MAKALAH TEORI TEORI PENDIDIKAN SEMESTER

MAKALAH
TEORI-TEORI PENDIDIKAN
TEORI-TEORI BELAJAR PERILAKU

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individual
Mata kuliah: Teori-Teori Pendidikan

Disusun oleh : Kelompok 1
Nama

: 1. Ahmad Mahrum

4. Mariatun

2. Imdadurrohman

5. Masruroh

3. Marwanto

7.


Naeluss’adah
Fakultas

: Tarbiyah PAI

Semester

: IV (Empat)

Dosen Pembimbing

: Kemo Sidi Siswoyo, M.Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR
(STAIMA) CITANGKOLO – BANJAR
Jln. Pesantren No. 02 Citangkolo, Kujangsari, Langensari, Kota Banjar,
Ciamis, Jawa Barat Telp. (0265) 743197-71398-7432201


2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT atas limpahan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya

sehingga

kami

dapat

menyelesaikan

makalah

Teori-Teori

Pendidikan tentang “Teori-teori Belajar Perilaku” tanpa ada alangan suatu apa.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini ialah untuk dapat memenuhi

tugas mata kuliah Teori-Teori Pendidikan Semester 4 Sekolah Tinggi Agama
Islam Miftahul Huda Al-Azhar, (STAIMA) Citangkolo – Kota Banjar. Makalah
ini ditulis dan disusun berdasarkan materi semester 4 yang telah disampaikan oleh
dosen pembimbing
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu kami mengucapkan terimakasih banyak kepada:
1. Bapak Drs. S. Sukirman PW, MM.Pd. selaku kepala DPA STAIMA wilayah
Gandrungmangu.
2. Bapak Kemo Sidi Siswoyo, M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingannya dalam penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
4. Rekan-rekan mahasiswa maupun mahasiswi yang telah menyumbangkan
gagasannya dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami berharap, dengan selesainya penyusunan makalah

ini akan

menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Gandrungmangu, 20 April 2014

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
i
KATA PENGANTAR...............................................................................................
ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ..........................................................
1
B. KAJIAN MASALAH ................................................................................
1
C. RUMUSAN MASALAH ..........................................................................
2
D. KAJIAN TEORI ........................................................................................

2
BAB II PEMBAHASAN
A. DORONGAN SEJARAH FILSAFAT YUNANI TERHADAP
FILSAFAT PENDIDIKAN.......................................................................
3
B. PEMIKIRAN PADA MASA YUNANI KUNO......................................
4
C. PERKEMBANGAN FILSAFAT YUNANI .............................................
8

D. PENDAPAT PARA AHLI .......................................................................
18
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ........................................................................................
13
B. SARAN......................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teori belajar perilaku adalah upaya membentuk tingkah laku yang
diinginkan dengan menyediakan lingkungan, agar terjadi hubungan antara
lingkungan dengan tingkah laku pembelajar. Oleh karena itu teori belajar
perilaku disebut juga teori belajar behavioristik. Dalam kenyataannya tingkah
laku berhubungan erat dengan kebiasaan, meskipun keduanya memiliki
perbedaan.
Kebiasaan adalah satu proses kegiatan yang berulang – ulang. Kebiasaan
mengandung tiga unsur yang saling berkaitan. Pertama, unsur pengetahuan
yaitu pengetahuan yang bersifat toeritis mengenai sesuatu yang ingin
dikerjakan. Kedua, unsur keinginan yaitu adanya motivasi atau kevenderungan
untuk melakukan sesuatu. Ketiga, unsur keahlian maksudnya kemampuan

atau kesanggupan untuk melakukannya. Jika ketiga unsur tersebut berpadu
pada suatu perbuatan maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai
kebiasaan.
Tingkah laku atau perbuatan mempunyai pengertian yang luas, yaitu
tidak hanya mencakup kegiatan motorik saja seperti berbicara, berjalan, larilari, berolah raga bergerak dan lain-lain, akan tetapi juga mebahas macam –
macam fungsi seperti melihat, mendengar, mengingat, berfikir, pengenalan

kembali, penampilan emosi – emosi dalam bentuk menangis atau tersenyum
dan seterusnya. Sedangkan tingkah laku menurut Bimo Walgito adalah
aktivitas yang ada pada individu atau organisme yang tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang
mengenai organisme tersebut, tingkah laku atau aktivitas total merupakan
jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik?
2. Bagaimana Evolusi Teori Belajar Perilaku?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip Teori Belajar Perilaku?
4. Bagaimanakah Teori Belajar Sosial?
5. Apakah Kekuatan dan Kelemamahan Teori-teori Perilaku?
C. Tujuan Penuliasan
1. Mengetahui Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik.
2. Mengetahui Evolusi Teori Belajar Perilaku.
3. Mengetahui Prinsip-prinsip Teori Belajar Perilaku.
4. Mengetahui Teori Belajar Sosial.
5. Mengetahui Kekuatan dan Kelemamahan Teori-teori Perilaku.


6. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah “Teori-Teori Pendidikan”
Semester 4 STAIMA – Banjar, yang dibina oleh bapak Kemo Sidi
Siswoyo, M.Pd.

BAB II
PEMBAHASAN
Teori belajar perilaku adalah upaya membentuk tingkah laku yang
diinginkan dengan menyediakan lingkungan, agar terjadi hubungan antara
lingkungan dengan tingkah laku pembelajar. Oleh karena itu teori belajar perilaku
disebut juga teori belajar behavioristik. Dalam kenyataannya tingkah laku
berhubungan erat dengan kebiasaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan.
Kebiasaan adalah satu proses kegiatan yang berulang – ulang. Kebiasaan
mengandung tiga unsur yang saling berkaitan. Pertama, unsur pengetahuan yaitu
pengetahuan yang bersifat toeritis mengenai sesuatu yang ingin dikerjakan.
Kedua, unsur keinginan yaitu adanya motivasi atau kevenderungan untuk
melakukan sesuatu. Ketiga,

unsur

keahlian maksudnya kemampuan atau


kesanggupan untuk melakukannya. Jika ketiga unsur tersebut berpadu pada suatu
perbuatan maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebiasaan.
Tingkah laku atau perbuatan mempunyai pengertian yang luas, yaitu tidak
hanya mencakup kegiatan motorik saja seperti berbicara, berjalan, lari-lari,
berolah raga bergerak dan lain-lain, akan tetapi juga mebahas macam – macam
fungsi seperti melihat, mendengar, mengingat, berfikir, pengenalan kembali,
penampilan emosi – emosi

dalam bentuk menangis atau tersenyum dan

seterusnya. Sedangkan tingkah laku menurut Bimo Walgito adalah aktivitas yang
ada pada individu atau organisme yang tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang mengenai organisme
tersebut, tingkah laku atau aktivitas total merupakan jawaban atau respon terhadap
stimulus yang mengenainya.
Perbedaan antara kebiasaan dan tingkah laku yaitu perilaku berawal dari
kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang. Dimana suatu kegiatan yang dianggap
baik akan diakui bahkan dilakukan.
A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik

Menurut teori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain,
belajar

merupakan

bentuk

perubahan

yang

dialami

siswa

dalam

hal


kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum
dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun
sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia
belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Dalam contoh diatas,
stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar

perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara – cara tertentu, untuk membantu
belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang
terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus
dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja
yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori
ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang
penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah
faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat

timbulnya

respon.

Bila

penguatan

ditambahkan

(positive

reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan
dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya,
ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia
akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan
penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar.Bila tugas – tugas
dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka
pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam
belajar.Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan
(ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya
respons.
B. Evolusi Teori Belajar Perilaku
Studi secara ilmiah tentang belajar baru dimulai pada akhir abad ke-19.
Dengan menggunakan teknik-teknik dari sains (physical sciences), para ahli mulai
melakukan eksperimen – eksperimen untuk memahami bagaimana manusia dan
hewan belajar.
a. Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah
proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana

perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimeneksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat
terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya .Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker
bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran,
peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas
atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsanganrangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang
di inginkan.
Tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks
berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses
kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan
dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Sebagai contoh, bunyi bel di kelas
untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi
proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang
makanan (rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel
masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri
lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus
alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon
yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan
oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang
membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan

komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan
senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen
atau pujian.
Penerapan teori belajar Pavlov yang salah dalam suatu situasi
pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
b. Teori Belajar Menurut E.L. Thorndike : Hukum Perilaku
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal – hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan.
Dalam

sejumlah

eksperimen



eksperimennya,

Thorndike

menempatkan kucing – kucing dalam kotak – kotak.Dari kotak – kotak ini
kucing – kucing itu harus keluar untuk memperoleh makanan.Ia mengamati,
bahwa sesudah selang waktu kucing – kucing itu belajar bagaimana dapat
keluar dari kotak – kotak itu lebih cepat dengan mengulangi perilaku –
perilaku yang mengarah pada keluar, dan tidak mengulangi perilaku –
perilaku yang tidak efektif. Dari eksperimen – eksperimen ini, Thorndike
mengembangkan hukumnya, yang dikenal dengan Hukum Pengaruh atau
“Law of Effect”. Hukum Pengaruh Thorndike mengemukakan, bahwa
jikasuatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam

lingkungan kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situsi – situasi
yang mirip akan meningkat. Tetapi bila suatu perilaku diikuti oleh suatu
perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan –
kemungkinan bahwa perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi –
konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan
penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
c. Teori Belajar Menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah
Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah
laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain,
walaupun ia mengakui adanya perubahan – perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal – hal tersebut
sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa
perubahan – perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua
itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena
tidak dapat diamati.
Watson adalah behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu – ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empiric semata, yaitu sejauh dapat diamati dan
diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat
diramalkan perubahan – perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk
tidak memperhatikan hal – hal yang tidak diukur dan tidak dapat diamati,
seperti perubahan – perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun
demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
d. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi

Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori
Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
bermacam – macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori – teori demikian
tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner
memperkenalkan teorinya.Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam
berbagai eksperimen di laboratorium.
e. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.
Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan
kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark
dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon
cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara
stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon
yang muncul sifatnya sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka
diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon
tersebut.Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepatakan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun
setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya
penguatan (reinforcement) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi
dipentingkan dalam belajar.
f. Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep – konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep – konsep lain yang dikemukakan oleh para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih
komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan
menimbulkan

perubahan

tingkah

laku,

tidaklah

sesederhana

yang

digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mengatakan bahwa respon yang
diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, paad dasarnya stimulus
– stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan
interaksi antara stimulus – stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk
respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan
inipun akan mempunyai konsekuensi – konsekuensi. Konsekuensi –
konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi
pertimbnagan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah
laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan
antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai
akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan – perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat
yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para
guru dan pendidik.Namun dari semua pendukung teori ini, teori skinerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik.
Program – program pembelajaran yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respon (program pembelajaran yang menerapkan teori skinner) :
1. Teaching Machine
2. Pembelajaran Berprogram

3. Modul dan program pembelajaran lainnya.
Skinner dan tokoh – tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie
hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa
alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu ;
 Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
 Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
 Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal – hal lain yang kadangkala lebih
buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya pada apa yang disebut dengan penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada
bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan.Jika siswa
tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan.
Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong
siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat
negatif. Lawan dari penguat negatif

adalah penguat positif (positive

reinforcement).Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon.Namun bedanya

adalah bahwa penguat positif itu ditambahkan, sedangkan penguat negatif adalah
dikurangi agar memperkuat respons.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan
adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak
yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati.Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur – unsur yang
diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukkan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju
atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam
hidup ini yang mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak
sesederhana yang dilukiskan oleh teori behavioristik.
C. Prinsip-prinsip Teori Belajar Perilaku
Beberapa prinsip yang melandasi teori-teori perilaku antara lain :
konsekuensi-konsekuensi, kesegeraan (immediacy) konsekuensi-konsekuensi,
pembentukan (shaping).
1. Konsekuensi-konsekuensi
Prinsip yang paling penting dari teori-teori belajar perilaku ialah,
bahwa

perilaku

berubah

menurut

konsekuensi-konsekuensi

langsung.Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat”
perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan
“melemahkan” perilaku. Bila seekor tiukus yang lapar menerima butiran
makanan waktu ia menekan sebuah papan, tikus itu akan menekan papan itu

lebih kerap kali. Tetapi bila tikus itu menerima denyutan listrik, tikus itu
akan menekan papan itu makin berkurang, atau berhenti sama sekali.
Konsekuensi-konsekuensi
disebut

reinforser,

sedangkan

yang

menyenangkan

pada

konsekuensi-konsekuensi

umumnya
yang

tidak

menyenangkan disebut hukuman (punishers).
a. Reinforser-reinforser
Reinforser-reinforser dapat dibagi menjadi dua golongan: primer
dan sekunder. Reinforser primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia,

misalnya

makanan,

air,

keamanan,

kemesraan,

dan

seks.Reinforser sekunder merupakan reinforser yang memperoleh
nilainya setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser
lainnya yang sudah mantap. Uang baru mempunyai nilai bagi seorang
anak bila ia mengetahui, bahwa uang itu dapat digunakannya untuk
membeli makanan, misalnya. Angka-angka dalam rapor baru mempunyai
nilai bagi siswa, bila orang tuanya memberikan perhatian dan penilaian,
dan pujian orang tua mempunyai nilai sebab pujian itu terasosiasi dengan
kasih saying, kemesraan, dan reinforser-reinforser lainnya.Uang dan
angka rapor adalah contoh-contoh reinforser sekunder, sebab keduanya
tidak mempunyai nilai sendiri, melainkan baru mempunyai nilai setelah
diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser lainnya yang lebih
mantap.
Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu reinforsr sosial
(seperti pujian, senyuman, atau perhatian), reinforser aktivitas (seperti
pemberian

mainan,

permainan,

atau

kegiatan-kegiatan

yang

menyenangkan), dan reinforser simbolik (seperti uang, angka, bintang,
atau points yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya).
Kerap kali, yang digunakan di sekolah merupakan hal-hal yang
diberikan pada siswa-siswa.Reinforser-reinforser ini disebut reinforser
positif, dan berupa pujian, angka, dan bintang.Tetapi, ada kalanya untuk
memperkuat perilaku ialah dengan membuat konsekuensi perilaku

pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan, misalnya, seorang guru
dapat membebaskan para siswa dari pekerjaan rumah, jika mereka
berbuat baik dalam kelas.Jika pekerjaan rumah diangap siswa sebagai
suatu tugas yang tidak menyenangkan, maka bebas dari pekerjaan rumah
ini merupakan reinforser.Reinforser-reinforser yang berupa pelarian dari
situasi yang tidak menyenangkan disebut reinforser negative.
Suatu prinsip perilaku penting ialah, kegiatan yang kurang diingini
dapat ditingkatkan dengan menggabungkannya pada kegiatan-kegiatan
yang lebih disenangi atau diingini. Sebagai contoh misalnya, seorang
guru berkata pada muridnya “Jika kamu telah selesai mengerjakan soal
ini, kamu boleh keluar.” atau “Bersihkan dahulu mejamu, nanti Ibu
bacakan cerita.” Kedua contoh ini merupakan contoh-contoh dari suatu
prinsip yang dikenal dengan Prinsip Premack (Premack, 1965).
b. Hukuman (punisher)
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat perilaku disebut
hukuman.Para teoriwan perilaku berbeda pendapat mengenai hukuman
ini.Ada yang berpendapat, bahwa hukuman itu hanya temporer, bahwa
hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi.Ada pula teoriwanteoriwan yang tidak setuju dengan pemberian hukuman. Pada umumnya
mereka setuju bahwa hukuman itu hendaknya digunakan, bila
reinforsemen telah dicoba dan gagal, dan bahwa hukuman diberikan
dalam bentuk selunak mungkin, dan hukuman hendaknya selalu
digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti, tidak
dilakukan karena frustasi.
2. Kesegeraan (immediacy) konsekuensi-konsekuensi
Salah satu prinsip dalam teori belajar perilaku ialah, bahwa
konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih
mempengaruhi perilaku dari pada konsekuensi-konsekuensi yang lambat
datangnya.

Prinsip kesegeraan konsekuensi-konsekuensi ini penting artinya dalam
kelas.Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan
segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik, dapat
merupakan suatu reinforser yang lebih kuat dari pada angka yang diberikan
kemudian.
3. Pembentukan (shaping)
Selain kesegeraan dari reinforsemen, apa yang akan diberi
reinforsemen juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila guru
membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan
reinforsemen pada langkah-langkah yang menuju pada keberhasilan, maka
guru itu menggunakan teknik yang disebut pembentukan.
Istilah pembentukan atau “shaping” digunakan dalam teori-teori
belajar perilaku dalam mengajarkan keterampilan-keterampilan baru atau
perilaku-perilaku dengan memberikan reinforsemen pada para siswa dalam
mendekati perilaku akhir yang diinginkan.
Ringkasan dari langkah-langkah dalam pembentukan perilaku baru adalah
sebagai berikut:
Pilihlah tujuan – buat tujuan itu sekhusus mungkin.
Tentukan sampai di mana siswa-siswa itu sekarang. Apakah kemampuankemampuan mereka?
Kembangkan satu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang
untuk membawa mereka dari keadaan mereka sekarang ke tujuan yang telah
ditetapkan.
Berilah umpan balik selama pelajaran berlangsung.
D. Teori Belajar Sosial
Teori belajar social merupakan perluasan teori belajar perilaku yang
tradisional.Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini
menerima sebagian besar prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih
banyak

penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental

internal.dalam teori belajar social akan menggunakan penjelasan reinforcement
eksternal dan belajar kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar
denan orang lain. Melalui observasi tentang dunia social kita, melalui interpretasi
kognitif dari dunia itu, banyak sekali informasi dan penampilam keahlian yang
kompleks dapat dipelajari.
Dalam pandangan belajar social, “manusia itu tidak didorong oleh kekuatankekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus
lingkungan.Namun, fungsi psikologis diterangkan sebagai interaksi yang kontinu
dan timbal balik dari determinan lingkungan” (Bandura, 1977:11-12).
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang
dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap kali
dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya.Suatu perspektif belajar
sosial menganalisis hubungan kontinu antara variable-variabel lingkungan, ciriciri pribadi, dan perilaku terbuka dan tertutup seseorang.
Konsep-konsep utama teori belajar sosial
1. Pemodelan (Modelling)
Fenomena pemodelan yaitu meniru perilaku orang lain dan pengalaman
“vicarious” yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Bandura
merasa bahwa sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk
dari konsekuensi-konsekuensi melainkan manusia itu belajar dari suatu
model.Misalnya, guru olahraga mendemonstrasikan loncat tinggi, kemudian
para siswa menirunya. Bandura menyebut ini “no-trial learning” sebab para
siswa tidak harus melalui proses pembentukan, tetapi dapat

segera

menghasilkan respons yang benar.
2. Fase belajar
Menurut Bandura (1977), ada empat fase belajar dari model, yaitu fase
perhatian, retensi, reproduksi dan motivasi.
 Fase Perhatian
Pada umumnya para siswa memberikan perhatian pada model-model
yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan popular.Inilah sebabnya

mengapa banyak siswa meniru pakaian, tata rambut dan sikap-sikap para
bintang film, misalnya.

 Fase Retensi
Belajar observasional terjadi berdasarkan kontiguitas.Dua kejadian
contiguous yang diperlukan ialah perhatian pada penampilan model dan
penyajian

simbolik

dari

penampilan

itu

dalam

memori

jangka

panjang.Bandura mengemukakan bahwa peranan kata-kata, nama-nama,
atau bayangan yang kuat yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang
dimodelkan dalam mempelajari dan mengingat perilaku sangatlah penting.
Pengulangan tidak selalu harus terbuka.Pengulangan tertutup dari
perilaku yang dipelajari melalui belajar observasional kerap kali dilakukan
oleh para mahasiswa calon guru yang mempersiapkan pelajaran mereka
yang pertama.
Dari guru pamong, mahasiswa sebagai calon guru belajar bagaimana
berdiri di muka kelas, bagaimana memberikan pelajaran pendahuluan,
menuliskan konsep atau kata-kata baru di papan tulis, memberikan giliran
pada siswa-siswa, memberikan rangkuman, dan lain sebagainya.sebelum
mahasiswa

itu

memberikan

pelajarannya,

dalam

pikirannya

ia

membayangkan persiapan yang telah dibuatnya. Pengulangan tertutup
semacam ini menolong mahasiswa itu mengingat unsur-unsur pokok pola
perilaku

yang

harus

dikuasai.Pengulangan

tertutup

ini

menolong

terbentuknya kesesuaian antara perilaku mahasiswa itu dan perilaku model.
 Fase Reproduksi
Dalam fase ini bayangan atau kode-kode simbolik verbal dalam
memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru
diperoleh.Fase reproduksi mengizinkan model atau instruktur untuk melihat
apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh yang
belajar.Ada kalanya hanya sebagian dari suatu urutan perilaku yang diberi

kode yang benar dan dimiliki.Misalnya, seorang guru mungkin menemukan
bahwa

setelah

memodelkan

prosedur-prosedur

untuk

memecahkan

persamaan kuadrat, beberapa siswa hanya dapat memecahkan sebagian dari
persamaan

itu.Mereka

menguasai

seluruh

mungkin

urutan

untuk

membutuhkan
memecahkan

pertolongan

dalam

persamaan

kuadrat

itu.Kekurangan penampilan hanya dapat diketahui bila siswa-siswa diminta
untuk menampilkan.Itulah sebabnya fase reproduksi diperlukan.
 Fase Motivasi
Para siswa akan meniru suatu model sebab mereka merasa bahwa
dengan berbuat demikian, mereka akan meningkatkan kemungkinan untuk
memperoleh reinforcement.
Dalam kelas, fase motivasi belajar observasional kerap kali terdiri atas
pujian atau angka untuk penyesuaian dengan model guru. Para siswa
memperhatikan model itu, melakukan latihan dan menampilkannya sebab
mereka mengetahui bahwa inilah yang dikuasai guru dan menyenangkan
guru.
3. Belajar Vicariuos
Guru-guru

dalam

kelas

selalu

menggunakan

prinsip

belajar

vicarious.Bila seorang murid berkelakuan baik dan memuji mereka karena
pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal melihat bahwa bekerja
memperoleh reinforcement sehingga ia pun kembali bekerja.
4. Pengaturan Sendiri
Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,
mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri,
kemudian memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.
Respons-respons

kognitif

kita

terhadap

perilaku

kita

sendiri

mengizinkan kita untuk mengatur perilaku kita sendiri.Dengan mengamati,
kita mengumpulkan data tentang respons-respons kita. Melalui standarstandar panampilan yang sudah terinternalisasi, kerap kali dipelajari melalui

observasi , kita pertimbangkan perilaku kita. Dengan memberi hadiah atau
menghukum kita sendiri, kita dapat mengendalikan perilaku kita secara
efektif.Kita tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan lingkungan atau keinginan
yang dating dari dalam.Kita dapat belajar menjadi manusia social yang
berkepribadian.Dengan menerapkan gagasan-gagasan dari teori belajar social
pada diri kita sendiri, kita dapat menjadi guru dan siswa yang lebih baik.
E. Kekuatan dan Kelemahan Teori-teori Perilaku
Telah diuraikan beberapa teori-teori perilaku. Sebagaimana setiap teori tidak
akan pernah sempurna demikian halnya dengan teori-teori peilaku. Di samping
kekuatan-kekuatannya ada pula kelemah-kelemahannya.
Prinsip-prinsip yang melandasi teori-teori perilaku kedudukannya kuat
dalam psikologi, dan hal ini telah ditunjukkan dalam berbagai situasi.Prinsipprinsip ini berguna untuk menjelaskan sebagian besar dari perilaku manusia dan
bahkan lebih berguna dalam mengubah perilaku.
Proses-proses belajar yang kurang tampak, seperti pembentukan konsep,
belajar dari buku, pemecahan masalah, dan berfikir, sukar untuk diamati secara
langsung sehingga kurang diteliti oleh para teoretikus perilaku. Proses – proses ini
termasuk ke dalam domain belajar kognitif.
Teori-teori belajar perilaku dan kognitif kerap kali dikemukakan sebagai
model-model yang bersaing dan bertentangan.Sebenarnya lebih baik melihat
kedua macam teori ini sebagai teori-teori yang menanggapi masalah-masalah yang
berbeda, jadi lebih bersifat komplimenter dari pada bersaing.
Teori belajar perilaku ini sangat cocok dalam pemerolehan kemampuan
yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan
spontanitas,

kelenturan daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok

diterapkan untuk melatih anak – anak yang masih membutuhkan peran orang tua.
Namun, penting untuk diketahui bahwa ruang lingkup teori belajar perilaku
terbatas. Dengan pengecualian teoritikus – teoritikus sosial, para teoritikus belajar
perilaku terutama memusatkan pada perilaku yang tampak. Pandangan teori
belajar perilaku ini hanya mengakui adanya stimulus-respon yang dapat diamati.

Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur – unsur yang diamati tersebut. Menurut pandangan teori
belajar peilaku, siswa dipandang sebagai pembelajar yang pasif dan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas untuk siswa dalam mengembangkan potensi
dirinya.
Kekurangan teori belajar ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada
guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif,
murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai
sentral dan bersifat otoriter. Teori belajar ini juga cenderung mengarahkan siswa
untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan produktif. Pandangan teori ini
bahwa belajar merupakan proses pembentukkan atau shaping, yaitu membawa
siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik
untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori belajar perilaku adalah upaya membentuk tingkah laku yang
diinginkan dengan menyediakan lingkungan, agar terjadi hubungan antara
lingkungan dengan tingkah laku pembelajar. Oleh karena itu teori belajar
perilaku disebut juga teori belajar behavioristik. Dalam kenyataannya tingkah
laku berhubungan erat dengan kebiasaan, meskipun keduanya memiliki
perbedaan.
Kebiasaan adalah satu proses kegiatan yang berulang – ulang.
Kebiasaan mengandung tiga unsur yang saling berkaitan. Pertama, unsur
pengetahuan yaitu pengetahuan yang bersifat toeritis mengenai sesuatu yang
ingin dikerjakan. Kedua, unsur keinginan yaitu adanya motivasi atau
kevenderungan untuk melakukan sesuatu. Ketiga, unsur keahlian maksudnya
kemampuan atau kesanggupan untuk melakukannya. Jika ketiga unsur
tersebut berpadu pada suatu perbuatan maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai kebiasaan.
Tingkah laku atau perbuatan mempunyai pengertian yang luas, yaitu
tidak hanya mencakup kegiatan motorik saja seperti berbicara, berjalan, larilari, berolah raga bergerak dan lain-lain, akan tetapi juga mebahas macam –
macam fungsi seperti melihat, mendengar, mengingat, berfikir, pengenalan
kembali, penampilan emosi – emosi dalam bentuk menangis atau tersenyum
dan seterusnya.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Tentunya masih banyak kekurangan
yang perlu diperbaiki. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya konstruktif
sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah berikutnya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Muzairi, M.Ag, Filsafat Umum, (Yogjakarta: Teras, 2009).
I.R.Poedjawijatna,Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta : PT
PEMBANGUNAN,1980).
Adib, Muhammad, FILSAFAT ILMU ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN
LOGIKA ILMU PENGETAHUAN, (Yogyakarta:PUSTAKA PELAJAR, 2010).
http://hepimakassar.wordpress.com/2011/11/07/
http://power-phylosophy.blogspot.com/2012/10/