Teori Belajar Konstruktivisme 24. docx

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Pembelajaran Seni Budaya

PPs
UNESA
Disusun oleh : Kelompok 4
LILIS HIDAYATI

(16070865025)

JULISTA RATNA SARI

(16070865027)

AJENG AULIYA ROSIDA

(16070865033)

PROGRAM PENDIDIKAN SENI BUDAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2016

KATA PENGANTAR

Segala puju syukur atas kehadirat Allah SWT karena rahmat dan karunia yang
diberikan kepada kami, baik kesempatan maupun kesehatan hingga laporan untuk mata
kuliah kurikulum pendidikan seni dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat beserta
salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada laporan matakuliah kurikulum pendidikan seni, kami memamparkan tentang
Implememntasi Kurikulum dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 A Tahun 2013. Dari acuan tersebut Implementasi
Kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK menggunakan pedoman
implementasi kurikulum yang mencakup 4 pedoman diantaranya Pedoman Penyusunan dan
Pengelolaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pedoman Pengembangan Muatan Lokal,
Pedoman Kegiatan Ekstrakurikuler, Pedoman Umum Pembelajaran, dan Pedoman Evaluasi
Kurikulum. Dari keempat pedoman ini kelompok kami dapat memamparkan penjelasan
mengenai Implementasi Kurikulum.
Untuk selebihnya kami sebagai penyusun laporan ini dengan penuh kesadaran dan
rendah hati menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kesalahan kata, karena
penulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati kami

mengharapkan kritik serta saran dari semua pihak yang telah membaca laporan kurikulum
pendidikan seni. Semoga hasil laporan kurikulum pendidikan seni yang kami pamparkan
dapat memberi manfaat.

Surabaya, 26/10/2016
Penyusun,

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk
suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap
benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya
sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana
melibatkan individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang
diterimanya

menjadi

suatu


pengalamaan

yang

bermanfaat

bagi

pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan
berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Manusia memang terus berkembang dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Hal
ini lah yang mendorong manusia untuk terus belajar. Oleh karena itu, belajar dapat
didefinisikan sebagai, kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi
seutuhnya (Suprijono:2011: 3). Definisi lain mengenai belajar dikemukukan oleh Suyono
dan Hariyanto (2011:9) yaitu belajar merupakan suatu aktifitas atau proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan
mengokohkan kepribadian. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar
merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Dari ketiga pandangan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai kegiatan atau aktifitas

kompleks manusia untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan,
memperbaiki sikap dan perilaku serta mengokohkan kepribadian dengan tujuan untuk
mengembangkan pribadi seutuhnya.
Sedangkan terdapat perbedaan definisi belajar yang dikemukakan oleh beberapa
ahli. Skinner berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses adaptasi atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif (Sagala:2012:14). Menurut
Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas
yang disebabkan oleh stimulu yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang
dilakukan oleh pelajar (Dimyati dan Mudjiono: 2009:10). Pendapat berbeda dikemukan
oleh Calr. R. Goger yaitu praktek pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran,
bukan pada siswa yang belajar (Sagala:2012:14). Piaget berpendapat bahwa pengetahuan

dibentuk individu dari hasil interaksi terus menerus dengan lingkungan (Dimyati dan
Mudjiono: 2009:13).
Dari pandangan-pandangan belajar dari beberapa ahli tersebut, munculah teori
belajar. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia
belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks
dari belajar. Cahyo (2013:20) berpendapat bahwa teori belajar dapat diartikan sebagai
konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat teoritis dan telah teruji
kebenarannya melalui eksperiment. Ada beberapa perspektif dalam teori belajar,

yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Oleh karena itu, makalah ini
membahas salah satu teori belajar, yaitu teori belajar konstruktivisme.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Teori Belajar Konstruktivisme
Teori

Konstruktivisme

didefinisikan

sebagai

pembelajaran yang

bersifat

generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan
teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat

mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak
bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema
sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses
kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu
keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting,
tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam
proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh
pemahaman

atau

pengetahuan,

siswa


”mengkonstruksi”

atau

membangun

pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman,
struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil
dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.

2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari
sendiri


pertanyaannya.

3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132)
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian

tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema
baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
1) Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan
disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang
kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman.
Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu
putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa
kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman
itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat
dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema

yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi.
2) Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan

dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses

asimilasi

ini

berjalan

terus.

Asimilasi

tidak

akan

menyebabkan

perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah

salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
3) Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
4) Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme
ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998)
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahaptahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan
untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat
melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang
kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai
hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia
(Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992)
menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi
dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa
mengembangkan

strategi-strategi

untuk

merespon

masalah

yang

diberikan.

Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
B. Konstruktivisme dan Pengetahuan
Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa
pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang
belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39)
secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis.
Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya
tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996:
14)
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi,
tetapi merupakan suatu proses menjadi (Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita
tentang “ayam”, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan
ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin

lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada
bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam. Pengetahuan bukan suatu barang
yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik)
kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan
konsep, ide, nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan
itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan
peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa
kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai
persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang
satu daripada yang lain. Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari
dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif
kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan
struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah
tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang
mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini
berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu
pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh
akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang ada di sekitar
manusia (Kukla, 2003: 12-24).
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis,
matematis-logis, dan sosial (Suparno, 1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah
pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana
benda-benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung
atas suatu objek. Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk
dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu.
Pengetahuan didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun
penggunaan objek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang
terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi bendanya.
Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari
kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu, misalnya konsep,

norma, nilai, dll (Kukla, 2003: 11-12). Menurut Piaget, pengetahuan itu dibentuk dari
interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget, 1981: 160; Suparno, 1997: 20).
Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka pengetahuan dapat berbeda
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Secara ringkas gagasan
konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut.
1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalamanpengalaman seseorang (Suparno, 1997:21).
C. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang
diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal
maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali
dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara
terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci,
lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut
beberapa literatur yaitu sebagai berikut.
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.

4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri
pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:
1. menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan,
2. menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan
tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara,
3. mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui
kenyataan kehidupan sehari-hari,
4. mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi
sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau
dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan
siswa-siswa,
5. memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif.
6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan
siswa mau belajar (2004:37).
D. Proses Belajar Konstrutivistik Dapat Dilihat Dari Beberapa Aspek
1. Proses belajar konstruktivistik
Esensi dari teori konstruktivistik adalah siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki,
informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam proses belajar, siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka dengan keterlibatan aktif dalam kegiatan
belajar mengajar.

2. Peranan siswa
Menurut

pandangan

konstruktivistik,

belajar

merupakan

suatu

proses

pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa belajar. Ia
harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna
tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil
prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya
belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah
niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya
kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut
akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu
meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan
pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan
pembimbingan.
3. Peranan guru
Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar
proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan
kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1)

Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil

keputusan dan bertindak.
2)

Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3)

Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa

mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

4. Sarana belajar
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas
lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan
untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya.
Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri,
memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu
mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
5. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar yang menekankan pada ketrampilan
proses baik individu maupun kelompok. Dengan cara ini, maka kita dapat mengetahui
seberapa besar suatu pengetahuan telah dipahami oleh siswa.
Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :
a.

Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang
sudah

ditetapkan,

dan

memberikan

kesempatan

kepada

siswa

untuk

mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.
b.

Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan ide-ide atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali
ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

c.

Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai interpretasi.

d.

Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu usaha
yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

E. Metode Mengajar dalam Pendekatan Konstruktivisme
Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam
menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami
bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru
dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi
atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses

belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata,
karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian
atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut
berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan
pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki
agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu
dapat diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk
mencapai tujuan belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara,
teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan Roestiyah (2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai
guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar
pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan lebih banyak
menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode lain yang
akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh guru
mitra peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai
berikut.
1.

Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam
pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali
konsep-konsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry,
kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada
hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti
dikemukakan Nurhadi (2003: 14) adalah : a) menggali informasi, baik administrasi
maupun akademis, b) mengecek pemahaman siswa, c) membangkitkan respon

kepada siswa, d.

mengetahui sejauh mana keinginan siswa, e) mengetahui hal-hal

yang sudah diketahui siswa, f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang
dikehendaki guru, g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
dan h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
2.

Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil
penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat
fakta, guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses
pembelajaran lebih bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru
hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya,
karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan
metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri
pengetahuannya.
Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas
dalam arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh
siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan
menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan
fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan
jawaban dari suatu masalah.
Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara
independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya
memperoleh

dan

mengolah

data

secara

logis

sehingga

mereka

dapat

mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk
mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan melakukan inkuiri pada
dasarnya adalah cara siswa untuk ”menemukan sendiri”, dan karena itu Bruner
menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini
menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa
melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan
memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengamalannya

sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja,
2002:137).
Metode

inkuiri

menekankan

pada

permasalahan

bagaimana

siswa

menggunakan sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk
mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah. Peranan siswa dalam
pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau prakarsa dalam
menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif
menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan
kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan
dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana
sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan
sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan
sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mengidentifikasi masalah
melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.
Langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan,
Said Hamid (1996 :14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2)
pengembangan hipotesis, 3) pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian
hipotesis, dan 6) penarikan kesimpulan. Menurut Dahlan (1990:169) langkahlangkah inkuiri adalah 1) orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5)
pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000:473-475)
mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :1) penyajian masalah, 2)
pengumpulan data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan
data, 4) merumuskan penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri.
Menurut Nurhadi (2003:13): adalah 1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan
melakukan observasi, 3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan karya lainnya, 4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut ahli tersebut
tentang langkah-langkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari
perumusan masalah dan terakhir membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti
memberi makna metode inkuiri sebagai strategi pembelajaran yang berusaha

memecahkan suatu permasalahan melalui langkah-langkah yang sistematis dan
logis.
3.

Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan
bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil
untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60).
Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana
memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok
terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar
berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan
motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan konstruktivisme, guru
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi
menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa
sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin
(1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan
struktur kelompok yang bersifat heterogen”.
Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada
komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi
informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi
juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila
tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa
segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak
mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunitas belajar ini sangat
membantu pembelajaran di kelas.
Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkahlangkah

yang

ditentukan

dalam

waktu

perencanaan.

Langkah-langkah

pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut.
a.

Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep dari pokok bahasan atau sub pokok
bahasan yang akan dibahas. Guru memancing dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan problematik tentang fenomena-fenomena yang sering ditemui
sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa di beri
kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya
tentang konsep itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat
diperlukan antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh
guru.
b.

Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan
konsep-konsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan
pengorganisasian dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah
dirancang guru. Pada tahap ini guru menggunakan metode inquiry. Secara
bekerja kelompok siswa membahas kemudian mendiskusikan temuannya
dengan kelompok-kelompok lain. Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi
rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu.

c.

Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada
observasinya ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan
pengetehuan siswa yang telah mereka bangun, maka siswa membangun
pengetahuan dan pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal
ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

d.

Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang
topik pelajaran saat itu.

F. Perbedaan Pembelajaran Behavioristik (Tradisional) Dengan Konstruktivistik
Perbedaan

karakteristik

antara

pembelajaran

tradisional

dan

pembelajaran

konstruktivistik menurut Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai
berikut.

No
1

Pembelajaran Tradisional

Pembelajaran Konstruktivistik

Kurikulum disajikan dari bagian-

Kurikulum disajikan mulai dari

bagian menuju keseluruhan dengan

keseluruhan menuju kebagian-bagian

menekankan pada keterampilan dasar dan lebih mendekatkan kepada

konsep-konsep yang lebih luas
2

Pembelajaran sangat taat pada

Pembelajaran lebih menghargai pada

kurikulum yang telah ditetapkan

pemunculan pertanyaan dan ide-ide
siswa

3

4

Kegiatan kurikuler lebih banyak

Kegiatan kurikuler lebih banyak

mengandalkan pada buku teks dan

mengandalkan pada sumber-sumber

buku kerja

data primer dan manipulasi bahan

Siswa dipandang sebagai “kertas

Siswa dipandang sebagai pemikir-

kosong” yang dapat digoresi

pemikir yang dapat memunculkan

informasi oleh guru, dan guru

teori-teori tentang dirinya

menggunakan cara didaktik dalam
menyampaikan informasi kepada
siswa
Penilian hasil belajar atau
5

Pengukuran proses dan hasil belajar

pengetahuan siswa dipandang sebagai siswa terjalin di dalam kesatuan
bagian dari pembelajaran dan

kegiatan pembelajaran, dengan cara

biasanya dilakukan pada akhir

guru mengamati hal-hal yang sedang

pelajaran dengan cara testing

dilakukan siswa, serta melalui tugastugas pekerjaan

Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri- Siswa-siswa banyak belajar
6

sendiri, tanpa ada group proses dalam dan bekerja di dalam group proses
belajar

7

Memandang pengetahuan adalah

Memandang pengetahuan adalah non

objektif, pasti, tetap, dan tidak

objektif, bersifat temporer, selalu

berubah. Pengetahuan telah

berubah, dan tidak menentu

terstruktur dengan rapi
8

Belajar adalah perolehan

Belajar adalah penyusunan

pengetahuan, sedangkan mengajar

pengetahuan, sedangkan mengajar

adalah memindahkan pengetahuan

adalah menata lingkungan agar siswa

termotivasi dalam menggali makna
9

Kegagalan dalam menambah

Kegagalan merupakan interpretasi

pengetahuan dikategorikan sebagai

yang berbeda yang perlu dihargai

kesalahan yang perlu dihukum
10

Evaluasi menuntut satu jawaban

Evaluasi menggali munculnya

benar. Jawaban benar menunjukkan

berfikir divergent, pemecahan ganda,

bahwa siswa telah menyelesaikan

dan bukan hanya satu jawaban benar

tugas belajar
Evaluasi dipandang sebagai bagian
11

Evaluasi merupakan bagian utuh dari

terpisah dari kegiatan pembelajaran, pembelajaran dengan cara
biasanya dilakukan setelah selesai

memberikan tugas-tugas yang

kegiatan belajar dengan menekankan bermakna serta menerapkan apa yang
pada evaluasi individu

dipelajari yang menekankan pada
keterampilan proses

G. Keuntungan dan Kelemahan dalam Menggunakan Model Konstruktivisme
Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan. Keuntungan yang terdapat dalam penggunaan model konstruktivisme yaitu :
1. Dapat

memberikan

kemudahan

kepada

siswa

dalam

mempelajari

konsep

pembelajaran.
2. Melatih siswa berpikir kritis dan kreatif.
Di samping memiliki beberapa keuntungan seperti yang telah diswbutkan di atas,
pembelajaran konstruktivisme juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan
pembelajaran konstruktivisme adalah :
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
2. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal
ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan
yang berbeda-beda.

3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa
menghafal belaka. Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu
seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru
berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa
berjalan dengan baik. Sedangkan fungsi mediator dan fasilitator itu sendiri dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab
dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau
tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Julian dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang
harus dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut.
1. Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data
yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan
kebingungan setiap murid.
2. Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan
penghargaan kepada siswa.
3. Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek
dalam proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk
memulai.
Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan
yang luas dan mendalam tentang bahan yang diajarkan. Pengetahuan yang luas dan
mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda
dari murid dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau

tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan
model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau
pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah
teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori
atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori
belajar

konstruktivisme

lebih

menfokuskan

pada

kesuksesan

siswa

dalam

mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa
yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Teori konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang asas
sebelum konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila diperlukan .

DAFTAR PUSTAKA

https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/05/10/pembelajaran-konstruktivisme/

http://wiare.blogspot.co.id/2013/02/teori-belajar-konstruktivisme.html
https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/12/teori-konstruktivisme.html
Aqib, Z. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGafindo Persada
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Depdiknas.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius