Menggugat Hadis Misogini Pembacaan atas

Menggugat Hadis Misogini (Pembacaan atas Buku “Perempuan di lembaran Suci:
Kritik atas Hadis-hadis Sahih” karya Ahmad Fudhaili)
Oleh: Ali Thaufan DS
Upaya memahami pesan agama baik yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis terus
dilakukan sarjana muslim. Hal ini merupakan tuntutan zaman dan kemajuan teknologi yang
berkembang begitu cepat. Pada saat bersamaan, sarjana muslim berupaya mendobrak
pemahaman “kaku” ulama klasik dalam memahami al-Qur’an dan Hadis. Demikian, apa
yang dilakukan Ahmad Fudhaili dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadishadis Sahih”. Melalui kritik matn, ia mengkritik pandangan dan pemahaman misogini hadis
Nabi.
Term “hadis misogini” menjadi kajian yang menarik bagi pengiat hadis dan juga kalangan
“Muslim feminis”. Secara bahasa, misogini dipahami sebagai pandangan “sebelah mata”
terhadap perempuan. Dengan demikian, hadis misogini yang dimaksud oleh Fudhaili adalah
semua perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan Nabi yang dan mempunyai
konotasi pemahaman kebencian pada perempuan. Misonigi yang dimaksud Fudhaili
bukanlah kebencian Nabi terhadap perempuan, mengingat hal itu tidak mungkin dilakukan
seorang Nabi. Hanya saja, pemahaman yang tidak utuh seseorang terhadap hadis Nabi
menyebabkan “salah kaprah” sehingga memunculkan stereotip bahwa Nabi membenci
perempuan. Ironisnya, hal ini “diamini” oleh sebagian kalangan umat Islam sendiri. Sehingga
perempuan dianggapnya selalu berada dibawah laki-laki.
Dalam sejarah panjang dunia ini, misogini lahir dari mitologi-mitologi agama. Khususnya
berkaitan dengan penciptaan. Hampir semua agama sebelum Islam datang, pesan

pendeskritan perempuan ditemukan dalam kitab suci agama mereka. Sebagai contoh pada
tradisi agama Majusi, penciptaan laki-laki mendahului perempuan. Setelah perempuan
diciptakan, ia hanya dianggap sebagai “pemuas” laki-laki. Seperti halnya Majusi, agama
Zoroaster pun demikian. Dalam pandangan keagamaannya, perempuan diibaratkan sebagai
ladang. Siapa saja bisa menanam didalamnya. Perempuan disewakan pada laki-laki lain
sekalipun mereka telah bersuami. Bagi mereka, hal demikian adalah bentuk solidaritas.
Demikian juga dalam pandangan Kristen yang merendahkan posisi perempuan. Agama
tersebut menyampaikan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Selain pandangan keagamaan, terdapat beberapa orang yang memiliki pandangan bahwa
perempuan hanya sebagai “penggoda” laki-laki. Diantara adalah Agustine, Origen dan
Tertullian. Ketiga tokoh tersebut secara senonoh menganggap perempuan sebagai makhluk
rendah tidak punya harga diri. Perempuan kerap disamakan dengan barang kepemilikan.
Bahkan, Tertullian menganggap perempuan sebagai aktor diturunkannya Adam dari surga.
Hal ini lantaran Hawa menggoda Adam untuk memakan buah terlarang di Surga. Sehingga
Adam mendapat hukuman.
Dalam bukunya, Fudhaili menyajikan beberapa hadis yang bernada misogini. Hadis tersebut
secara harfiah dianggap menyudutkan perempuan, seperti: kaum perempuan dianggap
sebagai ahli neraka; perempuan sebagai penyebab putusnya salat; perempuan pembawa
kesialan; penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok; perempuan
dilarang menjadi pemimpin; serta perempuan sebagai pelayan suaminya. Tentu saja,

penyudutan perempuan seperti tersebut diatas adalah fakta mencengangkan bagi aktivis
feminisme. Terlebih hal itu berdasarkan hadis Nabi. Jika hadis tersebut hanya dipahami
secara tekstual, maka akan muncul pandangan bahwa Islam sebagai agama yang
mendiskritkan perempuan.
Fudhaili menggunakan kritik matn hadis dan pendekatan hermeneutik dalam membaca
ulang hadis-hadis yang secara teks bernada menyudutkan perempuan. Upaya yang
dilakukan oleh Fudhaili terbilang cukup berani karena kitab yang menjadi objek

penelitiannya adalah Sahih Bukhari. Seperti diketahui, kitab tersebut dianggap paling
otoritatif di bidang hadis.
Sebagai contoh, dalam menanggapi hadis yang secara teks bernada bahwa perempuan
adalah ahli neraka, Fudhaili memberi jawaban yang jelas sesuai konteks. Riwayat hadis
tersebut menceritakan saat Nabi hendak pergi salat idul fitri, Nabi melewati tempat para
perempuan berkumpul. Nabi lalu berkata “Wahai perempuan, bersedekahlah, sesungguhnya
aku diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka”. Saat perempuan balik
bertanya terkait apa yang menyebabkannya masuk neraka, Nabi berkata “Kalian banyak
melaknat dan mengingkari kebaikan suami”.
Menurut Fudhaili, hadis tersebut tidak dimaksudnya merendahkan perempuan sebagai
makhluk Tuhan. Nabi memberi pelajaran dan peringatan pada perempuan yang pada saat
itu mulai berani melawan suami. Konteks hadis tersebut adalah saat perempuan kalangan

Muhajirin mulai berani terhadap suaminya. Umar ibn Khattab sempat “gerang” dibuat ulah
perempuan saat itu. Bahkan Nabi sendiri juga mengalami, namun Nabi mentolelir sikap istriistrinya tersebut. Peristiwa itu adalah buah dari pergaulan perempuan dari kalangan
Muhajirin dengan Ansor. Fudhaili menyatakan bahwa hadis tersebut bersifat temporal,
sesuai pada saat hadis tersebut diucapkan Nabi.
Contoh lain dari hadis bernada misogini adalah hadis yang menyebutkan bahwa penyebab
terputusnya salat adalah, Anjing, himar dan perempuan. Secara tekstual, hadis ini tentu saja
menyudutkan perempuan karena dianggap sebagai biang terputusnya salat. Dalam melihat
hadis tersebut, Fudhaili menampilkan hadis-hadis lain yang saling berkaitan. Ia
menggunakan metode tarjih dan takwil. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa hadis
yang dimaksud bukankah memutuskan atau membatalkan salat, tetapi mengurangi
kekhusu’an salat.
Selain hadis diatas, Fudhaili juga mengkritisi hadis yang secara teks melarang
kepemimpinan perempuan. Ia menampilkan secara utuh serta penjelasan setting historis
(asbab wurud al-hadis). Bahwa hadis tersebut adalah informasi dan sumpah Nabi pada
Kisra yang telah merobek-robek surat dari Nabi. Ketika Nabi mendengar bahwa Kisra
tersebut dalam kekalutan sehingga mengakat putrinya sebagai raja, Nabi pun mengatakan
bahwa akan ada kehancuran bangsa yang dipimpin perempuan. Mengabaikan
kepemimpinan perempuan tentu tidak sejalan dengan misi al-Qur’an yang sangat egaliter.
Bagi Fudhaili, istilah “hadis misogini” sebetulnya tidak ada. Tetapi ia tidak menafikan
pandangan dan pemahaman misogini dalam hadis. Hal ini sangat berkaitan dari cara

pandang seseorang dalam melihat hadis. Secara tegas Fudhaili mengkritik pandangan
Fatimah Mernisi yang terlampau “sinis” terhadap hadis yang dinilainya misogini. Bahkan ia
menyayangkan Imam Bukhari yang membukukan hadis-hadis bernada misogini.
Menurutnya, hadis-hadis misogini harus dihilangkan dari literatur Islam. Kritik terhadap
Fatimah Mernisi inilah yang menurut penulis sebagai kelebihan isi buku Fudhaili.
Dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih”, Fudhaili telah
menampilkan upaya kesetaraan gender berlandaskan pada nash-nash hadis. Ia
menampilkan hadis yang terkesan misogini dengan memberi penjelasan fakta sejarah, dalil
al-Qur’an dan mengkomparasikan dengan matn hadis lainnya. Atas penjelasannya, ia
mengantarkan pembaca pada pemahaman hadis secara utuh. Menghindarkan pada
anggapan Islam sebagai agama yang menyudutkan perempuan. Dikalangan akademisi,
buku ini menjadi pelengkap “Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an” karya
Nasaruddin Umar. Bagi penulis, buku Fudhaili telah memberi sumbangan pada upaya
kesetaraan gender. Ia menjunjung posisi perempuan.