Perbandingan Politik Pemerintahan Jepang di

Perbandingan Politik Pemerintahan Jepang dan Korea Selatan:
Sistem Pemerintahan dan Soft Power melalui Diplomasi Budaya Pop-Culture
Penyusun: Prilla Marsingga, S.Sos. M.I.Pol
Metode yang digunakan untuk menganalisis perbandingan politik pemerintahan kedua
Negara ini adalah contextual description yang berisi kondisi pemerintahan di Negara yang
berbeda, dan bertujuan untuk memahami perbedaan konteks diantara Negara yang dibandingkan
(membandingkan secara terperinci) dan classification (mengklasifikasikan berdasarkan karakter
atau kategori tertentu). Faktor-faktor yang akan menjadi bahan perbandingan adalah sistem
pemerintahan di kedua Negara dan pengaplikasian soft power kedua Negara tersebut melalui
teknologi dan Budaya.
Perbandingan Sistem Pemerintahan Jepang dan Korea Selatan
Berdasarkan Kategori Dasar Sistem Pemerintahan
Dasar Sistem Pemerintahan
Bentuk/ Jenis Pemerintahan
Sistem Pemerintahan

Jepang
Monarkhi Konstitusional
Parlementer

Sistem Parlemen

Sistem Kepartaian

Campuran
Bikameral (dua kamar)
Unikameral
multipartai dengan dominasi sistem multi partai. Ada 9
LDP
Demokrat)

(Partai

Korea Selatan
Semi Presidensil/ Presidensil

Liberal partai

di

diantaranya


korea

selatan,

adalah

National

Grand
Party,

DemocraticParty, The Liberty
Forward Party, Future Hope
Alliance, Democratic Labor
Party ,dan lain sebagainnya.
Namun secara tidak langsung
sistem

kepartaian


Selatan

adalah

besar, yaitu

di Korea
2

partai

Partai

Besar

Nasional (57,3) dan partai

Demokrasi

Baru


Bersatu

(29.10%).
Konstitusi

Konstitusi

(Undang-Undang Undang Undang Dasar (UUD)

Dasar) Jepang yang mulai Republik Korea disahkan pada
berlaku

pada

tahun

1947, tanggal 17Juli 1948. Hingga

didasarkan pada tiga prinsip : saat ini, UUD 1948 telah

kedaulatan

rakyat,

terhadap

hak-hak

manusia,

dan

hormat mengalami

beberapa

kali

asasi amandemendan terakhir pada


penolakan tahun 1987. Oleh karena itu,

perang.

UUD

1948

seringkali

disebutsebagai UUD 1987.
Berdasarkan Kategori Pembagian Kekuasaan
Pembagian Kekuasaan
Eksekutif

Jepang
Kaisar sebagai kepala Negara
Perdana

Menteri


Korea Selatan
Presiden
sebagai

sebagai negara

kepala pemerintahan

dan

kepala
kepala

pemerintahan

Perdana Menteri yang dipilih Presiden dibantu oleh Perdana
oleh anggota Diet (parlemen)
PM


membentuk

Menteri dan Dewan Negara

kabinet (State Council)

menteri Negara
Kabinet

bertanggungjawab

pada Diet (Parlemen)1
Legislatif

Diet, yaitu parlemen nasional Majelis Nasional, satu-satunya
Jepang, adalah badan tertinggi badan legislaif dipilih melalui
dari kekuasaan Negara
Satu-satunya

badan


pemilu dengan 299 kursi
negara

pembuat undang-undang dari
negara.

Diet

terdiri

dari

1 Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, “Pemerintahan” dalam http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_13.html

Majelis Rendah dengan 480
kursi

dan


Majelis

Tinggi

dengan 242 kursi.
Yudikatif

Mahkamah

Agung

pengadilan-pengadilan
lebih

rendah,

dan Memiliki supreme court dan
yang pengadilan

banding


seperti (Constitutional Court)

pengadilan tinggi, pengadilan
distrik, dan pengadilan sumir.
Mahkamah Agung terdiri dari
Ketua Mahkamah Agung, dan
14 Hakim lainnya, semuanya
ditunjuk oleh kabinet.
Korea Selatan dan Jepang: Soft Power melalui Teknologi dan Diplomasi Budaya
Nye menjelaskan bahwa ada cara lain untuk mempraktekan power selain dengan
memerintah, memberi imbalan, dan memaksa, yaitu dengan memikat (attraction). Dengan
‘menebarkan pesona’, kita dapat membuat orang lain membenarkan pandangan kita dan akhirnya
setuju dengan pendapat kita. Jika pihak lain setuju, maka kita dapat mendapatkan apa yang kita
inginkan tanpa harus memerintah ataupun memaksanya. Kemampuan untuk memikat pihak lain
ini disebut Soft Power oleh Nye. Nye mendefinisikan soft power sebagai “the ability to get what
you want through attraction rather than through coercion or payments” (Nye, 2004, x). Soft
power berdasarkan pada kemampuan membentuk preferensi orang lain (Nye, 2004). Dalam
membuat keputusan, kita harus membuat peraturan yang ramah dan menarik sehingga
masyarakat mau membantu kita untuk mencapai tujuan bersama. Kemampuan untuk membentuk
preferensi orang lain ini cenderung dikaitkan dengan aset-aset yang tak terlihat, seperti
kepribadian yang menarik, budaya, nilai dan institusi politis, dan kebijakan-kebijakan yang
terlihat didasarkan pada hukum yang benar dan memiliki otoritas moral. Jika seorang pemimpin
mewakili nilai-nilai yang dianut masyarakat yang dipimpinnya, maka akan lebih mudah baginya
untuk memimpin mereka.
Ketertarikan dapat membuat seseorang meniru orang lain. Jika kita memengaruhi orang
lain tanpa ada ancaman atau syarat pertukaran di dalamnya, maka kita sedang menggunakan soft

power. Soft power bekerja dengan alat yang berbeda (bukan kekuatan atau uang) untuk
menghasilkan kerja sama, yaitu daya tarik dalam nilai yang dianut bersama dan keadilan, serta
kewajiban untuk berkontribusi dalam pencapaian nilai-nilai tersebut. Dalam politik internasional,
sumber penghasil soft power sebagian besar berupa nilai-nilai yang dianut dan diperlihatkan oleh
organisasi dan negara dalam budayanya, dalam praktek dan kebijakannya, dan dalam
berhubungan dengan negara lain. Sumber yang sama dapat menghasilkan perilaku yang berbeda
dalam spektrum. Sebuah negara yang memiliki militer yang kuat dapat memiliki daya tarik
berupa citra tak terkalahkan. Citra ini, kemudian, akan menghasilkan kekaguman negara lain
yang akhirnya memilih untuk berpihak pada negara tersebut. Soft power bersumber pada budaya,
nilai, dan kebijakan. Budaya adalah “the set of values and practices that create meaning for a
society” (Nye, 2004, 11). Budaya dalam konteks ini tidak selalu high culture yang menarik untuk
kalangan elit, tetapi juga budaya populer yang lebih berupa hiburan.2
Gelombang Korea (Korean Wave) adalah sebuah fenomena dimana terjadi
peningkatan popularitas dari kebudayaan Korea Selatan yang digemari oleh orangorang di luar Korea Selatan sendiri. Korean Wave di Daratan Cina sendiri dimulai pada
tahun 1993 dimana pada saat itu sinema elektronik dari Korea Selatan diimpor dan
disiarkan oleh televisi CCTV. Dapat dikatakan Korean Wave dimulai dan menyebar lebih
jauh ke negara tetangga setelah kebudayaan Korea Selatan terkenal di Cina (Sue Jin
Lee, 2011, hlm.2). Setelah fenomena Korean Wave di Cina, gelombang ini menyebar ke
negara tetangga yang lain diantaranya adalah Jepang, negara-negara di Asia Timur,
Timur Tengah, dan juga negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Awal
kemunculan Korean Wave menimbulkan reaksi yang berbeda di setiap negara, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan etos, dan kebudayaan, sehingga respon yang diterima
dan dicerna oleh masyakarat menghasilkan output yang berbeda-beda. Dewasa ini,
penyebaran Korean Wave ini menjadi fenomena dimana-mana di seluruh dunia, yang
mana efeknya sekarang tidak hanya minat terhadap kebudayaan Korea Selatan saja
namun juga ketertarikan terhadap gaya busana, kuliner, musik dan perfilman ala Korea
Selatan.
2 Joseph Nye, 2005. Soft Power. Harvard University: Jstor Foreign Policy No.80, Twentieth Anniversary (Autumn,
1990) Dalam Soft Power, Stella Edwina Mangowal, Fisip Ui 2010.

Industri film di Korea Selatan merupakan faktor awal lahirnya Korean Wave.
Sepuluh tahun yang lalu mungkin hanya drama-drama produksi Korea Selatan menjadi
salah satu produk yang diimpor oleh negara tersebut. Drama produksi dari Korea
Selatan menjadi daya tarik karena ceritanya yang dikemas dengan baik dan
berkualitas. Drama dari Korea Selatan ini selalu membawa unsur-unsur kebudayaan
dalam setiap filmnya, contohnya seperti gaya busana, makanan khas negara tersebut,
atau daerah-daerah khas dari negara Korea Selatan. Hal-hal yang seperti inilah yang
mampu menghipnotis penonton di dunia ini, sehingga secara tidak langsung penonton
menyukai dan mencintai apa yang tokoh dalam drama tersebut lakukan, hal inilah yang
menyebabkan kecintaan dan keinginan untuk mengikuti kebudayaan Korea Selatan.
Industri film ini memberikan dampak baik kepada Korea Selatan, karena film dapat
mencerminkan keadaan negara tersebut secara tidak langsung, contohnya seperti
memperlihatkan teknologi Korea Selatan yang maju, masyarakatnya yang ramah,
kebudayaan yang beragam, negara-negara dengan pemandangan yang indah yang
mana akan menarik minat yang melihatnya untuk lebih dalam mengenal kebudayaan
dari Korea Selatan.
Industri musik di Korea Selatan merupakan salah satu faktor Korean
Wave semakin menyebar. Musik di Korea Selatan sudah ada sejak Korea Selatan dan
Korea Utara masih menjadi satu negara. Korean Pop atau yang lebih terkenal dengan
sebutan K-Pop yang pertama kali muncul dikenal dengan sebutan Trot. Trot merupakan
sebuah musik yang terinspirasi dari Japanese Pop dari Enka ketika Jepang menduduki
Korea pada tahun 1910-1945. Musik Pop di Korea Selatan mulai berubah seiring
dengan perkembangan zaman. Dewasa ini Musik Pop di Korea Selatan terpengaruh
oleh musik-musik dari Amerika Serikat, seperti musik RnB, Rap, dan Hiphop. Namun
menurut penulis majalah Rolling Stones, K-Pop merupakan sebuah musik hasil
perpaduan antara musik trendi dari Amerika dan high-energy Japanese Pop. Musik
Korea Selatan menarik perhatian banyak masyarakat tidak hanya di negara asalnya

tetapi juga perhatian dari masyarakat di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan KPop memberikan tidak hanya audio yang enak didengar namun juga visual yang enak
dilihat. BBC pernah menuliskan bahwa “Grup musik dari Korea Selatan seperti
diantaranya Super Junior dan Wonder Girls adalah boy- dan girlband, yang para
personilnya memiliki wajah yang rupawan dengan kemampuan tari yang baik dan
musik yang catchy.
Kebanyakan dari video musik di korea sangat berwarna dengan musik beat yang
menarik, musisinya pun kebanyakan datang dari generasi muda yang rupawan
sehingga banyak yang tertarik”[1]. Suara yang merdu, wajah rupawan, dan gaya busana
unik dari Korea Selatan yang membuat musik K-Pop menjadi paket yang lengkap bagi
para pecintanya. Pengaruh musik K-Popsendiri sudah meyebar ke berbagai negara,
khususnya negara-negara di Asia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya
para penggemar dari boyband dan girlband Korea yang yang menjamur dimana-mana,
tidak terkecuali di Indonesia. Dewasa ini generasi muda sudah sangat banyak yang
mencintai dan menggemari musik dari Korea Selatan tersebut, sehingga tidak heran
jika banyak sekali toko-toko yang menjual pernak-pernik dari musisi-musisi dari Korea
Selatan.

Kontribusi

Korean

Wave

dalam

Kegiatan

Ekspor

dan

Bidang

Pariwisata
Saat terjadi krisis global pada tahun 1997, nilai perekonomian Korea Selatan melemah
dan turun hingga 7%. Hal ini mengakibatkan pemerintah harus bekerja keras untuk
mencari cara agar nilai perekonomiannya membaik. Pada saat itu pemerintah
mencoba untuk mengandalkan industri makanan sebagai jalan alternatif, namun pada
kenyataannya

hal

tersebut

tidak

dapat

membantu

perekonomian

membaik.

Pemerintah Korea Selatan akhirnya menyadari bahwa negaranya terlambat dalam
modernisasi. Pada awalnya negara tersebut hanya bergantung pada ekspor dari
industri makanan dan manufaktur, yang pada kenyataannya tidak terlalu berhasil.

Pemerintah Korea Selatan kemudian mencoba untuk mengekspor produk budaya
bersamaan dengan produk manufaktur dan makanan, kemudian produk kebudayaan
Korea Selatan ditempatkan bersama produk-produk kebudayaan dari negara lain di
Pasar Asia. Pada saat itu Pasar Asia masih didominasi oleh produk kebudayaan dari
Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Seiring dengan berjalannya waktu, produk
kebudayaan Korea Selatan semakin banyak digemari. Hal ini dikarenakan ada
kemiripan budaya dengan negara-negarta pengimpor; seperti Cina, Jepang, Taiwan,
dan negara-negara lain di Asia. Kebudayaan Korea Selatan dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat yang kebudayaannya sudah menjadi suatu adat yang ada di
Asia, contohnya seperti nilai-nilai harmonis, komunitas, moralitas yang kuat, dan rasa
hormat yang tinggi terhadap keluarga.
Melihat respon yang baik dari masyarakat luar, pemerintah Korea Selatan lebih
menekankan ekspor dari produk-produk kebudayaan. Hasilnya produk kebudayaan
Korea Selatan semakin banyak digemari, khususnya dari industri film dan musik.
Contohnya di Jepang, wanita paruh baya sangat menggemari drama Korea Selatan
yang berjudul Winter Sonata karena dalam drama tersebut para pemeran sangat
menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai yang baik terutama dalam sikap mereka
terhadap orang tua. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan drama Korea Selatan cepat
menyebar di Jepang, yang pada akhirnya penggemar drama tersebut lebih banyak dari
drama lokal buatan negeri. Kontribusi Korean Wave selain berperan besar dalam
kegiatan ekspor ternyata juga sangat berpengaruh dalam peningkatan jumlah
pariwisata ke Korea Selatan yang setiap tahun naik selama Korean Wave berlangsung.
Apa yang ditonton orang terutama orang-orang di luar negeri dalam tayangan film-film
drama Korea Selatan yang selalu menunjukkan bagaimana keindahan Korea dan nilainilai sosialnya, mampu menarik mereka untuk datang langsung melihat lokasi syuting
film-film tersebut. Hal tersebut kemudian mampu menjadi pembangkit perekonomian
yang baik bagi Korea Selatan.

Sektor pariwisata jelas sekali menjadi pembangkit perekonomian Korea Selatan
yang kala itu sempat jatuh karena krisis yang melanda Asia. Hal tersebut dimanfaatkan
pemerintah Korea Selatan untuk mendatangkan turis dengan sajian film-film drama
dengan lokasi syuting-nya yang menunjukkan keindahan dan budaya hidup orangorang Korea itu sendiri. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa Hallyu menyokong GDP
Korea Selatan sebanyak 0,2%. Hallyu menyokong $1,87 miliar atau 2,14 triliun won
pada sektor ekspor dan pariwisata pada tahun 2004. Di kategori penjualan barangbarang lokal, Hallyu mampu menyumbang $918 miliar. Secara lebih rinci lagi, institut
penelitian Korea Selatan mengatakan bahwa jumlah wisatawan mancanegara ke Korea
Selatan meningkat dari 647.000 orang menjadi 968.000 orang pada tahun 2004.
Meningkatnya

wisatawan

mancanegara

ini

disebabkan

dengan

meningkatnya

masyarakat di luar Korea Selatan yang ingin berkunjung langsung ke Korea Selatan
karena terkena demam Hallyu. Sebagai contohnya, banyak wisatawan mancanegara
yang mengunjungi Dae Jang Geum Village di Korea Selatan setelah menonton
drama Dae Jang Geum (Jewel in the Palace).[3] Sebuah kota di Korea Selatan bernama
kota Chuncheon, pada tahun 2003 wisatawan mancanegara yang berkunjung kesana
sebesar 140.000 orang. Pada 2004 meningkat secara signifikan menjadi 370.000 orang
dan kembali meningkat menjadi 390.000 orang di tahun 2005.[4]
Kesukaan terhadap produk-produk budaya dari Korea Selatan semakin banyak,
hingga akhirnya pada tahun 1997, seorang jurnalis dari Beijing menuliskan bahwa Cina
sedang dilanda oleh Korean Wave. Istilah Korean Wave adalah sebutan untuk
menjelaskan nama fenomena masyarakat yang sedang tergila-gila pada kebudayaan
Korea Selatan seperti apa yang mereka lihat dalam drama ataupun yang didengar dari
musik. Melihat kesempatan ini pemerintah Korea Selatan mulai menggalakan ekspor
produk budaya ke negara-negara tetangga yakni Cina dan Asia Timur. Pada tahun
1998, nilai ekspor budaya Korea Selatan di Pasar Asia mencapai $413 juta dan
jumlahnya semakin meningkat pada tahun 2004 yang mencapai $939 juta[5]. Ekonomi

Korea Selatan semakin membaik karena banyaknya permintaan produk-produk seperti
album musik, film drama, serta banyaknya turis-turis mancanegara yang datang dari
luar negeri karena tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat yang mereka lihat di
dalam drama yang mereka sukai. Menurut data dari Ministry of Culture, Sport, and
Tourism of South Korea pada tahun 2004 sampai dengan 2007, perekonomian Korea
Selatan hasil ekspor produk budaya dari industri film dan musik mengalami
peningkatan. Melihat peningkatan jumlah ekspor dari produk budaya setiap tahunnya,
pemerintah Korea Selatan menjadikan fenomena Korean Wave sebagai salah satu soft
power yang dapat diandalkan. Tidak hanya dalam industri hiburannya saja, pemerintah
juga mempromosikan pariwisata agar banyak wisatawan asing yang berlibur ke Korea
Selatan, sehingga devisa negaranya bertambah. Pemerintah Korea Selatan juga
memberikan dana bantuan atau hibah kepada organisasi-organisasi di mancanegara
yang ikut mengenalkan kebudayaan Korea Selatan. Hal tersebut dimaksudkan agar
mereka bisa ikut mempromosikan nilai kebudayaan Korea Selatan tidak hanya melalui
televisi namun juga bisa dilihat secara langsung.
Beberapa peneliti pernah mengatakan bahwa Korean Wave adalah suatu
fenomena yang hanya sementara. Namun kenyataannya tidak sama sekali, setelah
internet menjadi umum, Korean Wave justru semakin menjamur dan peminat
terhadap produk budayanya semakin banyak. Internet menjadi tempat dimana
para Netizens, sebutan

bagi

para

pengguna

internet

untuk

menonton

dan

mendengarkan berita atau produk terbaru dari industri hiburan yang mereka sukai.
Fenomena baru-baru ini datang dari PSY. PSY adalah seorang musisi Korea Selatan
yang menjadi pembicaraan masyarakat di dunia karena tariannya yang unik dan
lagunya yang catchy. Penyanyi solo ini mendapat respon yang sangat hebat dari para
penggemarnya di seluruh dunia, tidak hanya dari negara-negara Asia saja,
ketenarannya juga mencapai Eropa dan Amerika Serikat. Secara tidak langsung PSY
meningkatkan jumlah ekspor Korea Selatan ke mancanegara. Tidak hanya dari hasil

penjualan album musik saja, konser-konser dari para musisi Korea Selatan di
mancanegara juga menjadi perhitungan, pada tahun 2012 banyak sekali para musisi
yang melakukan Tour keliling dunia untuk memuaskan kerinduan para penggemarnya
yang

secara

tidak

langsung

mempromosikan

pariwisata

Korea

Selatan

dan

mempererat kerjasama dengan negara yang dituju. Dari data diatas dapat kita lihat
bahwa hallyu berkontribusi dalam peningkatan nilai ekonomi di Korea Selatan,
khususnya pada tahun 1997 saat terjadi krisis ekonomi global. Korea Selatan dengan
baik dapat menjadikan budaya mereka sebagai soft power yang dapat dijadikan sebagai
alat untuk mencapai kepentingan nasional, selain itu kebudayaannya juga menjadi
dikenal oleh masyarakat di seluruh dunia.
Industry

Total
revenue

Exports

Jobs

Animation

₩135.5 billion

₩35.2 billion

4,624 jobs

Broadcasting (including independent
broadcasting video producers)

₩213.5 billion

₩2.2 billion

4,714 jobs

Cartoon

₩183.2 billion

₩4.7 billion

209,964 jobs (cartoon
and publishing
combined)

Character

₩1,882.9 billio
n

₩111.6 billio
n

26,560 jobs

Gaming

₩2,412.5 billio
n

₩662.5 billio
n

97,072 jobs

Knowledge/Information

₩2,123.1 billio
n

₩105.2 billio
n

51,348 jobs

Motion Picture

₩903.8 billion

₩15.6 billion

30,787 jobs

Music

₩997.3 billion

₩48.5 billion

78,728 jobs

Industry

Total
revenue

Exports

Jobs

Publishing

₩5,284.6 billio
n

₩65 billion

209,964 jobs (cartoo
combined)

Praktik Soft diplomacy Jepang di Indonesia dan Dunia
Pemerintah Jepang mencoba meningkatkan diplomasi kultural (sebagai bentuk soft
diplomacy) untuk memvariasikan citranya yang semula hanya sebagai “pendonor”? terbesar
ODA . Melalui soft diplomacy ini, Jepang bertujuan untuk menciptakan understanding dengan
cara aktivitas “misionaris”? budaya Jepang. Seiichi Kondo, Direktur dari bidang pertukaran
budaya MoFA Jepang mengatakan bahwa adanya improvisasi image Jepang dapat mendorong
adanya active personal and commodity exchanges. Sebagai bentuk konkret cultural diplomacy,
didirikanlah The Japan Foundation pada tahun 1972 yang merupakan organisasi non-profit semi
pemerintah yang berada di bawah pengawasan Japanese Foreign department. Tujuannya adalah
untuk memperkenalkan Jepang kepada dunia agar mereka dapat mengetahui dan memahami
tentang kebudayaan dan masyarakat Jepang. Tujuan ini sesuai dengan konteks era 1970an
dimana pada saat itu hubungan Jepang dengan negara lain hanya berbasis ekonomi saja, tanpa
adanya “heart-to-heart understanding”. Di Indonesia sendiri, kantor perwakilan The Japan
Foundation didirikan tahun 1979 sebagai bentuk implementasi heart to heart diplomacy yang
diamanatkan dalam Doktrin Fukuda (1977).
Bentuk program kegiatannya berupa kerjasama dengan organisasi-organisasi pemerintah,
universitas-universitas dan institusi penting lainnya, termasuk Visiting Professorship Program,
pemberian berbagai bentuk beasiswa, mengundang guru-guru berprestasi ke Jepang, mendirikan
Japanese Language Course and Ikebana Course, mengadakan acara-acara perlombaan dan
pertukaran kebudayaan (festival dan olahraga) dan pendirian ASJI (Asosiasi Studi Jepang di
Indonesia). Selain melalui JF, aktivitas cultural diplomacy juga dilakukan melalui jaringan nonpemerintah, walaupun sebenarnya dirancang dan disponsori oleh pihak pemerintah Jepang.
Sebagai contohnya, Jepang mengembangkan program pertukaran kebudayaan dan akademis

dengan mengundang 6000 pemuda dari 40 negara setiap tahunnya untuk memperkenalkan
kebudayaan mereka di sekolah-sekolah Jepang. Selain itu, terdapat wadah bagi para alumninya
untuk menjaga hubungan persahabatan yang ada. Cultural Diplomacy yang dicanangkan
pemerintah mendapatkan dukungan yang besar dari para pemimpin Jepang. Misalnya, pada masa
kepemimpinan PM Aso ini, ada dukungan terhadap penggunaan budaya populer sebagai soft
power, dan PM Aso menyarankan bahwa budaya tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan bisnis/industri Jepang. Bahkan ia menerima adanya kesan dan sugesti dari
negara lain yang mengatakan bahwa budaya populer merupakan Japan’s business front.
Pengaruh Soft Diplomacy Jepang terhadap Indonesia
Hasil nyata dari soft diplomacy Jepang adalah adanya opini publik masyarakat di Asia
Tenggara termasuk Indonesia terhadap citra “Japan Cool”. Image jepang tidak dapat dilepaskan
dari industri manga, anime, games, fashion, teknologi tinggi, serta hal-hal baik lainnya. Tentu
saja pencitraan ini sangat membantu pemerintah Jepang dalam melaksanakan politik luar negeri
dan hubungan internasionalnya, karena sudah ada penerimaan yang cukup terbuka terhadap
Jepang, sehingga masyarakat cenderung menganggap segala hal yang berasal dari Jepang adalah
baik. Sebagai buktinya, kerjasama EPA yang dijalin antara Jepang-Indonesia sejak 2007 lalu,
menimbulkan banyak perdebatan. Analisa kritisnya adalah terdapat poin-poin kerjasama yang
ambigu dan dinilai lebih banyak menguntungkan Jepang. Hal ini menyalahi konsep strategic
partnership yang seharusnya adalah win-win dan setara. Salah satu isi perjanjian kemitraan ini
menyebutkan bahwa Indonesia wajib menjamin pasokan LNG ke Jepang (konkret), dan sebagai
balasannya, Jepang akan membantu memfasilitasi capacity building yang sulit diukur
kemungkinan dampaknya bagi masa depan industri nasional Indonesia . Terlebih, Jepang dikenal
cukup sulit dalam melaksanakan transfer of technology yang seharusnya menjadi kewajiban bagi
suatu perusahaan multinasional. Poin-poin kerjasama J-I EPA ini menunjukkan sikap Indonesia
yang tidak tegas dan kurang kritis dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Salah satu
faktor penyebabnya adalah karena adanya pengaruh soft diplomacy dan rasa kekaguman pada
Jepang. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian dan pelaksanaan yang serius dalam
melaksanakan kebijakan politik luar negeri yang selaras dengan kepentingan nasional Indonesia.
Selain melalui ODA (checkbook diplomacy), Jepang juga gencar melaksanakan
pencitraan melalui soft diplomacy. Komitmen Jepang melalui Doktrin Fukuda berhasil

membawa Jepang meraih posisi global melalui perkembangan soft power-nya. Dapat dilihat
bahwa diplomasi dalam politik luar negeri Jepang sejalan dengan kebijakan dan kepentingan
nasionalnya yaitu kepentingan ekonomi. Agenda ini dibungkus secara rapi melalui pendekatan
yang lunak, sehingga tidak terasa bahwa soft power Jepang berhasil mempengaruhi dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Salah satu bentuk dampak dan pengaruh soft diplomacy Jepang di
Indonesia adalah tingginya minat masyarakat terhadap produk-produk dan teknologi Jepang,
serta

image

Jepang

sangat

baik

di

mata

masyarakat

Indonesia.

Jepang

berhasil

mengkombinasikan hard dan soft power-nya menjadi smart power yang mampu membuat
Indonesia takluk dalam setiap negosiasi dan kerjasama.
Memang ironis, bahwa kerjasama Indonesia dengan Jepang lebih bersifat unequal
relationship, dimana Jepang lebih banyak diuntungkan daripada Indonesia. Selain secara
ekonomi, kebudayaan dan produk Jepang telah berhasil mempenetrasi pemikiran masyarakat
serta pasar di Indonesia. Oleh karenanya, setelah melihat pengalaman dengan Jepang ini,
diperlukan komitmen yang tinggi, pembelajaran yang serius serta sikap yang tegas bangsa
Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya yang selaras dengan kepentingan nasional.
Selain itu, diharapkan euforia soft diplomacy Jepang di Indonesia itu tidak menghalangi
masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk bersikap kritis dan berani melakukan smart
diplomacy, agar kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional tidak dikalahkan oleh
kepentingan negara lain, demi perbaikan dan kemajuan Indonesia di masa depan.