Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Pendidi
Apa yang Sebenarnya Terjadi Pada Pendidikan Negeri
Ini?
Membaca
Alwashilah
Wacana
tentang
yang
“Kelas
ditulis
untuk
oleh
Prof.
Mendorong
Chaedar
Kerukunan
Beragama” yang mengatakan bahwa hubungan antar teman
sejawat atau sekelas lebih erat ketimbang hubungan dengan
keluarga sendiri. Sebagai contoh ketika ada seorang kaka yang
mempunyai uang lebih memilih meminjamkan uangnya kepada
teman sepermainannya sendiri daripada memberikannya kepada
adiknya yang sedang merengek meminta uang dari orang
tuanya. Fenomena ini sudah sangat lumrah sebenarnya karena
mereka (para pelajar muda) sedang mencari jati diri mereka
melalui hubungan dengan temannya. Seperti halnya tawuran
antar sekolah, perkelahian demi memperebutkan seorang teman
perempuannya, kebut-kebutan, dan lain sebagainya adalah
fenomena yang sangat umum ditemui. Namun, semua hal itu
tergantung pada peran orang tua sebagai pendidik pertama. Jika
benar-benar dididik dengan baik, maka tidak akan pernah terjadi
hal yang demikian itu.
Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi
rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif (Chaedar
Alwashilah:). Tidak hanya sekolah yang harus berperan dalam hal
ini, tetapi juga orang tua juga harus punya peran penting dalam
membentuk karakter generasi penerus bangsa ini. Orang tua
seharusnya memberi bekal yang padat kepada anak-anaknya,
dalam hal ini adalah cara berkomunikasi, berinteraksi, sopansantun, dan lain sebagainya perlu diajarkan sejak dini. Seorang
siswa yang datang ke sekolah memiliki latar belakang yang
berbeda-beda pada setiap harinya. Ada yang semangat, ada
yang lesu, mengantuk karena mungkin begadang karena bekerja
untuk orang tuanya, ada yang dipaksa oleh orang tuanya, dan
lain-lain. Hal-hal semacam ini yang membuat siswa tidak
berkonsentrasi ketika belajar di sekolah. Akibatnya, pelampiasan
kekesalan siswa tersebut diserahkan kepada teman sekelasnya
yang mungkin kurang nyaman keberadaannya di kelas tersebut.
Itulah
pendidikan
menugasi,
mengapa
orang
anak-anaknya.
mengajari,
dan
tua
berperan
Sekolah
memberi
besar
hanya
terhadap
memfasilitasi,
pengarahan,
kepada
siswanya untuk begini dan begitu. Namun, semuanya tergantung
pada siswa tersebut. Sekolah adalah tempat kedua setelah
lingkungan keluarga.
Pada pendidikan liberal pun peran orang tua tidak kalah
penting dalam mendidik anak-anaknya. Apalagi yang bersifat
liberal yang identik dengan kebebasan yang tujuanya untuk
saling menghargai perbedaan orang lain dalam kehidupan ini.
Seperti etnis, budaya, agama, dan bahkan ras. Memang benar
ketika Pa Chaedar mengatakan “Pendidikan liberal bertujuan
membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap
orang lain”. Di sini yang dituliskan dalam wacana tersebut adalah
hanya peran sekolah dalam menghargai perbedaan antar etnis,
budaya, agama, dan ras. Namun, tidak disertakan peran orang
tua di dalamnya. Sekali lagi, orang tua adalah pendidik pertama
bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai
perbedaan yang dimiliki orang lain, lalu bagaimana dengan anakanaknya?
Sekolah dalam hal ini adalah hanya meneruskan kegiatan
yang tidak diajarkan oleh orang tua siswanya. Seperti komunikasi
antar teman sekelas, menghargai pendapat, bergiliran berbicara
dan diam, dan lain sebagainya adalah kegiatan yang mungkin
tidak ada dalam lingkungan keluarga. Bukan tidak mungkin siswa
membawa apa yang diajarkan kepadanya ke tempat di mana dia
belajar, dalam hal ini adalah sekolah. Sebenarnya sekolah sudah
benar menuntun siswanya untuk saling berinteraksi sesamanya
meskipun
tidak
semua
siswa
mau
dituntun.
Pendidikan
Kewarganegaraan pun tidak menunjukkan keefektifannya dalam
mendidik para siswa yang
intinya untuk menghargai segala
perbedaan yang ada di negeri ini. Pancasila juga sepertinya
sudah benar dalam 69 tahun ini dan tidak ada yang perlu direvisi
lagi sepertinya. Lalu siapa yang salah mendidik bangsa ini
sehingga
dikenal
sebagai
bangsa
yang
anarkis?
Tidak
menghargai perbedaan?
Pendidikan ini yang seharusnya dirubah total. Banyak konflik
di negeri yang dikarenakan perbedaan etnis dan agama. Seperti
yang terdapat pada wacana “Bukti kejadian tersebut sangat
banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi
di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan
Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa”. Kemudian
pada era Reformasi yang ketika itu etnis Tiong Hoa yang dibantai
habis-habisan, diperkosa, dijarah, dan lain sebaginya oleh orang
pribumi, peristiwa di Sampit yang melibatkan etnis Dayak dan
Madura, dan masih banyak lagi. Apalagi pada masa tersebut
Indonesia telah giat membangun negaranya. Seperti membuat
pesawat sendiri, membuat pabrik otomotif sendiri dan lain
sebagainya. Akan tetapi bertolak belakang dengan pendidikan di
negeri ini. Mereka para etnis berbeda lebih memilih sekolah yang
latarnya sama dengan latar dimana mereka hidup baik dari
agama maupun budaya.
Itulah sebabnya banyak sekolah independen di negeri ini
yang mengatasnamakan agama, dan sekolah tersebut hanya
menerima siswa yang dari agama yang disyaratkan oleh pihak
sekolah.
Begitu
banyak
sekolah
di
negeri
ini
namun
pendidikannya tidak didasari Pancasila yang sangat menghargai
perbedaan orang lain.
Dalam
sejarah
pembuatan
Piagam
Jakarta
(sekarang
Pancasila) dibuat dengan menghargai perbedaan agama yang
ada pada Panitia Pencetusnya. Ketika itu A.A Maramis tidak
menyetujui jika Indonesia dijadikan negara yang beasaskan
islam. Kemudian K.H Wahid Hasyim sebagai ketuanya menyetujui
permintaan tersebut dan dirubahlah sila pertama seperti yang
biasa dibacakan ketika upacara sampai saat ini.
Hanya beberapa sekolah saja di negeri ini yang memfasilitasi
perbedaan baik etnis atau agama, selainnya tidak. Nah, di sini
lah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anakanaknya dalam menghargai perbedaan. Tidak seperti Arab Saudi
yang memang semua penduduknya menganut satu agama, yaitu
Islam. Dan tidak seperti Vatikan (sebuah negara kecil di Italia)
yang hampir semua penduduknya menganut satu agama juga,
yaitu Kristen. Indonesia memiliki 5 sampai 6 agama dalam
berbagai aliran tersendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh
negara lain yang lebih maju. Akan tetapi perbedaan itu dikotori
oleh
orang-orang
yang
hanya
mementingkan
kepentingan
pribadinya sendiri.
Untuk itu, orang tua seharusnya mendidik anaknya untuk
membagi pengalaman masa lalunya. Masa lalu yang baik bisa
dijadikan contoh atau pelajaran untuk anaknya supaya tidak
mengulang
perbuatan
yang
sama.
Perlu
lah
sebenarnya
diajarkan sejarah pada anak sejak dini, seperti diceritakan
bagaimana perjuangan bangsa ini untuk merebut kebebasan dari
bangsa lain.
Teringat pada masa perjuangan, pejuang negeri untuk
merebut kebebasan tidak melihat perbedaan dalam melawan
penjajah. Mereka hanya ingin satu, yaitu merdeka. Kemerdekaan
pun akhirnya didapat namun, keselarasan hidup untuk saling
menghargai satu sama lain tidak dijunjung tinggi.
Kenyataan yang sebenarnya ada pada diri anak terutama
pada masa Sekolah Dasar (SD) adalah anak selalu menuruti apa
yang dikatakan oleh gurunya. Karena memang pada saat itu
anak sedang menemukan dunia baru. Namun, tetap orang tua
punya peran lebih kepada anaknya untuk selalu mendidik
dengan semestinya. Nah, ketika di sekolah baru lah peran guru
diperlukan. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, lingkungan
keluarga lebih banyak waktunya ketimbang lingkungan sekolah.
Bisa
dibilang
orang
tua
dan
guru
mestinya
melakukan
pendekatan lebih untuk memantau anaknya dalam belajar di
sekolah ataupun di rumah.
Ilustrasi remaja zaman sekarang banyak diwarnai dengan
pencitraan yang tidak baik yang dibuat oleh remaja itu sendiri.
Ini dikarenakan kurangnya perhatian dari orang tua, guru, dan
teman sebayanya. Bisa dibandingkan anak yang dididik dalam
lingkungan keluarga yang baik serta lingkungan sekolah yang
baik juga, maka tingkat pembentukan karakternya akan jauh
berbeda dengan anak yang lingkungan keluarganya saja tidak
baik seperti Broken Home, dan lingkungan yang kurang baik dari
temannya. Hal ini akan mempengaruhi pikiran anak yang
notabene adalah anak dari orang tuanya, kemudian ditularkan
pula di lingkungan di mana ia belajar, bermain ataupun sekedar
bercanda dengan teman sebayanya. Itulah mengapa banyak
tawuran antar pelajar di negeri ini. Peningkatan komunikasi antar
sekolah juga perlu dillakukan demi hubungan pelajar antar
sekolah. Seperti adanya lomba-lomba
SMP,
maupun
SMA.
Hal
ini
tingkat pelajar baik SD,
dimaksudkan
untuk
menjaga
hubungan baik dari sekolah sampai pelajarnya. Hal ini juga
adalah termasuk bentuk liberalisme dalam hal pendidikan
dengan tidak memfasilitasi kebebasan untuk siswanya namun
tetap mengenalkan siswanya kepada siswa dari sekolah lain.
Dalam hal ini, siswa mestinya diajari komukasi antar teman
sebayanya tidak hanya pada sekolah tetapi juga pada lingkungan
keuarga yang setidaknya memiliki banyak waktu di rumah. Tidak
dipungkiri bahwa anak yang supel (mudah berkomunikasi) akan
jauh lebih menghargai orang lain dari pada anak yang dari
karakternya saja tidak terlihat atau bisa dibilang kuper (kurang
pergaulan). Komunikasi antar siswa ini bisa bermanfaat bagi
psikologi anak-anak itu sendiri dalam mengembangkan wacana
positif di masyarakat yang mungkin tidak didapat di sekolah
maupun di lingkungan keluarga. Tugas orang tua di sini adalah
meningkatkan tingkat daya jangkau anak dengan cara mendidik
melalui komunikasi teman sebayanya. Jadi apa yang dikatakan
Prof. Haidar memang benar adanya tentang kegiatan untuk
mendorong kerukunan beragama di sekolah, namun di sini tidak
hanya sekolah yang diperlukan, akan tetapi lingkungan keluarga
juga perlu diajarkan.
Pendidikan keluarga dapat berpengaruh besar pada karakter
orang, sebab itu kunci utama untuk menjadikan Manusia
Indonesia tidak manja dan energik terletak dalam pendidikan
keluarga (Sayidiman Suryohadiprojo: 2007). Oleh karena itu,
pendidikan
dalam
keluarga
dapat
memupuk
anak
untuk
menghadapi era globalisasi yang kental dengan intrik liberalisme
dalam pendidikannya. Menurutnya, pendidikan liberalisme tidak
cocok untuk negara yang berada di kawasan timur karena
negara-negara
di
bagian
timur
tidak
selalu
memberikan
kebebasan kepada anak untuk segala hal termasuk pendidikan.
Yang positif dalam pendidikan liberal adalah diberinya kebebasan
berpendapat, saling tukar pikiran, debat, melakukan riset kecilkecilan dan lain sebagainya. Namun, ini juga seharusnya bisa
dikontrol oleh pihak keluarga yang dalam hal ini terutama ibu
dari anak tersebut.
Cara mendidik anak dalam hal agama untuk menghadapi era
liberalisme yang sekarang sedang kencang-kencangnya di era
globalisasi menurut Sutomo Paguci, yaitu bahwa Tuhan itu maha
pengasih
dan
penyayang.
KasihNya
luas
tak
terhingga.
SayangNya tak alang kepalang. Tuhan itu sejuk dan penuh kasih.
Tidak perlu ditakuti. Sejalan dengan hal ini, mungkin saja anak
akan berproses dalam pengalaman spiritualnya. Untuk itu,
diperlukan mengenalkan nilai-nilai agama lain yang tujuannya
untuk saling menghargai perbedaan agama terutama di dalam
lingkungannya sendiri.
Di
zaman
sekarang
ini
banyak
orang
tua
yang
menyekolahkan anaknya hingga tingkat doctoral namun, tidak
menyekolahkan anaknya kepada nilai-nilai perbedaan yang ada
dalam lingkungannya sendiri. Tidak perlu lah jauh-jauh berbicara
mengenai
budaya
dari
agama
lain,
wong
diajarkan
cara
menghargai nilai-nilai dalam agama yang lainya saja tidak
apalagi diajarkan budayanya. Inilah yang mungkin memicu
bentrokan antar agama di negeri ini yang menganggap agama
mereka lah yang paling benar. Semua agama memang benar
namun, itu tergantung pada cara menghargai kebenarannya
masing-masing dalam beragama.
Berikut ini adalah peran yang mestinya dilakukan oleh orang
tua untuk mendidik anak-anaknya pada zaman sekarang yang
identik dengan globalisasi dan liberalisme yang dilansir dari
penelitian MIN Glesungrejo, sebuah sekolah madrasah negeri di
Jawa
Tengah
yang
mengungkapkan
bahwa
perlu
adanya
dukungan untuk anak dalam mendidik. Yaitu sebagai berikut:
1. Dukungan Sosial Ekonomi
Dukungan
sosial
ekonomi
ini
berupa
pemenuhan
kebutuhan fisik yaitu biaya pendidikan, fasilitas belajar,
alat dan buku keperluan belajar. Untuk memenuhi
kebutuhan fisik tersebut tentunya berkaitan dengan
status sosial ekonomi keluarga atau pendapatan di
dalam keluarga itu sendiri.
2. Dukungan Mental/Agama
Seorang
anak
yang
baik
dirumah,
pasti
akan
mempengaruhi sikap kesiswaannya di sekolah. Anak
baik tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina lewat
pendidikan. (Ilyas: 1999)
3. Dukungan Moral
Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan
anaknya dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan
psikis
yang
meliputi
kasih
sayang,
keteladanan, bimbingan dan pengarahan, dorongan,
menanamkan rasa percaya diri. Dengan perhatian
orang tua berupa pemenuhan kebutuhan tersebut
diharapkan dapat memberikan semangat belajar anak
guna meraih suatu cita-cita atau prestasi.
4. Dukungan Pendidikan
Pendidikan yang akan melahirkan anak baik adalah
pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang
memperhatikan seluruh aspek yang ada pada diri
manusia berupa hati, akal, dan fisik. Pendidikan yang
mengutamakan fisik dan mengabaikan akal dan hati
akan menghasilkan manusia hayawani (bersifat seperti
hewan),
bila
menghasilkan
hanya
mengutamakan
manusia
syaithani
pikiran
(bersifat
saja
seperti
syetan), sedangkan bila mengutamakan hati semata
tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa menjadi
Malaikat (Ilyas: 1999).
Beberapa
pendapat
di
atas
mengindikasikan
bahwa
pendidikan dalam keluarga sangat penting untuk anak-anak di
masa sekarang. Pendidikan keluarga tidak kalah penting untuk
membentuk karakter anak dalam bersosialisasi terhadap teman
sebayanya secara khusus dan masyarakat pada umumnya.
Pendidikan sosial di sekolah seperti berinteraksi, bersosialisasi,
sopan-santun
dan
lain
sebagainya
adalah
turunan
dari
pendidikan dalam keluarga dari anak itu sendiri. Semestinya
anak lebih dulu dikenalkan hal-hal tersebut dalam keluarga
sehingga nantinya sudah terbiasa ketika dalam kelas bersama
teman-teman sebayanya.
Diantara
pendapat
Prof.
Chaedar
Alwashilah
yang
mengatakan “Pendidikan Liberal bertujuan membebaskan siswa
dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Ada sejumlah
pendapat
lain
yang
menentang
keras
Liberalisme
dalam
pendidikan, seperti menurut Mohammad Najib (2013) yang
mengemukakan bahwa “Liberalisme dan privatisasi pendidikan
akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan
kemampuan
masyarakat
sehingga
akan
mengembalikan
Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.”
Pendapat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang
dikemukakan oleh Pa Chaedar tentang pendidikan liberal.
Namun,
liberal
itu
tidak
salah.
semua
Banyak
pendapat mengenai pendidikan
hal
yang
positif
seperti
yang
dikemukakan oleh Pa Chaedar sendiri yang ditulis dalam salah
salah satu bab di buku karangannya yang berjudul “Pokoknya
Rekayasa Literasi”. Seperti halnya dalam wacana yang ditulis
oleh Pa Chaedar sendiri yang menjelaskan manfaat pendidikan
liberal bagi anak-anak zaman sekarang supaya nantinya tidak
ada lagi bentrokan antar etnis, budaya, dan agama di negeri ini.
Lain halnya dengan Pa Mohammad Najib yang dilansir dari Pakar
ekonomi
Prof
liberalisme
Dr
Sri-
pendidikan
Edi
Swasono
merupakan
yang
bagian
mengemukakan,
dari
Komitmen
Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila
pendidikan dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah
seseorang
yang
tidak
bisa
membayar
sumbangan
penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah. Bahkan
menurut
pendapat
lain
mengatakan,
“Bila
pendidikan
diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai
hukum
pasar.
Meningkatnya
permintaan
pendidikan
akan
mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Akhirnya, hanya
orang
kaya
Pendapat
yang
yang
bisa
lain
bersekolah”.
(Ichsanuddin:
mengemukakan
“Untuk
2013).
Paradigma
Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya
yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang
melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan
yang
mengedepankan
perlindungan
hak-hak
aspek
dan
pengembangan
kebebasan
(freedom).
potensi,
Paham
individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan
liberal”. (Stefan Lorenz Sorgner: 2011).
Pendapat
tersebut
mengindikasikan
adanya
sikap
diskriminatif kepada orang lain dalam dunia pendidikan yang
bersifat liberal. Memang tidak sejalan sepertinya dengan tujuan
pendidikan di Indonesia yang mengutamakan pendidikan dari
pada etnis atau agama atau bahkan ras di dalamnya. Ini
dibuktikan dengan kasus Rasisme yang sekarang sedang marak
di negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tidak hanya
pendidikan, Rasisme juga merambah pula sampai ke dunia
seperti olahraga misalnya. Bahwa pemain yang berkulit hitam
selalu diolok-olok oleh pemain berkulit putih bahkan sampai
suporternya pun mengikuti olokan tersebut.
Mengingat bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah
seperti yang tertera dalam UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi
“..., mencerdaskan kehidupan bangsa,..”. Namun, sejalan dengan
itu, UUD 1945 juga mengemukakan kebebasan dalam diri bangsa
Indonesia yang tertera pada alinea ke-3 yang berbunyi “...,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,...”. Hal-hal seperti
yang dijelaskan di atas tidak terdapat dalam kamus pendidikan di
Indonesia
yang
mengutamakan
bersifat
Demokratis,
kepentingan
rakyat
yang
artinya
dalam
selalu
menjalankan
pemerintahan di dunia pendidikan.
Sebenarnya, semua jenis pendidikan bertujuan sama. Akan
tetapi, berbeda pada penerapannya saja dalam hal mendidik
siswanya. Termasuk dalam hal paradigma pendidikan yang
diterapkan oleh setiap negara yang selalu mengikuti filosofi
negara. Namun, adakah pendidikan yang sifatnya netral? Tidak
merugikan
siapapun
yang
berkaitan
di
dalamnya?
Secara
konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak
dan
berpihak
kepada
suatu
aliran
filsafat-nya.
Paradigma
Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran
Filsafat
Skolastik
yang
cenderung
determinis
(jabbariah
:
fatalistik). (Stefan Lorenz Sorgner: 2011). Jadi kesimpulannya,
semua jenis pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung pada filsafah pendidikan yang dianut
oleh suatu negara. Namun, seperti yang sudah jauh dijelaskan
sebelumnya, peran lingkungan keluarga terutama orang tua
sangat penting dalam hal pendidikan anak untuk mencapai
sebuah tujuan pendidikan. Sekali lagi, sekolah hanyalah jenjang
pendidikan kedua setelah pendidikan dari keluarga.
Kemajuan masyarakat, perkembangan Iptek yang semakin
cepat,
serta
semakin
menguatnya
era
globalisasi
akan
mempengaruhi peran lingkungan dalam pendidikan. Di samping
itu terjadinya pergeseran peran seperti telah tampak pada
keluarga modern. Keluarga modern dituntut pula meningkatkan
mutu perannya. (Elvina Lubis:2013)
Ini?
Membaca
Alwashilah
Wacana
tentang
yang
“Kelas
ditulis
untuk
oleh
Prof.
Mendorong
Chaedar
Kerukunan
Beragama” yang mengatakan bahwa hubungan antar teman
sejawat atau sekelas lebih erat ketimbang hubungan dengan
keluarga sendiri. Sebagai contoh ketika ada seorang kaka yang
mempunyai uang lebih memilih meminjamkan uangnya kepada
teman sepermainannya sendiri daripada memberikannya kepada
adiknya yang sedang merengek meminta uang dari orang
tuanya. Fenomena ini sudah sangat lumrah sebenarnya karena
mereka (para pelajar muda) sedang mencari jati diri mereka
melalui hubungan dengan temannya. Seperti halnya tawuran
antar sekolah, perkelahian demi memperebutkan seorang teman
perempuannya, kebut-kebutan, dan lain sebagainya adalah
fenomena yang sangat umum ditemui. Namun, semua hal itu
tergantung pada peran orang tua sebagai pendidik pertama. Jika
benar-benar dididik dengan baik, maka tidak akan pernah terjadi
hal yang demikian itu.
Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi
rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif (Chaedar
Alwashilah:). Tidak hanya sekolah yang harus berperan dalam hal
ini, tetapi juga orang tua juga harus punya peran penting dalam
membentuk karakter generasi penerus bangsa ini. Orang tua
seharusnya memberi bekal yang padat kepada anak-anaknya,
dalam hal ini adalah cara berkomunikasi, berinteraksi, sopansantun, dan lain sebagainya perlu diajarkan sejak dini. Seorang
siswa yang datang ke sekolah memiliki latar belakang yang
berbeda-beda pada setiap harinya. Ada yang semangat, ada
yang lesu, mengantuk karena mungkin begadang karena bekerja
untuk orang tuanya, ada yang dipaksa oleh orang tuanya, dan
lain-lain. Hal-hal semacam ini yang membuat siswa tidak
berkonsentrasi ketika belajar di sekolah. Akibatnya, pelampiasan
kekesalan siswa tersebut diserahkan kepada teman sekelasnya
yang mungkin kurang nyaman keberadaannya di kelas tersebut.
Itulah
pendidikan
menugasi,
mengapa
orang
anak-anaknya.
mengajari,
dan
tua
berperan
Sekolah
memberi
besar
hanya
terhadap
memfasilitasi,
pengarahan,
kepada
siswanya untuk begini dan begitu. Namun, semuanya tergantung
pada siswa tersebut. Sekolah adalah tempat kedua setelah
lingkungan keluarga.
Pada pendidikan liberal pun peran orang tua tidak kalah
penting dalam mendidik anak-anaknya. Apalagi yang bersifat
liberal yang identik dengan kebebasan yang tujuanya untuk
saling menghargai perbedaan orang lain dalam kehidupan ini.
Seperti etnis, budaya, agama, dan bahkan ras. Memang benar
ketika Pa Chaedar mengatakan “Pendidikan liberal bertujuan
membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap
orang lain”. Di sini yang dituliskan dalam wacana tersebut adalah
hanya peran sekolah dalam menghargai perbedaan antar etnis,
budaya, agama, dan ras. Namun, tidak disertakan peran orang
tua di dalamnya. Sekali lagi, orang tua adalah pendidik pertama
bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai
perbedaan yang dimiliki orang lain, lalu bagaimana dengan anakanaknya?
Sekolah dalam hal ini adalah hanya meneruskan kegiatan
yang tidak diajarkan oleh orang tua siswanya. Seperti komunikasi
antar teman sekelas, menghargai pendapat, bergiliran berbicara
dan diam, dan lain sebagainya adalah kegiatan yang mungkin
tidak ada dalam lingkungan keluarga. Bukan tidak mungkin siswa
membawa apa yang diajarkan kepadanya ke tempat di mana dia
belajar, dalam hal ini adalah sekolah. Sebenarnya sekolah sudah
benar menuntun siswanya untuk saling berinteraksi sesamanya
meskipun
tidak
semua
siswa
mau
dituntun.
Pendidikan
Kewarganegaraan pun tidak menunjukkan keefektifannya dalam
mendidik para siswa yang
intinya untuk menghargai segala
perbedaan yang ada di negeri ini. Pancasila juga sepertinya
sudah benar dalam 69 tahun ini dan tidak ada yang perlu direvisi
lagi sepertinya. Lalu siapa yang salah mendidik bangsa ini
sehingga
dikenal
sebagai
bangsa
yang
anarkis?
Tidak
menghargai perbedaan?
Pendidikan ini yang seharusnya dirubah total. Banyak konflik
di negeri yang dikarenakan perbedaan etnis dan agama. Seperti
yang terdapat pada wacana “Bukti kejadian tersebut sangat
banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi
di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan
Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa”. Kemudian
pada era Reformasi yang ketika itu etnis Tiong Hoa yang dibantai
habis-habisan, diperkosa, dijarah, dan lain sebaginya oleh orang
pribumi, peristiwa di Sampit yang melibatkan etnis Dayak dan
Madura, dan masih banyak lagi. Apalagi pada masa tersebut
Indonesia telah giat membangun negaranya. Seperti membuat
pesawat sendiri, membuat pabrik otomotif sendiri dan lain
sebagainya. Akan tetapi bertolak belakang dengan pendidikan di
negeri ini. Mereka para etnis berbeda lebih memilih sekolah yang
latarnya sama dengan latar dimana mereka hidup baik dari
agama maupun budaya.
Itulah sebabnya banyak sekolah independen di negeri ini
yang mengatasnamakan agama, dan sekolah tersebut hanya
menerima siswa yang dari agama yang disyaratkan oleh pihak
sekolah.
Begitu
banyak
sekolah
di
negeri
ini
namun
pendidikannya tidak didasari Pancasila yang sangat menghargai
perbedaan orang lain.
Dalam
sejarah
pembuatan
Piagam
Jakarta
(sekarang
Pancasila) dibuat dengan menghargai perbedaan agama yang
ada pada Panitia Pencetusnya. Ketika itu A.A Maramis tidak
menyetujui jika Indonesia dijadikan negara yang beasaskan
islam. Kemudian K.H Wahid Hasyim sebagai ketuanya menyetujui
permintaan tersebut dan dirubahlah sila pertama seperti yang
biasa dibacakan ketika upacara sampai saat ini.
Hanya beberapa sekolah saja di negeri ini yang memfasilitasi
perbedaan baik etnis atau agama, selainnya tidak. Nah, di sini
lah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anakanaknya dalam menghargai perbedaan. Tidak seperti Arab Saudi
yang memang semua penduduknya menganut satu agama, yaitu
Islam. Dan tidak seperti Vatikan (sebuah negara kecil di Italia)
yang hampir semua penduduknya menganut satu agama juga,
yaitu Kristen. Indonesia memiliki 5 sampai 6 agama dalam
berbagai aliran tersendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh
negara lain yang lebih maju. Akan tetapi perbedaan itu dikotori
oleh
orang-orang
yang
hanya
mementingkan
kepentingan
pribadinya sendiri.
Untuk itu, orang tua seharusnya mendidik anaknya untuk
membagi pengalaman masa lalunya. Masa lalu yang baik bisa
dijadikan contoh atau pelajaran untuk anaknya supaya tidak
mengulang
perbuatan
yang
sama.
Perlu
lah
sebenarnya
diajarkan sejarah pada anak sejak dini, seperti diceritakan
bagaimana perjuangan bangsa ini untuk merebut kebebasan dari
bangsa lain.
Teringat pada masa perjuangan, pejuang negeri untuk
merebut kebebasan tidak melihat perbedaan dalam melawan
penjajah. Mereka hanya ingin satu, yaitu merdeka. Kemerdekaan
pun akhirnya didapat namun, keselarasan hidup untuk saling
menghargai satu sama lain tidak dijunjung tinggi.
Kenyataan yang sebenarnya ada pada diri anak terutama
pada masa Sekolah Dasar (SD) adalah anak selalu menuruti apa
yang dikatakan oleh gurunya. Karena memang pada saat itu
anak sedang menemukan dunia baru. Namun, tetap orang tua
punya peran lebih kepada anaknya untuk selalu mendidik
dengan semestinya. Nah, ketika di sekolah baru lah peran guru
diperlukan. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, lingkungan
keluarga lebih banyak waktunya ketimbang lingkungan sekolah.
Bisa
dibilang
orang
tua
dan
guru
mestinya
melakukan
pendekatan lebih untuk memantau anaknya dalam belajar di
sekolah ataupun di rumah.
Ilustrasi remaja zaman sekarang banyak diwarnai dengan
pencitraan yang tidak baik yang dibuat oleh remaja itu sendiri.
Ini dikarenakan kurangnya perhatian dari orang tua, guru, dan
teman sebayanya. Bisa dibandingkan anak yang dididik dalam
lingkungan keluarga yang baik serta lingkungan sekolah yang
baik juga, maka tingkat pembentukan karakternya akan jauh
berbeda dengan anak yang lingkungan keluarganya saja tidak
baik seperti Broken Home, dan lingkungan yang kurang baik dari
temannya. Hal ini akan mempengaruhi pikiran anak yang
notabene adalah anak dari orang tuanya, kemudian ditularkan
pula di lingkungan di mana ia belajar, bermain ataupun sekedar
bercanda dengan teman sebayanya. Itulah mengapa banyak
tawuran antar pelajar di negeri ini. Peningkatan komunikasi antar
sekolah juga perlu dillakukan demi hubungan pelajar antar
sekolah. Seperti adanya lomba-lomba
SMP,
maupun
SMA.
Hal
ini
tingkat pelajar baik SD,
dimaksudkan
untuk
menjaga
hubungan baik dari sekolah sampai pelajarnya. Hal ini juga
adalah termasuk bentuk liberalisme dalam hal pendidikan
dengan tidak memfasilitasi kebebasan untuk siswanya namun
tetap mengenalkan siswanya kepada siswa dari sekolah lain.
Dalam hal ini, siswa mestinya diajari komukasi antar teman
sebayanya tidak hanya pada sekolah tetapi juga pada lingkungan
keuarga yang setidaknya memiliki banyak waktu di rumah. Tidak
dipungkiri bahwa anak yang supel (mudah berkomunikasi) akan
jauh lebih menghargai orang lain dari pada anak yang dari
karakternya saja tidak terlihat atau bisa dibilang kuper (kurang
pergaulan). Komunikasi antar siswa ini bisa bermanfaat bagi
psikologi anak-anak itu sendiri dalam mengembangkan wacana
positif di masyarakat yang mungkin tidak didapat di sekolah
maupun di lingkungan keluarga. Tugas orang tua di sini adalah
meningkatkan tingkat daya jangkau anak dengan cara mendidik
melalui komunikasi teman sebayanya. Jadi apa yang dikatakan
Prof. Haidar memang benar adanya tentang kegiatan untuk
mendorong kerukunan beragama di sekolah, namun di sini tidak
hanya sekolah yang diperlukan, akan tetapi lingkungan keluarga
juga perlu diajarkan.
Pendidikan keluarga dapat berpengaruh besar pada karakter
orang, sebab itu kunci utama untuk menjadikan Manusia
Indonesia tidak manja dan energik terletak dalam pendidikan
keluarga (Sayidiman Suryohadiprojo: 2007). Oleh karena itu,
pendidikan
dalam
keluarga
dapat
memupuk
anak
untuk
menghadapi era globalisasi yang kental dengan intrik liberalisme
dalam pendidikannya. Menurutnya, pendidikan liberalisme tidak
cocok untuk negara yang berada di kawasan timur karena
negara-negara
di
bagian
timur
tidak
selalu
memberikan
kebebasan kepada anak untuk segala hal termasuk pendidikan.
Yang positif dalam pendidikan liberal adalah diberinya kebebasan
berpendapat, saling tukar pikiran, debat, melakukan riset kecilkecilan dan lain sebagainya. Namun, ini juga seharusnya bisa
dikontrol oleh pihak keluarga yang dalam hal ini terutama ibu
dari anak tersebut.
Cara mendidik anak dalam hal agama untuk menghadapi era
liberalisme yang sekarang sedang kencang-kencangnya di era
globalisasi menurut Sutomo Paguci, yaitu bahwa Tuhan itu maha
pengasih
dan
penyayang.
KasihNya
luas
tak
terhingga.
SayangNya tak alang kepalang. Tuhan itu sejuk dan penuh kasih.
Tidak perlu ditakuti. Sejalan dengan hal ini, mungkin saja anak
akan berproses dalam pengalaman spiritualnya. Untuk itu,
diperlukan mengenalkan nilai-nilai agama lain yang tujuannya
untuk saling menghargai perbedaan agama terutama di dalam
lingkungannya sendiri.
Di
zaman
sekarang
ini
banyak
orang
tua
yang
menyekolahkan anaknya hingga tingkat doctoral namun, tidak
menyekolahkan anaknya kepada nilai-nilai perbedaan yang ada
dalam lingkungannya sendiri. Tidak perlu lah jauh-jauh berbicara
mengenai
budaya
dari
agama
lain,
wong
diajarkan
cara
menghargai nilai-nilai dalam agama yang lainya saja tidak
apalagi diajarkan budayanya. Inilah yang mungkin memicu
bentrokan antar agama di negeri ini yang menganggap agama
mereka lah yang paling benar. Semua agama memang benar
namun, itu tergantung pada cara menghargai kebenarannya
masing-masing dalam beragama.
Berikut ini adalah peran yang mestinya dilakukan oleh orang
tua untuk mendidik anak-anaknya pada zaman sekarang yang
identik dengan globalisasi dan liberalisme yang dilansir dari
penelitian MIN Glesungrejo, sebuah sekolah madrasah negeri di
Jawa
Tengah
yang
mengungkapkan
bahwa
perlu
adanya
dukungan untuk anak dalam mendidik. Yaitu sebagai berikut:
1. Dukungan Sosial Ekonomi
Dukungan
sosial
ekonomi
ini
berupa
pemenuhan
kebutuhan fisik yaitu biaya pendidikan, fasilitas belajar,
alat dan buku keperluan belajar. Untuk memenuhi
kebutuhan fisik tersebut tentunya berkaitan dengan
status sosial ekonomi keluarga atau pendapatan di
dalam keluarga itu sendiri.
2. Dukungan Mental/Agama
Seorang
anak
yang
baik
dirumah,
pasti
akan
mempengaruhi sikap kesiswaannya di sekolah. Anak
baik tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina lewat
pendidikan. (Ilyas: 1999)
3. Dukungan Moral
Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan
anaknya dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan
psikis
yang
meliputi
kasih
sayang,
keteladanan, bimbingan dan pengarahan, dorongan,
menanamkan rasa percaya diri. Dengan perhatian
orang tua berupa pemenuhan kebutuhan tersebut
diharapkan dapat memberikan semangat belajar anak
guna meraih suatu cita-cita atau prestasi.
4. Dukungan Pendidikan
Pendidikan yang akan melahirkan anak baik adalah
pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang
memperhatikan seluruh aspek yang ada pada diri
manusia berupa hati, akal, dan fisik. Pendidikan yang
mengutamakan fisik dan mengabaikan akal dan hati
akan menghasilkan manusia hayawani (bersifat seperti
hewan),
bila
menghasilkan
hanya
mengutamakan
manusia
syaithani
pikiran
(bersifat
saja
seperti
syetan), sedangkan bila mengutamakan hati semata
tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa menjadi
Malaikat (Ilyas: 1999).
Beberapa
pendapat
di
atas
mengindikasikan
bahwa
pendidikan dalam keluarga sangat penting untuk anak-anak di
masa sekarang. Pendidikan keluarga tidak kalah penting untuk
membentuk karakter anak dalam bersosialisasi terhadap teman
sebayanya secara khusus dan masyarakat pada umumnya.
Pendidikan sosial di sekolah seperti berinteraksi, bersosialisasi,
sopan-santun
dan
lain
sebagainya
adalah
turunan
dari
pendidikan dalam keluarga dari anak itu sendiri. Semestinya
anak lebih dulu dikenalkan hal-hal tersebut dalam keluarga
sehingga nantinya sudah terbiasa ketika dalam kelas bersama
teman-teman sebayanya.
Diantara
pendapat
Prof.
Chaedar
Alwashilah
yang
mengatakan “Pendidikan Liberal bertujuan membebaskan siswa
dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Ada sejumlah
pendapat
lain
yang
menentang
keras
Liberalisme
dalam
pendidikan, seperti menurut Mohammad Najib (2013) yang
mengemukakan bahwa “Liberalisme dan privatisasi pendidikan
akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan
kemampuan
masyarakat
sehingga
akan
mengembalikan
Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.”
Pendapat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang
dikemukakan oleh Pa Chaedar tentang pendidikan liberal.
Namun,
liberal
itu
tidak
salah.
semua
Banyak
pendapat mengenai pendidikan
hal
yang
positif
seperti
yang
dikemukakan oleh Pa Chaedar sendiri yang ditulis dalam salah
salah satu bab di buku karangannya yang berjudul “Pokoknya
Rekayasa Literasi”. Seperti halnya dalam wacana yang ditulis
oleh Pa Chaedar sendiri yang menjelaskan manfaat pendidikan
liberal bagi anak-anak zaman sekarang supaya nantinya tidak
ada lagi bentrokan antar etnis, budaya, dan agama di negeri ini.
Lain halnya dengan Pa Mohammad Najib yang dilansir dari Pakar
ekonomi
Prof
liberalisme
Dr
Sri-
pendidikan
Edi
Swasono
merupakan
yang
bagian
mengemukakan,
dari
Komitmen
Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila
pendidikan dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah
seseorang
yang
tidak
bisa
membayar
sumbangan
penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah. Bahkan
menurut
pendapat
lain
mengatakan,
“Bila
pendidikan
diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai
hukum
pasar.
Meningkatnya
permintaan
pendidikan
akan
mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Akhirnya, hanya
orang
kaya
Pendapat
yang
yang
bisa
lain
bersekolah”.
(Ichsanuddin:
mengemukakan
“Untuk
2013).
Paradigma
Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya
yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang
melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan
yang
mengedepankan
perlindungan
hak-hak
aspek
dan
pengembangan
kebebasan
(freedom).
potensi,
Paham
individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan
liberal”. (Stefan Lorenz Sorgner: 2011).
Pendapat
tersebut
mengindikasikan
adanya
sikap
diskriminatif kepada orang lain dalam dunia pendidikan yang
bersifat liberal. Memang tidak sejalan sepertinya dengan tujuan
pendidikan di Indonesia yang mengutamakan pendidikan dari
pada etnis atau agama atau bahkan ras di dalamnya. Ini
dibuktikan dengan kasus Rasisme yang sekarang sedang marak
di negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tidak hanya
pendidikan, Rasisme juga merambah pula sampai ke dunia
seperti olahraga misalnya. Bahwa pemain yang berkulit hitam
selalu diolok-olok oleh pemain berkulit putih bahkan sampai
suporternya pun mengikuti olokan tersebut.
Mengingat bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah
seperti yang tertera dalam UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi
“..., mencerdaskan kehidupan bangsa,..”. Namun, sejalan dengan
itu, UUD 1945 juga mengemukakan kebebasan dalam diri bangsa
Indonesia yang tertera pada alinea ke-3 yang berbunyi “...,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,...”. Hal-hal seperti
yang dijelaskan di atas tidak terdapat dalam kamus pendidikan di
Indonesia
yang
mengutamakan
bersifat
Demokratis,
kepentingan
rakyat
yang
artinya
dalam
selalu
menjalankan
pemerintahan di dunia pendidikan.
Sebenarnya, semua jenis pendidikan bertujuan sama. Akan
tetapi, berbeda pada penerapannya saja dalam hal mendidik
siswanya. Termasuk dalam hal paradigma pendidikan yang
diterapkan oleh setiap negara yang selalu mengikuti filosofi
negara. Namun, adakah pendidikan yang sifatnya netral? Tidak
merugikan
siapapun
yang
berkaitan
di
dalamnya?
Secara
konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak
dan
berpihak
kepada
suatu
aliran
filsafat-nya.
Paradigma
Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran
Filsafat
Skolastik
yang
cenderung
determinis
(jabbariah
:
fatalistik). (Stefan Lorenz Sorgner: 2011). Jadi kesimpulannya,
semua jenis pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung pada filsafah pendidikan yang dianut
oleh suatu negara. Namun, seperti yang sudah jauh dijelaskan
sebelumnya, peran lingkungan keluarga terutama orang tua
sangat penting dalam hal pendidikan anak untuk mencapai
sebuah tujuan pendidikan. Sekali lagi, sekolah hanyalah jenjang
pendidikan kedua setelah pendidikan dari keluarga.
Kemajuan masyarakat, perkembangan Iptek yang semakin
cepat,
serta
semakin
menguatnya
era
globalisasi
akan
mempengaruhi peran lingkungan dalam pendidikan. Di samping
itu terjadinya pergeseran peran seperti telah tampak pada
keluarga modern. Keluarga modern dituntut pula meningkatkan
mutu perannya. (Elvina Lubis:2013)