BAB V ANALISIS DAN BAHASAN HASIL PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak di Salatiga yang Memakai Gadget

BAB V ANALISIS DAN BAHASAN HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini akan diuraikan jenis pola komunikasi dan mendiskripsikan

  pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang terjadi pada keluarga yang memiliki gadget dengan berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Ngemplak Salatiga.

5.1 Pola Komunikasi

  Pola Komunikasi yang terjadi oleh keluarga yang memiliki gadget di dusun Ngemplak oleh 13 keluarga yang memiliki anak usia dini 4-6 tahun. Menggunakan pola komunikasi sirkular antara orang tua dengan anak. Dikarenakan sebagian besar anak usia dini di dusun Ngemplak yang bermain gadget melakukan feedback atau umpan balik terhadap orang tua (komunikator). Ketika orang tua melakukan suatu komunikasi kepada anak, dan pesan yang disampaikan kepada anak menghasilkan sebuah feedback.

  Dari hasil observasi, didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan teman sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore, aktivitas yang dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda, barbie, pasaran, lompat tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai keunggulan dari tokoh fiktif favorit masing-masing yang mereka temui didalam televisi, dan gadget (youtube). Aida dan teman-temanya juga bercerita tentang film kartun kesukaan mereka My Little Pony:

  Friendship Is Magic (season 4).

  Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al- Qur’an), disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan mandi sore untuk Aida, Aida membuka gadget milik orang tuanya dan mengakses youtube untuk menonton deretan video rujukan singkat film kartun dari youtube, Ibu Ratih biasanya

  1

  , aktivitas menonton Aida berhenti hanya menanyakan “lihat apa dek, mandi dulu” ketika Ayahnya mengantarkan TPA. 1 Observasi dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 15 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. Peneliti mengambil satu contoh ketika Aida diam-diam bermain gadget saat ibunya melakukan kesibukan dan ibunya berusaha memantau serta mengingatkan Aida.

  “kalau semisal saya kebelakang nanti dia main hp lagi. “hayo” , “enggak kok aku cuma mainan pou“.

2 Dari kutipan wawancara dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan bahwa Aida

  memberikan feedback terhadap ibunya. Meskipun Aida sedang bermain gadget, Aida pun tetap merespon dengan baik. Apa yang dikomunikasikan oleh ibunya tersampaikan kepada Aida, sehingga pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh Aida. Sehingga, dengan begitu hasil observasi di lapangan dapat dikatakan sesuai dengan teori pola komunikasi sirkular yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, dapat dilihat dari kutipan wawancara diatas serta komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak menghasilkan feedback.

5.2 Pola Komunikasi Di Dalam Hubungan Keluarga

  Dari 13 narasumber yang memiliki anak usia dini yang sering bermain

  gadget peneliti mengambil 3 keluarga yang mencakup pada pola komunikasi

  dalam hubungan keluarga, serta munculnya pola komunikasi yang tampak diterapkan didalam pola asuh atau mendidik anak sesuai dengan pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Braumrind ada 3 yaitu otoriter, permissive, dan authoritative. Serta 8 keluarga tersebut memiliki pola yang berbeda-beda. Serta cara yang berbeda-beda dalam mendidik anak.

5.2.1 Authotarian (otoriter)

  Sebuah keluarga di dusun Ngemplak menggunakan pola komunikasi

  Authotarian (otoriter) didalam hubungan keluarga. Keluarga tersebut yaitu

  keluarga dari Ibu Yani. Ibu Yani memiliki anak perempuan bernama Lala yang berusia 6 tahun, Lala ini sering bermain gadget. Awal memperkenalkan gadget 2 Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. kepada anak karena merasa kasihan melihat anaknya tidak memiliki gadget sedangkan teman-teman sebayanya memiliki. Namun dengan keputusan seperti itu mengakibatkan anaknya menjadi lalai dalam dibidang pendidikan.

  ”Dulu waktu masih TK dikasih tablet malah bukae ngawur rak tau sinau terus diminta, terus kakaknya SMP tadi diperbolehkan buka hp selama hari

  3 libur soale sabtu terus minggune libur. Tapi nggak seharian main hp terus.”

  “Ma aku mau minjem hp, belum hari libur. Terus ya manut. Beberapa kali pernah mohon-mohon, Ma please Ma ngga buka saru wes?, tapi tetap ngga

  4 tak bolehin mba”

  Dari kutipan wawancara tersebut dapat dilihat bahwa kontrol yang dimiliki orang tua Lala sangat tinggi, dan penerimaannya rendah. Anak tidak dapat mengutarakan keinginannya. Anak dituntut harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh orang tua. Dengan orang tua bersikap mengkomando, dan bersikap kaku, cenderung emosional dan bersikap menolak. Tak jarang hukuman secara fisik diterapkan oleh orang tua otoriter seperti; menyubit, menjewer telinga, bahkan menarik rambut.

  “terus ada hal tidak layak untuk ditonton aku jadi takut, loh kok ono gambar ngene terus aku dadi wedi mbak, woo lha iki. pertama sopo sing ngetik iki?”. “yo nggak ada to ma, coba dilihat dipencariane kalau nggak ada berarti

  5 muncul de we ma”

  Lala semakin aktif bermain gadget dan tidak mau belajar. Selain itu orang tua mendapati Lala melihat gambar yang tidak sesuai dengan umur Lala. 3 Akhirnya orang tua menarik gadget serta melakukan pengawasan yang lebih 4 Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB. 5 Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

  

Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB. ketat, serta orang tua belajar lebih dalam menggunakan gadget agar tidak gaptek (gagap teknologi).

  “jane teknologi ki apik anak dadi iso edit iki kui. tapi nek keblalasen aku wedi dewe mbak. Mergo kejadian itu, ono gambar-gambar dewasa. Akhire tak

  6 lerenke wae.”

  Meskipun orang tua Lala sadar dengan adanya dampak positif dan negatif yang dimiliki gadget. Namun mereka tetap bersikap otoriter kepada anak. selain itu Ibu Lala pun berusaha agar perhatian anaknya teralihkan dari gadget , agar anak tidak kecanduan bermain gadget lagi.

  “mangkane dia tak arahke belajar,belajar. Harus bisa membaca menulis sendiri. Soale semester kemarin kan diwacake gurune dia tinggal menjawab

  7 nilaine apik-apik. Sekarang harus mengerjakan sendiri jawab send iri.”

  Dari kutipan wawancara dengan Ibu Yani dapat disimpulkan bahwa orang tua Lala adalah orang tua dengan pola komunikasi otoriter terhadap anak, anak tidak dapat mengutarakan pendapat, atau keinginannya secara demokratis. Melainkan anak dituntut harus mengikuti aturan serta kemauan dari orang tua. Disini orang tua senang mengkomando anak dan anak harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Sehingga pola komunikasi dalam hubungan keluarga Ibu Yani sesuai dengan teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh Braumrind.

  Dari hasil observasi diketahui Lala memiliki kebiasaan menghabiskan waktunya untuk dirumah bersama Ayah, & Kakaknya, usai sekolah Lala biasanya menonton TV bersama Kakaknya atau menggambar melalui komputer Ayahnya, ketika bersama Kakaknya Lala biasa menyaksikan program acara 6 televisi yang dipilih oleh Kakanya seperti Inbox, FTV, dan Film animasi 7 Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB.

  

Wawancara dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Jumat, 17 November 2017 pukul 15.30 WIB. menjelang sore, jarak usia antara Lala dan Kakaknya yang sudah SMP menjadikan Lala enggan mengutarakan keinginannya untuk menonton program acara yang Ia senangi, Ketika Ibu Lala pulang, Lala yang sebelumya tampak tenang seperti menunjukkan kepanikannya seperti bergegas pergi ke bagian lain

  8

  9

  dari rumah dan mengatakan “udah Pa, yo” disusul dengan “dolanan meneh” ungkap Ibu Lala. Selanjutnya Ibu Lala tampak menekankan kepada Lala untuk belajar berhitung sedangkan Lala tampak kebingungan dengan cara belajar seperti membuang pandangan dan menengok ke segala arah menghindari pandangan Ibunya. Lala memiliki kegemaran menggambar dan bernyanyi setelah les matematika dan bahasa Inggris, Ibu Lala sering mengarahkan pandangannya ketika Lala bernyanyi. “Lala ki sukae nyanyi mba, tapi nek diajak

  sinau angel, kadang tak liati, habis itu nanti akhire gelem mba, kadang ya

  10 mesake tapi nek sinau sama mama e mesti angel

  ”

5.2.2 Permissive

  Pola komunikasi yang kedua dalam hubungan keluarga adalah

  Permissive , terdapat empat keluarga yang menggunakan pola komunikasi dalam

  keluarga Permissive. Keluarga pertama yang akan dibahas adalah keluarga dari Ibu Ratih yang memiliki anak perempuan usia 5 tahun yang senang bermain gadget bernama Aida. Keseharian Aida ini bersama pengasuh jika dirumah.

  Karena kedua orang tuanya bekerja. Awal mula perkenalan Aida dengan gadget tidak diketahui oleh orang tuanya.

  8 9 Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB. 10 Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB.

  

Observasi dengan Ibu Yani(Ibu dari Lala) pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 15.30 WIB.

  “Kan tau-tau dia buka hp saya. Kan hp saya nggak ada passwordnya. Terus saya kaget loh dek kamu buka apa? “buka youtube, mainan-mainan baby

  11 doll.” “Terus saya tanya kamu tau dari mana? Dari mas Aiz. Mas Aiz ini teman sekolahnya. Mas Aiz dapet gadget dari siapa? “dari ibunya”. Ibunya kan guru disitu. Jadi sebelum saya jemput atau ayahnya jemput disekolah mainnya sama mas Aiz itu, nah pas mengisi waktu luang disitu si mas Aiz ini mungkin minta

  12 gadget kepada Ibunya.

  Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan bahwa orang tua Aida memiliki kontrol yang rendah terhadap anak, dikarenakan orang tua mengalami suatu kecolongan terhadap perilaku anak yang dapat bermain gadget padahal sebelumnya orang tua tidak pernah memperkenalkan

  gadget kepada anak.

  Selain itu orang tua berusaha mengalihkan perhatian Aida untuk tidak bermain gadget namun kerap gagal. Sehingga Ibu Ratih kerap melakukan

  sharing dengan Ibu-Ibu disekolahan Aida yang mengalami hal yang sama.

  Kerap kali orang tua Aida mengalami keputusasaan akibat anaknya kecanduan bermain gadget.

  “Pernah mbak nggak tak bolehin main gadget. Malah marah nggak mau berangkat sekolah. Soalnya kalau dipaksa-paksa sampai nangis mbak. Si Mbok jaman now kalah sama anak. Terus kalau pagi saya kan kerja, saya nyuruh mbaknya yang momong dia pagi itu buat ngatasi Aida. Sampai saya suka sms “Mbak gimana adek tadi masih rewel? Rewelnya kenapa?. “Ya biasa to bu

  13 11 mainan hp”. Jadi kalau pagi ya ribut gitu mbak.” 12 Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. 13 Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  “Pernah hpnya saya umpetin, terus saya bilang hpmu rusak. Terus

  11 minjem hp bapaknya.” “Kenapa dek? Itu hp buat kerja jangan buat mainan nanti batrenya habis”. “Terus beralih mbak ke hp ibunya “bun pinjem hpnya bun” terus kalau udah gitu saya tegur “dek kok mainan hp terus sih dek”. Loh kan hpku masih

  12 rusak” “Waktu itu yaudah cuma sehari itu tok terus dia lupa kan mbak.

  Besoknya dia tanya “hpku udah jadi belum?”. “ya besok bunda tanyain. Tiap

  13 hari nanyain terus”

  Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Orang tua Aida telah berupaya agar anaknya tidak kecanduan oleh gadget. Namun upaya yang telah dilakukan kerap gagal dan Aida kerap menimbulkan keributan dirumah bila tidak diizinkan bermain gadget.

  Selain itu Ibu Ratih kerap mendapati permintaan Aida yang meminta dibelikan mainan setelah menonton dari Youtube.

  “Dia buka youtube terus dia liat mainan-mainan itu. Imbasnya “Bun

  14 besok beli mainan ini.”

  Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Ratih dapat disimpulkan bahwa orang tuanya memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan keinginannya. Dan kontrol yang rendah terjadi didalam keluarga ini, selain itu sikap penerimaan orang tua tinggi, dan orang tua kerap menuruti permintaan anaknya. Sehingga pola komunikasi dalam hubungan keluarga Ibu Ratih ini sesuai dengan teori pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Braumrind.

14 Wawancara dengan keluarga Ibu Ratih pada hari Senin 13 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  Dari hasil observasi, didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan teman sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore, aktivitas yang dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda,

  barbie , pasaran, lompat tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai

  keunggulan dari tokoh fiktif favorit masing-masing yang mereka temui didalam televisi, dan gadget (youtube). Aida dan teman-temanya juga bercerita tentang film kartun kesukaan mereka My Little Pony: Friendship Is Magic (season 4).

  Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al- Qur’an), disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan mandi sore untuk Aida, Aida membuka gadget milik orang tuanya dan mengakses youtube untuk menonton deretan video rujukan singkat film kartun dari youtube

  , Ibu Ratih biasanya hanya menanyakan “lihat apa dek, mandi

  dulu ”, aktivitas menonton Aida berhenti ketika Ayahnya mengantarkan TPA.

5.2.3 Authoritative

  Pola komunikasi yang ketiga dalam hubungan keluarga adalah

  Authoritative , didusun Ngemplak terdapat 3 keluarga dengan pola tersebut salah

  satu keluarga authoritative yaitu keluarga pertama dari Ibu Nur. Ibu Nur memiliki anak laki-laki dengan usia 4 tahun bernama Aldi, Aldi yang sering bermain gadge tdi usianya yang sangat dini.

  “Tadi disekolahan ada penyuluhan nggak boleh main gadget. Tur biasane Ibue megang langsung direbut, sekarang saya juga kurangi megang gadget, anak-anak nggak tak bolehin pegang. Jadi dari diri saya sendiri yang

  15 kontrol. Bahaya emang itu . dampaknya gadget” “Bapake itu dulu belike sampai 4x Mbak. Terus rusak belike neh gitu 15 terus. Terus akhire yang terakhir ini rusak nggak dibelikan lagi sama Bapaknya.

  Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  Sekarang yang kecil nggak tak kasih hp. Karena dampaknya sangat-sangat

  16 bahaya”

  Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Nur dapat disimpulkan bahwa orang tua Aldi memiliki penerimaan dan kontrol yang tinggi, dan bersikap responsif terhadap kebutuhan anaknya.

  Ibu Nur memiliki kesadaran yang tinggi akan dampak pemberian gadget secara dini terhadap anaknya sendiri khususnya anak usia dini. Faktor lainnya kedua orang tua Aldi bekerja menggunakan gadget, dan Aldi yang melihat memiliki rasa penasaran lalu merebut dan bermain-main menggunakan gadget yang kian lama menjadi aktif kecanduan bermain gadget.

  “Bapake kerjanya pakek hp, jadi kerjaan dikirim lewat hp. Udah selesai ya dikirim lewat hp hampir setiap hari harus pegang hp. Tapi kan jarang 17 . dirumah” “Kalau batre belum habis nggak mau lepas. Mulailah saya kontrol nggak sering buka hp, kalau sudah pada tidur saya baru buka hp. Pelan-pelan tak kasih tau, nggak langsung tak ambil soale kan kasihan. Kula juga butuh hp

  18 . wong kula dagange nganggo hp”

  Dari kutipan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Aldi mengenal

  gadget dari orang tuanya, karena orang tuanya bekerja harus menggunakan gadget . Serta timbul rasa dari diri sendiri untuk tidak membuka gadget saat

  bersama dengan anak-anak.

  Ibu Nur pun mengatasi rengek-rengekan Aldi yang sering meminta untuk 16 diperbolehkan bermai gadget. 17 Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. 18 Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  “Iya mohon-mohon, kula ajeng balesi Whatssapp langsung nangis kalau nggak dikasih. Luar biasa nangisnya, pokoknya 10 menit dia harus pegang. Udah nonton baru tak minta pelan-pelan. Pokoke TV ini selalu nyala mbak, jadi

  19 kalau dia nggak mainan hp ya . nonton TV” “Kalau tidak hujan, saya ajak ke taman kota mbak, tak ajak jalan-jalan.

  20 Kalau nggak hujan sering tak ajak keluar”

  Dari kutipan wawancara diatas orang tua Aldi cenderung terhindar dari kekacauan serta kegaduhan yang terjadi dirumah. Aldi sendiri jika bermain dengan teman sebayanya kerap berkelahi, jadi Ibu Nur lebih senang Aldi berada dirumah karena beliau bisa mengawasi secara langsung.

  “Anak ini berbeda mbak malah sering berantem, dia malah seneng mainan sendiri. Saat keluar itu malah kemana-mana jadi saya takut. Jadi dalam pengawasan. Dirumah nonton tv, liat buku, seneng mewarnai, kalau disekolah

  21 ya main sama teman- . temannya” Dari kutipan wawancara diatas dengan Ibu Nur dapat disimpulkan.

  Kedua orang tua Aldi adalah orang tua yang menghindari kekacauan, dan memiliki rasa penerimaan tinggi, kontrol yang tinggi serta mendorong anak untuk menyatakan keinginannya. Ibu Nur juga melakukan beberapa upaya agar perhatian anaknya teralihkan dari gadget. Sehingga pola komunikasi dalam hubungan keluarga Ibu Nur sesuai dengan teori pola komunikasi dalam hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Braumrind.

  Dari hasil observasi kebiasaan Aldi adalah bermain bersama teman- teman sebayanya, Aldi biasa mengabiskan waktunya untuk bersepeda bermain 19 bola, petak umpet, dan aktivitas lainya, didalam lingkup pertemananya Aldi 20 Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. 21 Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB.

  Wawancara dengan keluarga Ibu Nur pada hari Selasa 14 Januari 2018 pukul 14.30 WIB. merupakan anak yang kerap memprovokasi temannya untuk melakukan sebuah aktivitas bermain, penggunaan gadget sementara waktu diberhentikan dikarenakan selama 4x berturut

  • – turut orang tua Aldi telah membeli gadget baru hingga akhirnya rusak, disela sela waktu orang tua Aldi menyempatkan diri untuk dengan bepergian bersama.

Tabel 5.1 Hasil Observasi Keluarga Terhadap Ke Tiga Pola Komunikasi Hubungan Keluarga Pola Komunikasi Anak Observasi Ciri - ciri Keterangan

  Authotarian Lala Lala memiliki

  kebiasaan menghabiskan waktunya untuk dirumah bersama Ayah, & Kakaknya, usai sekolah Lala biasanya menonton TV bersama Kakaknya atau menggambar melalui komputer Ayahnya, ketika bersama Kakaknya Lala biasa menyaksikan program acara televisi yang

  Frazier (2012) mengungkapkan bahwa aspek-aspek pola asuh otoriter antara lain:

  a. Pedoman perilaku Orang tua cenderung mengatur anak- anak sehingga tidak ada ruang untuk berdiskusi dan penjelasan. Sistem yang digunakan untuk

  Diketahui bahwa Lala adalah anak yang patuh, dalam ciri-ciri otoriter, kepatuhan merupakan kebajikan, sehingga dilestarikan tanpa kompromi dengan penerimaan pendapat yang berbeda. kepatuhan Lala berupa mengikuti pola belajar yang ditentunkan oleh dipilih oleh Kakanya seperti Inbox, FTV, dan Film animasi menjelang sore, jarak usia antara Lala dan Kakaknya yang sudah SMP menjadikan Lala enggan mengutarakan keinginannya untuk menonton program acara yang Ia senangi, Ketika Ibu Lala pulang, Lala yang sebelumya tampak tenang seperti menunjukkan kepanikannya seperti bergegas pergi ke bagian lain dari rumah dan mengatakan “udah

  Pa, yo

  ” disusul dengan “dolanan

  meneh

  ” ungkap Ibu Lala. Selanjutnya Ibu Lala tampak menekankan kepada Lala untuk belajar berhitung menegakkan pedoman tersebut cenderung bersifat dictator. Orang tua sering kali mengunakan hukuman yang berat.

  b. Kualitas hubungan emosional antar orang tua dan anak Pola asuh otoriter dapat membuat kedekatan antara orang tua dan anak mengalami hambatan. Anak- anak dengan pola asuh otoriter sering kali merasa cemas dan memiliki tingkat depresi yang tinggi, serta orang tua, dan sikap apolitis terhadap dirinya, dikarenakan pengaruh keinginan orang tuanya yang mutlak, sehingga dalam menghindari tegangan yang diberikan orang tua seperti penekanan kontak mata, dan penekanan secara verbal dapat segera terlewati. Penguasaan mata pelajaran yang ada disekolah merupakan hal yang penting, waktu yang memang dialokasikan untuk belajar seharusnya juga dimaksimalkan, namun bukankah berarti pembenaran ketika obsesi orang tua diterapkan tanpa sedangkan Lala tampak kebingungan dengan cara belajar, seperti membuang pandangan dan menengok ke segala arah menghindari pandangan Ibunya. Lala memiliki kegemaran menggambar dan bernyanyi setelah les matematika dan bahasa Inggris, Ibu Lala sering mengarahkan pandangannya ketika Lala bernyanyi. “Lala ki

  sukae nyanyi mba, tapi nek diajak sinau angel, kadang tak liati, habis itu nanti akhire gelem mba, kadang ya mesake tapi nek sinau sama mama e mesti angel

  memiliki masalah perilaku dan pengendalian dorongan, terutama saat tidak berhadapan dengan orang tua.

  c. Perilaku yang mendukung Perilaku yang mendukung pada pola asuh ini disebut “ menghambatan” perilaku, yang memiliki tujuan untuk mengontrol anak dari pada mendukung proses berpikir anak.

  d. Tingkat konflik antara orang tua dan anak kontrol yang lebih tanpa mempertimbangkan keinginan anaknya, dapat dilakukan dalam proses pengembangan anak. Pada observasi diketahui tidak didukungnya Lala pada kegemarannya bernyanyi dan menggambar. Berdasarkan ciri-ciri, pola komunikasi yang terjadi antara orang tua dan Lala orang tua menerapkan pola asuh ototiter. ada kedekatan sejati dan rasa saling menghormati dapat mengakibatkan pemberontakan, dengan kata lain, pola asuh otoriter dapat mengakibatkan konflik antara orang tua dan anak.

  Permissive Aida Dari hasil observasi,

  didapati Aida memiliki kebiasan bermain dengan teman sebayanya setelah pulang sekolah dari siang hingga menjelang sore, aktivitas yang dilakukan oleh Aida dan teman sebayanya adalah bermain sepeda,

  barbie , pasaran, lompat

  Menurut Hurlock,

  E. B. (1993). Pola asuh permisif memiliki ciri-ciri Kontrol orang tua kurang, Bersifat longgar atau bebas, Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya, Hampir tidak menggunakan

  Aida memiliki kebiasaan bermain bersama teman- teman sebayanya, aktivitas luar rumah meliputi bersepeda, pasaran, bermain

  barbie, lompat tali,

  keseharian Aida lebih sering menghabiskan waktu dengan pengasuh dan teman- tali, dan bercerita mengenai tokoh fiktif disertai keunggulan dari tokoh fiktif favorit masing-masing yang mereka temui didalam televisi, dan gadget (youtube). Aida dan teman-temanya juga bercerita tentang film kartun kesukaan mereka

  My Little Pony: Friendship Is Magic

  (season 4).

  Aida memiliki kebiasaan untuk mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al- Qur’an), disela-sela Ibu Ratih mempersiapkan tas dan perlengkapan lainnya dan mandi sore untuk Aida, Aida membuka

  gadget milik orang

  tuanya dan mengakses

  youtube untuk

  hukuman, Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri. teman sebayanya, pada pola asuh orang tua Aida, menunjukkan adanya kelonggaran dalam mengakses gadget, seperti hp yang tidak di password, sehingga anak dapat mengakses keinginannya tanpa harus berkompromi dengan orang tuanya dengan mudah, Orang tua Aida tidak berusaha menggali dorongan-dorongan anak “lihat apa dek?,

  mandi dulu ” proses

  pengawasan yang terjadi lemah dalam mengontrol aktivitas anak dengan informasi baru yang didapat dari youtube melalui gadget, pola menonton deretan video rujukan singkat film kartun dari youtube, Ibu Ratih biasanya hanya menanyakan “lihat apa

  dek , mandi dulu

  ”, aktivitas menonton Aida berhenti ketika Ayahnya mengantarkan TPA. komunikasi yang terjadi antara orang tua dan Aida merupakan pola komunikasi permisif, sesuai dengan yang dikatakan oleh Menurut Hurlock, E.

  B. (1993), bahwa pada pola asuh permisif orang tua cenderung memiliki kontrol yang rendah terhadap anaknya.

  Authoritative Aldi Kebiasaan Aldi adalah

  bermain bersama teman-teman sebayanya, Aldi biasa mengabiskan waktunya untuk bersepeda bermain bola, petak umpet, dan aktivitas lainya, didalam lingkup pertemananya Aldi merupakan anak yang kerap memprovokasi

  Menurut Hurlock,

  E. B. (1993). Pola asuh demokratis (authoritative) memiliki ciri-ciri Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal, Anak diakui sebagai pribadi

  Pada aktivitas bermain diluar rumah, Aldi sering berkelahi dengan teman sebayanya sehingga menimbulkan kekhawatiran pada Ibu Nur. Dalam penganggulangannya, Ibu Aldi memberi

  gadget dan lebih temannya untuk oleh orang tua dan tenang ketika Aldi melakukan sebuah turut dilibatkan menghabiskan waktu aktivitas bermain, dalam pengambilan berada dirumah, Ibu penggunaan gadget keputusan, Aldi memberi sementara waktu Menetapkan pengalihan melalui diberhentikan peraturan serta gadget, diketahui dikarenakan selama 4x mengatur bahwa Aldi sudah berturut kehidupan anak. bergonta-ganti gadget

  • – turut orang tua Aldi telah membeli sebanyak 4x gadget baru hingga dikarenakan akhirnya rusak, disela kerusakan akibat sela waktu orang tua kelalaian Aldi, orang Aldi menyempatkan diri tua Aldi kemudian untuk dengan bepergian menentukan untuk bersama. memberhentian penggunaan gadget dengan tidak membelikan ulang sementara waktu, disamping mengajarkan konsekuensi terhadap Aldi dan efek jera, orang tua juga mengajarkan untuk tidak memiliki
ketergantungan lebih terhadap gadget , beberapa kali Aldi ingin meminjam

  

gadget dari orang tua

  namun, ketika diberitahu bahwa

  

gadget yang

  digunakan oleh orang tuanya digunakan untuk bekerja, Aldi yang rentan diluar rumah lebih memilih menghabiskan waktu untuk menonton film di TV, membaca buku dan bermain mainan konvensionalnya. Pada pola komunikasi Aldi dan orang tua menunjukkan pola komunikasi demokrasi atau authoritative, proses tersebut dibuktikan dengan pemahaman Ibu Nur menyangkut kegemaran Aldi terhadap gadget, dan pemahaman Aldi untuk meminimalisis pertikaian dengan teman sebayanya, disertai konsekuensi tanpa gadget untuk waktu yang ditentukan oleh orang tuanya.

5.3 Komunikasi Interpersonal

  Dari kedelapan keluarga diatas semuanya memiliki cara yang berbeda- beda dalam mengatasi masalah anak yang senang bermain gadget. selain itu kedelapan keluarga memiliki pola tersendiri tidak dipungkiri terdapat beberapa keluarga yang mengalami pola yang sama, namun masing-masing orang tua mengalami tingkat kesulitan yang berbeda-beda pula dan mengatasi dengan caranya masing-masing. Dalam proses komunikasi tidak hanya memunculkan sebuah pola, namun didalam proses komunikasi terdapat komunikasi interpersonal yang nantinya akan menjadi faktor terpenting dalam menentukan perkembangan individu. Peneliti mengambil salah satu contoh dari kelurga Ibu Yani.

  “Ma belike ini ma. Besok ya kalau udah punya uang. Nek anakku sing cilik manut mbak, tapi nek mbakyune diomongi nanti sek, yo raine karo

  22 besengut. Soale karakter anak kan beda- beda”.

  Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Yani bahwa anaknya dapat mengerti kondisinya, serta menurut perkataan orang tuanya dikarenakan adanya kedekatan antara ibu dan anak sehingga memunculkan perubahan sikap pada komunikan.Selain itu anak mempercayai tentang pesan yang disampaikan oleh orang tua.

  “kakak punya hp kelas berapa? SMP?, berarti besok kalau aku udah

  23 besar kayak kakak belike lho ma”.

  Wawancara diatas dikemukakan oleh Lala sebagai anak Ibu Yani. Lala yang dulu kerap bermain gadget, kini sikap Lala mulai berubah menjadi lebih mengerti tentang apa yang dilarang dan diperbolehkan. Tentunya memberi penjelesan atau pengertian terhadap anak usia dini bukanlah hal yang mudah bagi Ibu Yani.

  Tentunya dengan adanya komunikasi interpersonal dalama keluarga mampu merubah perilaku anak serta dapat mempersuasif anak dengan berupa bujukan dan rayuan agar anak lebih terkendali dan lebih memahami maksut dari orang tuanya. Selain itu, dengan adanya komunikasi interpersonal menggambarkan kedekatan anak dan orang tua dan merupakan komunikasi paling efektif karena kerap digunakan untuk melancarkan komunikasi yang berupa persuasi yang sifatnya halus, dan berupa ajakan. Seperti yang dikemukakan oleh Hoveland dalam (Wiryanto, 2004: 6) mendefinisikan 22 komunikasi, demikian: “ The process by which an individual (the 23 Wawancara dengan Ibu Ratih (Ibu dari Aida) pada hari Jumat, 1 Desember 2017 pukul 15.30 WIB.

  

Wawancara dengan Ibu Ratih (Ibu dari Aida) pada hari Jumat, 1 Desember 2017 pukul 15.30 WIB.

  

communicator) transmits stimuli (ussualy verbal symbols) to modify, the

behaviourof other individu”. (Komunikasi adalah proses di mana individu

  mentrasmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain).

  Secara garis besar anak-anak saat ini cenderung lebih menyukai bemain dengan gadget dibandingkan bermain diluar dikarenakan lingkungan sekitar, pola asuh orang tua, dan kesibukan orang tua sendiri. Seperti kita tahu dari hasil wawancara diatas, anak-anak mengenal gadget dari lingkungan sekitar, kesibukan orang tua yang mengharuskan anak untuk bermain sendiri, serta gaya pola asuh yang terdiri dari otoriter, bebas, bahkan hingga demokratis. Kesibukan orang tua dalam pekerjaan yang membuat kurangnya perhatian kepada anak, lingkungan anak-anak terlalu dekat dengan kemajuan teknologi, kurangnya interaksi secara tatap muka mengakibatkan anak mencotoh apa yang ada disekitarnya.

  Dikarenakan pemikiran orang tua saat ini telah berbeda dengan orang tua zaman dulu, belum lagi harga gadget yang terjangkau sehingga orang tua lebih memilih untuk membelikan gadget untuk anak dibandingkan membelikan berbagai macam mainan untuk anak. Pada dasarnya selain pemenuhan secara materi maupun kebutuhan anak sehari-hari,seorang anak lebih membutuhkan perhatian lebih dari orang tua. Menurut para ahli psikologi, usia usia dini (0-8 tahun) sangat menentukan bagi anak dalam mengembangkan potensinya. Kehidupan pada masa anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa kehidupan yang sangat penting khususnya berkaitan dengan diterimanya rangsangan (stimulasi) dan perlakuan dari lingkungan hidupnya (Mutiah, 2010: 3).

  Gadget sendiri memiliki dampak positif dan negatif bagi penggunanya. Untuk anak usia dini khususnya, mereka tidak perlu repot-repot menggunakan kertas, buku atau pensil untuk belajar menulis dan membaca karena dengan menggunakan gadget terdapat aplikasi untuk belajar membaca, menulis, dan mewarnai serta dilengkapi animasi-animasi yang menarik sehingga membuat anak tidak bosan saat belajar. Dimudahkan dalam dunia pendidikan bukan berarti kita sebagai orang tua harus mengandalkan gadget dalam kehidupan sehari-hari setiap saat terutama dalam pola pengasuhan anak. Selain itu anak diberi kebebasan untuk bermain gadget setiap saat. Bahaya gadget pun dapat mempengaruhi perkembangan secara motorik maupuk psikis, bahkan bahaya radiasi, menyebabkan kecanduan (Komarudin, (n.d)). Pada dasarnya permainan mempunyai arti sebagai sarana mensosialisasikan diri (anak) artinya permainan digunakan sebagai sarana membawa anak ke alam masyarakat (Mutiah, 2010: 113).

  Dunia anak-anak adalah bermain. Justru melalui berbagai permainanlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik, alat permainan adalah alat bantu mereka dalam bermain sedangkan perhatian orang tua kepada anak dapat diberikan kedalam dalam aktivitas bermain interaktif (Satiadarma, 2001:64). Apalagi barang yang dibelikan adalah alat permainan yang bisa membuat anak menikmatinya selama berjam-jam sendirian. Jenis permainan ini menimbulkan dampak negatif seperti misalnya (Satiadarma, 2001:63): 1.

  Anak jelas tidak belajar karena sibuk menikmati permainanya.

  2. Anak tidak bersosialisasi karena ia menikamti permainan tersebut sendirian.

  3. Anak semakin menarik diri dari aktivitas sosial termasuk berada bersama dengan keluarga.

  4. Perkembangan secara emosional anak mengalami hambatan karena kurang berinteraksi dengan orang lain.

  Selain itu komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak pun harus terbina secara baik. Fitzapatrick dan Badzinski (lihat Baxter & Clark, 1996) dalam (Lestari, 2012:62) menyebutkan dua karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi orang tua-anak.

  • Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua atau egalitarianisme orang tua-anak.
  • Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresif afeksi, pemberian bantuan, dan kerja sama.

  Melalui bahasa tertentu orang tua menyampaikan pesan-pesan baik intelek maupun emosional kepada anak-anak mereka. Melalui proses komunikasi, bahasa disampaikan dari satu individu ke individu lain, dari orang tua ke anak mereka. Dalam proses ini terjadi transformasi konsep dari orang tua kepada anak (Satiadarma, 2001:97). Pemelihan kata pun mampu mempengaruhi pesan yang akan disampaikan, jika orang tua menyampaikan dengan bahasa yang kasar tentu pesan yang diterima oleh anak memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan dengan pesan yang disampaikan dengan bahasa yang halus. Karena bahasa menjadi dasar pembentuk pola pikir seseorang. Melalui bahasa menjadikan seseorang mampu melihat pesan moral yang terdapat didalamnya.

  Jika dengan pola komunikasi di dalam hubungan keluarga terdapat otoriter, cenderung bersikap kaku, yang mana orang tua lebih senang mengkomando serta menentukan aturan-aturan, kontrol yang tinggi dan batasan- batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. orang tua dengan pola otoriter tentu memiliki sikap penerimaan yang rendah. Bagi orang tua yang otoriter jika anak tidak mematuhi perintah yang dikehendaki orang tuanya bahwa anak ini akan bertindak semaunya, dan jika anak tidak dipukul dia tidak akan menurut. Terkadang orang tua otoriter kerap menghukum secara fisik.

  Cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak. inisiatif dan aktivitas- aktivitasnya menjadi “tumpul”. Secara umum kepribadiannya lemah, demikian pula kepercayaan dirinya (Gunarsa dan Yulia,1983:82). Seperti yang dialami Lala, mendapati orang tua dengan pola komunikasi di dalam hubungan keluarga yang otoriter. Sehingga anak tumbuh dalam rasa takut, serta anak tidak dapat mengutarakan keinginannya, karena dibatasi oleh orang tua. Anak pun harus mengikuti kemauan orang tuanya.

  Ketika anak melakukan kesalahan orang tua langsung menanyai dengan nada yang tinggi menggunakan emosi. Seharusnya orang tua lebih bijak dalam menangani anak yang melakukan kesalahan, menghadapi dengan tenang bukan sebaliknya.

  Lalu dengan pola komunikasi di dalam hubungan keluarga permissive, yang mana orang tua lebih cenderung bebas namun kontrol rendah. Hanya pada hal- hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orang tua baru bertindak. Pada cara bebas ini pengawasan menjadi longgar. Karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadiannya menjadi tidak terarah (Gunarsa dan Yulia,1983:83). Terjadi pada Aida, karena orang tua bekerja. Aida hanya diasuh oleh pembantu. Serta pengawasan orang tua yang rendah menyebabkan aida mengenal gadget dari teman sekolahnya, mengakibatkan Aida sulit untuk dijauhkan dai gadget. Serta membuat Aida bebas meminta untuk dibelikan mainan baru, dan kurangnya ketegasan Aida. Dan kurangnya waktu kebersamaan antara orang tua dan anak. Pada anak tumbuh kekauan (egocentrisme) yang terlalu kuat dan kaku dan mudah menimbulkan kesulitan- kesulitan kalau harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan sosialnya (Gunarsa dan Yulia,1983:83).

  Yang terakhir pola komunikasi di dalam hubungan keluarga secara , pola komunikasi ini cenderung demokratis. Orang tua sama-sama

  authoritative

  memiliki rasa kontrol dan penerimaan yang tinggi, serta mendorong anak menyatakan pendapat. Tindakan-tindakan tidak sesuai baiknya diterangkan secara rasional dan obyektif sambil meyakinkan perbuatannya, kalau baik perlu dibiasakan dan kalau tidak baik hendaknya tidak diperlihatkan lagi (Gunarsa dan Yulia,1983:84). Seperti Aldi, Orang tuanya responsif terhadap kebutuhannya, selain itu orang tua Aldi pun menyadari bahaya dari dampak gadget. Itensitas menggunakan gadget ketika sedang bersama anak pun mulai dikurangi. Karena orang tua cemas akan dampak buruk yang nantinya akan diterima oleh Aldi, kita tahu sendiri bahwa Aldi masih berusia 4 tahun yang sepenuhnya belum tahu tentang pemanfaatan gadget. Serta pengalihan tanpa ada unsur paksaan membuat Aldi mudah dialihkan perhatiannya. Pola komunikasi dalam hubungan keluarga, yang baik menerapkan dengan pola komunikasi secara demokratis, dimana orang tua tetap dapat mengkontrol dan sikap penerimaan yang seimbang mampu menjadi dasar acuan agar dapat memantau perkembangan anak. Namun setiap keluarga memiliki pola komunikasi yang berbeda terutama dalam pengasuhan anak. karena setiap orang memiliki ciri khas masing-masing. Namun tidak ada salahnya berusaha menjadi orang tua yang tidak lepas dari tanggung jawab, dan memberikan yang terbaik untuk anak. Agar anak jauh dari dampak buruk gadget serta kurangnya pemahaman pemanfaatan gadget pada anak khususnya anak usia dini. Baiknya anak usia dini tidak perlu diperkenalkan oleh gadget, mungkin lebih baik menghabiskan energi anak dengan hal-hal yang dia sukai seperti melakukan aktivitas diluar rumah bersama. Mulai dari hal yang kecil mengajak anak-anak mengikuti kegiatan sosial, atau jalan-jalan dengan anak diwaktu luang, dan mendukung kegiatan yang anak sukai. Agar anak tumbuh lebih terarah dan mampu berinteraksi sosial dengan baik selain itu tumbuhnya rasa percaya diri.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: An Annotated Translation of Metaphor, Simile and Hyperbole in Betsy Byars’ “The Summer of The Swans” Novel

0 1 70

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federal Police Tahun 2015 – 2017

0 0 7

2.1 Teori 2.1.1 Teori Neo-Fungsionalisme (transnational cooperation) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federal Police Tahun 2015 – 2017

0 0 11

BAB IV PEOPLE SMUGGLING, SEKRETARIAT NCB-INTERPOL INDONESIA DAN AUSTRALIAN FEDERAL POLICE (AFP) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federa

0 0 41

BAB V UPAYA PENANGANAN KASUS PEOPLE SMUGGLING OLEH SEKRETARIAT NCB-INTERPOL INDONESIA DAN AUSTRALIAN FEDERAL POLICE PERIODE 2015-2017 - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-In

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federal Police Tahun 2015 – 2017

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: An Annotated Translation of Cultural Words in The Novel See Me by Nicholas Sparks

0 3 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: An Annotated Translation of Cultural Words in The Novel See Me by Nicholas Sparks

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak di Salatiga yang Memakai Gadget

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak di Salatiga yang Memakai Gadget

0 0 10