Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. Hal ini

  berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Setiap bangsa dan generasi memiliki dasar dan tujuan pendidikan tertentu. Tentunya dasar dan tujuan itu disesuaikan dengan cita-cita, keinginan dan kebutuhan (Ahmadi & Uhbiyati, 2001). Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dapat dilakukan dengan jalan pembangunan sektor pendidikan tersebut didasarkan pada pendapat Surakhmad (1999)yang menerangkan bahwa pembangunansuatu bangsa bergantung pada kualitas sumber dayanya untuk itu diperlukan keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan.

  Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas kemampuan seorang anak, tetapi juga menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia (Kumar, 2007). Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh penyempurnaan sistemik terhadap seluruh komponen pendidikan seperti peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan pemerintah, baik dari pusat maupun dari daerah. Dari semuanya itu, guru merupakan komponen paling menentukan, karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik (Mulyasa, 2007).

  Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan (Sanaky, 2007).

  Guru dianggap sebagai faktor yang menentukan terhadap meningkat atau menurunnya mutu pendidikan kita. Peranan guru sangat menentukan karena kedudukannya sebagai pemimpin diantara peserta didik. Guru bertanggungjawab untuk mengorganisasikan dan mengawasi kelas serta menciptakan situasi yang kondusif agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar serta merangsang kreativitasnya. Guru menempati posisi penting dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat membawa negara pada kemajuan. Peranan guru bersifat multidimensional dan bergradasi menurut jenjang beraneka ragam yaitu guru sebagai pendidik atau orang tua, pemimpin atau manajer, produsen atau pelayan, pembimbing atau fasilitator, motivator atau stimulator, peneliti atau narasumber (Mulyasa, 2007).

  Menurut Mulyasa (2007), guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengankomponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas.

  Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik (Djamarah, 2002). Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri.

  Kualitas guru sangat penting dalam memajukan pendidikan, terutama dalam mengarahkan anak didiknya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa anak sekolah dasar adalah peletak dasar bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas (Sutjipto, 2001).

  Sutjipto (2001) menyatakan bahwa beban kerja guru SD dapat dikatakan lebih besar daripada guru SMP dan SMA atau SMK. Perbedaan beban kerja terletak pada karakteristik dari tugas masing-masing guru. Guru SD sebagai guru kelas yang mengajar siswa yang rata-rata berusia sama, harus menguasai seluruh materi mata pelajaran yang akan diberikan di kelas selama satu tahun sesuai kurikulum yang dibuat. Hal ini berbeda dengan guru SMP dan SMA atau SMK yang hanya mengajar satu mata pelajaran saja selama bertahun-tahun dengan materi yang sama. Dapat dilihat pernyataan seorang guru Sekolah Dasar dibawah ini:

  “lebih susah itu ngajar anak SD lah. Coba kamu pikir, guru SD itu harus bisa menguasai semua mata pelajaran untuk kelasnya karena guru SD biasanya itu pegang satu kelas. Tapi lain untuk guru agama dan guru olahraga ya, biasanya mereka cuma pegang mata pelajaran itu aja. Kalo guru kelasnya, mereka harus bisa semua pelajaran. Hebat kan guru SD itu.” (Wawancara Personal, 10 April 2013) Melihat rumitnya tugas guru tersebut dan pentingnya guru sebagai pekerja utama dalam proses pendidikan, maka sangatlah penting untuk memperhatikan kondisi guru. Namun demikian, tidak semua guru sejahtera, terutama guru di sekolah-sekolah yang letaknya terpencil dan jauh dari pusat kota.Tenaga pengajar yang mengajar di daerah terpencil melakukan pekerjaan dan pengorbanan yang jauh lebih berat dibandingkan guru yang mengajar di daerah perkotaan. Sebagai mengajar menjadi beban yang cukup berat (Abdullah, 2013). Efendy menambahkan bahwa banyak masalah pendidikan yang ditemukan di wilayah pesisir, yakni sarana dan prasarana yang kurang memadai, ketersediaan guru yang tidak merata jumlahnya, proses belajar dan mengajar tanpa didukung fasilitas yang memadai, kurangnya dukungan masyarakat dan dunia usaha serta letak geografis yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan daerah daratan lainnya (dalam Anonim, 2012). Hal ini juga dikemukakan oleh Bu Mawar (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu guru yang mengajar di pesisir.

  ““Nah gitu lah itu, sekolah kayak gitu. Apapun gak ada, buku bacaan hancur semua. Buku bacaan itu ada yang gak dapat. (Bu Mawar, R1/W1/B.181) “Bobrok kayak gitu. Lemari Ibu itu, tikus semua itu, pokoknya alat-alat tidak bisa tinggal disana, Ibu bawa pulang semua. Tikus penuh, anak-anak itu menjerit, pas ibu buka udah penuh. Ibu bilang ke penjaga, lemari ini kita bongkar, udah dibongkar, masih datang juga. Namanya juga situasi disana ya, tikus itu luarbiasa, apa ibu habis lah.” (Bu Mawar, R1/W1/B174-178) Kondisi guru yang perlu diperhatikan tidak hanya pada kondisi fisiknya saja tetapi juga pada kondisi psikologisnya. Seorang guru dituntut untuk bekerja dengan berbagai siswa dan kebutuhan-kebutuhan mereka yang berubah-ubah. Guru juga diharuskan mampu mengatasi lingkungan yang selalu berkembang, mampu beradaptasi dengan standar dan kualifikasi baru. Tekanan dan tanggungjawab yang dipegang guru tak jarang menimbulkan stres (Joseph, 2000).

  Dusun Sidodadi Paluh Merbau Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah desa pantai. Meskipun desa yang terletak di pesisir timur kota Medan ini tidak terlalu jauh dari ibukota Sumatera Utara, tetapi kesan

  ±450 kepala keluarga. Desa yang mayoritas penduduknya adalah nelayan dan tergantung dari hasil laut dipenuhi oleh jejeran rumah yang terbuat dari papan dan tampak lapuk serta kumuh. Menjadi guru yang mengajar di daerah ini tentu memberikan tekanan pada guru baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini senada dengan pernyataan yang diberikan oleh salah seorang guru:

  “Kamu lihat nak, sekolah ini. Pinggir-pinggir gedungnya banyak yang rusak. Itu karena sekolah kita ini dekat dengan laut, jadi kandungan garam di udaranya tinggi, itu yang buat sekolah ini jadi rusak. Tambah lagi, kondisi tanah yang berpasir ini buat tanaman susah tumbuh. Kalau di bilang enak, yah, pasti ada gak enaknya juga mengajar disini. Jauh dari kota, terus yah, kamu lihat lah kondisinya. Capek ke sekolah jadi buat saya sering emosi

  .” (Wawancara personal, 10 April 2013) Joseph (2000) membandingkan tingkat stres antara guru, pekerja sosial, dan pelayan. Ternyata guru menempati posisi teratas dalam tingkat stres dan rawan mengalamiburnout atau mangkir dari pekerjaan lalu keluar dari pekerjaan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Nagel memperlihatkan bahwa subjek yang diteliti saat ditanya, “apabila diberi kesempatan kembali untuk memilih sebuah pekerjaan” semuanya menjawab tidak ingin memilih menjadi seorang guru. Dari keseluruhan subjek, 33%-nya menyatakan bahwa menjadi guru memberikan stres yang berat, dan dari 30%-nya menyatakan hanya akan bertahan sebagai guru selama 5 tahun saja (Nagel, 2003).

  Kyriacou (1987) menggambarkan stres yang dialami oleh guru sebagai perasaan yang tidak menyenangkan seperti depresi, marah, cemas, dan tegang yang terbentuk oleh tekanan kerja sebagai guru. Stres yang dialami oleh guru yang disebabkan oleh beban dan waktu kerja, penilaian dari oranglain, hubungan dengan rekan kerja, kondisi lingkungan kerja yang buruk, rendahnya dukungan dari rekan kerja, teman, dan keluaga (Kyriacou, 2001). Selain itu, keterlambatan siswa dalam menghadiri sekolah, kegagalan siswa dalam menyelesaikan tugas, dan siswa yang tidak mau menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan dapat menjadi penyebab stres pada guru (Joseph, 2000). Hal ini juga diutarakan oleh Bapak S, seorang kepala sekolah SD di Desa Percut yang mengatakan:

  “Siswa SD disini kalau kelas 1 sampai kelas 3 itu masih rajin masuk, sedikitlah yang absen. Tapi, mulai kelas-kelas tinggi, mulai kelas 4 sampai 6, mereka mulai jarang masuk dengan alasan bantu orangtua. Anak-anak ini, kalau sudah besar aja dikit, sudah bisa cari kerang, kepiting atau ikan, jadi jarang masuk. Karena mereka sudah bisa cari uang untuk jajan atau bantu-bantu orangtuanya. Siswa disini juga susah buat tugas. Mungkin karena gak diawasi orangtuanya. Guru- guru pun capek mengingatkan” (Komunikasi Personal,11April 2013) Kesulitan yang dihadapi oleh guru tidak hanya terjadi di sekolah, namun masalah yang jauh lebih kompleks juga mungkin terjadi di lingkungan luar sekolah. Kondisi-kondisi tersebut tidak jarang membuat guru putus asa bahkan stres. Stresyang terjadi pada guru dapat mengakibatkan isolasi dan berkurangnya perhatian guru pada murid-muridnya dan juga mempengaruhi banyak aspek dari profesi guru. Stres juga menjadi salah satu penyebab seorang guru memutuskan untuk berhenti dan keluar dari profesinya (Farber, 1991 dalam Abbott 2004). Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan seorang petugas desa yang awalnya seorang guru:

  “....Dulu saya pernah jadi guru di sini, tapi saya gak tahan. Siswanya guru. Sekarang saya jadi pegawai di kantor kepala desa. Lebih enak saya rasa.” (Komunikasi Personal, 11 April 2013) Selain itu, sulitnya hidup di pesisir membuat beberapa guru muda tidak bertahan cukup lama untuk mengajar dan memutuskan untuk pindah. Bkan hanya guru muda, tetapi guru yang berasal dari luar pesisir juga memutuskan untuk pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan kota. Hal ini diungkapkan oleh kepala sekolah SD Paluh Merbau

  “gimana ya dek, guru-guru yang dari kota ini banyak yang gak tahan mengajar disini. Mungkin karena jauh dari rumah terus karena mungkin disini gak ada mall untuk jalan-jalan. Jadi mereka banyak yang milih untuk ngurus SK pindah. Kayak ini ada 2 orang guru yang masih muda, baru mulai masuk 2012, tapi karena kejauhan mereka mau p indah aja.” (Wawancara personal, 24 April 2015) Meskipun banyak sumber stres yang dialami oleh guru, tetapi tetap ada yang bertahan mengajar di sekolah.Abbott (2004), menyebutkan bahwa kemampuan guru untuk bertahan di sekolah yang penuh dengan sumber stres dipengaruhi oleh strategi resiliensi. Strategi resiliensi merupakan sejumlah cara yang digunakan guru untuk mempertahankan resiliensi dalam menjaga kelangsungan tugas-tugas profesi mereka di sekolah.

  Moriarty, Danaher, dan Danaher (dalam Jarzabkowski, 2003) menjelaskan bahwa guru yang mengajar di sekolah terpencil dengan tingkat beban yang tinggi memerlukan kemampuan resiliensi agar mampu bertahan dalam kondisi sulit.Rutter (1985) mengartikan resiliensi sebagai menghadapi “stres pada waktu dan dengan cara yang memungkinkan kepercayaan diri dan kompetensi sosial meningkat melalu penguasaan dan tanggungjawab yang sesuai” (dalam Gordon et al., 2000).

  Benard (1991) mengungkapkan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kapasitas bawaan untuk mampu beresiliensi, yang berarti bahwa kita mampu mengembangkan kompetensi sosial, keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis, mandiri, dan memiliki hasrat untuk mencapai tujuan. Penelitian yang dilakukan oleh Day et.al (2006) menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi berasal dari dalam diri individu, tetapi kekuatan dari resiliensi itu dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni diri sendiri, profesionalisme dan faktor situasional.

  Ada dua alasan yang menekankan bahwa menumbuhkan kemampuan resiliensi pada guru merupakan hal yang penting. Pertama, guru merupakan model bagi murid mereka dan merupakan hal yang aneh jika guru mengharapkan murid- muridnya untuk mampu beresiliensi, sedangkan mereka sendiri (guru) tidak menerapkannya. Kedua, pemahaman mengenai resiliensi pada guru dalam proses menghadapi tegangan kehidupan kerja dapat memberikan kontribusi pada guru untuk mengembangkan kemampuan mengajar, profesionalisme, komitmen, dan efektivitas (Day et.al., 2006).

  Menurut Patterson dan Kelleher (2005), resiliesi adalah sebuah konstruksi dasar yang memberikan kekuatan untuk menolong school leader bangkit dan berkembang dari kesulitan-kesulitan. School leader bukan hanya dimaksudkan pada pemimpin atau kepala sekolah namun juga guru dan semua elemen pendidik dalam suatu sekolah. Efek resiliensi guru amatlah besar, sebab dengan adanya sekolah, dan bahkan memberi dampak pada siswa, yang tidak akan mungkin terjadi tanpa pengaruh guru (Wasley, 1991 dalam Abbott 2004).

  Resiliensi (kemampuan seorang individu untuk dapat bertahan dan pulih dari kondisi yang sulit) merupakan kondisi yang penting dalam mempertahankan komitmen (Day et al., 2006). Sepanjang karirnya, guru akan berhadapan dengan banyak situasi yang memunculkan konflik dan stress. Seorang guru yang tidak mampu mengatasi situasi-situasi yang sulit akan mempengaruhi kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis, dengan ditandai munculnya pola-pola gangguan tidur dan makan, depresi, menurunnya kepuasan kerja dan pada akhirnya akan mempengaruhi kontinuitas karir (Brooks, 1994). Akan tetapi, guru yang resilien akan mampu menghadapi berbagai situasi yang buruk dengan efektif, dan hal ini merupakan kunci penting bagi kesuksesan dalam ruang kelas dan komitmen guru terhadap profesinya (Gordon & Coscarelli, 1996).

  Resiliensi dilihat sebagai sebuah kekuatan yang penting bagi guru untuk menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan tekanan. Hal inilah yang kemudian membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai resiliensi pada guru di pesisir.

  Berangkat dari pemaparan diatas, peneliti tertarik dan memfokuskan arah penelitian ini berdasarkan satu kasus yang berhubungan dengan resiliensi dua orang guru yang mengajar di Paluh Merbau. Kedua guru tersebut adalah Bu Mawar (bukan nama sebenarnya) dan Bu Anggrek (bukan nama sebenarnya).

  Kedua guru sudah lama mengajar di Paluh Merbau, Bu Mawar telah mengajar

  Bu Mawar merupakan seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Medan. Beliau mengikuti ujian masuk PNS dan lulus pada tahun 1993. Bu Mawar mendapatkan SK untuk mengajar di Paluh Merbau pada tahun 1996. Pada awalnya, Bu Mawar merasa terkejut ketika mengetahui bahwa ia harus mengajar di tempat yang jauh, yang bahkan namanya saja belum pernah ia dengar. Bagi Bu Mawar yang selama ini hidup di kota Medan, ditempatkan mengajar di sebuah dusun pesisiri yang jauh dari kota sangat mengejutkan. Bu Mawar kaget dan tidak menyangka karena dia berpikir bahwa ia akan ditempatkan di lokasi yang tidak begitu jauh. Bu Mawar kaget ditempatkan di lokasi yang jauh yang bahkan belum pernah ia dengar namanya. Hal ini diungkapkan dalam wawancara berikut

  “... waktu tahu kaget setengah mati lah. Mau gak mau Ibu. Lama Ibu datang ke situ. Lama juga Ibu dating, udah sebulan penempatan baru Ibu masuk, baru Ibu datang.” (R1/W1/B26-28) “... tempatnya itu terpencil, belum ada jembatan harus naik sampan.” (R1/W1/B21-22) Bu Mawar takut tidak bisa bertahan dengan kondisi geografis dan situasi

  Paluh Merbau yang jauh berbeda dengan kota yang selama ini ia tinggali. Selain itu, sulitnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah juga menjadi penyebab Bu Mawar tidak tahan dan merasa kesusahan.

  “Sebetulnya lulus itu senang ya, cuma mikir apa ditempat itu nanti bisa, gitu kan. Kendalanya itu jalan. Disitu waktu masa itu RBT masuk ke dalam jalannya masih licin itu.” (R1/W1/B44-46)

  Kondisi ekonomi masyarakat Paluh Merbau yang miskin dan juga tidak berpendidikan menambah kesusahan dan kesedihan Bu Mawar. Rendahnya tingkat ekonomi menyebabkan proses pendidikan sulit berjalan.

  “...masyarakatnya kan masih gak ada yang sekolah disana. Jarang pendidikan lah gitu. Anak-anaknya itu ckck, kayak manalah kita mau memajukan disana tapi minta dananya itu susah. Takutlah kita itu kan, orang itu kan ntah ada pelajaran bawa karton. Pokoknya soal kutip mengutip itu susah lah kalo disana.” (R1/W1/B107-111) Dengan segala kesusahan yang dialaminya, Bu Mawar berusaha untuk tetap bertahan mengajar. Beliau berusaha menggunakan kemampuan sendiri untuk bertahan. Kesulitan yang dihadapi oleh responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk mengembangkan kemampuan resiliensi.

  Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation, impulse control, causal analysis,

  

optimism, empathy, self efficacy, dan reaching out. Kesulitan yang dihadapi oleh

  responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk mengembangkan kemampuan resiliensi. Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation,

  

impulse control, causal analysis, optimism, empathy, self efficacy, dan reaching

out (Reivich dan Shatte, 2002).

  Bu Mawar sudah dapat mengatasi perasaan susah yang dialaminya ketika pertama sekali menginjakkan kaki di Paluh Merbau. Bu Mawar bertahan mengajar di Paluh Merbau karena beliau menguatkan diri untuk menahan ketidaknyamanan Keputusan yang sudah menetapkan beliau untuk mengajar di Paluh Merbau. Bahkan beliau merupakan salah satu guru dari luar Paluh Merbau yang berhasil bertahan mengajar hingga saat ini.

  “... Semua kami dari Medan. Semua pindah, tinggal kami tiga yang bertahan, yang jauh. Terus Ibu zahara mutuskan pindah kesitu karena waktu itu anaknya masih kecil. masih bisa dibawa. masih kecil lah anaknya. Di sekolah kami semua itu anaknya. Sampe sekarang anaknya udah kuliah, kami masih bertahan sama Ibu Ar itu.” (R1/W1/B81-85) Sejak mengetahui bahwa kondisi ekonomi dan geografis Paluh Merbau begitu jauh dibandingkan kota yang selama ini ia tinggali, Bu Mawar selalu merasakan keinginan untuk pindah kerja. Akan tetapi, SK dari dinas pendidikan yang memuat perjanjian kerja memaksanya untuk tetap berada di Paluh Merbau.

  “ada keinginan mau pindah, tapi kan perjanjian dulu tugas kami 5 tahun.” (R1/W1/B54) Rasa malas mengajar Bu Mawar kadang muncul, terutama jika ada masalah-masalah sehubungan dengan murid. Bu Mawar mengungkapkan bahwa orangtua sering salah paham dengannya. Mereka menganggap bahwa Bu Mawar tidak datang mengajar dikarenakan malas. Tuduhan-tuduhan seperti itu menjadi beban bagi Bu Mawar yang mendorongnya untuk berhenti mengajar. Akan tetapi, keinginan itu bisa dikendalikan karena nasehat dari suami.

  Bu Mawar tidak kehilangan rasa optimisnya dalam mengajar di Paluh Merbau. Walaupun pada awalnya beliau mengalami banyak hambatan, tetapi optimisme terhadap pendidikannya tidak luntur. Selain itu, sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) ada bantuan-bantuan yang diperoleh dari pemerintah.

  Bekerja di Paluh Merbau mengajarkan banyak hal pada Bu Mawar. Terutama masalah bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki. Memahami penderitaan dan kekurangan oranglain merupakan pelajaran yang ia dapat di Paluh Merbau. Kehidupan masyarakat yang miskin di Paluh Merbau seringkali menimbulkan rasa sedih dalam diri Bu Mawar.

  Berdasarkan tujuh dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Schatte (2002) dapat disimpulkan bahwa Bu Mawar memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik. Hal ini ditunjukkan oleh kepercayaan akan kemampuan diri sendiri yang kurang baik serta Bu Mawar membutuhkan dukungan dari keluarga dan teman-temannya untuk dapat bertahan mengajar di pesisir.

  Bu Anggrek merupakan warga dari desa Tanjung Rejo yang letaknya tidak begitu jauh dari Paluh Merbau, sehingga dapat dikatakan bahwa Bu Anggrek lebih mengenal Paluh Merbau dibandingkan dengan Bu Mawar. Bu Anggrek mengambil pendidikan D2 di PGA. Setelah lulus, beliau menganggur selama setahun sebelum kemudian mengikuti ujian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 1983. Setelah mendapatkan status sebagai PNS, Bu Anggrek ditempatkan menjadi guru agama Islam di Sei Rampah.Pada tahun 1989, dikarenakan adanya sebuah kasus yang menyebabkan beliau dituduh menjadi guru yang tidak pernah mengajar, maka beliau minta untuk dipindahkan. Selanjutnya beliau dipindahkan

  Bu Anggrek merasa bahagia ketika akhirnya ia dipindahkan ke Paluh Merbau. Bahkan keluarganya pun ikut senang dikarenakan lokasi sekolah tidak begitu jauh dari rumah jika dibandingkan dengan di Rampah. Akan tetapi, teman- temannya mengganggap Bu Anggrek bodoh karena mau dipindahkan ke lokasi yang terpencil serta miskin.

  “yaa, merasa senang juga sih karena bisa pulang hari. Sedang di Rampah kan harus nginap disana. Tapi kawan-kawan bilang, kau bodoh kali, kok sekali pindah di tempat jin buang anak. Tapi memang niat saya disitu. Pada awalnya kan niat saya kalaupun pindah ya disitu.” (R2/W1/B156-159) Setelah beberapa tahun tidak melihat kondisi Paluh Merbau, Bu Anggrek terkejut saat melihatnya lagi untuk mengajar. Kondisi jalan Paluh Merbau yang buruk dirasa memberatkan. Selain itu, kondisi Paluh Merbau yang miskin dan terpencil, serta masyarakatnya yang tidak begitu peduli pada pendidikan terkadang menyebabkan anak-anak menjadi tidak sopan kepada gurunya dan sulit untuk diatur. Bu Anggrek merasa ada saat tertentu dia merasa ingin marah dan mengamuk kepada para siswanya, tetapi beliau mampu mengendalikan emosi tersebut dan menemukan cara untuk mengatasi perilaku anak didiknya yang nakal.

  “kalau mengajari sih gak sulit, cuman kadang kita karena anak sekarng ini sudah gak ada apa yaa, kayak kehilangan karakter, gak ada takutnya, gak ada segannya. Eehhh, itu terlihat waktu mereka itu belajar, kalau disuruh merendahkan suara itu malah makin kuat, jadi kelas itu bising. Jadi kalau kita gak pintar bawakan nada, maunya kita ngamuk aja. Tapi karena kita kadang nada kita, terus kita bilang dengan suara rendah, mereka terus pelan. Memang tentang suara itu lah. Nanti kalo ngerjakan kelompok, hoo saling otot-ototan suara tinggi. Kesulitannya itu, untuk menentramkan mereka. Supaya gak ada guru itu tenang.” (R2/W2/B31-38)

  Meskipun awalnya merasa terkejut dan terbebani dengan kondisi Paluh Merbau yang buruk, seiring berjalannya waktu, Bu Anggrek berhasil mengatasi keterkejutannya dengan kondisi Paluh Merbau melalui rasa syukur dan niat untuk mengabdi disana. Walau terkadang Bu Anggrek harus melewati kondisi jalan yang becek dan sulit dilalui karena hujan.

  “yaa karena saya sudah senang tadi, saya jalanin saja. Kadang kalau hujan lebat itu, kan lengket, roda gak bisa berputar, macet. Kadang ada kenalan saya, nanti ditanya kenapa sepedanya? "Gak bisa jalan ini." " Ya udah sini aja, tak gotong." Jadi digotong sampe tempat yang baru bisa dijalanin. Kadang ada juga sampe setengah kilo itu. Digotong dia, baru saya cungkil- cungkil lumpurnya itu.” (R2/W1/B283-287) Tanggungjawab Bu Anggrek sebagai guru tidak hanya kepada para siswanya, tetapi juga pada masalah administrasi. Setiap guru memiliki tugas administrasi seperti mengurus absensi siswa dan menulis perkembangan para siswa. Bu Anggrek tidak menyukai tugas ini bahkan beliau merasa marah dan tidak suka saat diminta untuk mengerjakan tugas administrasi. Akan tetapi, Bu Anggrek mampu mengatasi emosi-emosi tersebut dengan berzikir untuk menenangkan pikiran.

  “yaa ada. Saya itu kan matanya udah gak gitu bagus. Jadi kalo disuruh nulis-nulis, tugas administrasi itu saya malas, jadi kesal, palak gitu. Kadang jadi marah saya. Jadi kalo ada tugas itu, saya kerjakan kalo udah mau dekat- dekat waktu kumpulnya, hehe.”

  (R2/W3/B100-102) “yaa saya kalo udah ngerasa gitu, saya zikir aja lah. Tengah malam, waktu pikiran udah tenang, disitulah saya kerjakan zi kirnya dan tugas itu.”

  (R2/W3/B109-110)

  Organisasi kejiwaan yang diikuti oleh Bu Anggrek juga membantunya untuk mengendalikan emosi. Organisasi ini mengajarkan untuk sabar dan rela.

  Menurut Bu Anggrek, ajaran-ajaran kejiwaan yang ia dapatlah yang banyak memberikan bantuan kepadanya untuk tetap tegar menjalankan tugasnya sebagai guru.

  Selain masalah kondisi jalan dan aksesibilas sekolah yang buruk, Bu Anggrek juga harus menghadapi kenakalan-kenakalan siswanya. Ketika menghadapi masalah, Bu Anggrek biasa melakukan analisa untuk memahami alasan seorang anak melakukan kenakalan. Bu Anggrek berpendapat dengan menganalisa penyebab seorang anak bermasalah, beliau akan dapat menemukan solusi yang tepat.

  Menjadi guru merupakan sebuah impian bagi Bu Anggrek. Beliau bertekad untuk mendidik siswanya dengan baik agar kelak penerus bangsa Indonesia tidak bodoh. Selain itu, Bu Anggrek punya impian bahwa anak-anak didiknya akan meneruskan ilmu yang ia ajarkan. Impian dan harapan ini yang membuat Bu Anggrek optimis mengajar.

  Bu Anggrek dikenal sebagai individu yang taat pada agama dan seringkali menjadi tempat meminta nasehat dari teman-teman maupun saudaranya. Bu Anggrek mengatakan bahwa dirinya dikenal sebagai orang yang baik, peduli, penggembira dan menyenangkan. Sejak dulu, Bu Anggrek sering memperhatikan keadaan orang sekitar dan tak jarang Bu Anggrek ikut merasakan kesedihan oranglain yang menceritakan permasalahannya kepada Bu Anggrek. masalah dengan berserah pada Tuhan. Ajaran kejiwaan yang didalami Bu Anggrek juga menjadi pedomannya dalam menghadapi masalah. Kepercayaannya kepada kekuatan Allah memberikan rasa percaya diri kepada Bu Anggrek. Bu Anggrek percaya bahwa ia mampu menyelesaikan masalah dengan kemampuannya sendiri tanpa pertolongan oranglain karena ada kekuatan Allah yang mendukungnya.

  Mengajar di Paluh Merbau yang jauh merupakan tantangan bagi Bu Anggrek. Bu Anggrek tidak menyerah dengan kondisi sekolah yang miskin dan jalan menuju sekolah yang buruk. Beliau menggunakan kesempatan mengajar untuk mengetahui seluk beluk Paluh Merbau.

  Dari hasil gambaran resiliensi Bu Anggrek dan didasarkan pada dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Schatte (2002), dapat disimpulkan bahwa Bu Anggrek memiliki kemampuan resiliensi yang baik, atau dengan kata lain, Bu Anggrek adalah guru yang resilien.

  Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan Bu Mawar dan Bu Anggrek sebagai guru yang mengajar di pesisir. Ada faktor-faktor yang membantu mereka untuk bertahan dan ada pula faktor-faktor yang menjadi resiko bagi keduanya. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan Bu Mawar tidak resilien dan Bu Anggrek mampu resilien. Bagi Bu Mawar dan Bu Anggrek mungkin ada perbedaan kemampuan resiliensi dan faktor yang mempengaruhinya. Peneliti berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenai resiliensi pada guru yang mengajar di pesisir, khususnya pada Bu Mawar dan Bu Anggrek, tantangan keduanya, sehingga dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.

B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti melakukan riset awal dengan menggunaan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh guru yang mengajar di pesisir? 2.

  Bagaimana resiliensi yang dimiliki oleh guru yang mengajar di pesisir? Kedua pertanyaan tersebut telah terjawab pada bagian latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas. Jawaban yang peneliti peroleh dari riset awal mengarahkan peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan dengan rumusan permasalahan, yakni: faktor-faktor apa yang menyebabkan guru yang mengajar di pesisir dapat resilien atau tidak?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai resiliensi guru Sekolah Dasar yang mengajar di pesisir.

  D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang psikologi khususnya psikologi pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat

2. Manfaat Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis antara lain:

  1. Menggambarkan bagi pembaca mengenai tekanan yang dihadapi oleh guru yang mengajar di pesisir.

  2. Membantu memberikan pemahamanmengenai penyebab seorang guru mampu resilien dan/atau tidak mampu resilien.

  3. Memberikan sumbangan informasi sehingga kedepannya, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mempersiapkan guru (tenaga pengajar) yang akan ditempatkan di lokasi yang terpencil.

  4. Memberikan informasi kepada Dinas Pendidikan 5.

  Memberikan informasi kepada guru.

  6. Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Bab I Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab II Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai resiliensi termasuk di dalamnya definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.

  Bab III Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

  Bab IV Deskripsi Data dan Pembahasan Pada bab ini akan diuraikan riwayat masing-masing responden, analisa data hasil wawancara dan pembahasan terhadap data-data yang telah diperoleh.

  Bab V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan saran peneliti terhadap penelitian.