Kul9 10 TRANSDUKSI SINYAL KIMIA

TRANSDUKSI SINYAL KIMIA

  Dalam sistem saraf, rangsang yang sampai di ujung akson akan merangsang sekresi neurotransmiter masuk ke celah sinapsis. Neurotransmiter yang berikatan dengan reseptornya di sel saraf berikutnya atau di sel-selotot dan kelenjar akan menghasilkan respon selular. Respon selular yang dihasilkan berbeda-beda pada sel saraf berikutnya, sel- sel otot maupun kelenjar. Dalam mekanisme komunikasi interselular yang lebih luas, sel-sel yang bisa membangkitkan rangsang bukan sel saraf saja, melainkan sel-sel kelenjar endokrin dalam bentuk yang dikenal sebagai hormon dan berbagai sel lainnya dalam bentuk sinyal-sinyal kimia. Hormon akan beredar mengikuti peredaran darah kemudian bekerja pada sel-sel target yang berjauhan lokasinya dengan kelenjar endokrin penghasil hormon. Hal ini disebut dengan sistem endokrin. Sedangkan sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh beragam jenis sel akan beredar dalam cairan ekstrasel kemudian berikatan dengan reseptor spesifiknya di sel-sel yang lokasinya berdekatan (parakrin) atau malah sel itu sendiri (autokrin). Kompleks antara hormon dan reseptornya atau antara sinyal dan reseptornya akan menginisiasi mekanisme pengaliransinyal intraselular yang akan menghasilkan respon selular. Ada mekanisme penghubung antara sinyal-sinyal ekstraselular (termasuk neurotransmiter dan hormon) dan munculnya suatu respon selular. Pada semua organisme, mekanisme penghubung tersebut diawali dengan reseptor mengenali sinyal, diikuti oleh serangkaian pengaliran sinyal intraselular sampai akhirnya muncul respon selular spesifik. Mekanisme pengaliran sinyal intraselular ini dikenal sebagai transduksi sinyal.

  Sinyal Kimia dan Reseptor Sel Semua organisme (atau semua sel) mampu menanggapi suatu kondisi spesifik dari lingkungannya, mulai dari dari faktor-faktor fisik (misalnya cahaya, panas dan gravitas) sampai faktor-faktor kimia (yaitu ada tidaknya suatu molekul ekstraselular tertentu, termasuk konsentrasinya). Pada sel bakteri yang uniselular, permukaan membran luarnya dilengkapi dengan molekul reseptor yangbisa mengenali dan mengikat molekul-molekul yang ada di lingkungannya secara spesifik. Pada sel-sel organisme multiselular yang mengalami diferensiasi dan spesialisasi, ada sekelompok sel yang mempunyai reseptor untuk cahaya (retina mata), suara (sel-sel rambut di telinga) dan reseptor untuk beragam faktor fisik.

  Selain itu, ada juga sekelompok sel yang mempunyai reseptor untuk beragam molekul kimia, misalnya molekul-molekul bau dan rasa dari makanan (sel-sel pengecup di lidah dan rongga hidung). Jadi pada setiap sel atau sekelompok sel

  • –termasuk sel-sel yang masih embrional sekalipun- bisa ditemukan berbagai jenis reseptor yang berfungsi mendeteksi kondisi lingkungan luar sel. Selain dimaksudkan[1] untuk mendeteksi lingkungan, infrastruktur reseptor suatu sel juga dimaksudkan untuk bisa berkomunikasi dengan sel yang lain. Komunikasi antar sel dimulai ketika sel atau sekelompok sel mensekresikan sinyal-sinyal kimia. Sinyal-sinyal kimia yang beredar dalam cairan ekstraselular kemudiandikenali oleh suatu reseptor dari sel-sel lainnya. Kompleks antara sinyal kimia dan reseptornya kemudian menghasilkan serial perubahan-perubahan intraselular. Selain itu, komunikasi antara sel-sel bertetangga yang saling berdekatan dilakukan dengan melakukan kontak langsung melalui plasmodesmata (tumbuhan) atau gap junction (hewan). [contoh: Dalam salah satu tahap perkembangannya, sel-sel ameboid penyusun tubuh jamur lendir,Dictyostelium, mensekresikan molekul cAMP. Molekul cAMP ini kemudian dikenali oleh reseptor di permukaan sel-sel ameboid lainnya yang kemudian memicunya untuk bergerak ke arah sel penghasil sinyal, berikatanmembentuk agregat dan akhirnya berdiferensiasi menjadi organisme multiselular yang sederhana].
diintegrasikan dan dikoordinasikan. Integrasi dan koordinasi diperlukan agar setiap sel atau sekelompok bisa melakukan fungsi-fungsi spesifiknya pada waktu yang tepat dan dalam lingkungan yang juga tepat. Sistem saraf (yang dibahas minggu lalu) bisa melaksanakan tugas tersebut dengan sangat cepat tetapi terbatas hanya pada sel-sel yang diinervasinya (yaitu otot dan kelenjar). Di lain pihak tidak semua sel atau kumpulan sel diinervasi oleh sistem saraf. Jadi, bentuk pengaturan yang lain adalah setiap sel harus mampu saling berkomunikasi yang melibatkan sistem sinyal kimiadan reseptornya yang spesifik.

  Jenis-jenis Sinyal Kimia Sinyal kimia yang disekresikan oleh sel sangat beragam. Salah satunya adalah hormon yang disekresikan olehsel-sel kelenjar endokrin ke aliran darah sehingga bisa mencapai sel- sel target yang sangat jauh. Selain itu, adalah faktor pertumbuhan yang disekresikan oleh suatu sel yang akan mempengaruhi sel-sel pada jaringan yang sama ataupun pada jaringan yang berdekatan. Sinyal-sinyal kimia yang beredar di cairan ekstraselular akan dikenali dan diikat oleh reseptornya yang ada di sel-sel target, membangkitkan proses-proses pengaliran sinyal intraselular sampai akhirnya memunculkan respon selular. Sinyal kimia, baik yang lokal maupun yang jauh, yang bisa membentuk ikatan dengan reseptornya disebut sebagai ligand (walaupun dalam kategori yang sama, sinyal kimia yang disekresikan oleh sel saraf tetap disebut neurotransmiter). Sebagian besar reseptor yang diketahui bisa berikatan dengan ligand merupakan molekul protein integral membran yang dilengkapidengan beberapa segmen transmembran dan segmen periferal di sisi luar membran. Dalam hal ini, ligand tersebut tidak bisa berdifusi melintasi membran, baik karena ukuran, muata listrik maupun hidrofobisitasnya.Beberapa reseptor lainnya bisa berikatan dengan ligand di dalam sitoplasma karena ligandnya berupa hormon steroid yang permeable membran. Kedua jenis ligand diatas disebut sinyal primer (primary messenger atau sering diterjemahkan sebagai duta pertama). Molekul lain yang biasanya dihasilkan akibat interaksi antara ligand dan reseptornya disebut sinyal sekunder (second messenger atau duta kedua). Beberapa sinyal sekundermerupakan molekul kecil atau ion yang meneruskan sistem persinyalan dalam rangkaian pengaliran sinyal intraselular atau transduksi sinyal. Dengan kata lain, tranduksi sinyal merupakan kemampuan sel menterjemahkan interaksi reseptor-ligand sampai menghasilkan respon selular, yaitu serangkaian perubahan-perubahan intraselular atau ekspresi gen-gen tertentu. Molekul-molekul sinyal yang telah diketahui sampai saat ini bisa berupa asam-asam amino dan berbagai turunannya, peptida, protein, asam-asam lemak, lipid, nukleosida maupun nukleotida. Beberapa molekul sinyal bisa berupa molekul hidrofilik yang berikatan secara spesifik dengan satu atau beberapa reseptor yang mempunyai situs pengikatannya di sisi luar membran sel. Dalam hal ini, komposisi kimia dari molekul sinyal tidak mencerminkan pesan yang dibawanya, melainkan lebih ke struktur atau bentuk molekul yang bisa membentuk ikatan dengan reseptornya. Sedangkan molekul sinyal hidrofobik yang permeabel terhadap membran sel akan membentuk ikatan dengan reseptornya di dalam sitoplasma ataupun nukleoplasma. Dua molekul sinyal hidrofobik yang paling banyak dikenal adalah hormon steroid turunan kolesterol dan retinoid turunan vitamin A, yang keduanya mengatur proses transkripsi gen-gen tertentu.

  Spesifisitas Sinyal dan Reseptornya Setiap sinyal kimia mempunyai reseptornya yang spesifik. Jika reseptor spesifiknya lebih dari satu maka rangkaian tranduksi sinyal maupun respon selular yang dihasilkan juga berbeda. Rangkaian pengaliran sinyal intraselular dimulai dengan adanya ikatan antara ligand dan reseptornya. Ikatan yang terbentuk adalah ikatan non-kovalen (biasanya ikatan pengikatan suatu reseptor biasanya dibangun oleh residu asam amino yang membentuk rantai samping.Kombinasi antara bentuk situs pengikatan dan strategi penempatannya di membran sel membuat reseptor hanya bisa membentuk ikatan dengan satu (atau sekelompok) ligand yang spesifik dalam rimba belantara molekul kimia cairan ekstraselular maupun intraselular. Meskipun begitu, dalam rimba belantara molekul ditemukan juga adanya molekul yang mirip dengan ligand yang bisa memperkuat maupun melemahkan respon selular normal. Tentunya kemiripan yang dimaksud bukan pada kandungan kimianya melainkan pada ada tidaknya situs pengikatan atau bentuk molekul. Sebagian besar ligand palsu ini adalah molekul yang datang dari luar tubuh sebagai obat atau racun, baik sintetis maupun alami (obat herbal). Dengan begitu, nilai penting dari spesifisitas reseptor terhadap ligandnya adalah pada aplikasinya dalam mengembangkan obat-obatan.

  Afinitas Reseptor Reaksi pengikatan yang spesifik antara satu ligand dengan satu reseptornya mirip dengan spesifisitas protein karier dalam proses difusi berbantuan atau enzim dan substratnya.

  Meskipun begitu, jumlah reseptor yang sama dalam satu sel bisa lebih dari satu. [hal yang sama secara logis bahwa jumlah ligand yang terlarut dalam cairan ekstraselular juga lebih dari satu]. Dengan begitu, jumlah reseptor yang membentuk ikatan dengan suatu ligand berbanding lurus dengan konsentrasi ligand dalam cairan ekstraselular. Sampai pada suatu kondisi dimana semua reseptor telah berikatan dengan ligand maka reaksi pengikatan tidak akan terjadi lagi, mekipun jumlah ligand bebas masih banyak. Penambahan jumlah ligand dalam kondisi tersebut tidak akan mempengaruhi sel target lebih lanjut. Secara kualitatif, hubungan antara konsentrasi ligand dan jumlah reseptor yang bisa mengikatnya disebut afinitas reseptor. Jika reseptor sudah penuh pada konsentrasi ligand rendah maka reseptor itu disebut mempunyai afinitas tinggi terhadap ligandnya, dan jika sebaliknya maka disebut mempunyai afinitas rendah. Secara kuantitatif, afinitas reseptor bisa digambarkan dengan konstanta disosiasi (Kd), yaitu konsentrasi ligand yang dibutuhkan agar separuh dari reseptor yang ada berikatan dengan ligand. Nilai Kd berkisar antara 10- 4sampai 10-9 mM. Sebagaimana konstanta Michaelis dalam kinetika enzim, nilai penting dari konstanta disosiasi ini adalah gambaran seberapa besar konsentrasi ligand yang dibutuhkan secara efektif untuk mengaktifkan respon selular. Jadi, reseptor yang mempunyai afinitas tinggi akan mempunyai nilai Kd rendah, atau sebaliknya, reseptor yang mempunyai afinitas rendah akan mempunyai nilai Kd tinggi. Patokan teknis umumnya agar respon selular bisa efektif adalah konsentrasi ligand harus dalam kisaran nilai Kd.

  Regulasi Reseptor Afinitas reseptor yang dibahas sebelumnya lebih menekankan bahwa konsentrasi ligand bisa sangat fluktuatif [sebagai nilai penting dari komunikan atau pengirim informasi]. Jika semua reseptor yang sejenis telah berikatan dengan ligand dan kondisi ini berlangsung lama maka sel tidak berespon lagi terhadap keberadaan ligand. Yang terlihat sebagai respon sel adalah bahwa sel sudah beradaptasi dengan keberadaan ligand. Dengan kata lain, reseptor sudah tidak peka lagi terhadap ligand. Dalam mekanisme pengaturannya, ketidakpekaan ini biasanya berkenaan dengan perubahan-perubahan pada sifat reseptor atau lokasinya yang dikenal sebagai receptor down-regulation. Pengaturan ini meliputi mengurangi jumlah reseptor dari membran,menurunkan afinitas reseptor dan/atau mengubah reseptor sehingga tidak bisa mengalirkan sinyal ke dalam sel. Pengurangan jumlah reseptor dari permukaan membran dilakukan dengan proses endositosis, yaitu bagian membran yang mengandung protein reseptor melekuk ke dalam dan melepaskan diri ke dalam sitosol sebagai kantong bermembran. Dalam kasus yang lain, ditemukan fenomena reseptor mengalami fosforilasi berespon terhadap adanya ligand, baik karena afinitasnya menurun atau karena tidak meneruskan sinyal ke dalam sel. Ketidakpekaan reseptor bisa disebut sebagai salah satu cara sel beradaptasi dengan konsentrasi ligand. Hal ini juga akan mengakibatkan fenomena toleransi reseptor. Sebagai contoh pada penggunaan obat semprot hidung pengurang mukosa (lendir/ingus) yang

  • andrenergik yang menyebabkan pembuluh darah di rongga hidung menyempit sehingga sekresi mukosa terhambat. Penggunaan yang lama dari obat ini akan menyebabkan kepekaan reseptor menurun (down-regulation) sehingga efektifitasnya mengurangi lendir hidung berkurang. [connection: bisakah Anda memperkirakan mekanisme kecanduan narkoba (yi. heroin, morphine, codeine, methadone) dan receptor down regulation? Secara legal, keempat jenis narkoba diresepkan oleh dokter untuk mengurangi rasa sakit. Pada masa perang dunia II, morfin biasa digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tentara yang diamputasi. Bentuk molekulnya menyerupai molekul sinyal (neurotransmitter) enkefalin yang terlibat dalam rangkaian pengiriman informasi sakit ke otak] Proses Pengiriman Sinyal Intraselular Pada umumnya, kompleks ligand-reseptor akan menginduksi perubahan konformasi reseptor atau beberapa reseptor menjadi saling menempel satu sama lain. Perubahan konformasi tersebut akan mengaktifkan mekanisme pengiriman sinyal intraselular sampai dihasilkan respon selular. Proses intraselular ini tidak dibuat seketika ada sinyal kimia, melainkan sebagai suatu proses yang telah terprogram. Kompleks ligand-reseptor tinggal mengaktifkannya saja. [Untuk memudahkan pemahaman, analogi dengan gerak refleks lutut dipukul -kaki menendang. Dalam gerak refleks ini, rangkaian saraf dan mekanisme kerjanya sudah tersedia. Rangkaian saraf dan mekanisme kerjanya tidak dibuat seketika pada saat lutut dipukul, melainkan merupakan infrastruktur tubuh yang sudah tersedia atau terprogram. Dengan dipukulnya lutut maka rangkaian saraf tadi akan bekerja]. Dengan kata lain, infrastruktur rangkaian proses pengiriman sinyal intraselular sudah tersedia dan akan bekerja kalau ada reseptor yang berikatan dengan ligand membentuk kompleks ligand- reseptor. Tentunya, awal dari transduksi sinyal intraselular adalah adanya kompleks ligand-reseptor. Aktifasi proses berikutnya tergantung pada jenis reseptor. Ada dua kelompok reseptor yang

  sudah dikenal dengan baik, yaitureseptor yang terpaut protein G atau reseptor yang berasosiasi dengan tirosin kinase.

  Reseptor Terpaut Protein G Pengikatan ligand oleh semua jenis reseptor yang terpaut dengan protein G akan mengaktifkan molekul protein G (G singkatan dari guanine-nucleotide binding protein).

  Protein G yang telah aktif akan menginisiasi rangkaian aktifasi protein-protein target intraselular, yaitu enzim atau protein transport.

  Struktur Reseptor Terpaut Protein G Struktur protein dari keluarga reseptor yang terpaut protein G adalah sama. Perbedaan antar mereka hanya pada runutan asam aminonya saja. Protein ini mempunyai tujuh

  • heliks. Ujung N menyembul ke sisi luar membran yang diikuti oleh empat segmen transmembran, menyambung ke segmen periferal dengan struktur loop di sisi sitoplasma sebagai situs interaksi dengan protein G, kemudian diikuti lagi oleh dua
Situs pengikatan ligand berada di rantai samping[2] asam amino membentuk loop di sisi luar sitoplasma di antara dua segmen transmembran terakhir.

  Struktur dan Aktifasi Protein G Protein G bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu heteromer dan monomer. Protein G bentuk kompleks permanen. Sedangkan protein G monomer adalah protein Ras yang akan dibahas lebih lanjut pada reseptor yang berasosiasi dengan tirosin kinase, atau merupakan bagian dari sitoskeleton. Berdasarkan respon selular yang akan dihasilkan, protein G heteromer bisa dikelompokkan menjadi Gs (s = stimulatory, merangsang) dan Gi (I = inhibitory, menghambat) transduksi sinyal.

  Protein G yang berikatan dengan nukleotida guaninen (GTP atau GDP) bisa digambarkan sebagai saklar on/off molekular. Perubahan konformasi reseptor setelah berikatan dengan ligand akan menyebabkan protein Gmembentuk kompleks dengan reseptor. Kompleks reseptor-protein G akan menyebabkan GDP yang terikat ke protein G lepas dan diganti oleh GTP. Ketika berikatan dengan GTP, maka subunit

  • Dalam beberapa kasus, GTP-
  • proses enzimatik intraselular. Subunit GTP- menjadi GDP. Setelah GTP mengalami defosforilasi menjadi GDP, maka dengan segera dengan ligand-reseptor berdissosiasi, Konformasi reseptor yang kembali ke kondisi semula menjadikan protein G lepas dari situs pengikatan reseptor dan menjadi tidak aktif. Protein G yang beragam menyebabkan mekanisme transduksi sinyal intraselular juga beragam. Dalam mekanisme pengaliran neurotransmiter, protein G terlibat dalam mengaktifasi kerja kanal ion K+ ataupun ion Ca++. Pada beberapa organisme, protein G terlibat dalam aktifasi protein kinase (enzim yang menambahkan gugus fosfat ke suatu molekul). Namun begitu, protein G yang paling banyak dikenal adalah yang terlibat dalam aktifasi sinyal kedua. Jenis sinyal kedua yang paling banyak dikenal adalah cAMP dan ion kalsium. Peran cAMP sebagai Sinyal Kedua cAMP dibentuk dari ATP sitosolik dengan bantuan enzim adenilat siklase. Adenilat siklase merupakan protein integral membran plasma yang mempunyai situs katalitik menyembul ke sisi sitoplasma. Enzim ini menjadi aktif ketika ber protein G. Jika reseptor terpaut protein Gs maka kompleks ligand-reseptor
  • selanjutnyaGTP- mengaktifkan adenilat siklase sehingga reaksi pembentukan cAMP dari ATP terjadi. Waktu aktif dari protein G sebagai respon terhadap konsentrasi ligand terjadi sangat cepat sampai GTP- sudah tidak dalam kondisi aktif lagi, konsentrasi cAMP intraselular masih tetap tinggi sampai kemudian dirusak oleh enzim fosfodiesterase. Jadi walaupun konsentrasi ligand telah menurun dan kompleks ligand-reseptor di sisi luar sel telah berdisosiasi,proses transduksi sinyal masih terus berlangsung. Target utama dari cAMP adalah enzim yang diketahui sebagai cAMP-dependent kinase atau
adalah membantu fosforilasi berbagai molekul protein intraselular yang mempunyai situs pengenalan kinase (biasanya berupa situs fosforilase dari rantai samping asam amino). Enzim PKA mempunyai kemampuan untuk memindahkan gugus fosfat dari ATP ke asam amino serin atau treonin dari suatu molekul protein. Jadi cAMP intraselular yang dihasilkan setelah terbentuknya kompleks ligand-reseptor bisa dikategorikan sebagai sinyal kedua. Dalam hal ini, cAMP mengaktifkan situs katalitik enzim PKA sehingga bisa memfosforilasi berbagai molekul protein sel.

  Dalam berbagai jenis sel, peningkatan konsenrasi cAMP intraselular menghasilkan respon selular yangberbeda-beda. Di dalam sel-sel otot kerangka dan hati, cAMP akan menyebabkan pemecahan glikogen. Di sel otot jantung, cAMP akan memperkuat kontrakasi otot jantung, sebaliknya di otot polos akan menghambat kontraksi otot polos. Di platelet darah, cAMP diketahui menghambat mobilisasinya ketika terjadi pembekuan darah, dan di sel-sel epitel saluran pencernaan meningkatkan sekresi air dan garam. Jadi rangkaian proses pembangkitan respon selular setelah diaktifasi oleh ligand sebagai terlihat beragam merupakan infratsruktur sel yang sudah tersedia pada setiap sel atau kumpulan sel mengikuti diferensiasi dan spesialisasinya. Bukti lain tentang hal itu berhasil dibuat oleh beberapa peneliti dengan cara meningkatkan cAMP intraselular tanpa adanya ligand. Ternyata, peningkatan cAMP intraselular tanpa didahului kompleks ligand-reseptor juga menghasilkan respon selular sebagaimana disebutkan diatas. Salah satu caranya adalah dengan menghambataktifitas enzim fosfodiesterase sehingga terjadi akumulasi cAMP intraselular. Senyawa-senyawa methylxanthine seperti kafein dan theophylline yang ditemukan di kopi, teh dan beberapa minuman ringan bisa beraksi sebagai penghambat enzim fosfodiesterase. Theophylline banyak digunakan sebagai bahan aktif obat asma karena dapat merelaksasikan otot polos bronkus. Jadi, dalam transduksi sinyal ekstraselular (kompleks ligand-reseptor) menjadi sinyal intraselular sampai kemudian menghasilkan respon selular melibatkan cAMP intraselular sebagai sinyal kedua.

  Contoh Protein G dan Penyakit Apa yang akan terjadi jika sistem protein G-adenilat siklase tidak bekerja? Pada penyakit kolera yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholarae dan batuk rejan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis, aktifitas protein G heteromer terganggu. Pengaturan sekresi garam dan air sel-sel epitel saluran pencernaan dilakukan oleh hormon yang bekerja melalui sistem protein G

  • – adenilat siklase. Racun yang disekresikan oleh V. cholerae akan menganggu kerja sistem ini sehingga sel-sel epitel secara terus-menerus mensekresikan garam (sodium klorida dan sodium bikarbonat) yang diikuti air. Racun kolera ditemukan mempunyai aktifitas enzimatis yang memodifikasi protein Gs sehingga tidak bisa menghidrolisis GTP menjadi GDP. Akibatnya, protein Gs selalu dalam kondisi aktif yang menyababkan adenilat siklase terus bekerja mengubah ATP menjadi cAMP. Dengan begitu, peningkatankonsentrasi cAMP intraselular akan menghasilkan respon selular sekresi garam dan air. Jika racun kolera tidak segera dinetralkan maka lama-kelamaan tubuh akan mengalami dehidrasi yang akan membawa ke kematian. Mekanisme munculnya penyakit batuk rejan yang disebabkan oleh racun pertusis dari B. pertussis mirip dengan penyakit kolera. Dalam hal ini, racun pertusis memodifikasi protein Gi sehingga aktifitas adenilat siklase tidak bisa dihentikan. Sayang sekali, mekanisme molekular aktifas adenilat sampai menyebabkan batuk rejan belum bisa dipastikan. Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari mekanisme molekular racun diatas, yaitu pengembangan obat penawar racun dan penggunaannya sebagai alat untuk mempelajari transduksi sinyal yang melibatkan protein G.
Peran IP3 dan DAG sebagai Sinyal Kedua Peran fosfolipid inositol dalam mekanisme pengiriman sinyal intraselular diawali dari eksperimen yang dibuat oleh Robert Michell dan Michael Berridge awal tahun 1980-an.

  Tuan Berridge menemukan bahwa ada serangkaian perubahan-perubahan inositol fosfolipid penyusun membran sel kelenjar ludah serangga ketika kelenjar tersebut dirangsang. Pada saat ini diketahui bahwa salah satu produk pemecahan fosfolipid inositol adalah inositol- 1,4,5-trifosfat (InsP3 atau disingkat menjadi IP3) yang berfungsi sebagai sinyal kedua. Pemecahan salah satu komponen fosfolipid membran, yaitu fosfatidilinositol-4,5-bifosfat (PIP2), oleh enzim fosfolipase C akan menghasilkan molekul IP3 dan diasilgliserol (DAG). Ketika molekul ini ditemukan oleh Tuan Berridge, beliau belum mengetahui bahwa molekul tersebut terlibat dalam mekanisme pengaliran sinyal intraselular. Dari berbagai penelitian lainnya selalu ditemukan adanya IP3 dan DAG ketika sel berfungsi normal yang akhirnya keduanya dikelompokkan sebagai sinyal kedua. Perlahan-lahan,berbagai penelitian setiap saat ada melaporkan beragam kompleks ligand-reseptor yang bisa mengaktifkan IP3 dan DAG sebagai sinyal kedua.

  Mekanisme pengiriman sinyal intraselular yang menggunakan IP3 dan DAG adalah lintasan inositol-fosfolipid-kalsium. Sebagaimana sistem protein G - adenilat siklase, lintasan ini dimulai ketika suatu reseptor permukaan sel berikatan dengan ligandnya. Kompleks ligand- reseptor kemudian mengaktifkan protein G yang disebut Gp (p merujuk pada aktifasi oleh fosfolipase C). Protein

Gp aktif kemudian mengaktifkan fosfolipase Cβ (nitasi Cβuntuk membedakan dengan jenis fosfolipase C lainnya) sehingga menghasilkan IP3 dan DAG

  Molekul IP3 mudah larut air sehingga dengan cepat berdifusi ke sitosol dan mengaktifkan kanal ion kalsium (ligand-gated calcium channel atau sering juga disebut reseptor IP3) yang ada di membran retikulum endoplasma. Kanal ion kalsium kemudian memompa ion kalsium dari lumen retikulum endoplasma ke sitosol. Respon-respon fisiologis sel akan terjadi ketika ion kalsium sitosol berikatan dengan kalmodulin membentuk kompleks Ca-kalmodulin yang aktif.

  Selain itu, molekul DAG yang dihasilkan oleh fosfolipase C tetap terikat ke membran plasma. Molekul DAG ini diketahui bisa mengaktifkan protein kinase C (PKC, C merujuk pada fosfolipase C). Peran DAG bisa diketahui setelah suatu penelitian menggunakan molekul yang mirip dengan DAG, yaitu metabolit suatu tumbuhan yang disebut phorbol ester. PKC aktif akan memfosforilasi berbagai molekul protein, terutama pada asam amino Ser dan Thr yang ada pada rantai samping berbagai molekul protein, tergantung jenis selnya. PKC merupakan kelompok enzim yang saat ini diketahui ada 6 jenis. Aktifitas semua molekul PKC membutuhkan fosfolipid membran dan DAG. Banyak respon selular yang terjadi di dalam sel yang melibatkan aktifasi PKC, antara lain stimulasi pertumbuhan sel, pengaturan kanal-kanal ion, fungsi-fungsi sitoskeleton, peningkatan pH sitosol dan aktifitas sekresi sel. Dalam hal PKC memicu pertumbuhan sel diduga dilakukan dengan cara memfosforilasi protien MAP kinase.

  Keterlibatan ion kalsium dalam proses-proses transduksi sinyal Mengikuti aktifasi fosfolipase C yang memecah fosfolipid inositol menjadi IP3 dan DAG adalah meningkatnya konsentrasi ion kalsium intraselular. Pendekatan eksperimen pada kelenjar ludah dilakukan menggunakan fura-2 (calcium-dependent fluorescent dye) sebagai indikator konsentrasi ion kalsium. Pada penelitian lainnya, pendekatan rekayasa genetik dilakukan dengan merekayasa protein cameleon yang akan berfluoresensi jika terjadi peningkatan konsentrasi kalsium intraselular. Dua pendekatan teknis diatas menemukan bahwa konsentrasi kalsium intraselular meningkat pesat yang ditandai dengan semakin tingginya kadar fluoresensi setelah diaktifasi oleh ligand ekstraselular ataupun setelah IP3

  Setelah konsentrasi ion kalsium meningkat kemudian akan diikuti oleh adanya respon selular. Pendekatan eksperimen yang lain adalah memberi perlakuan sel pada kondisi kalsium ekstraselular rendah dengan obat ionomisin atau A23187 (atau calcium ionophore). Hasil eksperimen menemukan bahwa adanya ionofor menyebabkan kalsium yang disimpan di organel masuk ke sitosol sehingga konsentrasi ion kalsium intraselular meningkat [perhatikan: untuk membedakan apakah ion kalsium berasal dari organel atau dari cairan ekstraselular, maka eksperimen dilakukan pada kondisi konsentrasi ion kalsium ekstraselular yang sangat rendah]. Pada kondisi normal (tidak ada sinyal), konsentrasi ion kalsium di sitosol dibuat rendah oleh aktifitas protein transport, antara lain pompa ion kalsium di membran plasma memompa kalsium keluar sel, pompa penukar ion sodium-kalsium mempertukarkan ion kalsium keluar sel dan sodium masuk ke dalam sel, pompa kalisum pada membran organel memasukkan kalsium ke berbagai organel (retikulum endoplasma dan/atau matriks mitokondria). Jika beberapa protein transport ditemukan bisa mengeluarkan ion kalsium dari sitosol, berarti fungsi sebaliknya yang memasukkan ion kalsium kedalam sitosol bisa juga dilakukan. Jadi, konsentrasi normal ion kalsium di sitosol sekitar 10-4 mM; bandingkan dengan di cairan plasma darah yang mencapai 1.2 mM. Jika, kanal ion kalsium dibuka maka ion kalisum akan berdifusi ke dalam sitoplasma.

  Dari berbagai pembuktian eksperimen ditemukan bahwa peningkatan ion kalsium intraselular mengikuti mekanisme pengaliran sinyal intraselular adalah berasal dari ion kalsium yang disimpan dalam organel, bukan dari cairan ekstraselular. Pada sel-sel otot, diketahui bahwa ion kalsium yang disimpan dalam retikulum sarkoplasmik (RE untuk sel otot) akan berdifusi ke sitosol melalui kanal reseptor IP3 dan kanal reseptor ryanodine. Disebut kanal reseptor ryanodine karena kanal tersebut sensitif terhadap alkaloid ryanodine yang diekstrak dari suatu tumbuhan. Hal yang menarik ditemukan pada sel-sel saraf adalah aktifasi kanal reseptor dilakukan oleh ion kalsium sendiri. Ketika sel saraf mengalami depolarisasi, kanal ion kalsium membran plasma terbuka sehingga ion kalisum ekstraselular masuk ke sitosol. Meningkatnya konsentrasi ion kalsium di sitosol kemudian mengaktifasi kanal reseptor ryanodine sehingga ion kalsium yang disimpan dalam retikulum endoplasma juga masuk ke dalam sitosol. Fenomena ini disebut dengan calcium-induced calcium release.

  Dalam rangkaian fertilisasi telur pada sebagian besar hewan, respon paling awal dari telur adalah memobilisasi ion kalsium dari cadangan internalnya ke situs membran sel tempat sperma menempel dan menembus membran telur. Segera kemudian, ion kalsium berfusi ke semua bagian telur, dan salah satunya mengaktifkan vesikula yang berisi granula korteks. Vesikula kemudian menempel ke membran sel telur dan mengeluarkan isinya dengan mekanisme eksositosis. Granula korteks yang berisi beragam protein dan enzim akan bereaksi dengan lapisan vitelin telur membentuk selubung fertilisasi. Selubung fertilisasi ini berfungsi mencegah sperma yang datang berikutnya agar tidak bisa masuk ke dalam telur. Mekanisme ini disebut dengan slow block to polyspermy. Setelah kepala sperma berada di dalam sitosol, rangkaian proses-proses metabolisme, reorganisasi bagian internal telur dan berbagai proses lainnya menginisiasi perkembangan embrional berikutnya. Informasi keterlibatan ion kalsium dalam proses fertilisasi sampai ke tahap-tahap awal perkembagan embrional, sebagiaan besar diperoleh dengan teknik fluoresensi dan calcium ionophore. Selain itu, ion kalsium juga diketahui terlibat dalam membuka dan menutupnya stomata tumbuhan dengan cara mempengaruhi tekanan turgor sel-sel penjaga. Salah satu sinyal yang mengatur pembukaan stomata adalahabcisic acid (ABA, fitohormon). Jika konsentrasi ABA ekstraselular meningkat atau jika ion kalsium ekstraselular meningkat maka kanal ion kalsium di membran plasma sel-sel penjaga akan terbuka sehingga ion kalsium berdifusi ke dalam sitosol. Peningkatan ion kalsium intraselular kemudian mengaktifkan pompa kalsium yang ada di membran organel. Respon selular yang terjadi adalah tekanan turgor sel-sel

  Dari dua contoh diatas, ion kalsium di dalam sel mengalami osilasi (konsentrasinya berfluktuasi) untuk bisa menghasilkan respon selular.

  Kompleks Kalsium-kalmodulin Dalam menghasilkan respon selular, ion kalsium bisa langsung berikatan dengan protein target sehingga protein target bisa aktif. Pada sebagian besar respon selular yang telah dipelajari, ternyata ion kalsium lebih cenderung membentuk kompleks dengan protein kalmodulin.Ketika ion kalsium berikatan dengan kalmodulin maka kalmodulin mengalami perubahan konformasi menjadi bentuk aktif, yaitu dengan munculnya situs pengikatan. Setiap kali memunculkan situs pengikatan, kalmodulin membutuhkan dua ion kalsium. Sifat penting dari kalmodulin adalah afinitasnya terhadap ion kalsium, yaitu kompleks kalmodulin- kalsium akan terbentuk ketika konsentrasi ion kalsium intraselular meningkat (dari 10-4 mM menjadi sekitar 10-3 mM) sebagai respon terhadap adanya rangsang. Ketika konsentrasi ion kalsium menurun maka kompleks kalmodulin-kalsium terurai kembali. Sebagian besar situs pengikatan kalmodulin adalah bersifat enzimatis sebagaimana protein kinase ataupun protein fosfatase. Jadi, respon selular yang akan muncul akibat adanya kalmodulin aktif tergantung pada infrastruktur yang ada pada setiap sel.

  Keterlibatan NO sebagai Penghubung Protein G Pada sistem kardiovaskular, salah satu molekul sinyal yang penting adalah NO (nitric oxide). Molekul NO bersifat toksik, waktu paruh cepat dan berbentuk gas, yang dihasilkan oleh aktifitas enzim NO synthase. Enzim ini mengubah asam amino arginin menjadi molekul NO dan sitrulin. Kerja NO dalam pembuluh darah melibatkan protein G. Sebagaimana sebelumnya telah diketahui bahwa asetilkolin adalah molekul sinyal yang membuat pembuluh darah melebar (dilatasi) dengan cara membuat otot-otot polos di sekitarnya berelaksasi. Tahun 1980-an, Robert Furchgott berhasil memperlihatkan bahwa asetilkolin bisa membuat pembuluh darah melebar jika dinding pembuluh darah (endotelium dan otot polos yang menunjangnya) dalam keadaan utuh. Pada penelitian berikutnya, diketahui bahwa pelebaran pembuluh darah disebabkan oleh suatu molekul sinyal yang disebut sebagai vasodilator. Molekul vasodilator disekresikan oleh sel-sel endotelium dan bekerja merelaksasikan sel-sel otot di sekitarnya. Tahun 1986, Tuan Furchgott dan penelitian paralel lainnya yang dilakukan Louis Ignarro berhasil mengidentifikasi molekul NO sebagai sinyal vasodilator. Peristiwa vasodilasi (pelebaran pembuluh darah) yang difasilitasi oleh molekul sinyal asetilkolin melibatkan 6 tahapan proses.

  1. Tentunya, proses paling awal adalah pengikatan molekul asetilkolin oleh reseptor permukaan membran sel endotelium yang terpaut dengan protein G. Kompleks asetilkolin - reseptor protein G akan mengaktifkan sinyal kedua IP3 di dalam sel-sel endotelium.

  2. IP3 mengaktifasi pompa ion kalsium di membran retikulum endoplasma

  3. Kalmodulin yang membentuk kompleks dengan ion kalsium kemudian mengaktifasi enzim NO synthase yang mengubah asam amino arginin menjadi molekul NO dan sitrulin

  4. Molekul-molekul gas NO gas berdifusi keluar dari sel endotelium dan masuk ke sel-sel otot di dekatnya (note: Tuan Furchgott menyebutkan bahwa dinding pembuluh darah harus dalam keadaan utuh)

  5. Di dalam sel-sel otot polos, molekul NO mengaktifasi enzim guanylyl cyclase yang mengkatalisis pembentukan cGMP dari GTP (cGMP adalah sinyal kedua sebagaimana

  6. Konsentrasi cGMP yang meningkat kemudian mengaktifasi protein kinase G (PKG, G merujuk pada GMP) yang memfosforilasi protein-protein serabut otot. Mekanisme vasodilatasi oleh asetilkolin diatas secara teknis kedokteran serupa dengan mekanisme terapi pada pasien angina (dada sakit akibat sel-sel jantung kekurangan pasokan darah) menggunakan nitroglycerin. Kerjanitroglyserine sebagai vasodilator yang bekerja pada sel-sel otot polos pembuluh arteri ditemukan melibatkan pembentukan sinyal vasodilator (molekul NO) oleh Ferid Murod tahun 1977. Pada tahun 1998 Furchgott, Ignarro dan Murod sebagai satu kesatuan, dianugerahi penghargaan Nobel kedokteran/fisiologi. Ternyata, molekul NO juga digunakan oleh saraf untuk mempengaruhi sel-sel yang berdekatan. Misalnya, molekul NO yang dihasilkan oleh ujung saraf di penis akan menyebabkan arteri penis mengalami dilatasi sebagai bagian dari fungsi ereksi penis. Obat sildenafil yang terkenal dengan merek dagang Viagra atau pil biru merupakan inhibitor enzim fosfodiesterase spesifik pemecah cGMP. Akibatnya adalah jaringan erektil penis dengan konsentrasi cGMP yang tetap tinggi akan menghasilkan molekul NO sehingga pembuluh arteri penis mengalami pelebaran. Secara singkat, pil biru menyebabkan penis bisa ereksi lama sehingga sering disebut sebagai pil cinta. [connection: Selain ke jaringan erektil penis, bahan aktif sildenafil yang diminum/dimakan/dimasukkan secara oral akan menyebar ke bagian-bagian tubuh yang lain. Dengan efek melebarkan pembuluh darah arteri melalui relaksasi otot polos pembuluh darah, maka penggunaan sildenafil secara oral harus juga memperkirakan efek samping dari pil biru bagi jantung, usus halus, paru-paru dan organ tubuh lainnya! Dalam hal ini, semua obat dengan mekanisme kerja melibatkan sistem sinyal intraselular harus diresepkan dan penggunaannya dibawah pengawasan dokter yang ahli].

  Reseptor Berasosiasi dengan Protein Kinase Reseptor yang terpaut dengan protein G melibatkan cAMP, IP3, DAG, cGMP dan ion kalsium sebagai sinyal kedua untuk menghasilkan respon selular. Selain protein G, ada sekelompok protein integral membran lain yang bisa bertindak sebagai reseptor sekaligus sebagai protein kinase, yaitu protein kinase

  • – associated receptors. Salah satu anggota reseptor protein kinase yang banyak dipelajari sehingga menjadi paling dikenal adalah reseptor tirosin kinase (RTK). Agregat Reseptor Tirosin Kinase dan Autofosforilasi Enzim kinase merupakan enzim yang bekerja menambahkan gugus fosfat (fosforilasi) kepada suatu molekul protein. Sebagian besar enzim kinase yang terlibat dalam pengaturan aktifitas sel bekerja dengan cara menambahkan gugus fosfat ke asam amino Ser dan/atau Thr dari rantai samping suatu molekul protein sehingga disebut juga sebagai serine/threonine kinases. Sebagian besar kerja reseptor tirosin kinase (RTK) dalam sistem transduksi sinyal intraselular adalah menghasilkan respon selular berupa pertumbuhan sel, proliferasi ataupun diferensiasi/spesialisasi sel. Tentunya, proses-proses diatas harus dikontrol ketat, sehingga hanya sel-sel tertentu saja yang bisa mengikat dan berespon terhadap suatu ligand. Beberapa keluarga dari RTK ini diketahui mekanisme kerjanya dalam usaha mempelajari sel-sel kanker yang pertumbuhannya tidak terkontrol. Berbeda dengan reseptor protein G yang berukuran besar dan terdiri dari multisubunit, molekul RTK pada umumnya hanya terdiri atas satu rantai polipeptida dengan satu segmen transmembran dan beberapa domain spesifik. Salah satu ujung polipeptida RTK menyembul ke sisi luar membran plasma membentuk domain pengikatan ligand. Sedangkan ujung yang
Walaupun RTK merupakan protein integral membran tunggal, pada kenyataanya, RTK aktif selalu ditemukan terdiri atas dua rantai polipeptida yang terikat ke membran plasma. Sedangkan molekul-molekul tirosin kinase yang banyak ditemukan bebas di sitosol bukan bagian dari RTK, tetapi membantu beberapa anggota keluarga RTK untuk berikatan secara spesifik dengan suatu ligand. Sebelum molekul RTK fungsional terikat membran diketahui fungsinya, justru yang dikenal terlebih dulu adalah tirosin kinase yang bebas, yaitu sebagai protein Src. Protein Src ini disandikan oleh gen Src pada virus sarcoma burung. Selain itu, beberapa protein yang mirip dengan protein Src mulai banyak yang berhasil diidentifikasi.

  Ketika molekul tunggal RTK berikatan dengan ligand, meraka kemudian akan saling bergabung membentuk agregat. Struktur agregat yang paling sering ditemukan terdiri atas dua molekul RTK sehingga bentuk aktifnya terlihat sebagai protein dimer. Dalam bentuk dimer, domain sitosolik yang banyak mengandung residu tirosin mulai memfosforilasi RTK yang lain. Fenomena ini dikenal dengan autofosforilasi. Ketika semua domain sitosolik RTK mengalami fosforilasi, maka akan terbentuk situs pengikatan yang mampu berikatan dengan sejumlah protein adapter yang ada di sitosol. Agar bisa diikat oleh situs pengikatan reseptor, suatu protein adapter harus mempunyai runutan asam amino yang bisa dikenali. Bagian protein adapter yang bisa dikenali oleh residu fosfotirosin adalah domain SH2. Dengan kata lain, jika molekul protein di sitosol yang mempunyai domain SH2 maka protein tersebut bisa dikenali dan diikat oleh RTK, misalnya fosfolipase C dan GRB2. Disebut sebagai domain SH2 karena strukturnya mirip dengan domain SH2 pada protein Src yang sudah dikenal terlebih dahulu.

  Ada dua lintasan pengiriman sinyal intraselular yang berhasil diidentifikasi setelah terbentuk kompleks ligand-reseptor di sisi luar sel, yaitu lintasan sinyal kedua yang melibatkan sistem inositol-fosfolipid-calcium dan lintasan Ras yang menghasilkan respon selular ekspresi gen- gen pengatur perkembangan dan pertumbuhan. Protein Ras merupakan protein G monomer yang berukuran kecil.

  Peran Ras dan MAP Kinase Protein Ras terlibat penting dalam pengaturan pertumbuhan sel. Sebagaimana protein G lainnya, molekul Ra bisa berikatan dengan GTP dalam kondisi aktif atau GDP dalam kondisi tidak aktif. Perubahan dari mengikat GDP menjadi GTP membutuhkan protein lainnya yang disebut dengan guanine-nucleotide exchange factor(GEF). Molekul GEF yang mengatifasi Ras disebut sebagai Sos (diturunkan dari istilah Son of Sevenless, lalat buah dengan mata majemuk yang tidak berkembang baik). Aktifasi molekul Sos dilakukan oleh protein adapter GRB2 setelah berikatan dengan situs pengikatan RTK. Jadi, langkah awal setelah RTK berikatan dengan ligandnya adalah pembentukan agregat beberapa RTK yang dilanjutkan dengan proses autofosforilasi domain-domain sitosoliknya.

  Residu tirosin yang telah terfosforilasi akan berikatan dengan protein adapter dalam sitosol yang mempunyai domain SH2, yaitu GRB2. Kompleks residu tirosin dan GRB2 kemudian berikatan dengan Sos. Kompleks RTK-GRB2-Sos akan menstimulasi Ras untuk melepaskan GDP kemudian diganti berikatan dengan GTP.

  Protein Ras aktif akan mensitmulasi serangkaian perubahan intraselular sampai memunculkan respon selular yang dikenal dengan lintasan Ras. Salah satu kejadian penting dalam lintasan Ras adalah aktifasi mitogen-activated protein kinases atau MAP kinases yang disingkat MAPKs. MAP kinase aktif akan memfosforilasi protein Jun dalam nukleosol. Bentuk aktif Jun mampu merangsang protein lainnya yang berfungsi sebagai faktor transkripsi, yaitu AP-1. Adanya faktor transkripsi aktif akan menginduksi transkripsi gen untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan oleh sel untuk tumbuh dan membelah. Setelah Ras mengaktifasi lintasan Ras, molekul Ras aktif harus segera dirusak. Dengan yang kontinyu. Untuk itu, GTP-Ras segera dihidrolisis menjadi GDP-Ras oleh GTPase activating protein (GAP). Kerjaq GAP sangat cepat sehingga GTP-Ras tidak mungkin mengaktifasi lintasan Ras secara kontinyu.

  Aktifasi Reseptor Kinase dan Lintasan Sinyal Lainnya Selain mengaktifasi lintasan Ras melalui protein adapter GRB2 yang berujung ke respon selular transkripsi gen, keluarga molekul RTK yang lain juga mengaktifkan enzim fosfolipase diaktifkan oleh RTK, sedangkan untuk yang diaktifkan oleh protein G diberi notasi Cβ) kemudian memecah fosfolipid inositol membran menjadi IP3 dan DAG yang kemudian meningkatkan konsentrasi ion kalsium intraselular. punyai domain SH2 agar bisa diaktifasi oleh situs pengikatan RTK.

  Selain itu, kompleks ligand-RTK bisa mengaktifasi enzim-enzim lainnya, misalnya fosfatidilinositol-3-kinase. Enzim ini kemudian memfosforilasi fosfolipid fostatidilinositol membran dalam menunjang pertumbuhan dan pergerakan sel. Sampai disini bisa dilihat bahwa asosiasi antara RTK dan enzim-enzim kinase banyak melibatkan inositol membran sel.

  ________________________________________ [1] “dimaksudkan” adalah istilah egosentrisme sebagai usaha kita menggambarkan sesuatu yang ada pada sistem kehidupan. Pada hakekatnya belum tentu maksud keberadaan reseptor seperti yang digambarkan diatas. Kadang-kadang penggunaan istilah seperti ini tidak bisa dihindari untuk lebih mengaktualisasikan proses-proses kompleks sel ke kehidupan sehari-hari.

  [2] rantai samping adalah runutan beberapa asam amino berbentuk lurus atau loop yang menghubungan dua struktur pelipatan polipeptida