MANAJEMEN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR PA

MAKALAH

MANAJEMEN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR
PASCA BENCANA ALAM

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Disaster
Dosen Pengampu : DR. Dr. Budi Laksono, M. Sc

Oleh :
Eka Oktaviarini
NIM 30000316410006

PROGRAM STUDI MAGISTER EPIDEMIOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................3
C. Tujuan ...............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana .................................... 4
B. Perencanaan Dalam Penanggulanan Bencana ................................................. 11
C. Manajemen Penyakit Menular Spesifik ........................................................... 14
1. ISPA ............................................................................................................. 15
2. Campak ........................................................................................................ 15
3. Malaria ......................................................................................................... 16
4. Diare ............................................................................................................. 16
5. Hepatitis ........................................................................................................ 17
6. Demam tifoid ................................................................................................ 17
7. Tuberkulosis ................................................................................................. 18
8. Infeksi cacing ................................................................................................ 18
9. Leptospirosis ................................................................................................. 19
10. Tetanus ........................................................................................................ 19
D. Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana ............................. 20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 29
B. Saran ................................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Penanggulangan Bencana .........................................................4
Gambar 2. Koordinasi Penanggulangann Bencana Bidang Kesehatan .................10
Gambar 3. Peta Lokasi PPK Regional ...................................................................11

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Permasalahan Spesifik Bencana .............................................................. 12
Tabel 2. Jenis Bencana dan Potensi Penyakit ........................................................ 13
Tabel 3. Penyakit Menular Potensial Pasca Bencana ............................................ 13
Tabel 4. Manajemen Penyakit Menular Spesifik .................................................. 15
Tabel 5. Koordinasi dan Pembagian Wewenang Pasca Bencana .......................... 21
Tabel 6. Upaya Tahapan Pasca Bencana ............................................................... 27


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa yg terjadi secara mendadak atau perlahan
yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal sehingga
diperlukan tindakan darurat untuk menyelamatkan korban manusia beserta
lingkungannya. Bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non
alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.
Secara geografis Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan
terhadap bencana alam seperti gempa bumi, gelombang tsunami, letusan
gunung, dll, karena terletak pada titik pertemuan dari tiga lempengan besar
yaitu lempeng Eurasian, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Selain
itu, terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A,
Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang‐kurangnya
satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api
tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus
sedangkan tipe C adalah gunung api yang masih di indikasikan sebagai

gunung api aktif. Serta terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang
30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi
terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada saat musim
penghujan.
Selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana yang merupakan
sebuah rekor baru tertinggi dalam pencatatan kejadian bencana sejak tahun
2002. Sebagai perbandingan pada tahun 2016 (2.342 bencana), 2015 (1.732
bencana), 2014 (1.967 bencana), 2013 (1.674 bencana), 2012 (1.811).
Dibandingkan dengan kejadian bencana tahun 2015 terjadi peningkatan 35
persen.

Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat yang sebenarnya diawali oleh masalah
lumpuhnya pelayanan kesehatan, masalah ketersediaan air bersih, masalah
sanitasi lingkungan, penyakit menular dan stres/gangguan kejiwaan. Dampak
buruk akibat bencana antara lain: penyakit menular, kurangnya air bersih,
kesulitan makanan dan gangguan gizi serta gangguan kesehatan mental.
Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis bencananya.
Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian
besar, mengingat potensi munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah

penyakit menular. Pada umumnya penyakit menular timbul satu minggu
setelah bencana terjadi sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang
memungkinkan terjadinya penularan pada saat dan atau pasca bencana baik di
pengungsian maupun pada masyarakat. Penyakit yang paling utama adalah
campak, diare, dan ISPA tetapi malaria, tifoid dan tipus juga banyak
ditemukan di beberapa wilayah.
Penyakit menular baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
malnutrisi dianggap sebagai penyebab utama kematian pada keadaan darurat
bencana. Persediaan pangan yang tidak mencukupi merupakan awal dari
proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang
akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi
seseorang. Kaitan erat antara penyakit infeksi dengan malnutrisi adalah
masyarakat yang mengalami malnutrisi lebih rentan terhadap infeksi sehingga
tingkat keparahan penyakit dan kematiannya lebih buruk.
Kompleksitas dari permasalahan penyakit menular pasca bencana
tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam
penanggulangannya yang harus segera diberikan baik saat terjadi dan pasca
bencana disertai pengungsian. Faktor-faktor yang meningkatkan penularan
penyakit berinteraksi sinergis sehingga meningkatkan angka kejadian
diare, ISPA, malaria dan campak. Peningkatan kesakitan dan kematian ini

dapat dihindari jika ada intervensi efektif. Pengungsian, air, makanan dan
sanitasi yang memadai berhubungan dengan manajeman kasus yang efektif,

imunisasi, pendidikan kesehatan, dan surveilans penyakit sangat penting untuk
dilakukan.
Oleh karenanya di dalam pencegahan penyakit menular pasca bencana
harus mempunyai suatu pemahaman permasalahan dan penyelesaian secara
menyeluruh. Cara berfikir dan bertindak tidak bisa lagi secara sektoral, harus
terkoordinir secara baik dengan lintas sektor dan lintas program sehingga
dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu supaya tidak terjadi tumpang
tindih.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar manajemen penanggulangan bencana ?
2. Bagaimana permasalahan kesehatan pasca bencana ?
3. Bagaimana manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana ?
4. Bagaimana manajemen pencegahan penyakit menular spesifik pasca
bencana ?

C. Tujuan

1. Menjelaskan konsep dasar manajemen penanggulangan bencana.
2. Menjelaskan permasalahan kesehatan pasca bencana.
3. Menjelaskan manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana.
4. Menjelaskan manajemen pencegahan penyakit menular spesifik pasca
bencana.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana
Manajemen penanggulangan bencana adalah pengelolaan penggunaan
sumber daya yang ada untuk menghadapi ancaman bencana dengan
melakukan perencanaan, penyiapan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi di
setiap tahap penanggulangan bencana yaitu pra, saat dan pasca bencana. Pada
manajemen penanggulangan bencana nyawa dan kesehatan masyarakat
merupakan masalah yang utama. Itulah yang menjadi pembeda dengan sifat
umum manajemen. Selain itu, waktu untuk bereaksi yang sangat singkat
disertai dengan risiko dan konsekuensi kesalahan atau penundaan keputusan
dapat berakibat fatal. Situasi dan kondisi yang tidak pasti, informasi yang
selalu berubah dan stres yang tinggi pada petugas juga merupakan kekhasan

manajemen penanggulangan bencana.
Pada dasarnya, upaya penanggulangan bencana meliputi tiga tahapan,
yakni tahap pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Setiap tahapan
tersebut dapat digambarkan dalam suatu siklus seperti berikut :

Gambar 1. Siklus Penanggulangan Bencana

1. Tahap pra bencana, terdiri atas situasi tidak terjadi bencana dengan
kegiatannya adalah pencegahan dan mitigasi; dan situasi potensi terjadi
bencana dengan kegiatannya adalah kesiapsiagaan.

a. Pencegahan dan mitigasi
Kegiatan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana dan
mengurangi risiko dampak bencana. Upaya yang dilakukan antara lain :
1) Penyusunan kebijakan, peraturan perundangan, pedoman dan
standar;
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah kesehatan
3) Pembuatan brosur/leaflet/poster
4) Analisis risiko bencana
5) Pembentukan tim penanggulangan bencana

6) Pelatihan dasar kebencanaan
7) Membangun sistem penanggulangan krisis kesehatan berbasi
masyarakat
b. Kesiapsiagaan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bencana yang dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan
terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
1) Penyusunan rencana kontijensi
2) Simulasi/ gladi/ pelatihan siaga
3) Penyiapan dukungan sumber daya
4) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi
2. Tahap saat bencana dengan kegiatannya adalah tanggap darurat dan
pemulihan darurat yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan. Upaya yang dilakukan antara lain :
a. Penilaian cepat kesehatan (Rapid Health Assessment/ RHA)
b. Pertolongan pertama korban bencana alam dan evakuasi ke sarana
kesehatan
c. Pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan
d. Perlindungan terhadap kelompok risiko tinggi kesehatan
3. Tahap pasca bencana dengan kegiatannya adalah rehabilitasi dan

rekonstruksi. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi daerah
yang terkena bencana ke kondisi normal yang lebih baik. Rekonstruksi

bertujuan untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak
akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Upaya yang dilakukan
antara lain :
a. Perbaikan lingkungan dan sanitasi
b. Perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan
c. Pemulihan psiko-sosial
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB:
2008)

secara

garis

besar

proses


penyusunan/penulisan

rencana

penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan dan pengkajian bencana.
2. Pengenalan kerentanan.
3. Analisi kemungkinan dampak bencana.
4. Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
5. Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
6. Alokasi tugas dan peran instansi.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa langkah pertama adalah
pengenalan

bahaya/

ancaman

bencana

yang

mengancam

wilayah

tersebut.Kemudian bahaya / ancaman tersebut di buat daftar dan di disusun
langkah-langkah / kegiatan untuk penangulangannya.Sebagai prinsip dasar
dalam melakukan Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana ini adalah
menerapkan paradigma pengelolaan risiko bencana secara holistik.Pada
hakekatnya bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari
kehidupan. Pandangan ini memberikan arahan bahwa bencana harus dikelola
secara menyeluruh sejak sebelum, pada saat dan setelah kejadian bencana.
Dalam Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana, tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.
1. Tingkat Pusat

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan
Lembaga Pemerintah Non-departemen setingkat menteri yang memiliki
fungsi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta
efektif dan

efisien;

dan

pengoordinasikan

pelaksanaan

kegiatan

penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai
tugas sebagai berikut :
a. Memberikan

pedoman

penanggulangan

bencana

dan

pengarahan

yang

mencakup

terhadap

usaha

pencegahan bencana,

penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil
dan setara;
b. Menetapkan

standardisasi

dan

kebutuhan penyelenggaraan

penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. Melaporkan

penyelenggaraan

penanggulangan

bencana kepada

Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada
setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. Menggunakan

dan

mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan

nasional dan internasional;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundangundangan; dan
h. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
Tugas
merumuskan

dan

kewenangan

kebijakan,

Kementerian

memberikan

standar

Kesehatan
dan

adalah

arahan serta

mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik
dalam

tahap

sebelum,

saat

maupun setelah terjadinya. Dalam

pelaksanaannya dapat melibatkan instansi

terkait

baik

Pemerintah

maupun non Pemerintah, LSM, Lembaga Internasional, organisasi
profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Selain itu Kementerian Kesehatan secara
aktif membantu mengkoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan
oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain.
2. Tingkat Daerah
Badan

Penanggulangan

Bencana

Daerah

(BPBD)

adalah

perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.

BPBD terdiri

dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan Unsur
Pelaksana Penanggulangan Bencana.
a. BPBD mempunyai fungsi :
1) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif dan efisien.
2) Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. BPBD mempunyai tugas :
1) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan
bencana

yang

mencakup

pencegahan bencana,

penanganan

darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.
2) Menetapkan

standardisasi

penanggulangan

bencana

serta

kebutuhan penyelenggaraan

berdasarkan

Peraturan

Perundang-

menginformasikan

peta rawan

undangan.
3) Menyusun,

menetapkan,

dan

bencana.
4) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
5) Melaksanakan
wilayahnya.

penyelenggaraan

penanggulangan bencana pada

6) Melaporkan penyelenggaraan

penanggulangan

bencana kepada

kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana.
7) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
8) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundangundangan.
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai salah satu
anggota unsur pengarah penanggulangan bencana memiliki tanggung
jawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana dibantu oleh unit
teknis kesehatan yang ada di lingkup provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan
dinas kesehatan dikoordinasikan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala
Dinas Kesehatan dengan surat keputusan.
Tugas

dan

kewenangan

kabupaten/kota adalah

dinas

melaksanakan dan

kesehatan

provinsi

menjabarkan

dan

kebijakan,

memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan kegiatan
penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya.
Bila terjadi suatu bencana di daerah yang harus melakukan
penilaian kesehatan secara cepat adalah tim yang terdiri atas Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Puskesmas. Bilamana kejadian bencana
mengakibatkan masalah kesehatan yang tidak dapat ditanggulangi oleh
jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maka tim provinsi dan atau tim
pusat melakukan penilaian cepat masalah kesehatan.
Tim penilaian kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat
terdiri atas unsur medis, epidemiolog dan sanitarian yang memiliki
kemampuan analisis yang baik di bidangnya, memiliki motivasi dan
loyalityas yang tinggi serta dapat bekerja sama dengan daerah yang
terkena bencana.

Gambar 2. Koordinasi Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

Kementerian Kesehatan dalam hal ini membentuk 9 Pusat Penanganan
Krisis Kesehatan (PPK) Regional yang berperan untuk mempercepat dan
mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dimana masing-masing telah
dilengkapi dengan SDM kesehatan yang terlatih, sarana, bahan, obat dan
perlengkapan kesehatan lainnya.

Gambar 3. Peta Lokasi PPK Regional

Selain itu, Kementerian Kesehatan juga memiliki unit pelaksana teknis
(UPT) di daerah yakni Kantor Keehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis
Kesehatan Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL) serta
Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda).
KKP berperan dalam memfasilitasi penanganan keluar masuknya
bantuan sumber daya kesehatan melalui pelabuhan laut/udara dan daerah
perbatasan serta karantina kesehatan. BTKL berperan dalam penguatan sistem
kewaspadaan dini dan rujukan laboratorium.

B. Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana
Morbiditas yang terjadi pasca bencana oleh karena rusaknya kondisi
lingkungan, pelayanan kesehatan dan kepadatan pengungsian adalah
timbulnya penyakit baik penyakit infeksi maupun non infeksi. Penyakit non
infeksi yang timbul misalnya cedera fisik (patah tulang) dan penyakit
degeneratif (jantung, hipertensi, stroke). Sedangkan penyakit infeksi anatar
lain penyakit infeksi segera pasca trauma (luka, sepsis), penyakit menular
langsung dan penyakit menular tidak langsung (airborne, waterborne,
foodborne, vectorborne).

Faktor risiko pasca bencana antara lain :
1. Korban baik yang meninggal, luka maupun sakit
2. Pengungsi dengan risiko tinggi yakni balita, ibu hamil dan lanjut usia
3. Jumlah pengungsi dengan ruangan yang terbatas sehingga terjadi
kepadatan di tempat pengungsian yang rentan akan penularan penyakit
4. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular
5. Kerusakan lingkungan dan pencemaran yang bisa menjadi tempat
perindukan vektor
6. Keterbatasan air bersih baik secara kuantitas maupun kuantitas
7. Kesulitan makanan dan gangguan gizi
8. Ancaman kesehatan tertentu disebabkan ketiadaan immunitas (Cakupan
imunisasi yang rendah)

9. Kondisi pelayanan kesehatan yang terhenti karena rusaknya infrastruktur
Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian
besar, mengingat potensi munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah
penyakit menular. Pada umumnya penyakit menular timbul satu minggu
setelah bencana terjadi sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang
memungkinkan terjadinya penularan pada saat dan atau pasca bencana.
Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis bencananya.
Tabel 1. Permasalahan Spesifik Bencana
Jenis Bencana
Gempa bumi

-

Erupsi gunung api

-

Permasalahan Spesifik
Memerlukan evakuasi dan tindakan medis
segera
Kesukaran akses dan mobilisasi
Debu
vulkanik
menyebabkan
masalah
pernapasan dan mencemari sumber air
Dapat terjadi kasus luka bakar
Memerlukan evakuasi dan tindakan medis

Tsunami

-

Waktu evakuasi yang sangat singkat
Memerlukan evakuasi dan tindakan medis
segera

Angin siklon tropis

-

Memerlukan evakuasi dan tindakan medis

Banjir

-

Dapat mengakibatkan masalah
masyarakat
Biasanya memerlukan evakuasi

Tanah longsor

-

kesehatan

Memerlukan evakuasi dan tindakan medis
segera
Kadang terdapat kesulitan akses di lokasi

Tabel 2. Jenis Bencana dan Potensi Penyakit
Jenis Bencana
Erupsi gunung api
Gempa bumi
Badai

Penyakit Menular
Langsung
Sedang
Sedang
Sedang

Waterborne
Disease
Sedang
Sedang
Tinggi

Foodborne
Disease
Sedang
Sedang
Sedang

Banjir
Gelombang panas

Sedang
Rendah

Tinggi
Rendah

Sedang
Rendah

Tabel 3. Penyakit Menular Potensial Pasca Bencana

-

Langsung dan
airborne
ISPA/
Pneumonia
Scabies dan
infeksi jamur
TB paru
Campak
PMS/ HIV

-

-

Waterborne
Disease
Diare,
disentri dan
kolera
Leptospirosis Conjunctivitis Hepatitis
Dermatitis
Thypoid/
parathypoid

Foodborne
Disease
Diare,
disentri dan
kolera
Hepatitis
Thypoid/
parathypoid

Vectorborne
Disease
- Malaria
- DBD
- Pes

Penyakit yang paling utama adalah campak, diare, dan ISPA tetapi
malaria, tifoid dan tipus juga banyak ditemukan di beberapa wilayah.

C. Manajemen Penyakit Menular Spesifik
Upaya kuratif (penanganan kasus) di pengungsian, surveilans penyakit
menular potensial wabah dan identifikasi faktor risiko penyakit pasca bencana,
preventif dan promotif dalam rangka meminimalkan faktor risiko di lokasi
bencana bertujuan untuk menekan peningkatan penyakit menular sehingga
dapat mencegah terjadinya KLB/ wabah serta menekan angka kematian pasca
bencana. Hal tersebut diperlukan karena jumlah korban akan membutuhkan
dana dan tenaga lebih ekstra dalam pengendaliannya.

Tabel 4. Manajemen Penyakit Menular Spesifik
No.

Penyakit

Gejala

Pengobatan

Pencegahan
- Surveilans dan
penyuluhan
- Penyediaan fasilitas
sanitasi (air untuk
mencuci tangan dan
sabun)
- Pencegahan malnutrisi
untuk mempertahankan
kekebalan alami tubuh
- Jauhkan asap hasil
pemasakan dapur
umum terhadap
pengungsian
- Penyediaan air yang
saniter untuk keperluan
sanitasi (mandi, cuci)
- Penyediaan fasilitas
sanitasi (air untuk
mencuci tangan dan
sabun)
- Pencegahan malnutrisi
untuk mempertahankan

1.

ISPA

- Semua gejala pilek,
batuk berat dan
demam.
- Pneumonia: disertai
nyeri dada dan diantara
tulang belikat

- Pengobatan segera
penyakit flu/batuk
(parasetamol dan obat
flu)
- Pengobatan komplikasi
pneumonia (contoh:
trimochazole,
penicillin, dan
amphicillin)

2.

Campak

- Demam, bercak di
mulut makopapuler,
bercak kemerahan di
kulit, mata sensitif
terhadap cahaya

- Pengobatan dengan
antibiotic (ampicillin,
amoxicillin, dan cotrimoxazole)
- Perawatan dan
pencegahan buta senja
dan otitis media
- Penanganan diare

Pengendalian
- Perbaikan ventilasi
- Kontrol kepadatan
pengungsian
- Kontrol asap hasil
pemasakan

- Pemberian vaksinasi.
Ring vaksinasi pada
sasaran di luar daerah
KLB campak
- Pemberian vitamin A
(kapsul vitamin A) dan
supplementasi pada
orang dewasa

dengan rehidrasi

3.

Malaria

- Demam tinggi
menggigil, nyeri
otot&tulang, sakit
kepala, kadang muntah
dan diare

- Pengobatan
kemoprofilaksis
- Pemberian obat
kloroquin fosfat
(aralen)
- Supplementasi Fe,
asam folat

4.

Diare

- Feses cair (dengan/
- Pencegahan dan
tanpa darah dan lendir),
penanganan dehidrasi
BAB >3x/hari, dapat
- Pemberian makanan
disertai demam dan
secara berkelanjutan
nausea
(termasuk ASI) selama
episode diare
- Monitoring kondisi
pasien
- Pemberian obat diare
(contoh: norit, kaplet
obat diare)

kekebalan alami tubuh

- Pemberantasan vektor
penularan penyakit
- Penggunaan pelindung
diri (kelambu, tirai,
kassa untuk
jendela/ventilasi)
- Pengamatan vektor
secara berkala

- Meminimalisir tempat
perindukan nyamuk
(pengelolaan
lingkungan)
- Indoor residual
spraying
- Pemberian abate pada
kolam yang
menggenang

- Penyediaan air yang
saniter untuk keperluan
sanitasi (mandi, cuci)
- Penyediaan air minum
yang memenuhi standar
kesehatan
- Penyediaan jamban
yang memenuhi standar
minimal kesehatan
untuk pencegahan
penularan penyakit

- Klorinasi sumber air
minum/air bersih
- Penggunaan
pengolahan air yang
terstandarisasi (misal:
sistem filtrasi bertahap)
- Pengemasan dan
distribusi makanan
segera
- Jauhkan jarak dapur
umum dari toilet umum

5.

Hepatitis

- Anoreksia berat, mual,
muntah, dehidrasi, dan
penurunan berat badan
selama beberapa
minggu

- Tidak ada perawatan
spesifik
- Pastikan penderita
banyak beristirahat
- Perhatikan status gizi
penderita untuk
membantu pemulihan
imunitas penderita

6.

Demam tifoid

- Demam tinggi, kadang
delirium/gangguan
kesadaran, nausea/rasa
penuh di lambung,
konstipasi/diare

- Penderita dapat
ditangani dengan
pemberian antibiotika
kloramfenikol atau
tiamfenikol
- Penderita harus
beristirahat total untuk
mencegah keparahan
dan komplikasi
penyakit
- Perawatan segera untuk
penderita yang sudah
mengalami komplikasi
(contoh: perforasiusus)

- Perhatikan kebersihan
penjamah makanan
- Penyediaan fasilitas
sanitasi (air untuk
mencuci tangan dan
sabun)
- Pemasakan makanan
dengan memperhatikan
implementasi cara
penanganan makanan
dengan benar
- Pencegahan malnutrisi
untuk mempertahankan
kekebalan alami tubuh
- Pemisahan makanan
mentah dan masak

- Vaksinasi untuk
hepatitis A
- Klorinasi sumber air
minum/air bersih
- Jauhkan jarak dapur
umum dari toilet umum

- Kontrol kepadatan
pengungsian
- Klorinasi sumber air
minum/air bersih
- Pengemasan dan
distribusi makanan
segera
- Jauhkan jarak dapur
umum dari toilet umum

7.

Tuberkulosis

- Lemah, batuk-batuk
dalam jangka waktu
yang lama
- Pemeriksaan dahak
menunjukkan BTA (+)

- Diagnosis dan
pengobatan sesegera
mungkin pada
penderita
- Vaksinasi BCG
(biasanya pada bayi
baru lahir, namun
revaksinasi tidak
dianjurkan)
- Pemeriksaan kesehatan
untuk screening orang
yang memiliki kontak
dengan penderita
(terutama pada anak
dengan usia dibawah 6
tahun)

- Penyediaan fasilitas
sanitasi (air untuk
mencuci tangan dan
sabun)
- Pencegahan malnutrisi
untuk mempertahankan
kekebalan alami tubuh

- Perbaikan ventilasi
- Kontrol kepadatan
pengungsian

8.

Infeksi cacing

- Perut kembung, mual,
muntah, sakit perut,
nafsu makan menurun,
- Diare
- Gatal di dubur pada
malam hari
- Infeksi ringan

- Pemberian dosis
tunggal dari
antihelminthic
(albendazole,
levamisole,
mebendazole, atau
pyrantel)

- Perhatikan kebersihan
penjamah makanan
- Penyediaan fasilitas
sanitasi (air untuk
mencuci tangan dan
sabun)
- Pemasakan makanan

- Filtrasi sumber air
bersih yang digunakan
- Penggunaan APD alas
kaki

umumnya tanpa gejala

-

9.

10.

Leptospirosis

Tetanus

- Demam tinggi, sakit
kepala, menggigil,
nyeri otot, mual,
jaundice/ kulit kuning,
mata merah, diare

- demam, disfungsi
sistem syaraf,
berkeringat
- leher kaku
- kesulitan menelan
- mengeluarkan air liur

- Pengobatan dengan
antibiotika baik
oral/intravena seperti
doxycycline/ penicillin
pada awal infeksi

- Perawatan luka dengan
benar
- Spesifik profilaksis
setelah/ sebelum
mendapat luka

-

-

-

dengan memperhatikan
implementasi cara
penanganan makanan
dengan benar
Mencegah kontak
langsung dengan media
penularan seperti tanah,
baju, dan masakan
mentah yang tidak
hygiene
Penggunaan APD
- Pengendalian hewan
(sepatu dan sarung
pengerat (terutama
tangan) terutama saat
tikus) dengan
bencana banjir
memasang perangkap
Perbaikan lingkungan
(limbah dan sampah)
Penyuluhan
Penyuluhan
- Luka terbuka dalam
Imunisasi tetanus
tertusuk paku/ benda
diberikan 2 kali
tajam segera diberi
interval minimal 1
Anti Tetnus Serum
bulan
PHBS

D. Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana
Pada situasi darurat terdapat sebuah kecenderungan untuk membentuk
sistem pelayanan kesehatan khusus yang tidak lagi dibuat dalam skala lokal
ataupun nasional. Pada beberapa tingkatan, hal ini mungkin merupakan waktu
yang tepat untuk mendapatkan dukungan dari pihak luar tetapi biasanya akan
menyulitkan di kemudian hari. Bala bantuan dari pihak luar harus beradaptasi
dengan prosedur dan standar lokal. Penting bagi mereka untuk mengenal
budaya lokal, pola penyakit dan organisasi pelayanan kesehatan.
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan
yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
1. Tim Reaksi Cepat (TRC)
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam
setelah ada informasi kejadian bencana.
2. Tim Penilaian Cepat (Tim RHA)
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan TRC atau menyusul
dalam waktu kurang dari 24 jam yang bertugas melakukan penilaian
dampak bencana dan mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan
3. Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi
Cepat dan Tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka di
lapangan.
Kajian harus dilaksanakan secepatnya setelah bencana terjadi selain
merespon kebutuhan yang mendesak. Beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian dan kajian lebih lanjut pada pasca bencana adalah :
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal, sakit,
cacat) dan ciri–ciri demografinya.
2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta.
3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
5. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu
hamil, bunifas dan manula)

6. Kemampuan dan sumberdaya setempat

Tabel 5. Koordinasi dan Pembagian Wewenang Pasca Bencana
No.

Tingkat
Koordinasi

Koordinator

Institusi yang
dikoordinasi

Institusi
terkait

1.

Kabupaten/ Dinas
Kota
Kesehatan

-

Pustu
BPBD
Puskesmas
Kab/Kota
Instalasi
Farmasi
Kabupaten/Kota

2.

Provinsi

-

Dinas
BPBD
Kesehatan
Provinsi
Kabupaten/Kota
RSU Provinsi

Dinas
Kesehatan

3.

Nasional

PPK

-

Ditjen PP&PL
Ditjen Bina
Yanmedik,
Ditjen Bina
Kesmas
BPOM

BNPB

Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam manajemen pencegahan
penyakit pasca bencana antara lain :


Koordinasi kesehatan di lapangan tetap berada pada Kepala Dinas
Kesehatan setempat



Bantuan dari manapun, dibawah kendali operasional Kadinkes setempat,
kecuali dinyatakan sebagai bencana nasional (contoh di NAD pada th
2004).



Koordinasi di sektor kesehatan sangat diperlukan, banyak kelompok
keahlian / spesialis



Koordinator kesehatan dapat bekerjasama dengan koordinator sektor lain
untuk membahas isue-isue bersama

Konsep dasar koordinasi membutuhkan infornasi akan kebutuhan dan
mobilisasi sumber daya sehingga tercipta koordinasi yang efektif dan efisien.
Organisasi yang terlibat didalamnya selain BPBD, Dinkes, puskesmas dan
rumah sakit antara lain Bidang Dokkes TNI, PMI, SAR, dinas perhubungan/
satuan polisi lalu lintas, dan pramuka.
Pelayanan kesehatan pada saat bencana bertujuan untuk menyelamatkan
nyawa, mencegah atau mengurangi kecacatan dengan memberikan pelayanan
yang terbaik bagi kepentingan korban. Pemberian pelayanan kesehatan pada
kondisi bencana seringkali tidak memadai. Hal ini terjadi akibat rusaknya
fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat
kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya dana operasional
pelayanan di lapangan. Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani dapat
menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana tersebut.
Ruang lingkup pencegahan penyakit menular saat bencana adalah
pengendalian penyakit, pengendalian vektor, imunisasi, air bersih dan sanitasi
dasar, dan surveilans.
1. Pengendalian penyakit
Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit
(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan
kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian. Baik
yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun
di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana.
Tujuan pengendalian penyakit pada saat bencana adalah mencegah kejadian
luar biasa (KLB) penyakit menular potensi wabah, seperti penyakit diare,
ISPA, malaria, DBD, penyakit‐penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (P3DI), keracunan dan mencegah penyakit‐penyakit yang spesifik
lokal.
2. Pengendalian vektor
Saat terjadi bencana di sebuah wilayah maka masyarakat yang ada di
sana dibawa ke tempat pengungsian agar keselamatan mereka terjaga
dengan baik. Namun selama berada di lokasi pengungsian tersebut masih

ada masalah yang harus dihadapi oleh para pengungsi yaitu mengenai
adanya vektor di sekitarnya. Kebanyakan vektor yang mengganggu para
pengungsi adalah lalat, nyamuk dan tikus.
Pengendalian vektor penyakit menjadi prioritas dalam upaya
pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit sangat
besar. Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian
di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan
insektisida,

serta

pengawasan

makanan

dan

minuman.

Kegiatan

pengendalian vektor dapat berupa penyemprotan, biological control,
pemberantasan sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan. Pengendalian
vektor dilakukan dari cara yang paling sederhana seperti perlindungan
personal dan perbaikan rumah sampai pada langkah‐langkah yang lebih
kompleks yang membutuhkan partisipasi dari para ahli pengendalian vektor.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam pengawasan dan
pengendalian vektor yaitu :
a.

Pembuangan sampah atau sisa makanan dengan baik

b.

Jika diperlukan maka bisa menggunakan insektisida

c.

Tetap menjaga

kebersihan individu selama

berada di

lokasi

pengungsian
d.

Penyediaan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan pembuangan
sampah yang baik

e.

Kebiasaan penanganan makanan secara higienis

3. Imunisasi
Dalam situasi bencana/di lokasi pengungsian, upaya imunisasi harus
dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya KLB PD3I terutama campak.
Sebelumnya perlu dilakukan penilaian cepat akan dampak bencana terhadap
kesehatan masyarakat di lokasi bencana (terutama para pengungsi,
lingkungan, sarana imunisasi, dan SDM) dan data cakupan imunisasi serta
epidemiologi penyakit sebelum bencana dalam 3 tahun terakhir untuk
menentukan kebutuhan upaya imunisasi dalam rangka pencegahan KLB
PD3I.

Sasaran imunisasi adalah semua anak umur 9 – 59 bulan untuk
diberikan imunisasi campak tambahan terintegrasi dengan pemberian
vitamin A dan kelompok populasi berisiko tinggi perdasarkan hasil
penilaian cepat pasca bencana misalnya petugas kesehatan/ sukarelawan
diberikan imunisasi TT.
Vaksin yang paling banyak digunakan dalam kondisi darurat adalah
vaksin campak, meningitis, polio, dan demam kuning. Imunisasi campak
sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada kondisi bencana tanpa
menunggu adanya kasus jika cakupan imunisasi kurang dari 90%. Polio
bukan penyakit mematikan dalam kondisi darurat bencana tetapi penyakit
ini berhubungan dengan rendahnya sanitasi dan air bersih.
4. Air bersih dan sanitasi dasar
Ketersediaan air berdih yang memadai oleh pengungsi digunakan
untuk memelihara kesehatannya karena tanpa adanya air bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya
penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya.
Standar minimum kebutuhan air bersih pengungsian pada awal
kejadian bencana adalah 5 liter/orang/hari yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan minimal seperti memasak, makan dan minum. Selanjutnya
ditingkkatkan sampai sekurang-kurangnya 15 – 20 liter/orang/hari yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci.
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban
bencana dan pengungsian, volume air bersih yang perlu disediakan di
Puskesmas atau rumah sakit adalah 50 liter/org/hari. Apabila air bersih dan
sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan
perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada tergenang air
sehingga tidak dapat digunakan, maka harus disediakan jamban mobile atau
jamban kolektif darurat dengan memanfaatkan drum atau bahan lain.
pembuatan jamban harus disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,

kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsi dengan memperhatikan
Jumlah pengungsi dan penyebarannya juga ketersediaan material lokal.
Pengelolaan sampah di tempat penampungan pengungsi harus
mendapat perhatian dari semua pihak, mengingat risiko yang dapat
ditimbulkannya bilamana tidak dikelola dengan baik seperti munculnya
lalat, tikus, bau, serta dapat mencemari sumber/persediaan air bersih yang
ada. Dalam pengelolaan sampah di pengungsian, harus dilakukan kerjasama
antara pengungsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kebersihan
kabupaten/kota untuk proses pengumpulan dan pengangkutan ke tempat
pembuangan akhir sampah.
5. Surveilans
Pada tahapan pasca bencana surveilans lebih terfokus pada upaya
pemeliharaana atau rehabilitasi sosial beserta dampak seperti junlah
penyakit, faktor risiko yang berhubungan dengan status kesehatan antara
lain kualitas kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan, dan
permasalahan psiko-sosial lain sebagai data dasar perencanaan untuk
mengembangkan strategi pencegahan ke depan.
Surveilans penyakit dan faktor risiko pada umumnya merupakan suatu
upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di
lokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan segera.
Secara khusus, upaya tersebut ditujukan untuk:
a.

menyediakan informasi kematian dan kesakitan penyakit potensial
wabah yang terjadi di daerah bencana;

b. mengidentifikasikan
peningkatan

jumlah

sedini

mungkin

penyakit

yang

kemungkinan
berpotensi

terjadinya

menimbulkan

KLB/wabah;
c.

mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu penyakit
tertentu;

d. mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu
dan mengidentifikasi status gizi buruk dan sanitasi lingkungan.

Tindakan yang dapat dilakukan adalahseperti melakukan pencegahan
terhadap penyakit potensi KLB dan penyakit menular, pencegahan
terjadinya trauma psikologis pasca bencana (traumatic stress), mengatasi
masalah pangan dan kesehatan lingkungan terutama di tempat pengungsian.
Langkah-langkah penyelidikan dan pengendalian awal dalam surveilans
menjadi tanggung jawabunit kesehatan setempat yang terkait bencana
(PAHO, 2000).
Proses kegiatan surveilans dilakukan mulai dari pos kesehatan di
lokasi pengungsian, puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten/
kota hingga dinas kesehatan provinsi. Hasil kajian analisis data dari proses
kegiatan surveilans tersebut adalah rekomendasi rencana kegiatan korektif
yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan.
Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan peningkatan
penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang akhirnya
menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana. Dalam
rekomendasi, hendaknya sudah dapat dipisahkan antara kegiatan yang
seharusnya dapat dilakukan daerah dan kegiatan yang perlu dibantu provinsi
maupun pusat. Hal ini bertujuan untuk memulihkan fungsi kegiatan
pelayanan kesehatan di daerah bencana serta mencegah kemungkinan
terjadinya

bencana

lanjutan

yaitu

KLB

penyakit

menular

akibat

pengungsian.
Surveilans faktor risiko adalah surveilans yang dilakukan terhadap
kondisi lingkungan disekitar lokasi bencana, lokasi penampungan pengungsi
yang dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit pada para pengungsi.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara menidentifikasi :
a. Cakupan pelayanan air bersih;
b. Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran;
c. Pengelolaan sampah;
d. Pengamanan makanan;
e. Kepadatan vektor;
f. Kebersihan lingkungan;

g. Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor
(genangan air, sumber pencemaran, dll)
Surveilans gizi merupakan kegiatan surveilans keadaan gizi korban
bencana khususnya kelompok risiko tinggi. Data yang dikumpulkan adalah
data antropometri yangmeliputi, berat badan, tinggi badan dan umur untuk
menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei dengan metodologi
surveilans atau survei cepat. Disamping itu diperlukan data penunjang
lainnya seperti diare, ISPA, Pneumonia, campak, malaria, angka kematian
kasar dan kematian balita. Data penunjang ini diperoleh dari sumber terkait
lainnya. Data ini digunakan untuk menentukan tingkat kedaruratan gizi dan
jenis intervensi yang diperlukan.
Prinsip utama tahapan pasca bencana adalah rehabilitasi dan
rekonstruksi. Waktunya tergantung dari tahapan tanggap darurat dan selama
bencana.
Tabel 6. Upaya Tahapan Pasca Bencana
Kegiatan pencegahan

Pembuatan peta rawan bencana yang meliputi jenis
ancama

(hazard)

dan

kerentanan

masyarakat

(vulnerability). Kerentanan meliputi status kesehatan,
cakupan imunisasi, keadaan sarana prasarana, tenaga
kesehatan, dan pembiayaan kesehatan
Pengembangan peraturan standar pelayanan kesehatan
Penyebarluasan informasi masalah kesehatan yang
terjadi dan anjuran untuk petugas juga masyarakat
Kegiatan rehabiltasi

Rehabilitasi sarana dan prasarana kesehatan inti
(bukan penggantian total atau pembangunan kembali)
rumah sakit, puskesmas, pustu, polindes, ambulans,
alat komunikasi, listrik, sarana air bersih, dll
Pelayanan

pemulihan

kesehatan

korban

atau

pengungsi meliuti rujukan gizi, air berish, kesehatan
lingkungan, pencegahan penyakit menular, Post

Traumatic Stress, dll

Surveilans epidemiologi
Kegiatan rekonstruksi

Pembangunan kembali sarana dan prasarana kesehatan
Meningkatkan kemampuan institusi kesehatan dlm
pelayanan kesehatan Meningkatkan dan memantapkan
rencana penanggulangan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Konsep dasar manajemen penanggulangan bencana meliputi tahapan
pra bencana, saat bencana dan pasca bencana dimana setiap tahapan
mempunyai kegiatan dan tujuan tersendiri.
2. Permasalahan kesehatan pasca bencana antara lain morbiditas baik
penyakit infeksi maupun non infeksi dimana penyakit yang timbul
sangat bergantung dengan jenis bencananya.
3. Manajemen pencegahan penyakit menular spesifik pasca bencana
meliputi upaya kuratif (penanganan kasus), surveilans penyakit
menular potensial wabah dan identifikasi faktor risiko di lokasi
bencana, upaya promotif dan preventif dalam rangka meminimalkan
faktor risiko di lokasi bencana.
4. Manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana, lebih
ditekankan pada surveilans yang lebih terfokus pada upaya
pemeliharaan atau rehabilitasi sosial beserta dampak seperti jumlah
penyakit, faktor risiko yang berhubungan dengan status kesehatan
antara lain kualitas kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan,
dan permasalahan psiko-sosial lain sebagai data dasar perencanaan
untuk mengembangkan strategi pencegahan ke depan.

B. Saran
1. Bagi pemerintah
Pemerintah dapat menganilisis tindakan pasca bencana yang
tidak berjalan dengan baik supaya dapat berjalan dengan baik dan
sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan menentukan indikator
keberhasilan dari tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien
melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran
informasi.

2. Bagi Masyarakat
Masyarakat

diharapkan

penanggulanan bencana

dapat

berpartisipasi

dalam

yang terjadi agar meminimalisir masalah

yang ditimbulkan setelah bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Rosiana. 2014. Pencegahan, Penanganan, dan Pengendalian untuk
Penyakit
Menular
pada
Kejadian
Bencana .
http://public-gohealth.blogspot.co.id/2014/04/pencegahan-penanganan-danpengendalian.html diakses 9 Oktober 2017
Anonim. http://www.alodokter.com/tetanus diakses 29 November 2017.
BNPB. 2015. Info Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
http://www.bnpb.go.id. Diakses 9 Oktober 2017.
BNPB. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penaggulangan Bencana No. 4
Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana.Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana.
http://www.bnpb.go.id. Diakses 9 Oktober 2017
Conolly et al. 2004. Communicable Disease in Complex Emergencies; Impact and
Challanges. The Lancet, November 27-Desember 3 page 1974; Proquest.
Jafari, N., Shahsanai, A., Memarzadeh, M., and Loghmani, A. 2011. Prevention of
communicable diseases after disaster: A review. Journal of Research in
Medical Sciences. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3263111/
Manajemen Epidemiologi Bencana. 2011. Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi
Kementerian
Kesehatan
RI.
http://www.cs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/FilePdf/manajemenepidbencana.pdf), diakses 26 Januari 2016.

Mandal et al. 2004. Penyakit Infeksi. Jakarta.
PAHO. 2000. Natural Disaster: Protecting the Public’s Health.
Purwana, R. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan dalam
Kejadian Bencana . Jakarta.
Pusat studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial. Pengelolaan Kesehatan Masyarakat
Dalam Kondisi Bencana . Yogyakarta.

Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen
Kesehatan. 2001. Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2001. Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Kedaruratan Kompleks. 2001. Departemen Kesehatan RI. http://
www.kemkes.go.id. Diakses 9 Oktober 2017.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat
Bencana .
Edisi
Revisi.
Jakarta.
http://www.kemkes.go.id/resources/download/penanganankrisis/buku_pedoman_teknis_pkk_ab.pdf). Diakses 9 Oktober 2017
Kementerian Kesehatan RI. Manajemen Epidemiologi Bencana . Power point
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.
Rr. Anggun Paramita Djati. Artikel. Lingkungan dan Penyakit Pasca Bencana.
Simms, Erin. 2013. Disaster Surveillance Capacity In The Unitedstates: Results
From
A
2012
Cste
Assessment.
http://c.ymcdn.com/sites/www.cste.org/resource/resmgr/EnvironmentalHeal
th/Disaster_Epi_Baseline731KM.pdf. Diakses 9 Oktober 2017.
Sutopo Purwo Nugroho. 2.342 Kejadian Bencana Selama 2016, Rekor Baru
https://www.bnpb.go.id/home/detail/3233/2.342-Kejadian-Bencana-Selama2016,-Rekor-Baru- diakses 9 Oktober 2017
Ulum, Mochamad Chazienul. 2013. Governance dan Capacity Building dalam
Manajemen Bencana Banjir di Indonesia. Jurnal Penanggulangan Bencana ,
4 (2): 5-12. bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/595.pdf. Diakses 9 Oktober
2017.
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
http://www.bnpb.go.id. Diakses 9 Oktober 2017.

WHO, 2000. The Management of Nutrition Major Emergencies. Interprint: Malta.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MANAJEMEN BERITA TELEVISI PADA MEDIA NUSANTARA CITRA (MNC) NEWS CENTER BIRO SURABAYA (Studi Pada Pengelola Berita Lokal di RCTI, TPI, dan Global TV

2 40 2

MANAJEMEN SIARAN PADA VOICE OF AMERICA (VOA) INDONESIA (Studi Tentang Pengolahan dan Penyebaran Program Acara Radio dan Televisi Oleh VOA Indonesia)

3 48 23

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DAN MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU PARUH BAYA

2 20 56

RUMAH SAKIT KHUSUS ANAK TEMA DIMENSI DAN BENTUK SEBAGAI STIMULAN PENYEMBUH PENYAKIT ANAK

0 51 9

KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUALTERHADAP STANDAR PENGOBATAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS PANJANG BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI-JUNI 2012

2 36 33

HUBUNGAN PERHATIAN ORANGTUA DAN MANAJEMEN WAKTU BELAJAR DI RUMAH DENGAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

11 108 89