Pemeliharaan alquran pada masa usman
Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Utsman
A. Abstrak
Terbentuknya Mushaf Utsmani dilatar belakangi perbedaan bacaan al-Qur'an antara penduduk
Syam dan Irak, juga dari sebagian orang Islam di kota Madinah. Ketika mereka mendengarkan
bacaan antara satu sama lain, mereka saling menyalahkan dan membenarkan bacaannya sendiri.
Fenomena ini terjadi karena pada mulanya ketika pada masa Nabi saw., ia membolehkan orangorang Islam untuk membaca sesuai dengan dialek-dialek mereka sendiri. Dialek-dialek itu
terkenal dengan tujuh huruf atau tujuh bacaan.
Melihat fenomena yang terjadi seperti itu, Utsman bin Affan sebagai khalifah perlu membuat
sebuah kebijakan sebagai resolusi konflik yang terjadi itu. Ia merasa berkewajiban menghentikan
pertikaian yang terjadi akibat perbedaan bacaan al- Qur’an, mempersatukan kembali umat Islam.
Oleh karena itu, ia membuat kebijakan dengan menyalin kembali al-Qur’an dengan memakai
satu dialek yaitu dialek Quraisy.
Permasalahan dalam makalah ini adalah argumentasi penyatuan huruf pada masa Utsman bin
Affan, standarisasi mushaf dan bagaimana pendistribusian mushaf pada masa Utsman bin Affan.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan latar belakang dan sejarah
terbentuknya mushaf Utsmani. Menjelaskan beberapa hal pasca terbentuknya mushaf Utsmani
meliputi pendistribusian mushaf, pembakaran mushaf-mushaf lain dan dampak dari terbentuknya
Mushaf Utsmani sendiri. Adapun hasil dari penelitian ini adalah mengetahui dengan jelas latar
belakang sejarah terbentuknya Mushaf Utsmani, proses pembukuan dan pendistribusiannya.
B. Latar belakang
Al-Qur’an1 adalah firman Allah swt., yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., yang tertulis di dalam mushaf-mushaf dengan jalan mutawatir dan
membacanya dipandang ibadah.2 Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diberikan Allah swt.,
kepada Nabi Muhammad saw., dengan bukti ia pernah menantang orang-orang Arab untuk
membuat bacaan yang seperti al-Qur’an.Mereka yang notabene adalah orang-orang yang
pandai membuat syair ternyata tidak mampu membuat seperti al-Qur’an.3
1
Al-Qur’an menurut Ibn Abbas, turun pada malam Laila al-Qodr dalam jumlah satu,
kemudian diturunkan secara bertahap berhari-hari dan berbulan-bulan sampai selesai.
Muhammad Abu Bakar Ismail,Dirasat f lumi al- Qur’an(Kairo: Daar al-Manar, 1991), hlm.
28. Al-Qur’an dari segi bahasa berarti bacaan sempurna, sebuah nama yang tepat pilihan
Allah yang tiada tandingannya. Quraisy Sihab, Wawaasan al-Qur’an (Bandung: Mizan Media
tama, 2007), hlm. 13.
2
Marjuki Zuhdi, Pengantar
3
Q.S. 2[al-Baqarah]:23-24.
lumul Qur’an(Surabaya: Karya Abadi
tama, 1993),hlm 93.
Ketika Nabi saw., menerima wahyu dari Jibril, ia sendiri yang mula-mula mengingatnya
kemudian membacakan di hadapan para sahabatnya.Setelah itu menganjurkan kepada para
sahabatnya itu untuk menghafalkannya. Fenomena ini menarik karena banyak sahabat yang
berlomba-lomba menghafalkan al-Qur’an. Para sahabat yang berhasil menghafalkan al-Qur’an
di masa itu sebagaimana yang diterangkan di kitab Sahih Bukhari mereka berjumlah tujuh
orang yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, Abu Darda’. Penyebutan ini bukan berarti pembatasan bagi para
sahabat yang hafal, Tetapi mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan
telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi saw.Selain yang disebutkan di atas juga banyak
banyak sahabat beserta istri dan anak-anaknya ikut dalam menghafalkan al-Qur’an.
Mekanisme penyampaian ayat-ayat al-Qur’an dari Nabi saw., kepada sahabatnya sangat
sistematis.Dengan bukti ia tidak hanya menganjurkan para sahabatnya untuk menghafal, tetapi
juga mengangkat para sahabatnya sebagai penulis wahyu al-Qur’an. Mereka adalah Ali,
Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Para penulis ini menuliskannya pada
pelapah- kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang.4
Tulisan-tulisan itu tidak terkumpul menjadi satu mushaf, tetapi terpisah- pisah atau hanya
ditertibkan ayat-ayatnya saja.Setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dalam
tujuh huruf atau tujuh bacaan.5 Periode ini dinamakan pengumpulan pertama. Makna
pengumpulan di sini adalah dengan sistem hafalan dan penulisan.
Setelah Nabi saw., wafat Abu Bakar al-Shiddiq didaulat sebagai pemimpin kaum mukmin
pada tahun (632-634 M).6 Di masa-masa awal ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar
yang berhubungan dengan kemurtadan. Ia sangat serius dalam memerangi mereka, karena itu ia
mempersiapkan pasukan dan mengirimkannya ke medan perang untuk memerangi mereka.
Perang memberantas orang-orang murtad ini dinamakan dengan perang Yamamah terjadi pada
tahun 12 H. Perang ini melibatkan sejumlah besar para sahabat yang hafal al- Qur’an.
Dalam perang itu kaum muslim dapat memberantas orang-orang murtad tetapi sekitar tujuh
puluh sahabat penghafal al-Qur’an gugur dalam perang ini. Melihat hal ini timbul kekhawatiran
di benak Umar bin Khattab atas gugurnya sejumlah para sahabat penghafal al-Qur’an itu, karena
itu ia menghadap Abu Bakar al-Shiddiq dan mengajukan usul kepadanya agar al-Qur’an
dibukukan karena dikhawatirkan akan musnah. Kekhawatirannya ini atas pikiran yang
4
Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari bi Syarah Sahih Bukhari Muslim, Juz VIII (Maktabah alSalafah, 1880), hlm14.
5
6
Ramli Abdul Hamid,
lumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 119.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam(Yogyakarta: Bagaskara, 2011),
hlm. 79.
menghantuinya, yaitu jika saja peperangan-peperangan di kemudian hari terjadi lagi dan
membunuh sahabat penghafal al-Qur’an maka keberadaan al-Qur’an akan terancam musnah.
Mendengar usulan ini Abu Bakar al-Shiddiq menolak karena perkara ini tidak pernah
dilakukan ketika masa Nabi saw., tetapi Umar bin Khattab meyakinkannya bahwa perkara ini
adalah baik. Kemudian ia beristikharah kepada Allah sehingga Allah membukakan hatinya
untuk menerima usulan Umar bin Khattab. Setelah itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan al- Qur’an.7 Mendengar permintaan ini Zaid menolak karena hal ini tidak pernah
dilakukan pada masa Nabi saw., tetapi setelah diyakinkan akhirnya Zaid menerima permintaan
ini.
Zaid bin Tsabit kemudian mengumpulkan catatan ayat-ayat al-Qur’an dan mengambil
keterangan dari sahabat yang hafal al-Qur’an. Setelah naskah itu berhasil dikumpulkan naskah
itu berada di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Jadi ia adalah orang pertama yang
telah mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf beserta penyusunan ayat-ayat dan surat-surat
yang telah mencakup dalam tujuh bacaan al-Qur’an.Jadi periode pengumpulan masa ini
disebut pengumpulan kedua sebagai satu Mushaf utuh.8
Mushaf hasil rumusan itu selanjutnya berada di tangan Umar bin Khattab ia meninggal
dunia. Mushaf itu kemudian berada di tangan putrinya yang juga Ummahatul Mukminin,
Hafshah binti Umar bin Khattab.
Selanjutnya masa kepemimpinan dipegang oleh Utsman bin Affan (644- 656M).9 Tulisan ini
sudah sampai pada inti dari pembahasan ini. Pada masanya wilayah kekuasaan Islam semakin
luas dan banyak bangsa Arab yang tunduk di bawah pemerintahan Islam. Keadaan ini membuat
kaum muslim semakin bertambah jumlahnya. Bermula dari Hudzaifah Ibn al-Yaman yang ikut
dalam pembukaan Armenia dan Azarbaijan, ketika itu ia mendengarkan bacaan al- Qur’an
penduduk setempat. Bacaan mereka antara satu dan lain berbeda, bahkan antara satu dengan
yang lain saling menyalahkan hingga ada yang menumbuhkan konflik di antara mereka.
Melihat hal ini ia pun kaget dan bergegas menuju Utsman bin Affan kemudian ia berkata
“Wahai Amirul mukminin! satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Qur’an
seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Setelah Khalifah berkistikharah kemudian ia
mengirim utusan ke Hafsah binti Umar bin Khattab,10 membawa pesan “Pinjamkanlah mushaf
al-Qur’an kepada kami untuk kami menyalinnya dalam beberapa mushaf setelah itu kami akan
7
Ismail, Dirasat, hlm. 119.
8
Khalil Manna Qatthan, Mabahits f
hlm.134.
9
lumil Quran (Kairo: Mansuratu al-Asri al- Hadits, 1973),
Khalil Manna Qatthan, Mabahits, hlm.134.
10
Labib Said, al-Murattal Mushaf Bawaitsih au Mukhatthatih (Kairo: Daar al-Kitab al- Arabi,
1982), hlm. 57.
kembalikan kepada anda.”Mendengar permintaan ini Khafsah pun memberikan mushaf itu
kepadanya.
Pekerjaan pembukuan al-Qur’an ini merupakan pekerjaan besar, karena itu Khalifah
mempersiapkan tim yang matang untuk membukukannya. Ia memerintahkan kepada Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Saad bin al- Ash dan Abdurrahman bin al- Harits bin Hisyam.
Sebagai ketua penulisan itu ia menunjuk Zaid bin Tsabit. Penunjukan ini wajar karena Zaid
adalah seorang sahabat yang menulis mushaf ketika pada masa Abu Bakar al-Shiddiq.
Mereka dalam bekerja tidak mau menulis ayat kecuali setelah semua panitia sepakat dan
sahabat yang lain setuju, bahwa ayat itu mutawatir dan tidak mansukh tilawahnya. Dalam
pekerjaan pembukuan ini Khalifah menyatukan bacaan-bacaan yang berbeda, yang sebelumnya
memakai tujuh bacaan menjadi satu bacaan yaitu memakai dialek Quraisy. Ketika itu bacaan
al-Qur’an memakai banyak dialek yang terkenal dengan tujuh bacaan. Beberapa pendapat
mengemukakan bahwa selain dialek Quraisy al-Qur’an juga memakai dialek- dialek dari sukusuku lain. Ia berkata kepada tim yang dibentuknya “Sesuatu yang kamu perselisihkan antara
kamu dan Zaid, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka.”11
Permasalahan beragamnya dialek yang dipakai dalam membaca al-Qur’an ketika itu menjadi
permasalahan serius. Jika pada zaman Nabi saw., dan Abu Bakar al-Shiddiq, beragamnya
dialek ini bukan menjadi permasalahan dan diterima semua kalangan. Akan tetapi ketika
memasuki zaman Utsman bin Affan beragamnya dialek ini menjadi sebuah
permasalahan.Banyak kalangan dari berbagai suku menyalahkan bacaan dari suku lain yang
berbeda dengan bacaan mereka. Diantara mereka juga bahkan berani saling mengkafirkan
dan terjadi bentrok antara satu dengan yang lain.12
Melihat fenomena yang terjadi ini Khalifah akhirnya mengambil jalan tegas demi
mengakhiri konflik yang terjadi ini dan mengembalikan persatuan umat Islam,ia menyalin
kembali mushaf al-Qur’an dan memberlakukan satu dialek dalam mushaf rumusannya yaitu
dialek Quraisy. Pekerjaan pembukuan al- Qur’an itu akhirnya selesai dengan menjadikan
beberapa mushaf dan mengirimkannya ke beberapa daerah. Setelah itu ia memerintahkan kepada
kaum muslim agar membakar mushaf-mushaf selain yang telah dirumuskannya.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa ini disebut periode pengumpulan ketiga atau pembukuan
terakhir.13 Mushaf ini dinamakan dengan Mushaf Utsmani. Kata “Utsmani” dengan dinisbahkan
kepada tokoh utama dalam pembukuan al- Quran ini yaitu Utsman bin Affan.
11
Hamid,
12
Said, al-Murattal, hlm. 57.
13
Khalil Manna Qatthan, Mabahits, hlm.134.
lumul, hlm. 119.
Terbentuknya Mushaf Utsmani menghasilkan standarisasi bacaan al- Qur’an. Standarisasi
dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah penyusunan bentuk (ukuran kualitas) dengan
pedoman yang ditetapkan.. Dalam sejarah terbentuknya Mushaf Utsmani, standarisasi diartikan
menutup semua perbedaan dalam bacaan al-Qur’an, adanya kesatuan secara total yang ada pada
teks al- Qur’an di seluruh dunia. Standarisasi yang dilakukan oleh Utsman bin Afffan
adalah adalah suatu kenyataan sejarah yang pasti.14
Pembahasan ini fokus pada pemeliharaan al-Qur’an pada masa Utsman. Inti dari
permasalahan pembahasan ini adalah argumentasi penyatuan huruf menjadi satu lughoh,
standarisasi mushaf, dan kemana saja mushaf di distribusikan pada masa Utsman.
C. Argumentasi penyatuan huruf (satu lughoh)
Penyebaran islam pun bertambah dan para Qurra pun tersebar di beebagai wilayah, dan
penduduk di setiap wilayah itu mempelajar Qira’at (bacaan) dari qori yang dikirim kepada
mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) al-Quran yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan
dengan perbedaan “huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian
mereka heran dengan adanya perbedaan Qiraat ini. Terkadang sebagai mereka merasa puas,
karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semua disandarkan kepada Nabi saw. Tetapi
keadaan demikian bukan berarti akan menimbulkan keraguan pada generasi baru yang tidak
melihat Rasulullah saw., sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang
lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa, fitnah yang demikian ini harus segera
diselesaikan.
Dari Anas, bahwa Hudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman, ia pernah ikut berperang
melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq.
Hudzaifah sangat terkejut dengan perbedaan bacaan, lalu ia bercerita kepada Utsman,
“Selamatkan umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagai
mana perselisihan orang Yahudi dan Nasrani.” Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafsah
yang isinya, “ Sudilah kiranya Anda mengirimkan lembaran-lembaran yang berisi Al-Qur’an itu,
kami akan menyalinnya mejadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.”
Hafsah-pun mengirimkannya kepada Utsman, dan Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As Abdurraman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Merekapun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy
itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, maka
tulislah dengan logat Quraisy karena al-Qur’an di turunkan dengan bahasa Quraisy.”15
14
Taufk Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an(Jakarta: Pustaka Alvaabet, 2005), hlm.
235.
, فاقرئ الناس بلغة قريش, ان القر أن ازل بلسان قريش: ان عمر كتب الى ابن مسعود,قد اخرج ابو د بطريق كعب اناصاري
نبلغة هديل
“Al-Qur’an telah diturunkan dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek
Quraisy, bukan menggunakan dialek hudail.”16
Mereka menjalankan perintah tersebut dengan baik, setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi bebrapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran itu kepada Hafsah.
Kemudian Utsman mengirimkan Mushaf baru ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua
Al-Qur’an atau mushaf lainnya dibakar.
Khadijah bin Zaid bin Tsabit meriwayatkan dari bapaknya Zaid bin Tsabit, “Ketika kami
menyalin Mushaf , kami teringat akan suatu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah saya dengar
dibacakan oleh Rasulullah saw., maka kami mencarinya, dan kami dapatkan pada Khuzaimah
bin Tsabit Al-Anshari, Ayat itu adalah :
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í‘ (#qè%y‰|¹ $tB (#r߉yg»tã ©!$# Ïmø&lsqauo;n=tã
( Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^tƒ ( $tBur (#qä9£‰t/ WxƒÏ‰ö7s?
ÇËÌÈ
Artinya:
“Di antara orang-orang Mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah” (QS. Al-Ahzab : 23)
lalu kami tampakan ayat ini pada surat tersebut dalam Mushaf.”17
Berbagai Atsar18 menunjukan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan
Khuzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibnu Jabir : Ya’kub
bin Ibrahim berkata kepadaku : Ibnu Ulyah menceritakan kepadaku : Ayyub mengatakan
kepadaku, bahwa Abu Qolabah berkata : pada masa kekhalifahan Utsman telah terjadi seorang
guru Qira’at mengajarkan Qira’at seseorang, dan guru Qira’at mengajarkan Qir’at yang lain pada
orang lain.
Ada dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu, pada suatu ketika mereka bertemu dan
berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut. Ayyub berkata : aku
tidak mengetahui kecuali Ali berkata : “Sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain
15
Syaikh Muhammad Khudlori, Tarikh At-Tasyri’Al-Islami, Surabaya, Al-Hidayah, TT ,hlm 107108.
16
M.Al-Azmi, The History of Qur’anic text, Jakarta, Gema Insani, 2005 hlm. 97.
17
M.Al-Azmi, The History, hlm. 103.
18
Atsar adalah Qaul atau ucapan para Sahabat.
karena perbedaan Qiraat itu, dan hal itu akhirnya sampai kepada khalifah Utsman. Maka ia
berpidato : “Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca AlQur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya.
Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (Mushaf
al-Qur’an pedoman) saja.”19
Abu Qobalah berkata : Anas bin Malik bercerita kepadaku: “Aku adalah seorang di antara
mereka yang menuliskan, kemudian Abu Qollabah berkata: Terkadang mereka berselisih tentang
satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimanya dari Rasulullah
saw. Akan tetapi tadi mungkin tengah diluar kota, sehingga mereka menuliskan apa yang
sebelum dan sesudah serta membenarkan tempat dan letaknya, sampai orang tersebut datang atau
dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Khalifah Utsman menuliskan surat untuk
semua penduduk daerah yang isinya : ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku
telah menghapuskan yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Ibnu Asyatah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qolbah, keterangan yang sama. Dan
Ibnu Hajar menyatakan dalam Al-Fath bahwa Ibnu Abu Dawud telah meriwayatkannya pula
melalui Abu Qolabah dalam Al-Mushahif.
Penamaan Mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana Utsman
mengatakan : “Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu
mushaf (Mushaf Al-Qur’an pedoman)”. Kemudian ia memerintahkan untuk membakar Mushaf
yang lain itu. Umat pun menerima perintah dengan patuh, sedangkan Qira’ah dengan enam huruf
lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab Qiraah dengan tujuh huruf itu tidak wajib.
Seandainya Rasulullah mewajibkan Qiraat yang tujuh huruf itu semua, tentu saja setiap huruf
harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak
melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qiraat tujuh huruf itu termasuk termasuk dalam kategori
keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan dari tujuh huruf tersebut secara
mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Utsman: Ia
menyatukan Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang Mushaf yang lain disobek. Ia
memerintahkan dengan tegas agar setiap yang mempunyai Mushaf “berlainan” dengan mushaf
yang disepakati itu membakar Mushaf tersebut, umat pun mendukungnya dengan taat dan
mereka melihat dengan begitu Utsman bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana.
Maka umat meninggalkan Qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai dengan perintah
pimpinannya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan
demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian Qiraat yang lain sudah
dimusnahkan dan bekas-bekasnya sudah tidak ada. Sekarang tidak ada jalan bagi orang yang
ingin membaca dengan tujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak Qiraat dengan
19
Ibrahim Al-Abyari. Sejarah al-Qur’an. Semarang , Dina
tama 1993. Hlm 79.
huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya, tetapi hal itu
bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi Qiraat bagi kaum
muslimin selain Qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih oleh imam mereka yang bijaksana
dan tulus hati itu. Tidak ada lagi Qiraat dengan enam huruf lainnya.
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan berkata: “Bagaimana mereka boleh meninggalkan
Qiraat yang telah dibacakan Rasulullah saw., dan diperintahkan pula untuk membacanya dengan
cara itu? Maka jawabannya adalah : Sesungguhnya perintah Rasulullah saw., kepada mereka
untuk membacanya itu bukanlah perintah wajib atau fardu, tetapi menunjukan kebolehan dan
keringanan (rushah).”
Sebab andai kata Qiraat dengan tujuh huruf itu di wajibkan kepada mereka, tentulah
pengetahuan tentang setiap huruf itu wajib pula bagi orang-oarng yang mempunyai hujjah untuk
menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para Qorri dan
karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam
masalah Qiraat boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur’an di kalangan
umat yang menyampaikannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggal tugas
menyampaikan semua Qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk
menyampaikannya. Kewajiban mereka adalah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa
yang mereka lakukan tersebut ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum Muslimin. Oleh
karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka itu sendiri lebih utama daripada
melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap Islam dan pemeluknya
dari pada menyelamatkannya.
D. Standarisasi mushaf
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat besar,
perbedaan mushaf menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim yang
fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak
jarang satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’an versi mereka
sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang shalat berkelompok-kelompok
dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi
terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di kalangan
orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu,
pembacaan al-Qur’an dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang
belakangan yang tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya
pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian,
terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah,
atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu
dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia, umat Islam
bertengkar karena dalam shalat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan
ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah Utsman bin
Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf tersebut hanya dengan
satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan
itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.20
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit,
seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibnu
Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’an jelas tidak setuju
dengan penyeragaman, apalagi ketika Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibnu
Mas’ud menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam
membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi saw., sejak masa awal.
Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya
penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil,
maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay bin Ka’ab, Malik bin Abi ‘Amir, Anas bin Malik,
dll.21
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke-2 atau ke-3 dari
kekhilafahan Utsman.22 Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satusatunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf
al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan
dengan cara dibakar.
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan
beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf
sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan
ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini
menunjukkan bahwa susunan al-Qur’an yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat,
dan bukan tauqifi dari Allah swt., atau Nabi saw.23
20
Abu Dawud, Mashahif Sajistan, hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi Makrifat, Op
Cit, hal. 155.
21
Abu Dawud, Mashahif , hal. 155.
22
Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz XXVII,
h. 104.
23
Al-Thabari, Tafsir Jami’, h. 173.
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf
dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam
bacaan kalimat misalnya:
-
Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu”
-
Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
-
Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna liman
khalaqaka ayatan”.
-
“Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Q.S. Al-Baqarah: 259)
-
“Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”(Q.S. Ali ‘Imran: 48)
-
“Nunajjika” atau :Nunahhika” (Q.S. Yunus 92).
-
“Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.
3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya,
misalnya :
-
الكتابkadang ditulis dengan الكتب
-
الرحمانbanyak ditulis dengan dengan الرحمن
الصلو ة – الزكوةditulis menjadi الصلة – الزكاة-
اختلفا اليل و النهارmenjadi اختلف اليل و النهار
- Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf
shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan
“Yabshuthu”, dll
Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal
yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang
memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim
penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.24
24
Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘ lum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975), h. 195.
E. Pendistribusian mushaf
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah
Utsman bin Affan selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah
penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam.25
Langkah-langkah penting itu adalah:
1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai
langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar
r.a.26
2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi
tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan
lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib
r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushafmushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”27
Setelah melakukan dua langkah tersebut, Utsman bin Affan kemudian mulai melakukan
pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda
pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. AlZarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan
bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu
mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu
eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7
eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan
Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para
imam.’”28
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang
menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.29
25
Al-A’zhamy, The History of The Qur’anic Text from Revaelation to Compilation, (Jakarta:
Gema Insani Press, April 2005), hal. 105-106.
26
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1307 H), hal. 7/450.
27
Kitab al-Mashahif, hal. 22 sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 106.
28
Al-Zarkasyi. Badr, Al-Burhan f ‘ lum al-Qur’an, (Mesir, Dar al-Turats), hal. 1/334.
29
Al-Suyuthi. Jalaluddin, Al-Itqan f lum al-Qur’an, (Dar Ibn Katsir, 1410 H) hal. 1/32.
Sementara al-A’zhamy mendukung pendapat Profesor Syauqi Dhaif bahwa ada 8 eksemplar
mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat al-Ya’qubi, seorang ahli sejarah Syiah yang
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan
r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama
mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.30 Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm
kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah
dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah
dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan
Mushaf Syamy.31
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan
oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw
bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin
agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada RasulNya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya
mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’
penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan
pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan
pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf
belaka.32
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin
telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-.
Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf
‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun
yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat
banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali
tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah.
berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan. Lih. The History of The Qur’anic
Text, hal.105.
30
Al-Syihry, Ahmad. ‘Awadh, Al-Mushaf al-‘ tsmany: “Taushifuhu, Tarikhuhu, Hal Katabahu
‘ tsman Biyadihi, Hal Huwa Maujudun Al’an”, (Abha-KSA, nivaersitas Malik Khalid), hal. 5.
31
32
Al-Syihry, Ahmad. ‘Awadh, Al-Mushaf al-‘ tsmany, hal. 5.
Al-Zarqany. Muhammad, Manahil al-‘Irfan f lum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 1408 H),
hal. 1/330. Dan The History of Qur’anic Text, hal.107.
A. Abstrak
Terbentuknya Mushaf Utsmani dilatar belakangi perbedaan bacaan al-Qur'an antara penduduk
Syam dan Irak, juga dari sebagian orang Islam di kota Madinah. Ketika mereka mendengarkan
bacaan antara satu sama lain, mereka saling menyalahkan dan membenarkan bacaannya sendiri.
Fenomena ini terjadi karena pada mulanya ketika pada masa Nabi saw., ia membolehkan orangorang Islam untuk membaca sesuai dengan dialek-dialek mereka sendiri. Dialek-dialek itu
terkenal dengan tujuh huruf atau tujuh bacaan.
Melihat fenomena yang terjadi seperti itu, Utsman bin Affan sebagai khalifah perlu membuat
sebuah kebijakan sebagai resolusi konflik yang terjadi itu. Ia merasa berkewajiban menghentikan
pertikaian yang terjadi akibat perbedaan bacaan al- Qur’an, mempersatukan kembali umat Islam.
Oleh karena itu, ia membuat kebijakan dengan menyalin kembali al-Qur’an dengan memakai
satu dialek yaitu dialek Quraisy.
Permasalahan dalam makalah ini adalah argumentasi penyatuan huruf pada masa Utsman bin
Affan, standarisasi mushaf dan bagaimana pendistribusian mushaf pada masa Utsman bin Affan.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan latar belakang dan sejarah
terbentuknya mushaf Utsmani. Menjelaskan beberapa hal pasca terbentuknya mushaf Utsmani
meliputi pendistribusian mushaf, pembakaran mushaf-mushaf lain dan dampak dari terbentuknya
Mushaf Utsmani sendiri. Adapun hasil dari penelitian ini adalah mengetahui dengan jelas latar
belakang sejarah terbentuknya Mushaf Utsmani, proses pembukuan dan pendistribusiannya.
B. Latar belakang
Al-Qur’an1 adalah firman Allah swt., yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., yang tertulis di dalam mushaf-mushaf dengan jalan mutawatir dan
membacanya dipandang ibadah.2 Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diberikan Allah swt.,
kepada Nabi Muhammad saw., dengan bukti ia pernah menantang orang-orang Arab untuk
membuat bacaan yang seperti al-Qur’an.Mereka yang notabene adalah orang-orang yang
pandai membuat syair ternyata tidak mampu membuat seperti al-Qur’an.3
1
Al-Qur’an menurut Ibn Abbas, turun pada malam Laila al-Qodr dalam jumlah satu,
kemudian diturunkan secara bertahap berhari-hari dan berbulan-bulan sampai selesai.
Muhammad Abu Bakar Ismail,Dirasat f lumi al- Qur’an(Kairo: Daar al-Manar, 1991), hlm.
28. Al-Qur’an dari segi bahasa berarti bacaan sempurna, sebuah nama yang tepat pilihan
Allah yang tiada tandingannya. Quraisy Sihab, Wawaasan al-Qur’an (Bandung: Mizan Media
tama, 2007), hlm. 13.
2
Marjuki Zuhdi, Pengantar
3
Q.S. 2[al-Baqarah]:23-24.
lumul Qur’an(Surabaya: Karya Abadi
tama, 1993),hlm 93.
Ketika Nabi saw., menerima wahyu dari Jibril, ia sendiri yang mula-mula mengingatnya
kemudian membacakan di hadapan para sahabatnya.Setelah itu menganjurkan kepada para
sahabatnya itu untuk menghafalkannya. Fenomena ini menarik karena banyak sahabat yang
berlomba-lomba menghafalkan al-Qur’an. Para sahabat yang berhasil menghafalkan al-Qur’an
di masa itu sebagaimana yang diterangkan di kitab Sahih Bukhari mereka berjumlah tujuh
orang yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, Abu Darda’. Penyebutan ini bukan berarti pembatasan bagi para
sahabat yang hafal, Tetapi mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan
telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi saw.Selain yang disebutkan di atas juga banyak
banyak sahabat beserta istri dan anak-anaknya ikut dalam menghafalkan al-Qur’an.
Mekanisme penyampaian ayat-ayat al-Qur’an dari Nabi saw., kepada sahabatnya sangat
sistematis.Dengan bukti ia tidak hanya menganjurkan para sahabatnya untuk menghafal, tetapi
juga mengangkat para sahabatnya sebagai penulis wahyu al-Qur’an. Mereka adalah Ali,
Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Para penulis ini menuliskannya pada
pelapah- kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang.4
Tulisan-tulisan itu tidak terkumpul menjadi satu mushaf, tetapi terpisah- pisah atau hanya
ditertibkan ayat-ayatnya saja.Setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dalam
tujuh huruf atau tujuh bacaan.5 Periode ini dinamakan pengumpulan pertama. Makna
pengumpulan di sini adalah dengan sistem hafalan dan penulisan.
Setelah Nabi saw., wafat Abu Bakar al-Shiddiq didaulat sebagai pemimpin kaum mukmin
pada tahun (632-634 M).6 Di masa-masa awal ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar
yang berhubungan dengan kemurtadan. Ia sangat serius dalam memerangi mereka, karena itu ia
mempersiapkan pasukan dan mengirimkannya ke medan perang untuk memerangi mereka.
Perang memberantas orang-orang murtad ini dinamakan dengan perang Yamamah terjadi pada
tahun 12 H. Perang ini melibatkan sejumlah besar para sahabat yang hafal al- Qur’an.
Dalam perang itu kaum muslim dapat memberantas orang-orang murtad tetapi sekitar tujuh
puluh sahabat penghafal al-Qur’an gugur dalam perang ini. Melihat hal ini timbul kekhawatiran
di benak Umar bin Khattab atas gugurnya sejumlah para sahabat penghafal al-Qur’an itu, karena
itu ia menghadap Abu Bakar al-Shiddiq dan mengajukan usul kepadanya agar al-Qur’an
dibukukan karena dikhawatirkan akan musnah. Kekhawatirannya ini atas pikiran yang
4
Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari bi Syarah Sahih Bukhari Muslim, Juz VIII (Maktabah alSalafah, 1880), hlm14.
5
6
Ramli Abdul Hamid,
lumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 119.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam(Yogyakarta: Bagaskara, 2011),
hlm. 79.
menghantuinya, yaitu jika saja peperangan-peperangan di kemudian hari terjadi lagi dan
membunuh sahabat penghafal al-Qur’an maka keberadaan al-Qur’an akan terancam musnah.
Mendengar usulan ini Abu Bakar al-Shiddiq menolak karena perkara ini tidak pernah
dilakukan ketika masa Nabi saw., tetapi Umar bin Khattab meyakinkannya bahwa perkara ini
adalah baik. Kemudian ia beristikharah kepada Allah sehingga Allah membukakan hatinya
untuk menerima usulan Umar bin Khattab. Setelah itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan al- Qur’an.7 Mendengar permintaan ini Zaid menolak karena hal ini tidak pernah
dilakukan pada masa Nabi saw., tetapi setelah diyakinkan akhirnya Zaid menerima permintaan
ini.
Zaid bin Tsabit kemudian mengumpulkan catatan ayat-ayat al-Qur’an dan mengambil
keterangan dari sahabat yang hafal al-Qur’an. Setelah naskah itu berhasil dikumpulkan naskah
itu berada di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Jadi ia adalah orang pertama yang
telah mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf beserta penyusunan ayat-ayat dan surat-surat
yang telah mencakup dalam tujuh bacaan al-Qur’an.Jadi periode pengumpulan masa ini
disebut pengumpulan kedua sebagai satu Mushaf utuh.8
Mushaf hasil rumusan itu selanjutnya berada di tangan Umar bin Khattab ia meninggal
dunia. Mushaf itu kemudian berada di tangan putrinya yang juga Ummahatul Mukminin,
Hafshah binti Umar bin Khattab.
Selanjutnya masa kepemimpinan dipegang oleh Utsman bin Affan (644- 656M).9 Tulisan ini
sudah sampai pada inti dari pembahasan ini. Pada masanya wilayah kekuasaan Islam semakin
luas dan banyak bangsa Arab yang tunduk di bawah pemerintahan Islam. Keadaan ini membuat
kaum muslim semakin bertambah jumlahnya. Bermula dari Hudzaifah Ibn al-Yaman yang ikut
dalam pembukaan Armenia dan Azarbaijan, ketika itu ia mendengarkan bacaan al- Qur’an
penduduk setempat. Bacaan mereka antara satu dan lain berbeda, bahkan antara satu dengan
yang lain saling menyalahkan hingga ada yang menumbuhkan konflik di antara mereka.
Melihat hal ini ia pun kaget dan bergegas menuju Utsman bin Affan kemudian ia berkata
“Wahai Amirul mukminin! satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Qur’an
seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Setelah Khalifah berkistikharah kemudian ia
mengirim utusan ke Hafsah binti Umar bin Khattab,10 membawa pesan “Pinjamkanlah mushaf
al-Qur’an kepada kami untuk kami menyalinnya dalam beberapa mushaf setelah itu kami akan
7
Ismail, Dirasat, hlm. 119.
8
Khalil Manna Qatthan, Mabahits f
hlm.134.
9
lumil Quran (Kairo: Mansuratu al-Asri al- Hadits, 1973),
Khalil Manna Qatthan, Mabahits, hlm.134.
10
Labib Said, al-Murattal Mushaf Bawaitsih au Mukhatthatih (Kairo: Daar al-Kitab al- Arabi,
1982), hlm. 57.
kembalikan kepada anda.”Mendengar permintaan ini Khafsah pun memberikan mushaf itu
kepadanya.
Pekerjaan pembukuan al-Qur’an ini merupakan pekerjaan besar, karena itu Khalifah
mempersiapkan tim yang matang untuk membukukannya. Ia memerintahkan kepada Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Saad bin al- Ash dan Abdurrahman bin al- Harits bin Hisyam.
Sebagai ketua penulisan itu ia menunjuk Zaid bin Tsabit. Penunjukan ini wajar karena Zaid
adalah seorang sahabat yang menulis mushaf ketika pada masa Abu Bakar al-Shiddiq.
Mereka dalam bekerja tidak mau menulis ayat kecuali setelah semua panitia sepakat dan
sahabat yang lain setuju, bahwa ayat itu mutawatir dan tidak mansukh tilawahnya. Dalam
pekerjaan pembukuan ini Khalifah menyatukan bacaan-bacaan yang berbeda, yang sebelumnya
memakai tujuh bacaan menjadi satu bacaan yaitu memakai dialek Quraisy. Ketika itu bacaan
al-Qur’an memakai banyak dialek yang terkenal dengan tujuh bacaan. Beberapa pendapat
mengemukakan bahwa selain dialek Quraisy al-Qur’an juga memakai dialek- dialek dari sukusuku lain. Ia berkata kepada tim yang dibentuknya “Sesuatu yang kamu perselisihkan antara
kamu dan Zaid, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka.”11
Permasalahan beragamnya dialek yang dipakai dalam membaca al-Qur’an ketika itu menjadi
permasalahan serius. Jika pada zaman Nabi saw., dan Abu Bakar al-Shiddiq, beragamnya
dialek ini bukan menjadi permasalahan dan diterima semua kalangan. Akan tetapi ketika
memasuki zaman Utsman bin Affan beragamnya dialek ini menjadi sebuah
permasalahan.Banyak kalangan dari berbagai suku menyalahkan bacaan dari suku lain yang
berbeda dengan bacaan mereka. Diantara mereka juga bahkan berani saling mengkafirkan
dan terjadi bentrok antara satu dengan yang lain.12
Melihat fenomena yang terjadi ini Khalifah akhirnya mengambil jalan tegas demi
mengakhiri konflik yang terjadi ini dan mengembalikan persatuan umat Islam,ia menyalin
kembali mushaf al-Qur’an dan memberlakukan satu dialek dalam mushaf rumusannya yaitu
dialek Quraisy. Pekerjaan pembukuan al- Qur’an itu akhirnya selesai dengan menjadikan
beberapa mushaf dan mengirimkannya ke beberapa daerah. Setelah itu ia memerintahkan kepada
kaum muslim agar membakar mushaf-mushaf selain yang telah dirumuskannya.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa ini disebut periode pengumpulan ketiga atau pembukuan
terakhir.13 Mushaf ini dinamakan dengan Mushaf Utsmani. Kata “Utsmani” dengan dinisbahkan
kepada tokoh utama dalam pembukuan al- Quran ini yaitu Utsman bin Affan.
11
Hamid,
12
Said, al-Murattal, hlm. 57.
13
Khalil Manna Qatthan, Mabahits, hlm.134.
lumul, hlm. 119.
Terbentuknya Mushaf Utsmani menghasilkan standarisasi bacaan al- Qur’an. Standarisasi
dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah penyusunan bentuk (ukuran kualitas) dengan
pedoman yang ditetapkan.. Dalam sejarah terbentuknya Mushaf Utsmani, standarisasi diartikan
menutup semua perbedaan dalam bacaan al-Qur’an, adanya kesatuan secara total yang ada pada
teks al- Qur’an di seluruh dunia. Standarisasi yang dilakukan oleh Utsman bin Afffan
adalah adalah suatu kenyataan sejarah yang pasti.14
Pembahasan ini fokus pada pemeliharaan al-Qur’an pada masa Utsman. Inti dari
permasalahan pembahasan ini adalah argumentasi penyatuan huruf menjadi satu lughoh,
standarisasi mushaf, dan kemana saja mushaf di distribusikan pada masa Utsman.
C. Argumentasi penyatuan huruf (satu lughoh)
Penyebaran islam pun bertambah dan para Qurra pun tersebar di beebagai wilayah, dan
penduduk di setiap wilayah itu mempelajar Qira’at (bacaan) dari qori yang dikirim kepada
mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) al-Quran yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan
dengan perbedaan “huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian
mereka heran dengan adanya perbedaan Qiraat ini. Terkadang sebagai mereka merasa puas,
karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semua disandarkan kepada Nabi saw. Tetapi
keadaan demikian bukan berarti akan menimbulkan keraguan pada generasi baru yang tidak
melihat Rasulullah saw., sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang
lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa, fitnah yang demikian ini harus segera
diselesaikan.
Dari Anas, bahwa Hudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman, ia pernah ikut berperang
melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq.
Hudzaifah sangat terkejut dengan perbedaan bacaan, lalu ia bercerita kepada Utsman,
“Selamatkan umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagai
mana perselisihan orang Yahudi dan Nasrani.” Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafsah
yang isinya, “ Sudilah kiranya Anda mengirimkan lembaran-lembaran yang berisi Al-Qur’an itu,
kami akan menyalinnya mejadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.”
Hafsah-pun mengirimkannya kepada Utsman, dan Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As Abdurraman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Merekapun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy
itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari al-Qur’an, maka
tulislah dengan logat Quraisy karena al-Qur’an di turunkan dengan bahasa Quraisy.”15
14
Taufk Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an(Jakarta: Pustaka Alvaabet, 2005), hlm.
235.
, فاقرئ الناس بلغة قريش, ان القر أن ازل بلسان قريش: ان عمر كتب الى ابن مسعود,قد اخرج ابو د بطريق كعب اناصاري
نبلغة هديل
“Al-Qur’an telah diturunkan dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek
Quraisy, bukan menggunakan dialek hudail.”16
Mereka menjalankan perintah tersebut dengan baik, setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi bebrapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran itu kepada Hafsah.
Kemudian Utsman mengirimkan Mushaf baru ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua
Al-Qur’an atau mushaf lainnya dibakar.
Khadijah bin Zaid bin Tsabit meriwayatkan dari bapaknya Zaid bin Tsabit, “Ketika kami
menyalin Mushaf , kami teringat akan suatu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah saya dengar
dibacakan oleh Rasulullah saw., maka kami mencarinya, dan kami dapatkan pada Khuzaimah
bin Tsabit Al-Anshari, Ayat itu adalah :
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í‘ (#qè%y‰|¹ $tB (#r߉yg»tã ©!$# Ïmø&lsqauo;n=tã
( Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^tƒ ( $tBur (#qä9£‰t/ WxƒÏ‰ö7s?
ÇËÌÈ
Artinya:
“Di antara orang-orang Mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah” (QS. Al-Ahzab : 23)
lalu kami tampakan ayat ini pada surat tersebut dalam Mushaf.”17
Berbagai Atsar18 menunjukan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan
Khuzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibnu Jabir : Ya’kub
bin Ibrahim berkata kepadaku : Ibnu Ulyah menceritakan kepadaku : Ayyub mengatakan
kepadaku, bahwa Abu Qolabah berkata : pada masa kekhalifahan Utsman telah terjadi seorang
guru Qira’at mengajarkan Qira’at seseorang, dan guru Qira’at mengajarkan Qir’at yang lain pada
orang lain.
Ada dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu, pada suatu ketika mereka bertemu dan
berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut. Ayyub berkata : aku
tidak mengetahui kecuali Ali berkata : “Sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain
15
Syaikh Muhammad Khudlori, Tarikh At-Tasyri’Al-Islami, Surabaya, Al-Hidayah, TT ,hlm 107108.
16
M.Al-Azmi, The History of Qur’anic text, Jakarta, Gema Insani, 2005 hlm. 97.
17
M.Al-Azmi, The History, hlm. 103.
18
Atsar adalah Qaul atau ucapan para Sahabat.
karena perbedaan Qiraat itu, dan hal itu akhirnya sampai kepada khalifah Utsman. Maka ia
berpidato : “Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca AlQur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya.
Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (Mushaf
al-Qur’an pedoman) saja.”19
Abu Qobalah berkata : Anas bin Malik bercerita kepadaku: “Aku adalah seorang di antara
mereka yang menuliskan, kemudian Abu Qollabah berkata: Terkadang mereka berselisih tentang
satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimanya dari Rasulullah
saw. Akan tetapi tadi mungkin tengah diluar kota, sehingga mereka menuliskan apa yang
sebelum dan sesudah serta membenarkan tempat dan letaknya, sampai orang tersebut datang atau
dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Khalifah Utsman menuliskan surat untuk
semua penduduk daerah yang isinya : ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku
telah menghapuskan yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Ibnu Asyatah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qolbah, keterangan yang sama. Dan
Ibnu Hajar menyatakan dalam Al-Fath bahwa Ibnu Abu Dawud telah meriwayatkannya pula
melalui Abu Qolabah dalam Al-Mushahif.
Penamaan Mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana Utsman
mengatakan : “Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu
mushaf (Mushaf Al-Qur’an pedoman)”. Kemudian ia memerintahkan untuk membakar Mushaf
yang lain itu. Umat pun menerima perintah dengan patuh, sedangkan Qira’ah dengan enam huruf
lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab Qiraah dengan tujuh huruf itu tidak wajib.
Seandainya Rasulullah mewajibkan Qiraat yang tujuh huruf itu semua, tentu saja setiap huruf
harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak
melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qiraat tujuh huruf itu termasuk termasuk dalam kategori
keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan dari tujuh huruf tersebut secara
mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Utsman: Ia
menyatukan Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang Mushaf yang lain disobek. Ia
memerintahkan dengan tegas agar setiap yang mempunyai Mushaf “berlainan” dengan mushaf
yang disepakati itu membakar Mushaf tersebut, umat pun mendukungnya dengan taat dan
mereka melihat dengan begitu Utsman bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana.
Maka umat meninggalkan Qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai dengan perintah
pimpinannya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan
demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian Qiraat yang lain sudah
dimusnahkan dan bekas-bekasnya sudah tidak ada. Sekarang tidak ada jalan bagi orang yang
ingin membaca dengan tujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak Qiraat dengan
19
Ibrahim Al-Abyari. Sejarah al-Qur’an. Semarang , Dina
tama 1993. Hlm 79.
huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya, tetapi hal itu
bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi Qiraat bagi kaum
muslimin selain Qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih oleh imam mereka yang bijaksana
dan tulus hati itu. Tidak ada lagi Qiraat dengan enam huruf lainnya.
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan berkata: “Bagaimana mereka boleh meninggalkan
Qiraat yang telah dibacakan Rasulullah saw., dan diperintahkan pula untuk membacanya dengan
cara itu? Maka jawabannya adalah : Sesungguhnya perintah Rasulullah saw., kepada mereka
untuk membacanya itu bukanlah perintah wajib atau fardu, tetapi menunjukan kebolehan dan
keringanan (rushah).”
Sebab andai kata Qiraat dengan tujuh huruf itu di wajibkan kepada mereka, tentulah
pengetahuan tentang setiap huruf itu wajib pula bagi orang-oarng yang mempunyai hujjah untuk
menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para Qorri dan
karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam
masalah Qiraat boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur’an di kalangan
umat yang menyampaikannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggal tugas
menyampaikan semua Qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk
menyampaikannya. Kewajiban mereka adalah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa
yang mereka lakukan tersebut ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum Muslimin. Oleh
karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka itu sendiri lebih utama daripada
melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap Islam dan pemeluknya
dari pada menyelamatkannya.
D. Standarisasi mushaf
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat besar,
perbedaan mushaf menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim yang
fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak
jarang satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’an versi mereka
sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang shalat berkelompok-kelompok
dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi
terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di kalangan
orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu,
pembacaan al-Qur’an dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang
belakangan yang tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya
pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian,
terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah,
atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu
dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia, umat Islam
bertengkar karena dalam shalat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan
ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah Utsman bin
Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf tersebut hanya dengan
satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan
itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.20
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit,
seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibnu
Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’an jelas tidak setuju
dengan penyeragaman, apalagi ketika Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibnu
Mas’ud menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam
membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi saw., sejak masa awal.
Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya
penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil,
maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay bin Ka’ab, Malik bin Abi ‘Amir, Anas bin Malik,
dll.21
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke-2 atau ke-3 dari
kekhilafahan Utsman.22 Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satusatunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf
al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan
dengan cara dibakar.
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan
beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf
sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan
ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini
menunjukkan bahwa susunan al-Qur’an yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat,
dan bukan tauqifi dari Allah swt., atau Nabi saw.23
20
Abu Dawud, Mashahif Sajistan, hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi Makrifat, Op
Cit, hal. 155.
21
Abu Dawud, Mashahif , hal. 155.
22
Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz XXVII,
h. 104.
23
Al-Thabari, Tafsir Jami’, h. 173.
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf
dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam
bacaan kalimat misalnya:
-
Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu”
-
Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
-
Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna liman
khalaqaka ayatan”.
-
“Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Q.S. Al-Baqarah: 259)
-
“Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”(Q.S. Ali ‘Imran: 48)
-
“Nunajjika” atau :Nunahhika” (Q.S. Yunus 92).
-
“Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.
3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya,
misalnya :
-
الكتابkadang ditulis dengan الكتب
-
الرحمانbanyak ditulis dengan dengan الرحمن
الصلو ة – الزكوةditulis menjadi الصلة – الزكاة-
اختلفا اليل و النهارmenjadi اختلف اليل و النهار
- Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf
shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan
“Yabshuthu”, dll
Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal
yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang
memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim
penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.24
24
Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘ lum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975), h. 195.
E. Pendistribusian mushaf
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah
Utsman bin Affan selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah
penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam.25
Langkah-langkah penting itu adalah:
1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai
langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar
r.a.26
2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi
tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan
lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib
r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushafmushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”27
Setelah melakukan dua langkah tersebut, Utsman bin Affan kemudian mulai melakukan
pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda
pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. AlZarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan
bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu
mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu
eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7
eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan
Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para
imam.’”28
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang
menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.29
25
Al-A’zhamy, The History of The Qur’anic Text from Revaelation to Compilation, (Jakarta:
Gema Insani Press, April 2005), hal. 105-106.
26
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1307 H), hal. 7/450.
27
Kitab al-Mashahif, hal. 22 sebagaimana dalam The History of The Qur’anic Text, hal. 106.
28
Al-Zarkasyi. Badr, Al-Burhan f ‘ lum al-Qur’an, (Mesir, Dar al-Turats), hal. 1/334.
29
Al-Suyuthi. Jalaluddin, Al-Itqan f lum al-Qur’an, (Dar Ibn Katsir, 1410 H) hal. 1/32.
Sementara al-A’zhamy mendukung pendapat Profesor Syauqi Dhaif bahwa ada 8 eksemplar
mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat al-Ya’qubi, seorang ahli sejarah Syiah yang
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan
r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama
mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.30 Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm
kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah
dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah
dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan
Mushaf Syamy.31
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan
oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw
bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin
agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada RasulNya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya
mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’
penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan
pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan
pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf
belaka.32
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin
telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-.
Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf
‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun
yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat
banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali
tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah.
berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan. Lih. The History of The Qur’anic
Text, hal.105.
30
Al-Syihry, Ahmad. ‘Awadh, Al-Mushaf al-‘ tsmany: “Taushifuhu, Tarikhuhu, Hal Katabahu
‘ tsman Biyadihi, Hal Huwa Maujudun Al’an”, (Abha-KSA, nivaersitas Malik Khalid), hal. 5.
31
32
Al-Syihry, Ahmad. ‘Awadh, Al-Mushaf al-‘ tsmany, hal. 5.
Al-Zarqany. Muhammad, Manahil al-‘Irfan f lum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 1408 H),
hal. 1/330. Dan The History of Qur’anic Text, hal.107.