BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Senam Osteoporosis 2.1.1 Defenisi Senam Osteoporosis - Pengaruh Senam Osteoporosis terhadap Peningkatan Aktivitas Fisik Usia Lanjut di Puskesmas Glugur Kota Medan Tahun 2013

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakekat Senam Osteoporosis

  2.1.1 Defenisi Senam Osteoporosis

  Senam osteoporosis yaitu kegiatan yang merangsang kekuatan otot, tulang dan latihan yang biasanya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan (Tilarso, 1988). Senam osteoporosis merupakan kombinasi beberapa jenis latihan yang bersifat aerobik dengan benturan ringan, latihan kekuatan dengan menggunakan beban di kedua tangan, latihan keseimbangan dan latihan pernafasan.

  2.1.2 Manfaat Senam Osteoporosis

  Gerakan aerobik pada senam osteoporosis yang berbeban berat badan akan bermanfaat pada kepadatan tulang punggung, pinggang dan pinggul, dan bila latihan tersebut dilakukan dengan duduk dikursi akan aman untuk sendi panggul dan sendi lutut. Latihan kekuatan otot dengan menggunakan beban di kedua tangan masing- masing beratnya 0,5 – 1 Kg akan bermanfaat mengurangi resiko patah tulang pada pergelangan tangan. Latihan keseimbangan mencegah usia lanjut agar tidak mudah jatuh latihan ini harus dilakukan dengan hati-hati benar dan perlahan-lahan. Latihan pernafasan sangat baik dilakukan karena menghirup oksigen yang banyak ke dalam otot-otot, pembuluh darah, kepala/otak, jantung dan paru-paru, yang akan menambah ketenangan dalam menjalani kehidupan atau aktivitas sehari-hari dan menambah juga dapat menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan pergerakan otot, meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, menjaga keseimbangan tubuh, melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik apapun yang dihasilkan oleh otot dan rangka yang memerlukan atau membutuhkan pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat istirahat, yang diukur dalam jumlah kilo kalori (Public Health, 1985).

  2.1.3 Hal-Hal yang tidak Dianjurkan dalam Senam Osteoporosis

  2.1.3.1 Gerakan membungkuk. Misalnya Sit Up/meraih jari-jari kaki berdiri sambil membungkuk ke depan dari pinggang dengan pinggang melengkung

  2.1.3.2 Gerakan naik turun dingklik atau step aerobik

  2.1.3.3 Gerakan memutar badan/twisting misalnya memutar ke kanan dan ke kiri tidak boleh lebih dari sudut 90 derajat, tetapi boleh 30 derajat sampai 45 derajat

  2.1.3.4 Gerakan terlalu lama berdiri

  2.1.3.5 Gerakan yang terlalu cepat

  2.1.3.6 Mengangkat beban dengan ayunan punggung

  2.1.3.7 Duduk dengan punggung membungkuk

  2.1.4 Frekuensi Senam Osteoporosis

  Frekuensi latihan olahraga yaitu tiga kali seminggu, maksimal intensitas 50- 70% VO

  2 maks dan frekuensi denyut nadi yaitu 110-120 (Sukarman, 1987). Untuk

  individu dengan tingkat kebugaran yang rendah, tiga sesi perminggu pada hari yang intensitas dan durasi latihan bertambah, frekuensi juga harus bertambah bila penigkatan ingin diteruskan (Pollock, 1973). Pembahasan penelitian mendapati bahwa perubahan kebugaran berkaitan langsung dengan frekuensi latihan, walaupun dianggap tidak tergantung pada efek intensitas, durasi, lama program, dan tingkat kebugaran awal (Wenger & Bell, 1986). Individu yang tidak terlatih pada kenyataan membutuhkan waktu 48 jam untuk beradaptasi dan pulih dengan ransangan latihan (Fleck & Kraemer, 1987).

2.2 Hakekat Osteoporosis

  Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya masa tulang dan adanya kelainan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat meningkatnya kerapuhan tulang serta resiko terjadinya patah tulang.

  World Health Organisation (WHO, 2005) dan consensus ahli mendefinisikan osteoporosis menjadi penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, yang menyebabakan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (tief in the night).

  Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik, dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada setiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi torak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal, definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dinamika terjatuh atau kacelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dpat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang. Dengan demikian, penyakit osteoporosis adalah berkuramgnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah, tulang terdiri dari kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, mak tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis. Meskipun kalsium diluar tulang kurang lebih 2% dari kalsium dalam tubuh, perannya sangat vital, terutama untuk kegiatan enzim, hormone, saraf, otot, dan pembekuan darah. Kalsium yang beredar dalam darah menjadi patokan keseimbangan kalsium diseluruh tubuh. Keseimbangan dan kestabilan kadar kalsium darah terutama ditentukan oleh hormone paratiroid. Kalau kadar kalsium dalam darah normal, maka proses mineralisasi berlangsung seimbang.

  Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai dengan rendahnya massa tulang yang disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi, karena tulang menjadi rapuh dan mudah ratak, bahkan patah. Banyak orang tidak menyadari jika osteoporosis merupakan pembunuh tersembunyi. Penyakit ini hampir tidak menimbulkan gejala yang jelas. Sering kali, osteoporosis justru tulangnya patah dibagian lengan atau pinggang.

  Jika kita bertanya pada sekumpulan wanita usia paro baya ( 40 – 50 tahun) mengenai sejauh mana pemahaman mereka terhadap ancaman osteoporosis, ternyata informasi yang kita dapat sangat beragam. Ada yang beranggapan kondisi tubuhnya aman–aman saja karena selama ini tidak merasakan adanya keluhan, sehingga dia tidak perlu berjaga-jaga secara berlebihan. Namun, sebagian ada juga yang sangat sadar akan pentingnya perhatian terhadap kesehatan tulang pada usia tersebut.

  Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang umum pada orang dewasa. Penyakit ini menyebabakan tulang lebih mudah keropos dan lebih mudah patah daripada tulang yang normal. Dibanding penyakit tulang lain seperti ostomalasia dan rickets, osteoporosis berbeda. Ini disebabkan berkurangnya matriks organik bukan kelainan klsifikasi tulang. Pendeteksian dini osteoporosis merupakan langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).

2.2.1 Epidemologi Osteoporosis

  Meningkatnya usia harapan hidup akan mempengaruhi angka kejadian penderita osteoporosis dan bertambahnya jumlah orang lanjut usia (lansia) di Indonesia menimbulkan kekhawatiran akan epidemi penyakit osteoporosis. Dua dari lima orang Indonesia memiliki resiko terkena penyakit osteoporosis (Depkes, 2006).

  Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima laki-laki di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan tulang (Yayasan Osteoporosis Internasional) mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin tingginya tren kenaikan angka insiden patah tulang paha atas akibat osteoporosis pada 2007-2010. Kenaikan insiden patah tulang akibat osteoporosis terus meningkat sejak 2007-2010. Dari sekitar 20 ribuan kasus pada 2007 meningkat menjadi sekitar 43 ribuan kasus pada 2010. Data tersebut juga diperkuat dengan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010, yang menyatakan angka insiden patah tulang paha atas tercatat sekitar 200/100 ribu kasus pada wanita dan pria di atas usia 40 tahun diakibatkan osteoporosis.

  WHO mendata sekitar 200 juta orang menderita angka patah tulang pinggul akibat osteoporosis di seluruh dunia. Pada tahun 2050, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada wanita dan tiga kali lipat pada pria.

  Tahun ini merupakan tahun ke-10 peringatan Hari Osteoporosis Nasional (HON), sejak diluncurkan tahun 2002 lalu. Tahun ini, HON 2012 bertema "Indonesia Bergerak-Waspadai Patah Tulang Akibat Osteoporosis". Puncak Peringatan HON 2012 akan dilaksanakan pada 21 Oktober 2012, di Monas. Berbagai kegiatan akan dilakukan seperti peluncuran logo 10 tahun Hari Osteoporosis Nasional, jalan kaki 10.000 langkah yang akan diikuti oleh lebih dari 15 ribu orang, pengenalan osteo dance dan lomba foto jurnalistik bagi media (Dimyati, 2012).

  2.2.2.1 Wanita Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun Pencegahan lebih awal terhadap penyusutan tulang pada wanita sebelum menopause akan memperlambat proses penyusutan tulang, seperti diketahui bahwa penyusutan tulang telah terjadi sejak usia 30-40 tahun, disinilah pentingnya pemeriksaan marker tulang (Nugroho, 2008).

  2.2.2.2 Usia Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat ( Nugroho, 2008 ).

  2.2.3 Keturunan Penderita Osteoporosis Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.

  Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama (Nugroho, 2008).

  2.2.4 Gaya Hidup Kurang Baik

  2.2.4.1 Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah. Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak.

  Malas Berolahraga. Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.

  2.2.4.3 Merokok Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.

  Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.

  Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35 tahun, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan tulang pada umur tersebut sudah berhenti.

  2.2.4.1 Kurang Kalsium, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambi l kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.

  Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis.

  Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.

  2.2.4.3 Kurus dan mungil, Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna (Lumbantobing, 2001).

2.3 Penyebab Osteoporosis

2.3.1 Osteoporosis Postmenopausal

  Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.Tidak semua wanita memiliki risiko yang timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

  2.3.2 Osteoporosis Senilis

  Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidak seimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis pada postmenopausal (Suryati, 2006 ).

  2.3.3 Osteoporosis Sekunder

  Ini dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan

  

adrenal ) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan

  hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan osteoporosis.

  2.3.4 Osteoporosis Juvenil Idiopatik

  Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

  Densitometri

  2.4.1 Normal: Massa tulang < 1

  2.4.2 Masa tulang rendah: Massa tulang 1-2.5

  2.4.3 Osteoporosis: Massa tulang >2.5 2.4.4 Osteoporosis berat: Massa tulang > 2.5 + fraktur.

2.5 Pencegahan Osteoporosis

2.5.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya terbaik, paling murah dan mudah.

  2.5.1.1 Kalsium Kalsium dibutuhkan untuk mineralisasi tulang, sehingga menjadi kuat.

  Makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau, jeruk, citrun, susu, keju, yoghurt.

  2.5.1.2 Latihan atau Aktivitas Fisik (Exercise Therappy) Latihan fisik harus ada unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan penekanan pada tulang, seperti berjalan, jogging, aerobik, atau naik turun tangga.

  Latihan yang sangat berlebihan sangat tidak dianjurkan karena dapat mengganggu menstruasi (menjadi amenorrhea) karena akan meningkatkan massa tulang.

  Jalan dan berenang dianjurkan setiap hari 30 menit. Kalau sudah cukup terlatih, latihan dapat ditingkatkan dengan jarak yang lebih jauh, tetapi waktu yang sama serta bersepeda dengan mengikuti pedoman untuk tiap-tiap individu, termasuk postur, beban, tingginya duduka n, tahanan dan kecepatannya.

  2.5.1.4 Hindari Faktor-faktor sebagai berikut: Menurunkan absorpsi kalsium, meningkatkan pengrusakan tulang, atau mengganggu pembentukan tulang, seperti merokok, peminum alkohol, pemberian obat seperti kortikosteroid maka suplemen kalsium harus ditambahkan.

2.5.2 Pencegahan Sekunder

  2.5.2.1 Konsumsi Kalsium. Penurunan masa tulang terjadi pada wanita menopause yang asupan kalsiumnya kurang dari 400mg/hari.

  2.5.2.2 Estrogen Repleacement Therapy (ERT) atau Terapi Sulih Hormon (TSH).

  Semua wanita pada saat menopause mempunyao resiko osteoporosis, karenanya dianjurkan pemakaian IRT pada mereka yang tak ada kontraindiksi.

  2.5.2.3 Latihan. Latihan fisik bagi penderita osteoporosis, bersifat spesifik dan individual, memperhatikan berat ringannya osteoporosis sehingga perlu mendapat supervise dari tenaga medis/fisioterapi individu per individu.

  2.5.2.4 Intervensi fisioterapi secara spesifik berdasarkan kajian problematik.

  2.5.2.5 Kalsitonin. Bekerja menghambat pengeroposan tulang dan diindikasikan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan IRT.

  Vitamin D yang fungsi utamanya untuk membantu penyerapan kalsium diusus.

  2.5.3 Pencegahan Tersier

  Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis, jangan dibiarkan berbaring terlalu lama. Sejak awal perawatan disusun rencana pergerakan, mulai dari pergerakan pasif sampai aktif dan berfungsi mandiri.

  2.5.4 Edukasi Pasien

  Pemahaman pasien dan keluarganya tentang hal osteoporosis diharapkan menambahkan kepedulian mereka, dan selanjutnya berperilaku hidup sehat, sesuai dengan pencegahan osteoporosis. Pemahaman tentang pencegahan osteoporosis secara dini sehingga bahaya yang dapat menimbulkan gangguan terhadap aktifitas gerak dan fungsi dapat diantisipasi.

2.6 Hakekat Aktivitas Fisik

  Aktvitas fisik adalah pergerakkan anggota tubuh Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik apapun yang dihasilkan oleh otot dan rangka yang memerlukan atau membutuhkan pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat istirahat, yang diukur dalam jumlah kilo kalori (Public Health, 1985) menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat, bugar sepanjang hari. (Depkes. RI, 2006). Dari ungkapan tersebut maka dapat digambarkan bahwa aktivitas fisik bukan merupakan rutinitas sehari-hari, istirahat sehingga dapat meningkatkan kemampuannya.

  Aktivitas fisik merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan hidup, sehingga lebih sehat dan bahagia. Hal ini dapat mengurangi stress serta nyaman secara keseluruhan. Dijelaskan bahwa beberapa manfaat melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah :

  2.6.1 Membantu dalam mengendalikan berat badan, sehingga memberikan kemungkinan untuk mempertahankan gaya hidup yang lebih baik, tetap segar dan waspada saat terjaga.

  2.6.2 Aktivitas fisik membantu mengurangi resiko penyakit jantung dan gagal jantung karena otot-otot jantung lebih kuat.

  2.6.3 Aktivitas fisik mampu mengurangin resiko diabetes dan kondisi lain yang terkait dengan aktivitas seperti kegemukan.

  2.6.4 Aktivitas fisik membantu mengurangi resiko jenis kanker tertentu.

  2.6.5 Aktivitas fisik mampu menguatkan tulang dan otot menjadi lebih lentur. Hal ini mampu mnegurangi terjadinya cedera fisik dan membantu meningkatkan perbaikan jaringan tertentu.

  2.6.6 Ketika seseorang aktif secara fisik, maka dapat meningkatkan kesehatan mental serta suasana hati lebih stabil.

  2.6.7 Membantu meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan bagi orang dewasa mampu memberikan kekuatan lebih banyak untuk membantu mencegah terjadinya jatuh.

  Secara keseluruhan aktivitas fisik membantu untuk lebih lama hidup Dari penjelasan tersebut aktivitas fisik yang dimaksud adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dan teratur, sehingga menghasilkan perubahan pada seseorang ke arah derajat keondisi fisik yang lebih baik. Manfaat aktivitas fisik yang rutin dilakukan seperti olahraga kesehatan akan mampu menghasilkan perubahan-perubahan pada aspek jasmani, rohani dan sosial. (WHO, 2009).

2.7 Hubungan Senam Osteoporosis dan Aktifitas Fisik

  Senam aerobik adalah bentuk latihan atau gerakan yang dilakukan berulang- ulang kali dan menggunakan kumpulan otot-otot besar sekurang-kurangnya 15 menit dan membutuhkan oksigen sebagai sumber tenaga (Sadoso. 1996). Senam aerobik yang pelaksanaannya mirip latihan aerobik berupa jalan, jogging dan lari dapat merangsang kerja jantung dan paru serta peredaran darah. Peningkatan daya tahan jantung paru (daya tahan cardiorespirasi) dapat dijadikan sebagai indikator tunggal untuk menentukan tingkat kebugaran jasmani seseorang antara lain pengukuran VO

  2

  maks secara tidak langsung. Senam osteoporosis adalah gerakan aerobik dengan benturan ringan (low impact) yang bertujuan untuk meningkatkan kepadatan tulang, kekuatan otot, keseimbangan, kelenturan dan independensi.

  Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat, bugar sepanjang diperkirakan tidak aktif secara fisik 30,5%, aktif tapi tidak teratur 28,5%, aktif secara teratur tidak intensif 31,5%, aktif secara teratur, intensif 9,1%. Hidup aktif membutuhkan aktifitas fisik yang teratur dan hanya 40% populasi yang mendapatkan keuntungan fisik dan mental. Ketidak-aktifan fisik dapat membahayakan kesehatan dengan demikian Senam Osteoporosis diyakini dapat meningkatkan aktifitas fisik lanjut usia.

2.8 Hakekat Lanjut Usia

2.8.1 Defenisi Lansia

  Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19 ayat 1, Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial, perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya.

  Pengertian lanjuta usia beragam tergantung kerangkan pandang individu. Orang tua berusia 35 tahun dapat dianggap tua bagi anaknya dan tidak muda lagi. Orang sehat berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai permulaan lanjut usia (Brunner & Suddart, 2011). Menurut Pudjiastuti & Utomo (2003), lanjut usai bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjutan dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk menemukana bahwa kriteria lanjut usia paling umum adalah gabungan antara usia kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status fungsional seseorang (Glascock & Feinman 1981; Stanley & Beare, 2007).

2.8.2 Batasan Lanjut Usia

  Batasaan usia ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi, masih banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai batasa usia ini antara lain;

  2.8.2.1 WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/biologis menjadi empat kelompok yaitu usia pertengahan (middle

  age) antara usia 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 – 74

  tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

  2.8.2.2 Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan menjadi usia dewasa muda (elderly adulhood) 18 atau 25-29 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas 25 – 60 tahun, lanjut usia

  (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi dengan 70 – 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old), lebih dari 80 tahun (very old).

  2.8.2.3 Menurut UU No. 4 tahun1965 pasal 1 seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidup sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

2.8.4 Proses Penuaan

  Penuaan (= menjadi tua = aging) adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan furngsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994; Darmojo, 2004)

  Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Menua bukanlah suatu penyakit melainkan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi stressor dari dalam maupun luar tubuh. Menuanya manusia seperti ausnya suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi secara fisik atau somatik dan psikologik. individual. Banyak faktor yang mempengaruhi penuaan seseorang seperti genetik (keturunan), asupan gizi, kondisi mental, pola hidup, lingkungan, dan pekerjaan sehari-hari (Darmojo & Martono, 2004).

  2.8.4.1 Teori Proses Penuaan Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan struktural dan fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan fisiologis sampai patologis telah dikenal proses menua yang menggunakan istilah senescence, senility dan

  demensia . Senencense menandakan perubahan penuaan normal dan senility

  menandakan penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih tidak jelas. Senility juga dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan pada usia lanjut yang mengalami demensia (Ciummings, Benson, 1992).

  Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati-hati dalam mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological

  

aging) , diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan ini

  sesuai dengan kronologis usia (penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari sel-jaringan-organ-sistem pada tubuh. Bila penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya, gaya hidup disebut

  

penuaan sekunder . Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh

  trauma atau sakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degeneratif yang timbul karena stress yang dialami oleh individu. Penuaan ini tidak sesuai dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi faktor endogen terjadinya penuaan patologis (patological aging) (Pudjiastusi, utomo, 2003).

Gambar 2.3. Proses Penuaan dengan Faktor yang Memengaruhinya

  Sumber: Fisioterapi pada Lansia, Pudjiastuti dan Utomo, hal. 18 Cetakan I, 2003

  Dalam proses penuaan beberapa teori menjelaskan hal tersebut. Teori penuaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua teori yaitu teori penuaan secara biologi dan terori penuaan secara psikologi.

2.8.4.1.1 Teori Biologi

  2.8.4.1.1.1 Teori Selular

  Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel-sel tubuh di program untuk membelah 50 kali. Jika semua sel pada lansia dilepas dari tubuh dan dibiarkan di laboratorium kemudian diobservasi jumlah sel-sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Hal ini memberikan beberapa pengertian terhadap proses penuaan biologis dan menunjukkan bahwa pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan sesuai dengan berkurangnya umur.

  2.8.4.1.1.2 Teori “Genetik Clock”

  Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) suatu jam genetik yang telah diputar menurut replikasi tertentu (Suhana, 1994 ). Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar. Jadi menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit (Azizah, 2011).

  2.8.4.1.1.3 Teori Sintesi Protein (kolagen dan elastin)

  Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tersebut. Pada lanjut usia beberapa protein (kolagen, kartilago dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda. Keadaan ini akan terlihat dari perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung berkerut, juga terjadi penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem muskuloskeletal ( Azizah, 2011). 2.8.4.1.1.4

  Sistim Imun Kemampun sistem imun mengalami kemunduran padan lanjut usia.

  Kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari limfatik dan khususnya sel darah putih juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi dapat menyebabkan berkurangnya somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh mengganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan aoutoimun (Goldstein, 1989).

  2.8.4.1.1.5 Mutasi Somatic (teori error catastrophe)

  Teori mutasi somatik dikatakan ada faktor-faktor lingkungan yang menyebabakn terjadinya mutasi somatic, proses menua disebabkan oleh karena kesalahan-kesalahan beruntun sepanjang kehidupan, setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi maupun proses translasi, kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan akan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga mengurangi fungsional sel, maka akan terjadi kesalahan yang makin banyak sehinnga terjadilah catastrop (Suhana, 1994).

  Salah satu hipotesis yang berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah hipotesis “Error Catastrophe”. Menurut teori tersebut menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia. Akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan (Martono, 2000). 2.8.4.1.1.6

  Teori Metabolisme Pengurangn intake kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan. Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri antara lain karena kalori yang berlebihan, kurang aktifitas dan sebagainya (Darmojo & Martono, 2000). 2.8.4.1.1.7

  Teori Radikal Bebas Teori radikal bebas dikatakan radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan didalam rantai pernapasan mitokondria. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel dan gugus SH. Walaupun ada sistem penangkal namun sebagain radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses penuaan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Oen, 1993).

2.8.4.2 Teori Psikologis

2.8.4.2.1 Aktivitas atau Kegiatan (activity theory)

  Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa muda akan tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usai yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem

  2008).

  2.8.4.2.2 Kepribadian Lanjutan (continuty theory) Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity pada lanjut usia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, keluarga dan hubungan interpersonal. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personallity yang dimilikinya (Kontjoro, 2002).

  2.8.4.2.3 Teori Pembebasan (disengagement theory) Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya (Nugroho, 2000). Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (triple loss).

2.8.5 Patofisiologi Lanjut Usia

  Semakin bertambahnya umur manusia terjadi proses penuaan secara degenratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik tetapi juga perubahan kognitif, perasaan, sosial dan sexual.

2.8.5.1 Sistem Muskuloskeletal

  2.8.5.1.1 Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur. Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan serta hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Pudjiastuti & Utomo, 2003 Azizah, 2011;)

  2.8.5.1.2 Kartilago; Jaringan kartilago pada persendian lunak mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago utnuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktifitas sehari-hari (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

  2.8.5.1.3 Tulang Berkurangnya kepadatan tulang setelah di observasi adalah bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula tranversal terabsorbsi kembali. Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

  2.8.5.1.4 Otot ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak otot mengakibatkan efek negatif. Dampak perubahan marfologis pada otot adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional otot (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

  2.8.5.1.5 Sendi Pada lanjut usia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular mengalami penuruan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapdul sendi. Sendi kehilangan flesibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas dan gerak sendi. Kelainan tersebut dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan jalan dan aktifitas sehari-hari (Azizah, 2011; Pudjiastuti & Utomo, 2003).

  2.8.5.1.6 Saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensori dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor propriosetif, hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia, perubahan tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleks, proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.7 Sistem Kardiovaskular dan Respirasi

  2.8.5.1.7.1 Sistem kardiovaskular Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertofi, dan kemampuan perenganggan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin. Katup jantung mengalami fibrosis dan kalsifikasi. SA node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang samapi 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penuruan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan tekanan sistole dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan sensitivitas berreseptor menyebabkan terjadinya hipotensi postural. Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respons vasokontriksi untuk mencegah terjadinya pengumpalan darah (pooling of blood) menurun sehingga respons terhadap hipoksia menjadi lambat. (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

  2.8.5.1.7.2 Sistem Respirasi;

  Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah. Volume tidak bertambah untuk mengkompensasi kenaikan ruang rugi paru. Udara yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi thoraks mengakibatkan pergerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan thoraks berkurang. Umur tidak diafragma, otot thoraks menjadi tidak seimbang dan menyebabkan terjadinya distorsi dinding thoraks selama respirasi berlangsung. Kalsifikasi kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru menurun. (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.8.5.1.8 Sistem Indra

  2.8.5.1.8.1 Sistem Penglihatan

  Erat kaitannya dengan presbiopsi (old sigth). Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga lensa lemah dan kehilangan tonus. Ketajaman penglihatan dan akomodasi dari jarak jauh atau jarak dekat berkurang (Pudjiastuti & Utomo, 2003) . 2.8.5.1.8.2 Sistem Pendengaran

  Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, terjadi pada usia 60 tahun keatas (Azizah, 2011) 2.8.5.1.8.3 Sistim Integument Pada lansia kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan berkerut.

  Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi grandula sebasea dan grandula sudorifera. Penipisan kulit terjadi pada dermis karena terdapat perubahan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil pada kulit menjadi mudah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen berwarna coklat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih banyak ultra violet (Pudjiastuti & Utomo, 2003). 2.8.5.1.8.4 Sistem Ekresi

  Pada lanjut usia ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun. Apabila terjadi stress fisik ginjal tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan dan mudah terjadi gagal ginjal (Martono, 2009).

  2.8.5.1.8.5 Sistem Reproduksi Perubahan sistem reproduksi lanjut usia ditandai dengan menciutnya ovari dan uterus. Terjadi atrofi payudara. Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang dan reaksinya menjadi bersifat alkali. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatosoa, meskipun adanya penuruanan secara beransur-ansur. Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun (jika kondisi sehat baik), yaitu dengan kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia (Azizah, 2011). 2.8.5.1.8.6 Kognitif

  Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berfikir. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktifitas menggingat, mengganalisa, memahami, diartikan sebagai kecerdasaan atau intelegensi (Ramdhani, 2008). Batasan fungsi kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori, pemecahan masalah, pengambilan sikap, integrasi belajar dan proses komprehensif (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

2.9 Metode Uji Berjalan

  Berjalan merupakan salah satu dari aktivitas dasar kehidupan (selain bernafas, mendengar, melihat dan berbicara). Impairmen dari salah satu aktivitas dasar ini akan menyebabkan disabilitas. Untuk mengetahui adanya impairmen dan disabilitas berjalan dibutuhkan adanya parameter-parameter baik secara kualitatif (gangguan keseimbangan untuk mencegah terjatuh) maupun kuantatif (kecepatan dan jarak tempuh) serta apakah penderita membutuhkan alat bantu. Parameter-parameter ini harus dijabarkan dan dibandingkan dengan kebutuhan fungsional yang nyata dalam suatu komunitas. Kecepatan berjalan normal adalah berkisar antara 60-80 meter/menit (Ficher & Gullickson,1978). Kecepatan ini dibandingkan dengan kecepatan fungsional yang dibutuhkan (79 meter/menit) untuk melewati tempat menyeberang jalan raya dengan tanpa lampu, serta kecepatan yang umumnya pejalan kaki dikota. Sementara itu 600 meter merupakan jarak tempuh terjauh yang umumnya dibutuhkan seseorang untuk berjalan mengunjungi tempat-tempat umum di dalam suatu komunitas. Kebanyakan aktivitas hidup sehari-hari mencerminkan suatu latihan pada tingkat submaksimal, sehingga pengukuran dari kemampuan untuk penting dalam menilai adanya disabilitas. Uji berjalan sering digunakan dalam praktek klinik maupun penelitian untuk menilai aspek dari fungsi fisik. Berbagai jenis uji berjalan telah dikembangkan, baik berjalan pada waktu tertentu maupun pada jarak tertentu. Sementara uji berjalan pada waktu 2 menit, 6 menit dan 12 menit dilakukan untuk mengukur jarak tempuh dalam waktu tersebut diatas. Uji jarak tempuh berjalan dalam waktu 12 menit, mula-mula dilaporkan sebagai petunjuk untuk mengetahui kebugaran fisik seseorang (Lipkin et al, 1989) . Didapatkan adanya hubungan yang erat antara jarak tempuh dalam 12 menit dengan penggunaan oksigen maksimum (VO2 max) pada pria sehat.

  Sejalan dengan waktu, uji ini dipersingkat menjadi 6 menit, 4 menit bahkan 2 menit. Membandingkan uji berjalan dalam waktu 12 menit, 6 menit, 2 menit, dan mendapatkan bahwa waktu 12 menit sangat reprodusibel namun usia lanjut waktu yang lebih pendek dibutuhkan mendapatkan hasil yang baik ( Butland et,al, 1982 ).

  Sementara walaupun uji berjalan dalam waktu 2 menit, lebih singkat dan lebih mudah bagi penderita maupun peneliti namun dijumpai beberapa kelemahan seperti: efek latihan dari uji tersebut. Selanjutnya dikatakan uji jarak tempuh berjalan dalam waktu 6 menit merupakan waktu terbaik dan waktu yang paling sering digunakan dalam praktek klinik maupun penelitian. Adapun keunggulan uji berjalan ini, dibanding treadmill adalah bahwa uji ini lebih baik ditoleransi oleh penderita usia lanjut karna kecepatan dari alat tersebut dan perasaan takut jatuh. Uji ini juga lebih mendekati kebutuhan aktivitas fisik dibandingkan dengan uji menggunakan ergometer. Tidak mudah dan murah (Mc Gavin,1979).

  Suatu uji yang baik harus mempunyai reabilitas yang tinggi sehingga hasilnya dapat diandalkan. Reabilitas dari uji berjalan 6 menit sangat baik. yang mana pengukuran akan memberikan suatu hasil yang sama atau hampir sama ketika dilakukan berulang kali (Harrada et,al,1997 ). Uji berjalan 6 menit (jarak tempuh) dapat mengetahui kekuatan otot maupun ketahanan serta mobilitas yang akan memberikan informasi tentang peningkatan aktivitas fisik.

Gambar 2.4 Landasan Teori Proses Menua 1.

  Faktor Endogen 2. Faktor Eksogen 1. Usia 2. Berat Badan 3. Tinggi Badan 4. Jenis Kelamin

  Penurunan Fungsi 1. Kognitif 2. Psikososial 3. Integumen 1.

  Musculoskeletal 2. Neuromusculer 3. Kardiorespirasi

  Resiko Osteoporosis 1. Kepadatan tulang menurun

  Kurang Olahraga 2. Gaya Hidup

2. Mikro Fraktur 1.

  Senam Osteoporosis 1. Frekuensi Sekali

  Seminggu 2. Frekuensi dua kali seminggu

  1. Keseimbangan 2.

  Kelenturan 3. Kekuatan Otot 4. Kepadatan Tulang

  Jarak Tempuh Berjalan 6 Menit

  Kualitas Aktivitas Fisik meningkat jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan furngsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994; Darmojo, 2004). Lanjut usia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjutan dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pujiastuti & Utomo,2003). Kriteria lanjut usia dari 57 negara didunia dan menemukan bahwa kriteria lanjut usia paling umum adalah gabungan antara usia kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh perubahan status fungsional seseorang (Staley & Beare, 2007). Yang terjadi dengan tubuh manusia dalam proses menua ini secara ringkas yaitu kulit tubuh dapat menjadi lebih tipis, kering dan tidak elastis lagi, rambut rontok , warnanya berubah menjadi putih, kering dan tidak mengkilat, jumlah otot berkurang, ukuran juga mengecil, volume otot secara keseluruhan menyusut dan fungsinya menurun, otot-otot jantung mengalami perubahan degeneratif, ukuran jantung mengecil, kekuatan memompa darah berkurang, pembuluh darah mengalami kekakuan (Arteriosklerosis), terjadinya degenerasi selaput lender dan bulu getar saluran pemapasan, gelembung' pani-paru menjadi kurang elastis, tulang-tulang menjadi keropos (osteoporosis). (Hardianto Wibowo, 2003). Osteoporosis adalah kondisidi mana tulang menjadi rapuh dan mudah retak atau patah menjadi tua bukan berarti harus berhenti dari olahraga (Wolf,1982). Aktivitas fisik atau olahraga tetap dapat dilakukan dengan menyesuaikan kondisi lansia tersebut. Pemilihan jenis olahraga,

bergantung dari kemampuan lansia tersebut.

  Dengan bertambahnya usia di atas 30 tahun akan terjadi penambahan lemak tubuh, penurunan masa otot dan pengurangan jaringan organ tubuh. Dengan demikian pula V0 2 Max secara otomatis akan menurun secara bertahap, yang juga menunjukkan terjadinya kemunduran dalam kebugaran dan kesehatan jasmaninya (Wibowo, 2003). Manfaat Senam Osteoporosis adalah, menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan pergerakkan otot, meningkatkan kerja jantung dan paru – paru, menjaga keseimbangan tubuh, melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik apapun yang dihasilkan oleh otot dan rangka yang memerlukan atau membutuhkan pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat istirahat, yang diukur dalam jumlah kilo kalori ( Public Health 1985).

Dokumen yang terkait

Pengalaman Perawat dalam Memberikan Perawatan Paliatif pada Pasien Kanker di Rumah Sakit Murni Teguh Medan

1 1 26

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengalaman Perawat dalam Memberikan Perawatan Paliatif pada Pasien Kanker di Rumah Sakit Murni Teguh Medan

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS - Pengalaman Pengobatan Pasangan Infertilitas di Klinik Infertilitas RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 19

1. Nama Ibu (inisial) : 2. Umur : 3. Pendidikan : a. Tidak sekolahtidak tamat SD b. SD c. SMP d. SMA e. Perguruan Tinggi 4. Pekerjaan : a. PNS b. Berdagangwiraswasta c. Petani d. Buruh tani - Pengaruh Perilaku Ibu Balita Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pem

0 0 43

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Perilaku - Pengaruh Perilaku Ibu Balita Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perilaku Ibu Balita Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013

0 0 9

PENGARUH PERILAKU IBU BALITA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN IMUNISASI DASAR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.

0 0 17

Gambaran Konsep Diri Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Tanjung Gusta Medan

0 0 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri - Gambaran Konsep Diri Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Tanjung Gusta Medan

0 0 14

BAB 2 PENGELOLAAN KASUS 2.1 Konsep Teori Rasa Nyaman (Nyeri) 2.1.1 Defenisi Nyeri - Asuhan Keperawatan pada An. A dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Rasa Nyaman : Nyeri di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 1 33