Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

  DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. xi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………… xii

BAB I PENDAHULUAN

  1

  78 4.1.5 Profil Herman Tan Dela Oeslan…………………………………..

  69 3.6 Keabsahan Data………………………………………………………………..

  69 3.7 Teknik Analisis Data…………………………………………………………..

  70 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

  4.1 Lokasi Penelitian………………………………………………………………

  73 4.1.1 Sejarah Harian Kompas……………………………………………..

  73

  4.1.2 Profil Jitet Koestana…………………………………………………

  77

  4.1.3 Profil Basuki………………………………………………………

  79 4.2 Hasil Analisis Penelitian…………………………………………………….

  68 3.4 Kerangka Analisis…………………………………………………………......

  80 4.2.1 Ilustrasi Pertama (1)……………………………………………….

  81 Judul: Dagelan Sepak Bola MPR/DPR RI

  4.2.2 Ilustrasi Kedua (2)…………………………………………………

  87 Judul: Suara yang Terpenjara

  4.2.3 Ilustrasi Ketiga (3)…………………………………………………

  93 Judul: Suara Tenggelam dalam Kegelapan

  4.2.4 Ilustrasi Keempat (4)………………………………… …………… 100 Judul: Gedung Penggusur Suara

  

4.2.5 Ilustrasi Kelima (5)………………………………………………… 107

Judul: Kekuasaan yang Terikat

  

4.2.6 Ilustrasi Keenam (6)……………………………………………….. 112

Judul: Tertelannya Demokrasi

  68 3.5 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………….

  67 3.3 Subjek Penelitian…………………………………………………………….. .

  1.2 Fokus Masalah…………………………………………………………………

  17 2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………………………………….

  11

  1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………

  11

  1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………..

  11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian…………………………………………………..

  13 2.1.1 Pengetahuan………………………………………………………….

  16

  2.2 Kajian Pustaka…………………………………………………………………

  17 2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa…………………………….

  22 2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu………………………………..

  1.1 Konteks Masalah………………………………………………………………

  23 2.2.4 Semiotika…………………………………………………………….

  23 2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual……………………………..

  29 2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes………………………………...

  32 2.2.5 Ilustrasi……………………………………………………………....

  53 2.2.6 Kebangsaan………………………………………………………….

  55 2.2.7 Komunikasi Massa…………………………………………………..

  61 2.2.7.1 Surat Kabar………………………………………………..

  62

  2.3 Model Teoritik…………………………………………………………………

  65 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian……………………………………………………………..

  66 3.2 Objek Penelitian……………………………………………………………….

  

4.2.7 Ilustrasi Ketujuh (7)……………………………………………….. 118

Judul: Mayat Demokrasi

  

4.2.8 Ilustrasi Kedelapan (8)…………………………………………….. 124

Judul: Pilkada yang Terkungkung

4.3 Transkrip Hasil Wawancara……………………

  5.4 Implikasi Praktis……………………………………………………………. 225

  5.3 Implikasi Teoritis…………………………………………………………… 225

  5.1 Saran……………………………………………………………………….. 225

  5.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 223

  4.3.3 Hasil Wawancara Bersama Herman (ilustrator Analisa)…………….. 209

  4.3.2 Hasil Wawancara Bersama Basuki (Ilustrator Waspada)……………. 193

  167 4.3.1 Hasil Wawancara Bersama Jitet Koestana (Ilustrator Kompas)……... 167

  4.2.14 Ilustrasi Keempatbelas (14)………………………………………… 161 Judul: Di balik Pelarian Kekuasaan

  4.2.13 Ilustrasi Ketigabelas (13)…………………………………………… 155 Judul: Runtuhnya Demokrasi Indonesia

  4.2.12 Ilustrasi Keduabelas (12)…………………………………................ 149 Judul: Penjara, Saksi Kursi

  4.2.11 Ilustrasi Kesebelas (11)…………………………………………….. 143 Judul: Konferensi Meja Kekuasaan (KMK)

  

4.2.10 Ilustrasi Kesepuluh (10)…………………………………………… 137

Judul: Pendar Kemurnian dan Tukang Rasuah

  

4.2.9 Ilustrasi Kesembilan (9)……………………………………………. 131

Judul: Gedung Pemenjara Harapan

4.4 Pembahasan………………………………………………………………… 221

BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes………..

  4.3 Gambar Ilustrasi Ketiga……………………. .91

  4.13 Gambar Ilustrasi Ketigabelas………………. 145

  4.12 Gambar Ilustrasi Keduabelas………………. 140

  4.11 Gambar Ilustrasi Kesebelas………………… 134

  4.10 Gambar Ilustrasi Kesepuluh………………... 129

  4.9 Gambar Ilustrasi Kesembilan………………. 124

  4.8 Gambar Ilustrasi Kedelapan……………….. 118

  4.7 Gambar Ilustrasi Ketujuh…………………... 113

  4.6. Gambar Ilustrasi Keenam…………………...108

  4.5 Gambar Ilustrasi Kelima…………………… 103

  4.4 Gambar Ilustrasi Keempat…………………. .97

  4.2 Gambar Ilustrasi Kedua……………………. .86

  29

  4.1 Gambar Ilustrasi Pertama……………………81

  2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat……..41

  2.9 Poros Paradigma dan Sintagma……………..41

  2.8 Teori Metabahasa dan Konotasi…………….43

  2.7 Konotasi……………………………………..43

  2.7 Metabahasa………………………………….42

  2.6 Tingkat Pertandaan………………………….42

  2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes……………...41

  2.4 Diagram Komponen Tanda…………………39

  2.3 Elemen-elemen Makna Saussure……………33

  2.2 Konsep Petanda dan Penanda…………….....31

  4.14 Gambar Ilustrasi Keempat belas…………….151

  

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

  2.1 Tabel Perbandingan Analisis Moriss ………..32

  2.2 Tabel Diagram Struktur Relasi Bahasa………52

DAFTAR LAMPIRAN

  • Ilustrasi Jitet Koestana -

  Dokumentasi Penelitian

  • Biodata Peneliti -

  Daftar Bimbingan Skripsi

  

BAB I

PENDAHULUAN 1. 1 Konteks Masalah

  Berdiri pada era pergolakan orde lama menuju orde baru, tepatnya pada tahun 28 Juni 1965 turut mendirikan harian Kompas dengan pemimpin umumnya adalah Petrus Kanisius Ojong (1920 – 1980), sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Harian Star Weekly dan Keng

  

Po . Bersama dua orang temannya Jakob (Jakobus) Oetama – sebelumnya Pemimpin Redaksi

  Surat Kabar Penabur dan Frans Seda, mereka mendirikan sebuah surat kabar yang memberikan nafas baru dalam keadilan. Pada awalnya harian ini direncanakan bernama Bentara Rakyat, namun sebelum rilis, berdasarkan wawancara dengan Frans Seda, Presiden Soekarno meminta namanya diubah menjadi harian Kompas(Penerbit Kompas). Kompas yang berarti penunjuk arah. Sebelum Kompas (Bentara Rakyat), pada Agustus 1963 mereka mendirikan sebuah majalah yang bernama Intisari. Sesuai dengan namanya, majalah ini merangkum semua bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi dunia menjadi sebuah saripati informasi.

  Media massa merupakan sebuah ikhtisar informasi yang sangat penting sebagai suplemen pengetahuan mengenai informasi yang berkembang saat ini. Mulai dari jatuhnya Presiden Hoesni Mobarrok, menyebarnya virus endemik Ebola di wilayah Afrika, Revolusi di Mesir, terpukulnya raksasa-raksasa ekonomi Eropa pada saat masa resesi ekonomi, dan pelantikan Presiden RI – Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Sedemikian pentingnya informasi menjadikan manusia yang menguasai informasi adalah manusia yang beruntung. Napoleon pernah berkata, hear, read, and look an information from up and down from left to

  

right to seize the world (dengar, baca, dan carilah informasi dari atas ke bawah dari kiri ke

kanan untuk menaklukan dunia).

  Harian Kompas dengan slogannya “Amanat Hati, Nurani Rakyat” menjadi sebuah media massa yang memberikan cahaya pada pekatnya informasi mengenai perkembangan pemerintahan. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, diantaranya lewat media massa,” ujar Jakob Oetama pada penutupan tahun 1978 (Sularto, 10 : 2011). Sebuah harapan untuk memberikan kemuliaan kepada masyarakat, khususnya memberikan angin harapan kepada kaum papa dan mengingatkan pemerintah juga para kaum berada. Medium is the extension of men , media adalah kepanjangan tangan dari masyarakat. (dalam Sularto, 18 : 2011) .

  Kompas memiliki sebuah rubrik yang bernama Opini. Rubrik ini berisikan kumpulan pemikiran para cendekiawan dan kumpulan hasil seni para redaktur artistik Kompas. Ilustrasi merupakan sebuah penggambaran harapan masyarakat yang tergambarkan dalam sebentuk komunikasi visual.Dalam rubrik tersebut terdapat ilustrasi dan karikatur yang menjadi penggambaran mengenai realitas pada masa itu. GM Sudarta sendiri merupakan pembuat ilustrasi pertama di harian Kompas. Ilustrasi mempunyai peran untuk melakukan kritikan satir terhadap pemerintah yang pada saat itu media sangat diawasi oleh pemerintahan.

  Ilustrasi sendiri menurut KBBI adalahgambar (foto, lukisan) untuk membantu memperjelas isi buku, karangan, dsb; gambar, desain, atau diagram untuk penghias (halaman sampul dsb); (pen-jelasan) tambahan berupa contoh, bandingan, dsb untuk lebih memperjelas paparan (tulisan dsb); (KBBI, 1995 : 78). Ilustrasi sendiri mulai berkembang pada Eropa Barat, khususnya di Jerman, Pada awalnya ilustrasi digunakan hanyak untuk merekam sebuah peristiwa penting. Pada abad ke – 16 ilustrasi terus mengalami perkembangan hingga akhirnya pada era tersebut pemerintahan memasukkannya ke dalam sebuah mata pelajaran. Munculnya Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans Holbein merupakan titik balik perkembangan ilustrasi. Hingga akhirnya pada abad ke – 17, Rembrandt menjadi pionir terdepan dalam mengembangkan ilustrasi meliputi berbagai aspek khususnya media massa.

  Sebuah ilustrasi menurut Yasuo Yoshitomi, kartunis dan Ketua Komite SeleksiThe 9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun/ilustrasi punya makna lebih. “Maknanya sangat dalam. Kita harus berpikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi memiliki dua ciri utama, yaitu menghadirkan ironi dan bersifat satir. Sifat inilah yang kemudian akan menggerakkan hati dan membuat kita bercermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbulkan harapan. Bahwa belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya (Media Indonesia, 8 September 2010).

  Media massa dan ilustrasi merupakan sebuah perpaduan hubungan yang pas. Media massa membutuhkan ilustrasi untuk semakin menegaskan isi pemberitaan yang ada. Pada saat ini ilustrasi yang terdapat di harian Kompas merupakan penggambaran dari realitas yang terjadi saat ini. Misalnya contoh sebuah ilustrasi Jokowi dan Jusuf Kalla yang membawa sebuah truk berisikan masalah-masalah dari Indonesia. Truk tersebut merupakan harapan agar Indonesia bergerak maju dan lebih baik perkembangannya ke depan. Illustrator yang menghasilkan ilustrasi tersebut adalah Jitet Koestana. Beliau merupakan seorang ilustrator yang telah melahirkan banyak penghargaan juga ilustrasi. Salah satu penghargaan yang dimilikinya adalah Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai Penerima Penghargaan Terbanyak di sebuah kompetisi kartun internasional.

  Jitet Koestana lahir pada tanggal 19 Maret 1967. Beliau merupakan kartunis idealis yang menggambarkan sebuah pengharapan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Ilustrasi merupakan keahlian yang didapat melalui proses pembelajaran pribadi. Tujuan awal berkarya adalah untuk kesenangan hati dan menyuarakan suara mereka yang lemah lewat kartun ataupun ilustrasi. Semakin luas ilustrasiitu diperlihatkan, semakin banyak orang yang tahu (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi yang bagus tak hanya punya teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak hanya berdaging, berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus memiliki roh dan hati. “Tidak cuma mengandung pesan, tapigagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela kelangsungan hidup manusia.” (Media Indonesia, 8 September 2010).

  Menurut catatan Efix Mulyadi, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang, tapi juga ilustrasi yang tajam mengkritik sekaligus memberi humor yang bernas. Kedalaman makna itulah yang akhirnya membuat karya ilustrasi Jitet Koestana sering menjadi alat pengritik media untuk pemerintahan (Media Indonesia, 8 September 2010).

  Titik balik perjalanan sejarah ilustrasi dimulai pada akhir abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina.

  Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya.

  Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre

  

(painter’s book) . Ilustrasi tidak hanya menjadi bagian atau pelengkap sebuah buku, tetapi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

  Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan aktivitas- aktivitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.

  Pada Indonesia sendiri ilustrasi menjadi sebuah peranan dalam pergerakan sosial. Pada 1945 ilustrasi mulai menjadi simbol perlawanan. Dimulai dari ilustrasi atau poster legendaris dengan slogannya. “Boeng, ayo boeng,” yang menjajah jalan-jalan dari banyak kota di Jawa menjadi sebuah titik balik bergeraknya seni sebagai media revolusi. Desain dari ilustrasi dibuat oleh pelukis Sudjojono, sementara tulisannya diambil dari puisi Chairil Anwar. Pada awalnya ilustrasi dibuat atas perintah Presiden Soekarno menjadi sebuah sarana efektif untuk membakar semangat para pemuda.

  Pemerintahan Orde Baru Soeharto sesungguhnya adalah pemerintahan yang sangat sadar akan kekuatan propaganda melalui berbagai jenis media komunikasi, baik audio maupun visual. Bahkan sejak awal berkuasa pun Soeharto berpropaganda mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia, dan membesarkan jasa dirinya dan Angkatan Darat, dalam persitiwa G-30S-PKI. Pada masa Orde Baru ilustrasi dan poster bersama baliho pembangunan, digunakan secara efektif untuk masyarakat luas, hingga pelosok desa melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) dan pameran pembangunan. Ilustrasi-ilustrasi dan poster politik terkait kampanye Pemilu tercatat dalam buku Pemilu dalam Poster (Suwondo, Budiman, Pradjarta, 1987, hal.26). Tercatat bahwa kontestan yang mampu menampilkan desain ilustrasi dan poster dengan warna-warna menarik dan ‘bermodal’ adalah kontestan Golkar. Keunggulan modal dan keunggulan politik yang tak imbang dibandingkan kontestan Pemilu lainnya disindir dalam buku ini dengan sebutan “Pesta Demokrasi Golkar”. Kampanye Keluarga Berencana dan Imunisasi di masa Orde Baru, juga memanfaatkan ilustrasi dalam poster. Salah-satu ilustrasi yang menyebarluas adalah ilustrasi “Imunisasi, Perlu untuk Semua Bayi”. Ilustrasi dalam poster ini menampilkan foto Ibu Tien mendampingi “Bapak Presiden” yang sedang meneteskan obat Imunisasi Polio pada bayi, dalam rangka Hari Anak-Anak Nasional 1986. Rancangan poster itu dibuat ulang pada 1991, dengan dibubuhi tanda tangan Soeharto pada bagian bawah poster. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

  Pada masa represif Orde Baru ini pula bermunculan poster berisikan ilustrasi perlawanan anti-propaganda Soeharto. ilustrasi perlawanan ini berkembang sejalan dengan bertumbuhnya gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bertumpu di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat maupun perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru itu sekitar tahun 1980an muncul kalender poster “Tanah untuk Rakyat” yang dirancang oleh Yayak ‘Kencrit’ Ismaya. Kalender satu tahun dalam bentuk satu lembar ilustrasi poster ini tampil dalam gaya ilustrasi yang sarkastik. Karena rancangannnya ini maka aparat pemerintah mencari-cari Yayak hingga akhirnya dia terpaksa pindah ke Jerman. Pada 2009 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pernah diadakan sebuah pameran “Grafis Melawan Lupa” yang menampilkan beragam media desain grafis, khususnya poster-poster perlawanan untuk menggerus propaganda Orde Baru yang sangat masif. Salah-satu poster yang ditampilkan adalah poster perlawanan yang cukup ekspresif dirancang oleh Semsar Siahaan, berjudul Marsinah (koleksi Harry Wibowo). Sebuah poster untuk memperingati dibunuhnya aktivis buruh Marsinah oleh aparat negara. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

  Seni dalam pergerakan perubahan sosial sejalan dengan pemikiran Karl Mar. Walau tidak memusatkan kajiannya pada seni, namun seni menjadi bagian perhatiannya. Marx melihat seni merupakan representasi dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basis ekonomi masyarakat, oleh karenanya seni dapat menjadi elemen aktif bagi perubahan sosial. Karena itu, Marx mencerca habis seni masa Yunani yang memuja estetika dari sebuah bentuk kebudayaan borjuis. (Terry Eagleton, 2002: 100).

  Media massa dalam hal ini termasuk bagian dari komunikasi massa menjadi sebuah pionir perubahan. Ilustrasi disini juga mengambil peran untuk membuka mata para stake

  

holder di pemerintahan untuk mengingat fungsi dan perannya kembali. Media massa juga

  berperan dalam perubahan dalam struktur kemasyarakatan ataupun perubahan dalam kesejahteraan sosial masyarakat. Komunikasi massa yang diinisiasi oleh media massa yang bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat adalah kunci kebebasan pers yang adil dan berdaulat.

  Komunikasi massa bagi Lasswell (dalam Nurudin, 2007:78), mempunyai peran untuk pengawasan. Artinya, menunjuk pada pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada disekitar kita. Fungsi pengawasan bisa dibagi menjadi dua, yakni pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Rubrik opini dan ilustrasi ini menjadi tempat kegelisahan para pemikir dan cendekiawan menumpahkan kegelisahan dan kegetiran mereka, mengenai nasib negara yang mereka cintai.

  Surat kabar ini memiliki sebuah rubrik dalam tata letak majalah. Rubrik tersebut adalah opini dan ilustrasi. Dua rubrik ini telah berperan dalam mengawasi berjalannya tata pemerintahan secara baik, dengan para pengisinya seperti Soe Hok Gie, Mochtar Lubis, dan lainnya. Dalam rubrik opini ini, rubrik ilustrasi juga mendapatkan porsi penting dalam halnya pressure group kepada pemerintahan.Dengan kritikan yang bersifat satir dan membangun, ilustrasi pada surat kabar, khususnya harian Kompas menjadi semacam sebuah penggambaran mengenai realitas, potret harapan dalam kemajuan negara, dan kritik keras terhadap pemerintahan.

  Apa yang menjadi harapan dalam masa lalu, khususnya kebebasan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas menjadi sebuah bumerang yang disalah gunakan. Media massa pada era reformasi saat ini mengalami fase kemunduran dalam informasi. Khususnya informasi atau isi yang menjadi penginspirasi masyarakat malah digunakan untuk kepentingan pemilik modal (pemilik media) dalam menyebarkan paham- pahamnya. Khususnya pada saat Pemilihan Presiden Republik Indonesia beberapa waktu yang lalu, para pemimpin partai sekaligus pemilik media menjadikan media massa untuk melakukan kampanye-kampanye yang menyalahi aturan. Media menjadi corong kampanye terbaik.

  Salah satu media berwarna merah secara eksplisit menggambarkan tingkah dan perilaku keburukan salah satu kandidat yang menjadi musuh utama dalam pergelaran Pemilihan Umum 2014. Ada pun dengan cara merangkai pemberitaan pada salah satu kandidat yang secara tidak sengaja mengikuti proses kegiatan agama minoritas. Media pesaing tersebut langsung membombardir pemberitaan di medianya dengan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ihwalnya, sebuah perusahaan media atau pers harus memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat, bukan menyesatkan masyarakat dengan informasi yang belum jelas verifikasinya. Secara langsung media merah tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran tersebut termaktub pada pasal :

  Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. (Dewan Pers, Kebijakan).

  Jelas-jelas secara tekstual menyuratkan bahwa seorang wartawan atau jurnalis diharamkan untuk menyinggung ranah-ranah merah, dimana hal yang ditakutkan adalah akan munculnya konflik horizontal, baik itu suku, agama, ras, maupun antar golongan. Pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk hasrat atau berahi untuk berkuasa. Sama seperti zaman orde baru yang menggunakan stasiun televisi nasional TVRI.

  Dalam kurun waktu 20 tahun pertama, kebangsaan Indonesia mengalami ujian yang berat sebagai akibat dari eksperimen politik yang dikembangkan oleh para pemimpin Indonesia pada waktu mengelola kekuasaan, khususnya bagaimana demokrasi berkembang di Indonesia. Demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi slogan pengampanyean saja. Bagaimana konsentrasi pembangunan perkembangan kota yang berfokus di wilayah Jawa saja. Akibatnya periode itu membuka ruang bagi tumbuhnya aspirasi separatis yang disebabkan oleh karena ketidakpuasan daerah terhadap kepemimpinan politik di Jakarta ketika itu. Akibatnya tujuan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sejak awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur terabaikan oleh proses tersebut.

  Media massa dengan peran sertanya juga mempunyai fungsi-fungsi penting untuk mengawal segala kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang keliru diberikan saran, kebijakan pemerintah yang baik terus didukung. Media massa berperan menjadi watch dog (anjing penjaga) agar pemerintah tidak menyeleweng dari apa yang diharapkan. Akan tetapi media massa baik cetak maupun elektronik mengalami krisis identitas akibat kapitalisme menyerang mereka. Media tidak berdaya menghadapi tuntutan zaman yang mengedepankan perekonomian yang kuat. Pada Pemilihan Presiden 2014, black campaign menjadi isu yang hangat diperdebatkan oleh banyak pihak. Pusat penelitian dan pengembangan (Litbang) Kompas mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai ‘kampanye hitam’ . Hasilnya adalah sebanyak 28,6 persen setiap hari mendengar mengenai kampanye hitam, 40,4 persen hanya berkisar 2-3 hari mendengar kampanye hitam, dan selebihnya 28.3 persen tidak pernah mendengar kampanye hitam. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia telah diterpa oleh gelombang kemunduran demokrasi. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

  Pola kampanye hitam dan kampanye negatif yang digunakan oleh kedua belah pihak melalui media sosial (media elektronik) dan media massa bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik tiap capres. Materi-materi kampanye berupa suku, agama, ras, dan antar golongan serta rekam jejak calon yang tendensius menjadi isu dominan ketimbang mengkritisi gagasan, visi-misi, dan program pemerintah capres. Dengan kata lain, materi kampanye hitam dan kampanye negatif memang diarahkan untuk menyerang pribadi capres. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).Terlihat intrik dan manuver para political communicatorjauh diambang kewajaran. Terlihat ada sebuah tujuan untuk membagi Indonesia menjadi dua kubu, khususnya membelah Indonesia menjadi dua kubu beragama, agama a versus agama b.

  Selain melihat jumlah penduduk Indonesia yang terimbas dari kampanye hitam, Litbang Kompas membuat penelitian mengenai efek dari kampanye hitam itu sendiri. Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye menyinggung secara langsung realitas kehidupan bersama bangsa Indonesia. Masyarakat akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

  Lebih dari separuh bagian (55,5 persen) khawatir kampanye hitam yang dilakukan menyerang para capres bisa mengancam keamanan selama proses pemilihan presiden berjalan. Secara emosional, kampanye hitam juga berpotensi memicu kebencian antar pendukung capres. Sebagian besar (61,6 persen) responden khawatir dengan hal ini. Bahkan lebih jauh lagi, 64,0 persen responden menuturkan kampanye hitam yang kian gencar dilakukan bisa memicu konflik terbuka antar pendukung capres. Jika ini yang terjadi, tidak mustahil konflik ini akan melebar dan bisa memicu gejolak politik yang lebih besar lagi. Lebih dari separuh bagian (58,3 persen) responden khawatir kampanye hitam bisa mengancam persatuan bangsa.

  Kekhawatiran ini mencuat karena isu-isu yang diangkat dalam kampanye hitam sudah melibatkan sentimen-sentimen kelompok yang berbasis pada rasa primordial dan fanatisme kepada capres. Sentimen primordial yang negatif akan memicu kebencian terhadap kelompok tertentu. Jika kampanye hitam dibiarkan terus tanpa kontrol, efeknya akan panjang dan berdampak pada rusaknya sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

  Permainan politik dengan tujuan membelah masyarakat menjadi berkubu-kubu tidak hanya melalui media televisi saja. Media cetak juga menjadi sarana utama untuk menyebarkan paham-paham sesat. Salah satunya media yang terbit saat berlangsungnya pemilihan presiden 2014, tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat menjadi media propaganda untuk mendiskreditkan salah satu calon presiden, khususnya dalam bidang agama. Obor Rakyatmemfitnah dan menumbuhkan benih kebencian yang telah mencederai demokrasi. Dewan Pers (Kompas, 16 Juni 2014) menegaskan, tulisan-tulisan yang dimuat dalam tabloid Obor Rakyat bukanlah sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan menghormati kode etik jurnalistik, diantaranya tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan. Penyebaran tabloid yang secara simultan dan terus menerus di wilayah pesantren, khususnya di wilayah pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terlihat bertujuan untuk memecah belah umat islam dengan isi berita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu pemberitaan Jokowi di tabloid Obor Rakyat :

  

Kelompok penginjil Kristen dan keuskupan katolik di Indonesia menyandang dana habis-

habisan untuk Jokowi menjadi Presiden RI. Mereka yakin, jika Jokowi menjadi presiden,

target pertumbuhan gereja dan pemurtadan di Indonesia berjalan lebih cepat. Jokowi sangat

mungkin melakukan semua itu atas nama toleransi . Jokowi sebagai pemeluk Islam sinkretis,

relatif tidak punya tanggung jawab akan masa depan mayoritas Muslim, karena yang ada

dibenaknya hanya bagaimana mencapai puncak kekuasaan tertinggi. Obor Rakyat,

Edisi 01 (Mei 201 4).

  Pemberitaan tersebut merupakan salah satu proses degenerasi kebangsaan rakyat Indonesia. Perjuangan untuk mencapai kebangsaan secara tidak langsung terkikis sedikit demi sedikit akibat nafsu untuk berkuasa. Proses propaganda yang berjalan masif tersebut mencederai ciri-ciri bangsa yaitu saling menghargai dan menghormati. Bagaimanapun solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Pilar utama yang paling penting dari kebangsaan adalah persatuan dan kemajemukan (pluralisme).

  Harian Kompas sesuai dengan cita-citanya, amanat hati nurani rakyat menjadi sebuah pionir dalam pembaharuan. Kompas dalam pemberitaanya khusus mengenai prosesi Pemilihan Presiden tetap menganut azas keberimbangan, cover both sides. Masing-masing calon mendapat porsinya masing-masing sehingga Kompas berhasil menjalankan peran sebagai pemberi informasi kepada masyarakat. Siapa yang hendak dipilih berpulang kembali ke masyarakat. Kompas media yang berpihak, berpihak pada kebenaran. Lalu di rubrik opini Kompas tetap memberikan ruang untuk para cendekiawan menyampaikan pendapat untuk kebaikan negara. Pada rubrik opini, Kompas juga menyediakan sebuah ‘penyegaran’ dengan ilustrasinya yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, persaudaraan, dan khususnya mengenai perkembangan politik.

  Ilustrasi yang terdapat dalam rubrik Opini harian Kompas merupakan sebuah manifestasi harapan bangsa. Harapan bangsa yang ingin mendapatkan kedamaian dan serta dalam keadilan politis. Mereka yang sebelumnya sudah mendapatkan sebuah degenerasi proses politis, yang memecah bangsa menjadi dua kubu semakin merana melihat tingkah laku para lembaga amanat rakyat

  Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti ilustrasi “Ilustrasi Jitet” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual (Pilliang, 2012 : 337).

  “Ilustrasi Jitet ” merupakan suatu produk komunikasi visual. Pesan yang ingin dimaknai adalah pesan kebangsaan. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009 :xi).

  Jitet Koestana merangkai sebuah hubungan antara situasi realitas yang terjadi pada saat ini, perkembangan dunia, dan harapan-harapan masyarakat dalam sebuah kanvas ilustrasi yang memberikan makna melalui tanda. Tanda-tanda menjadi sebuah rangkaian-rangkaian bermakna yang merepresentasikan harapan bangsa, harapan masyarakat dunia dengan mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan “Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.

  1.2 Fokus Masalah

  Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut : 1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia (Impian Kebangsaan Indonesia) di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?” 2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”

  1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah :

  1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet Koestana.

  2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet Koestana

  1.4 Manfaat Penelitian

  1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.

  2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tesembunyi (latent content).

  3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi bila ada penelitian sejenis di kemudian hari.

Dokumen yang terkait

Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

1 1 30

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.2. Analisis Faktor - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 12

DAFTAR ISI - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Keca

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah)

0 2 9

Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah)

0 0 14

KATA PENGANTAR - Implementasi Program Beras Untuk Masyarakat Miskin di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi

0 0 53

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian. - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 9

KATA PENGANTAR - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 53