejadian miastenia
gravis. Germinal
center
hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun
kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat
dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan
miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma
denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan
utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah
pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi
yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%
pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).
2.10 Komplikasi Myasthenia Gravis
Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit
Myasthenia Gravis adalah Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis.
a. Myasthenic Crisis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya
memiliki kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas, seringkali
mengalami penurunan kondisi. Ini biasanya dipicu oleh infeksi
penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi, tetapi
mungkin terjadi secara spontan. Jika peningkatan dosis dari obat
antikolinesterase tidak dapat meningkatkan kelemahan, intubasi
endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan. Dalam
banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48 jam, dan
penyapihan dari respirator dapat dilanjutkan di kemudian waktu.
15

b. Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih.
Efek muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase
menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru berlebihan. Efek
nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan dan dapat
menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien
mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik.

16

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
GUILLAIN BARRE SYNDROME
3.1 Definisi Guillaine Barre Syndrome
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah
kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan
minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis,
Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh
setelah menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas
tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang
sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan
tubuh menyerang sistem selaput sarafyang menyebabkan kelemahan akut
ekstermitas tubuh.Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi.Proses
penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi selaput mielin dari saraf
perifer dan kranial.
3.2 Anatomi dan Fisiologi

17

Neuron terdiri dari:
1. Axon
Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi
menghantarkan impuls keluar dari badan sel.
Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot
dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat
lewatnya sinyal listrik yang dimulai dari dendrit dan badan sel. Akson
mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke otot atau ke
kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak serabut saraf yang
melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan
ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin.
2. Badan sel
Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan sel.
Badan sel merupakan tempat mengolah informasi.
3. Dendrite.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan
bercabang-cabang, yang merupakan perluasan dari badan sel.
Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat penerimaan
sinyal dari sel saraf lain. Denrit mengumpulkan impuls saraf dari
neuron lain atau ujung saraf sensorik.
4. Nodus neurofibra
Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan bagian
akson yang tidak dibungkus oleh myelin.Nodus neurofibra berfungsi
untukmempercepat transmisi impuls saraf.Adanya nodus ranvier
tersebut memungkinkan saraf meloncat dari satu nodus ke nodus yang
lain, sehingga impuls lebih cepat sampai pada tujuan.
5. Sel Schwann
18

Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat)
untuk membentuk selubung myelin.
6. Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung
Schwann.Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi
myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan
mencegah impuls pudar atau bocor.Selubung myelin sebagai isolator
listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi
konduksi.Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak
tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler.Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini
adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
3.3 Etiologi Guillaine Barre Syndrome
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
1. Infeksi
: Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.
2. Iinfeksi Virus
: Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,
Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia,
variola, hepatitis inf, coxakie)
3. Infeksi Lain
: Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4. Vaksinasi
: Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
a) Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

19

3.4 Patofisiologi Guillaine Barre Syndrome
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang
membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak.
Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson
mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan,
beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis
yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan
menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu
karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun
lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat
antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah
limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer,
maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu. Karena
proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi
karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh
karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu
setelah proses peradangan/infeksi terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta
hilang pada beberapa segmen. Hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi
saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya
hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel
Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada
banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit
permanen (Djamil, 2010).

3.5 Prevalensi dan Epidemiologi Guillaine Barre Syndrome
20

Penyakit Guillaine Barre Sindrom menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap
tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak
sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada
kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia produktif (20 – 40 tahun).
Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, terinfeksi atau
terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu
atau tiga minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
3.6 Manifestasi Klinis Guillaine Barre Syndrome
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan
yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk
kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3
fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan
sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan
dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
21

antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
3.7 Pemeriksaan Diagnostik Guillaine Barre Syndrome
a) Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari
pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah
protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil,
jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada
4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan
naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
b) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c) Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
22

awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala
d) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan
adanya
perubahan
gelombang
Tserta
sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
f) Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
3.8 Penatalaksanaan Medis Guillaine Barre Syndrome
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas
darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.Setiap ada
tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan
oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau
intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk
waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih
bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas
vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas
penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting
karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya
hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung.
Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan
obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti :
penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan
disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi
terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode
brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang
23

c.

d.

e.

f.

g.
h.

diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat
2 atau 3.
Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan
berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien
demielinasi.Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama
dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah
40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali
exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis,
karena
Plasma
pasien
harus
diganti
dengan suatu substitusi plasma.
Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody.
Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena
dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan
dibandingkan
plasmaparesis
karena
efek
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis aintenance
0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG
7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS
dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5
hari) dan bila perlu diulang setelah 4 mi

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22