ANALISIS UNDANG UNDANG NO 25 TAHUN 2007
ANALISIS UNDANG UNDANG NO 25 TAHUN 2007 TENTANG
PENANAMAN MODAL
Sejarah tentang Peranan Investor Asing dalam Memulihkan Perekonomian Indonesia Era
Orde Baru. Tujuan dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXIII tahun 1966 adalah untuk
mengatasi krisis krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1955.
Pada masa ini Soeharto dihadapkan pada utang luar Negeri peninggalan orde lama yang
mencapai 2,2-2,7 miliar dolar Amerika Serikat. Untuk menanggulanginya, Soeharto
mencanangkan berbagai kebijakan ekonomi baik dalam mau pun luar negeri.
Indonesia mempunyai falsafah hidup/ideologi pancasila, yang sekaligus menjadi
Grundnorm/kaedah dasar bagi sistem hukum Indonesia. lazimnya sistem hukum dan sistem
ekonomi berhubungan erat dengan ideologi yang dianut suatu Negara (Salim, 2005). Penjabaran
kelima sila dalam Pancasila termaktub dalam pembukaan UUD 1945, dan dituangkan dalam
pasal-pasal dan batang tubuh UUD 1945, sehingga semua peraturan perundang-undangan di
Republik Indonesia (termasuk dalam bidang ekonomi) tidak boleh bertentangan dengan UUD
1945 dan pancasila.
Selain menegaskan asas ekonomi nasional, UUD 1945 juga menyiratkan nilai
nasionalisme ekonomi. Rumusan nasionalisme ekonomi secara deduktif telah diformulasikan
dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 memuat ketentuan mengenai
semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan, wadah usaha, dan sumber-sumber ekonomi
yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Rumusan nasionalisme ekonomi Indonesia menghendaki secara mutlak suatu
restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya (Arief, 2002).
Sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945, sistem
ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, dengan kata lain
dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi kerakyatan. menurut Prof. Dr. Laica Marzuki (1999),
“ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat
kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya ekonomi apa saja
yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb.,
yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus
mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya (Marzuki, 1999).
Setiap aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perekonomian nasional
harus berlandaskan pada jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 serta harus sesuai dengan sistem
ekonomi nasional yang dianut UUD 1945, yakni demokrasi ekonomi dengan konsep ekonomi
kerakyatan. Setiap aturan perundang-undangan yang menyimpang dengan konsep, jiwa dan
semangat ini, maka berarti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang membutuhkan banyak modal untuk
mengatasi masalah-masalah pokok dalam upaya mensejahterakan rakyatnya, karena tingkat
pertumbuhan penduduk di Indonesia relatif tinggi, tetapi secara ekonomi relatif masih
terbelakang. Selain itu menurut MP. Todaro (1983) Negara yang sedang berkembang memiliki
ciri-ciri :
Taraf hidup yang rendah
Untuk keluar dari tingkatan negara yang sedang berkembang, Indonesia harus mempunyai modal
yang besar dan mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pengaturan kebijakan tentang penanaman modal asing secara resmi untuk pertama
kalinya diatur dalam UU No. 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan undang-undang ini
banyak mengalami hambatan, undang-undang tersebut dicabut dengan UU NO. 16 Tahun 1958.
Sejak zaman orde baru, kebijakan penanaman modal terbuka bagi para investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan mensahkan UU No. 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan UU No. 11 Tahun 1970 (UUPMA),
selain mengeluarkan peraturan kebijakan tentang penanaman modal asing, pemerintah juga
mengeluarkan peraturan tentang penanaman modal dalam negeri, yaitu UU No. 6 tahun 1968 jo
UU No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, sehingga ada pemisahan
pengaturan tentang penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.
Setelah berlaku kurang lebih 40 tahun, kebijakan penanaman modal asing dan penanaman
modal dalam negeri tersebut diganti dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
(UUPM). Kebijakan baru ini maksudkan untuk memenuhi tantangan dan kebutuhan untuk
mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum
nasional dibidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan
nasional. Sejak berlakunya UUPM, maka terjadi perubahan secara signifikan tentang kebijakan
penanaman modal di Indonesia.
Undang-Undang Penanaman Modal merupakan salah satu bagian dari paket perbaikan
kebijakan iklim investasi yang dikeluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 yang
salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang Penanaman Modal yang memuat
prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor
domestik dan asing (di luar Negative List), dan Dispute Settlement. Paket perbaikan kebijakan
ini didanai oleh Bank Dunia melalui utang program yaitu, Development Policy Loan (DPL) III
sebesar US$ 600 juta, utang dalam bentuk technical assistance ini adalah utang jangka pendek
yang mulai disepakati sejak bulan Desember 2006 dan berakhir pada bulan Maret 2007 (Putusan
Mahkamah Konstitusi, Nomor 21-22/PUU-V/2007).
Sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum UUPM, modal adalah asset dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang dimiliki oleh penanam modal yang memiliki nilai ekonomis,
sedangkan yang dimaksud dengan Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam
modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Dikaji dari bentuk kebijakannya, maka UUPM
secara langsung mengabungkan kebijakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri melalui satu undang-undang.
UUPM mengundang banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat, karena pasal demi
pasal dalam undang-undang tersebut, dianggap lebih berpihak pada penanam modal asing. Hal
ini dapat kita cermati melalui pasal-pasal yang dianggap inkontitusional, misalnya pada
penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM yang berbunyi, “yang dimaksud dengan “asas
perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan non
diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanammodal
dalam negeri dan penanam modal asing maupun antarapenanam modal dari satu negara asing
dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM mengisyaratkan perlakuan yang sama terhadap penanam
modal asing dan penanam modal dalam negeri. Seharusnya penegasan perlakuan yang sama
hanya berlaku untuk penanam modal dalam negeri, agar penanam modal dalam negeri mendapat
prioritas yang utama. Perlakuan yang sama terhadap penanam modal asing dan penanam modal
dalam negeri tentu saja membuka peluang besar bagi para investor asing untuk memperoleh
kesempatan berivestasi disegala bidang. Prinsip persamaan dan tidak membedakan antara
pemodal asing dan pemodal dalam negeri telah melanggar amanat konstitusi mengenai
pengelolaan perekonomian nasional karena mengarah pada liberalisasi ekonomi.”
ketentuan Pasal 12 ayat (4) UUPM yang mengatur tentang “kriteria dan persyaratan bidang
usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup
dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”
memberikan peluang besar kepada presiden untuk menentukan kriteria bidang usaha terbuka
sehingga akan berpotensi besar peraturan presiden sarat dengan kepentingan pribadi dan
kelompok-kelompok tertentu, terutama para pemodal asing.
Menyikapi ketentuan Pasal 12 ayat (4) seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang tersebut, sebagaimana
dahulu pernah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing yang secara khusus mengatur tentang Badan Usaha Modal Asing. Dalam pasal ini
disebutkan dengan tegas bidang-bidang usaha yang tertutup secara penguasaan penuh untuk
penanaman modal asing : Pasal 6 Ayat (1), bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup rakyat banyak adalah sebagai berikut:
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf a, b, dan c UUPM, yang mengatur :
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun.
Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui
selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pasal ini memberikan kemudahan pelayanan hak atas tanah lebih lama daripada hak atas
tanah yang diatur dalam UUPA, bahkan lebih lama daripada hak atas tanah yang diberikan
Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet (AW) yang hanya membolehkan jangka
waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam
UUPA selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun HGB sedangkan untuk HGU dalam UU
Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling
lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.
PENANAMAN MODAL
Sejarah tentang Peranan Investor Asing dalam Memulihkan Perekonomian Indonesia Era
Orde Baru. Tujuan dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXIII tahun 1966 adalah untuk
mengatasi krisis krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1955.
Pada masa ini Soeharto dihadapkan pada utang luar Negeri peninggalan orde lama yang
mencapai 2,2-2,7 miliar dolar Amerika Serikat. Untuk menanggulanginya, Soeharto
mencanangkan berbagai kebijakan ekonomi baik dalam mau pun luar negeri.
Indonesia mempunyai falsafah hidup/ideologi pancasila, yang sekaligus menjadi
Grundnorm/kaedah dasar bagi sistem hukum Indonesia. lazimnya sistem hukum dan sistem
ekonomi berhubungan erat dengan ideologi yang dianut suatu Negara (Salim, 2005). Penjabaran
kelima sila dalam Pancasila termaktub dalam pembukaan UUD 1945, dan dituangkan dalam
pasal-pasal dan batang tubuh UUD 1945, sehingga semua peraturan perundang-undangan di
Republik Indonesia (termasuk dalam bidang ekonomi) tidak boleh bertentangan dengan UUD
1945 dan pancasila.
Selain menegaskan asas ekonomi nasional, UUD 1945 juga menyiratkan nilai
nasionalisme ekonomi. Rumusan nasionalisme ekonomi secara deduktif telah diformulasikan
dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 memuat ketentuan mengenai
semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan, wadah usaha, dan sumber-sumber ekonomi
yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Rumusan nasionalisme ekonomi Indonesia menghendaki secara mutlak suatu
restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya (Arief, 2002).
Sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945, sistem
ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, dengan kata lain
dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi kerakyatan. menurut Prof. Dr. Laica Marzuki (1999),
“ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat
kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya ekonomi apa saja
yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb.,
yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus
mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya (Marzuki, 1999).
Setiap aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perekonomian nasional
harus berlandaskan pada jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 serta harus sesuai dengan sistem
ekonomi nasional yang dianut UUD 1945, yakni demokrasi ekonomi dengan konsep ekonomi
kerakyatan. Setiap aturan perundang-undangan yang menyimpang dengan konsep, jiwa dan
semangat ini, maka berarti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang membutuhkan banyak modal untuk
mengatasi masalah-masalah pokok dalam upaya mensejahterakan rakyatnya, karena tingkat
pertumbuhan penduduk di Indonesia relatif tinggi, tetapi secara ekonomi relatif masih
terbelakang. Selain itu menurut MP. Todaro (1983) Negara yang sedang berkembang memiliki
ciri-ciri :
Taraf hidup yang rendah
Untuk keluar dari tingkatan negara yang sedang berkembang, Indonesia harus mempunyai modal
yang besar dan mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pengaturan kebijakan tentang penanaman modal asing secara resmi untuk pertama
kalinya diatur dalam UU No. 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan undang-undang ini
banyak mengalami hambatan, undang-undang tersebut dicabut dengan UU NO. 16 Tahun 1958.
Sejak zaman orde baru, kebijakan penanaman modal terbuka bagi para investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan mensahkan UU No. 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan UU No. 11 Tahun 1970 (UUPMA),
selain mengeluarkan peraturan kebijakan tentang penanaman modal asing, pemerintah juga
mengeluarkan peraturan tentang penanaman modal dalam negeri, yaitu UU No. 6 tahun 1968 jo
UU No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, sehingga ada pemisahan
pengaturan tentang penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.
Setelah berlaku kurang lebih 40 tahun, kebijakan penanaman modal asing dan penanaman
modal dalam negeri tersebut diganti dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
(UUPM). Kebijakan baru ini maksudkan untuk memenuhi tantangan dan kebutuhan untuk
mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum
nasional dibidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan
nasional. Sejak berlakunya UUPM, maka terjadi perubahan secara signifikan tentang kebijakan
penanaman modal di Indonesia.
Undang-Undang Penanaman Modal merupakan salah satu bagian dari paket perbaikan
kebijakan iklim investasi yang dikeluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 yang
salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang Penanaman Modal yang memuat
prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor
domestik dan asing (di luar Negative List), dan Dispute Settlement. Paket perbaikan kebijakan
ini didanai oleh Bank Dunia melalui utang program yaitu, Development Policy Loan (DPL) III
sebesar US$ 600 juta, utang dalam bentuk technical assistance ini adalah utang jangka pendek
yang mulai disepakati sejak bulan Desember 2006 dan berakhir pada bulan Maret 2007 (Putusan
Mahkamah Konstitusi, Nomor 21-22/PUU-V/2007).
Sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum UUPM, modal adalah asset dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang dimiliki oleh penanam modal yang memiliki nilai ekonomis,
sedangkan yang dimaksud dengan Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam
modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Dikaji dari bentuk kebijakannya, maka UUPM
secara langsung mengabungkan kebijakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri melalui satu undang-undang.
UUPM mengundang banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat, karena pasal demi
pasal dalam undang-undang tersebut, dianggap lebih berpihak pada penanam modal asing. Hal
ini dapat kita cermati melalui pasal-pasal yang dianggap inkontitusional, misalnya pada
penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM yang berbunyi, “yang dimaksud dengan “asas
perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan non
diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanammodal
dalam negeri dan penanam modal asing maupun antarapenanam modal dari satu negara asing
dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM mengisyaratkan perlakuan yang sama terhadap penanam
modal asing dan penanam modal dalam negeri. Seharusnya penegasan perlakuan yang sama
hanya berlaku untuk penanam modal dalam negeri, agar penanam modal dalam negeri mendapat
prioritas yang utama. Perlakuan yang sama terhadap penanam modal asing dan penanam modal
dalam negeri tentu saja membuka peluang besar bagi para investor asing untuk memperoleh
kesempatan berivestasi disegala bidang. Prinsip persamaan dan tidak membedakan antara
pemodal asing dan pemodal dalam negeri telah melanggar amanat konstitusi mengenai
pengelolaan perekonomian nasional karena mengarah pada liberalisasi ekonomi.”
ketentuan Pasal 12 ayat (4) UUPM yang mengatur tentang “kriteria dan persyaratan bidang
usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup
dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”
memberikan peluang besar kepada presiden untuk menentukan kriteria bidang usaha terbuka
sehingga akan berpotensi besar peraturan presiden sarat dengan kepentingan pribadi dan
kelompok-kelompok tertentu, terutama para pemodal asing.
Menyikapi ketentuan Pasal 12 ayat (4) seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang tersebut, sebagaimana
dahulu pernah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing yang secara khusus mengatur tentang Badan Usaha Modal Asing. Dalam pasal ini
disebutkan dengan tegas bidang-bidang usaha yang tertutup secara penguasaan penuh untuk
penanaman modal asing : Pasal 6 Ayat (1), bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup rakyat banyak adalah sebagai berikut:
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf a, b, dan c UUPM, yang mengatur :
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun.
Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui
selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pasal ini memberikan kemudahan pelayanan hak atas tanah lebih lama daripada hak atas
tanah yang diatur dalam UUPA, bahkan lebih lama daripada hak atas tanah yang diberikan
Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet (AW) yang hanya membolehkan jangka
waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam
UUPA selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun HGB sedangkan untuk HGU dalam UU
Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling
lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.