BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kemiskinan di Distrik Jila Kabupaten Mimika Provinsi Papua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Menurut Para Ahli Kemiskinan merupakan masalah yang selalu muncul dalam

  proses pembangunan di berbagai belahan negara di dunia. Pada umumnya kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kekurangan atau tidak sejahtera, yang secaara konvensional di ukur dengan pendekatan moneter. Seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar tertentu seperti garis kemiskinan atau kebutuhan kalori minimum. Amartya Sen (1976), mengemukakan sebuah pemikiran yang lebih luas mengenai kemiskinan dalam konteks pembangunan, bahwa pembangunan memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memenuhi sejumlah fungsi tertentu dimana fungsi tersebut bersifat multidimensi, sehingga kemiskinan merupahkan kegagalan dalam memenuhi fungsi tersebut. Menurutnya, pendapatan (moneter) merupahkan salah satu dari dimensi tersebut akan tetapi dimensi lain seperti pendidikan, kesehatan, kebebasan mengemukakan pendapat, partisipasi dalam kegiatan politik dan sebagainya tidak dapat diabaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut kemiskinan atau kesejahteraan mulai dipahami sebagai fenomena multidimensi. Karena dalam menanggulanginya masalah yang dihadapi bukan saja terbatas pada hal-hal yang menyangkut hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan tetapi melibatkan juga preferensi, nilai dan politik (Sholeh, 2010).

  Definisi tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari ketidak mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral (Sholeh 2010).Dalam arti sempit kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang untuk menjamin kelangsungan hidup.Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu pennomena multidimensional

  (Hamudy, 2008). Menurut Kurniawan (2004), kemiskinan adalah apabila pendapatan suatu komunitas berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu. Kemiskinan juga berarti kekurangan kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidak- mampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang et al, 2015:2).Chambers dalam Nasikun (2001), layak (Khomsan mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: Kemiskinan tidak berdaya, rentan terhadap situasi darurat, ketergantungan; dan keterasingan baik secara geogerafis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri et al, 2015:3). (Khomsan,

  Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan pangan dan nonpangan.BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang etal, 2015:12-13). bersifat mendasar (Khomsan,

  Menurut Bank dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional vs ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak ada tata pemerintahan yang bersih dan good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang baik ( berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan (Prihartini, 2006).

  Menurut Hadiwigeno dan Pakpahan (Prisma 1993), kemiskinan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber daya alam, teknologi dan unsur pendukungnya, sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan. Selanjutnya, menurut Sayogyo dalam Singarimbun (1978), bahwa ada dua penyebab utama kemiskinan pedesaan di Indonesia yaitu adanya kegagalan pasar dan politik. Kegagalan pasar timbul karena: (l) daya beli penduduk pedesaan sangat rendah, upah dan pendapatan sangat kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar; (2) terbatasnya kesempatan dan peluang berusaha di pedesaan; (3) keadaan prasarana yang tidak memadai untuk pengembangan produksi; (4) pola penguasaan tanah sebagai alat produksi vital keadaannya timpang; (5) hambatan dalam pemasaran. Sedangkan kegagalan politik akibat struktur dan institusi ekonomi politik yang ada pada tingkat supra lokal (desa) mengalami distorsi et dalam mempresentasikan kepentingan masyarakat desa (Khomsan al, 2015:17-18).

  Kemiskinan Absolut Kemiskinan Mutlak (Absolut), adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan perangkat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses pada pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan adalah masalah global,sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang sudah mapan. Kemiskinan dipahami dalam bermacam-macam cara. Pemahaman utamanya mencakup: Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran mengenai kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, sebab hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

  Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu standar yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat/negara.

  Kesulitan konsep kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi tingkat kebutuhan minimum karena dua hal tersebut tidak hanya di suatu negara adat kebiasaan saja tetapi juga oleh iklim tingakat kemajuan suatu negara dan berbagai faktor ekonomi lainya. Kebutuhan dasar dapat di bagi menjadi 2 golongan kebutuhan dasar yang diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupnya dan kebutuhan lain yang lebih tinggi. United Nation Research Institute for Social Development menggolongkan kebutuhan dasar manusia atas 3 kelompok yaitu pertama kebutuhan fisik primer yang terdiri dari kebutuhan gizi, perumahan dan kesehatan; kedua kebutuhan cultural yang terdiri dari pendidikan, waktu luang dan rekreasi serta ketenangan hidup dan ketiga kelebihan pendapatan untuk mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi (Khomsan, et al, 2015:5).

  Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural adalah pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin. Kalau pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada masyarakat miskin yang „naik kelas‟. Artinya jika pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.Kemiskinan ini timbul, karena ada hubungan sosial ekonomi yang membuat kelompok orang tereksklusif dari posisi ekonomi yang lebih baik. Penyebab tereksklusif adalah ketergantungan ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian nasional jatuh pada segelintir orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan hubungan sosial yang tidak demokratis (Khomsan et al, 2015:3).

  Kemiskinan Kultural Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti seseorang atau masyarakat yang merasa berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok ini tidak mudah diajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan cenderung tidak mau berusaha rnemperbaiki tingkat kehidupannya. Dengan ukuran absolut mereka miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau dikatakan miskin.

  Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan menginte- grasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas.Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol.Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah.Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut. Pandangan lain tentang budaya miskin merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan seperti itu membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. (Khomsan et al, 2015:3).

  Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Pengukuran kemiskinan relatif didasarkan pada perbandingan pendapatan antara kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah terhadap kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi. Artinya, sebenarnya kelompok tersebut tidak miskin secara absolut, tetapi lebih miskin dibandingkan kelompok masyarakat lain yang kaya atau makmur.

  Kemiskinan ini dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi pendapatan nasional yang diterima antara lapisan sosial dalam et al, 2015:3). masyarakat (Khomsan

  Kemiskinan relatif dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan.

  Menurut Todaro (1997), menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.

  Menurut Jhingan (2000), mengemukaan tiga ciri utama Negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling Pertama, prasarana dan sarana pendidikan terkait pada kemiskinan. yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman (Khomsan et al, 2015:4).

  Kemiskinan relatif, kemiskinan jenis ini tidak berhubung dengan garis kemiskinan, kemiskinan jenis ini bersumber dari prefektif masing-masing orang, yaitu karena orang tersebut merasa miskin. Kemiskinan jenis ini bisa menimpa siapa saja. Suatu contoh, bila anda seorang pegawai dengan pendapatan 5 juta perbulan, misalnya suatu hari anda mengetahui rekan anda yang selevel dengan anda memiliki pendapatan yang nilainya 3x lipat dari anda, seketika anda merasa marah. Pada kondisi tersebut anda mengalami kemiskinan relatif, atau orang yang sudah memiliki tingkat pendapatan dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti tidak miskin, ada ahli yang berpendapat bahwa walaupun sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin, ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak di tentukan oleh keadaan sekitarnya, daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller, 1971).

  Kemiskinan di Provinsi Papua Menurut Kum (2014), kemiskinan dan keterbelakangan di

  Papua sebagai akibat dari ketertindasan masyarakat asli Papua ini nampak pada rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan, tingginya angka orang sakit yang tidak tertolong, dan tingginya kematian ibu dan anak (bayi). Masyarakat asli Papua hidup dalam serba kesulitan dan keterbatasan, karena kebijakan publik dari pemerintah yang tidak memihak dan menguntungkan rakyat di era otonomi khusus.Berbagai macam produk hukum berupa peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir hak-hak dasar masyarakat dan tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan dan politik, termasuk hak akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat adalah kerusakan hutan dan membawa efek pada kesulitan akses air bersih dan pangan lokal.

  Menurut Wakono, et al (2013), ketidakadilan di tanah Papua memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, seperti emas, tembanga, minyak, serta hasil hutan dan laut yang melimpah. Andaikan bangsa ini mau jujur, secara ekonomi Indonesia tidak akan mampu bertahan sebagai satu negara tanpa tanah Papua. Namun ironisnya dibalik karunia Tuhan yang melimpah di tanah Papua, ceritera tentang rakyat Papua sejak awal Papua di integrasikan kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga dewasa ini, justru sangat kontra produktif dengan kekayaan yang dimiliki. Kemiskinan akibat ketidak adilan ekonomi, kekerasan yang ditandai dengan perang dan pembunuhan baik secara horizontal maupun vertikal yang merenggut ribuan jiwa dan harta benda untuk menguasai dan mengeksploitasi kekayaan tanah Papua, serta pelbagai bentuk penderitaan lainnya.Itu potret buram rakyat Papua di atas tanah yang kaya.

  Menurut Paharizal & Yuwono (2016), rakyat ibarat ayam mati di lumbung Padi PT. Freeport Indonesia yang mengexploitasi di tanah Papua adalah tambang yang terkenal paling banyak mengandung bijih emas di dunia. Itu artinya, kekayaan alam mineral yang dimiliki tanah Papua sangat berlimpah.Namun, kekayaan alam yang sangat melimpah itu tidak sebanding lurus dengan kehidupan rakyat Papua.Kondisi ini mengibarakan ayam mati di lubung padi, kekayaan alam Papua tidak membuat rakyat Papua hidup dengan layak.Mala sebaliknya kekayaan alam membawa bencana bagi kehidupan rakyat di tanah Papua, masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan kekurangan gizi karena kekurangan pangan.

  Menurut Suryawan (2013), suasana keputusaan dalam keterhimpitan ekonomi secara gamblang terlihat di tengah gelimang kekayaan alam yang terus menerus dieksploitasi. Dana pembangunan puluhan triliyun rupiah dalam skema Otonomi Khusus seakan tidak berdampak sama sekali terhap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan fisik dalam bentuk gedung-gedung memang terjadi dengan massif. Namun demikian, kualitas haidup dasar dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masih sangat memprihatikan di Papua.Menurut Suryawan (2014), pemberlakuan undang-undang otonomi khususdan tumbuh suburnya pemekaran daerah-daerah di Papua pantas diduga memperumit transformasi identitas budaya dan politik yang sangat pelik. Identitas budaya Papua tumbuh dalam teritorialisme daerah-daerah baru dan semakin menguatnya politik budaya etnik di wilayahnya masing-masing. Bukan hanya itu, konflik- konflik horizontal yang terjadi di daerah-daerah pemekaran akibat pertarungan perebutan sumber-sumber ekonomi lain, akses kekuasaan politik lokal dan ketegangan antara berbagai etnisitas dan agama.Yang tidak kalah pentingnya adalah ketegangan orang asli papua dengan migrant dari Jawa dan BBM (Buton Bugis, Makasar) yang sering disebut sebagai pemantik maginalisasi orang asli Papua di tanahnya sendiri. Kondisi yang terjadi adalah polarisasi identitas ke-Papua-an kedalam bentuk persaingan dan konflik lokal dalam bentuk perebutan tetesan sumber daya, akses ekonomi politik, pertikaian etnisitas dan kepentingan willayah.Frakmentasi yang terjadi pada daerah-daerah pemekaran itulah yang diduga menimbulkan ketegangan-ketegangan pada komunitas etnis lokal di tanah Papua demi kepentingan politik dan janji-janji keuntungan ekonomi.

  Menurut Suryawan (2015), masyarakat lokal langsung berhadapan dengan kekuatan ekonomi global. Berbagai perubahan sosialpun terjadi begitu cepat. Relasi-relasi baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat lokal menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah keterbelakangan yang bertemu dengan simbol modernitas yang bernama industri kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada. Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahan MNC berhadapan dengan kondisi masyarakat lokal, yang sebenarnya mempunyai hak diatas tanah mereka. Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas mewah berdampingan dengan rumah-rumah papan sederhana masyarakat lokal (Suryana, 2015: 46).

  Menurut Wakerkwa (2015), masyarakat di kampung Waa, memiliki ketergantungan yang dilakukan secara ekonomi sosial terhadap limbah tailings yang mengandung bahan berbahaya beracun (B3) untuk mendulang emas dari limbah tersebut. Hasil penelitiannya menunjukan limbah tailings tersebut dapat dipersepsikan keuntungan secara ekonomi oleh masyarakat di kampung Waa. Sebagian besar masyarakat yang beraktivitas pendulangan emas di sepanjang sungai pembungan hasil limbah tailings PT. Freeport Indonesia adalah dari masyarakat golongan bawah, karena tekanan ekonomi juga membuat masyarakat tidak memperdulihkan risiko berbahaya dari limbah tailings tersebut.

  Menurut Kossay (2012), Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sangat jelas menyatakan bahwa perekonomian di Provinsi Papua diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Sedangkan pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini menyatakan, pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat atau masyarakat asli Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus ini sudah memberikan arah yang jelas, bahwa setiap usaha perekonomian di tanah Papua yang dilakukan oleh pemeritah maupun dunia usaha dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) baik di bidang pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan harus memberikan manfaat yang seluas-luasnya kepada masyarakat asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmurannya. Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/ kota tidak perlu banyak dipertimbangkan berbagai referensi kebijakan, tetapi bertindak mengambil kebijakan pro rakyat, melandaskan pada UU Otsus, membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk memperkerjakan masyarakat Papua sebagai pelaku-pelaku ekonomi produktif di dalamnya.

  Menurut Bank Dunia (2007), mengemukakan bahwa, setelah dikontrol dengan karastristik-karastristik yang lain, wilayah Indonesia bagian timur masih meperlirhatkan tingkat kemiskinan baik jumlah penduduk miskin maupun tingkat keparahan (dari segi pengeluaran) yang lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia. Hampir seluruh indikator sosial dan ekonomi di wilayah tersebut juga menunjukan kerja yang buruk.Buruknya pencapain wilayah ini pada indikator kemiskinan nonmoneter tersebut menyebabkan tingkat kemiskinan multidimensi Provinsi Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang miskin multidimensi di provinsi ini mencapai 71,63 persen dengan intensitas kemiskinan yang relatif besar 64,10 persen, sehingga tingkat kemiskinan multidimensi sebesar 45,91 persen. Meskipun proporsi penduduk miskin multidimensi di wilayah ini lebih tinggi dari pada wilayah Jawa dan Sumatera, Provinsi Papua hanya menyumbang 6,37 persen terhadap total rumah tagga miskin multidimensi di Indonesia. Kemiskinan multidimensi di Papua paling besar di jelaskan oleh deprivasi rumah tangga terhadap dimensi standar hidup yang yang disusun oleh indikator listrik, sumber air minum, sanitasi, jenis lantai, bahan bakar masak dan kepemilikan aset. Dimensi ini memilikikontribusi sebesar 41,46 persen terhadap kemiskinan multidimensi yang dialami rumah tangga di Papua.