BAB I PENGANTAR Permasalahan Bahasa Ilmiah - Bahasa Ilmiah dalam Perspektif Charles Sanders Peirce - repository civitas UGM

BAB I PENGANTAR Permasalahan Bahasa Ilmiah Bahasa merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan akal, rasa, dan cipta yang berkembang dan dapat dikembangkan

  melalui sarana bahasa. Manusia hanya dapat menguji dan memeriksa potensi akal, rasa, dan ciptanya melalui bahasa, meskipun adakalanya bahasa tidak cukup memadai untuk mengakomodasi seluruh realitas yang ada dalam kehidupannya. Kendatipun demikian bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat diperlukan untuk membuka cakrawala pemikiran manusia , demikian pula halnya dalam dunia ilmiah. Manusia tanpa bahasa tidak akan mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya, sebab bahasa sebagai simbol menggerakkan seluruh komponen pemikiran manusia ke arah kemajuan peradaban dan kebudayaan. Ada dua hal yang menjadikan manusia mampu mengembangkan peradaban dan pengetahuannya, yaitu pertama; bahasa yang mampu untuk mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi itu; kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur dan kerangka pikir tertentu, flow of thinking and frame of thinking (Lubis, 2012: 12). Kedua hal tersebut saling memengaruhi, karena bahasa dapat mengembangkan kemampuan berpikir, sebaliknya kemampuan berpikir dapat menciptakan bahwa yang teratur.

  Widyamartaya dalam karyanya Seni Mencipta Makna membagi bahasa ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi logos, pathos, dan ethos. Dimensi logos lebih berorientasi pada fungsi bahasa indormatif, sehingga menghasilkan language of facts. Dimensi pathos lebih berorientasi pada bahasa perasaan atau seni, sehingga menghasilkan language of metaphor. Dimensi ethos lebih bersifat mengarahkan atau fungsi direktif, sehingga menghasilkan language of beliefs (Widyamartaya, 1993: 111). Sudah barang tentu ketiga dimensi itu ada dalam diri manusia, namun ketika bahasa akan dipergunakan maka konteks penggunaannya perlu diperhatikan, sehingga tidak terjadi over-lapping. Bahasa ilmiah tentu saja lebih berorientasi pada logos; bahasa seni (puisi, prosa) tentunya lebih berorientasi pada dimensi pathos; bahasa moral- keagamaan lebih condong pada dimensi ethos. Kendatipun demikian tidak berarti dalam bahasa ilmiah tidak mengandung muatan pathos dan ethos sama sekali, namun paling tidak diminimalisasikan.

  Bahasa dalam dunia ilmiah memiliki karakteristik yang khas, yakni sarana untuk mengungkapkan realitas yang telah teruji, baik secara akal maupun berdasarkan pengalaman, eksperimen. Bahasa ilmiah dituntut kejernihan dan kelogisannya dalam mengungkapkan realitas dengan berbagai metodologi yang dipersyaratkan. Bahasa ilmiah memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh komunitas ilmiah, karena aturan merupakan sistem yang menentukan bahasa ilmiah sebagai bahasa hukum di kalangan dunia ilmiah. Bahasa ilmiah adalah penggunaan ungkapan dalam dunia ilmiah yang memiliki standar tertentu, baik dalam hal penggunaan kosa kata yang tepat maupun dalam hal struktur bahasa yang logis sesuai dengan gramatika. Bahasa ilmiah menurut Badudu ialah bahasa yang digunakan untuk mengkaji ilmu, dapat digunakan untuk mengutarakan pikiran dan gagasan yang tinggi dan rumit, baik lisan mapupun tulisan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri: jelas, teratur, tepat, namun juga estetis artinya bahasa ilmiah haruslah bagus, tersusun dengan baik serta menggunakan kata dan istilah yang tepat. Bahasa ilmiah yang ditulis dengan baik tidak akan membosankan pembaca dan memudahkan pembaca memahaminya (Badudu: 1985: 19-20). Disinilah letak persoalannya, karena untuk menyusun bahasa ilmiah yang baik dan indah memerlukan kepiawaian tersendiri.

  Bahasa ilmiah dalam pemikiran para ilmuwan memiliki spektrum yang kaya dengan bobot rasionalitas yang mampu menjangkau hasrat ingin tahu manusia (curiosity) atas objek yang menjadi fokus perhatiannya (focus of interest). Komunitas ilmiah menentukan aturan main yang diterima semua pihak yang terlibat sebagai anggotanya untuk menjalankan riset dengan berbagai persyaratan metodologis, termasuk bahasa ilmiah yang mengandung nilai-nilai epistemologis, terutama sesuai dengan teori kebenaran yang dianut. Beberapa teori kebenaran yang berkembang dalam epistemologi antara lain teori kebenaran koheren, koresponden, dan pragmatis. Teori kebenaran koheren lebih menekankan pada keruntutan statemen yang satu dengan statemen sebelumnya. Teori kebenaran koresponden menekankan pada kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Teori kebenaran pragmatis lebih menekankan pada manfaat yang paling tepat dari pernyataan yang diungkapkan. Namun hal yang sering terjadi dalam dunia ilmiah adalah perbedaan yang dipicu oleh penekanan pada logika ilmiah di satu pihak dengan penekanan pada komunikasi ilmiah di pihak lain.

  Perbedaan cara pandang dalam pengungkapan bahasa ilmiah lantaran dilatarbelakangi oleh dasar epistemologis yang berbeda inilah yang kadangkala menimbulkan beberapa kubu yang berbeda satu sama lain. Kubu pertama beranggapan bahwa bahasa ilmiah harus didasarkan pada aturan logis yang ketat agar tidak menimbulkan multi tafsir. Kubu kedua beranggapan bahwa bahasa ilmiah harus bersifat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Kubu ketiga menggarisbawahi kubu pertama dan kedua dalam arti logis namun juga komunikatif. Dimana posisi C.S. peirce tentang bahasa ilmiah dilihat dari tiga titik pandang tersebut, hal inilah yang menjadi dasar penelitian ini.

  Problem lain yang acapkali muncul dalam bahasa ilmiah adalah persoalan pemilihan kata yang tepat bagi pengungkapan ide-ide ilmiah. Locke mengatakan bahwa penggunaan kata merupakan markah gagasan yang dapat diindera, dan gagasan itu berpihak pada pengertian yang tepat dan langsung. The use, then, of words, is to be sensible marks of ideas; and the ideas they

  

stand for are their proper and immediate signification , ujar Locke (Locke, 1910: 251). Locke

  menyatakan bahwa kata-kata atau ungkapan bahasa itu sesungguhnya merupakan tanda-tanda yang dapat diinderai dari gagasan yang menggunakannya. Seseorang yang menggunakan tanda bahasa itu merekam gagasan tentang tanda itu dalam pikirannya. Ketika seseorang mengungkapkan kata-kata kepada orang lain sesungguhnya orang tersebut bermaksud menyampaikan gagasan yang diketahuinya kepada pihak lain. Oleh karena itu muncul persoalan di saat seseorang menggunakan kata yang tidak tepat untuk mengungkap sebuah gagasan, sehingga menimbulkan tanda tanya atau ketidakjelasan bagi pihak yang menangkap pesan gagasan melalui ungkapan tersebut. Salah satu bentuk pemilihan kosa kata yang tidak tepat dalam dunia ilmiah dikenal dengan istilah salah kaprah. Contoh: kata geming yang artinya terdiam, bergeming artinya tidak bergerak sedikit juga, sering dipakai dalam artinya sebaliknya seperti tidak bergeming untuk maksuk tidak berubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008: 437). Demikian pula kata carut marut yang artinya bermacam perkataan yang keji, sering dipakai untuk maksud lain, yaitu karut marut yang artinya kacau tidak karuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 629). Dalam hal ini penulis karya ilmiah sering mengabaikan penggunaan kosa kata yang standar seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  Problem lain yang terjadi dalam penulisan bahasa ilmiah adalah gejala kontaminasi atau kerancuan bahasa, yakni kekacauan yang terdapat dalam unsur bahasa seperti morfem dan kata. Morfem yang salah menimbulkan kesalahan pada bentuk kata. Susunan kata yang salah menimbulkan frase dan kalimat yang kacau. Contoh: bentuk mengesampingkan (meng- +

  

kesamping + kan) acapkali ditulis keliru mengenyampingkan. Ada kalimat yang

  berbunyi:”Anak-anak dilarang merokok”. Atau “anak-anak tidak boleh merokok”. Kedua kalimat tersebut betul, tetapi ada yang menulis “Anak-anak dilarang tidak boleh merokok”. Ini bentuk yang keliru, karena terjadi pengulangan bentuk larangan, yaitu dilarang dan tidak boleh. Ada lagi gejala pleonasme dalam berbagai tulisan ilmiah, yaitu bentuk pengungkapan yang berlebihan. Misalnya: Sejak dari tadi ia menonton film, padahal ujian tinggal beberapa hari

  

lagi. Kata-kata yang sudah jelas, ditegaskan lagi sehingga terksan berlebih-lebihan (misalnya:

para ibu-ibu, beberapa negara-negara ) (Badudu, 1986: 38-39).

  Problem berikutnya yang sering terjadi dalam bahasa ilmiah adalah penulisan ide ilmiah dalam bentuk kalimat-kalimat panjang. Badudu (1985: 46) memberikan contoh kalimat panjang dalam bahasa hukum yang termasuk kategori bahasa ilmiah sebagai berikut.

  1). Barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan, atau

  untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum, membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim terus di dalam negeri , mengeluarkan dari negeri atau menyimpan, atau dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan menawarkan tidak atas permintaan orang, atau menunjukkan bahwa boleh didapat tulisan yang diketahuinya isinya, atau gambar atau barang yang dikenalnya, melanggar kesusilaan, dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah. 2). Barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan atau untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, memasukkan ke dalam negeri, mengirim terus di dalam negeri, mengeluarkan dari negeri atau menyimpanatau dengan terang-terangan menyiarkan tulisan menawarkan tidak atas permintaan orang atau menunjukkan bahwa boleh di dapat: tulisan, gambar atau barang itu melanggar kesusilaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak- banyaknya tiga ribu rupiah (KUHP,XIV:282,1).

  Kalimat pertama dan kedua yang dikemukakan di atas menurut Badudu menjadi agak sukar dipahami karena jarak yang terlampau jauh antara gatra-gatra kalimat yang erat hubungannya. Kata-kata menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan merupakan jenis-jenis kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek yang dibutuhkan itu (seperti: tulisan, gambar, barang

  

yang melanggar kesusilaan ) sebaiknya langsung mengikuti kata kerja-kata kerja tersebut. Kata

  kerja transitif menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan yang tiba-tiba diikuti kata kerja berawalan di (disiarkan, dipertunjukkan) yakni kata kerja yang memunyai subjek penderita, padahal belum dikemukakan dalam kalimat itu sebelum kata kerja bentuk di- itu sendiri. Kemudian setelah kedua kata kerja berawalan di- itu menyusul lagi kata kerja-kata kerja bentuk

  

me (membuat, memasukkan, mengirim, mengeluarkan, menyimpan, menyiarkan, menawarkan,

menunjukkan ). Struktur kalimat seperti ini menurut Badudu terlihat kacau dan tidak teratur,

  sehingga sukar untuk segera menangkap arti dan jalan pikiran yang terkandung di dalamnya (Badudu, 1985: 47). Kesulitan-kesulitan semacam ini juga dirasakan di kalangan ahli hukum, sehingga perdebatan tentang kebenaran hukum terganggu oleh pemahaman atas makna bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahkan boleh jadi perbedaan cara pandang ahli hukum yang satu dengan ahli hukum yang lain terjadi karena ketidaksamaan dalam memahami makna bahasa hukum tersebut.

  Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan pemikiran seorang filsuf terkenal, Charles Sanders Peirce, terutama pemikirannya tentang bahasa ilmiah. Peirce yang dikenal sebagai filsuf pragmatis menyodorkan konsep tentang semiotika, klasifikasi ilmiah, dan logika sebgai sarana berpikir ilmiah yang dapat dipergunakan untuk membentuk bahasa ilmiah yang lebih mudah dimengerti, tanpa menghilangkan unsur komunikatif dalam berbahasa. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri posisi bahasa ilmiah dalam pemikiran Peirce. sehingga permasalahan yang diangkat terletak pada bagaimana langkah bagi terciptanya bahasa ilmiah dalam lingkungan komunitas ilmiah; apa karakter utama bahasa ilmiah itu; dan apa karakter bahasa ilmiah yang muncul dalam pemikiran Peirce.

  Kajian tentang bahasa ilmiah pada umumnya dilakukan di wilayah linguistik seperti yang ditulis Ferdinand de Saussure dalam karya magnum opusnya yang berjudul Cours de

  

Linguistique Generale , Pengantar Linguistik Umum yang mencoba untuk meneliti

  pengelompokkan bahasa ke dalam Langage, Langue, Parole. Seorang ahli bahasa, J.S. Badudu pernah menulis Cakrawala Bahasa Indonesia, 1985 untuk menunjukkan berbagai kelemahan dalam penulisan bahasa Indonesia, yang tidak mengikuti standardisasi bahasa ilmiah. Demikian pula halnya dengan penulisan bahasa ilmiah yang dilakukan Gorys Keraf, 1999, Diksi dan Gaya

  

Bahasa menggambarkan tentang cara memilih kata, pendayagunaan kata, dan gaya bahasa dalam

  tulisan ilmiah. Sugihastuti pada tahun 2000 pernah mengangkat judul Bahasa Laporan

  

Penelitian yang menggambarkan tentang tulisan ilmiah berbahasa baku dengan penekanan pada

  macam-macam ragam bahasa dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam tulisan ilmiah. Dalam dunia filsafat, Ayer tahun 1956 menulis Language, Truth and Logic yang menekankan prinsip verifikasi untuk menguji keimiahan suatu pernyataam, sehingga dapat dikategorikan sebagai bahasa ilmiah.

  Penulisan tentang bahasa ilmiah selalu menjadi penting bagi dunia ilmu pengetahuan, karena gagasan ilmiah menjadi berguna dan dapat dipahami secara logis ketika diungkapkan dalam bahasa yang bernas dan jelas. Para ilmuwan dapat mengekspresikan gagasannya secara tepat dan logis melalui sarana bahasa ilmiah yang dikemas dan diolah secara tepat. Modal utama ilmuwan di samping bahasa, juga logika bahasa yang tepat dan argumentatif. Dengan demikian setiap insan akademis harus mampu mempertegas kedudukan bahasa ilmiah sebagai cara yang efisien untuk mengungkapkan pemikirannya dan memahami pemikiran pihak lain. Beberapa ilmu pendukung untuk mencapai kematangan bahasa ilmiah antara lain: logika, semiotika, hermenutika, dan filsafat bahasa. Logika merupakan studi penyimpulan yang mengajarkan cara menalar dan mengambil kesimpulan secara tepat. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda yang dapat dipergunakan untuk memahami objek. Hermeneutika merupakan salah satu kajian filsafat yang melakukan penafsiran atas teks-teks ilmiah-filsafati, sehingga dibutuhkan penggunaan bahasa ilmiah yang standard agar hasil penafsiran itu tadi dapat dipahami oleh orang lain. Filsafat bahasa merupakan salah satu bidang filsafat yang mengkaji tentang makna bahasa, sehingga standardisasi makna ungkapan diperlukan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan ilmiah. Honderich dalam The Oxford Companion To Philosophy memetakan alur pemikiran Filsafat Bahasa (Philosophy of Language) dalam pertalianya dengan berbagai cabang ilmu dan filsafat sebagai berikut.

  The Philosophy of Language Presuppositions Nature of Language

  Semiotics of Language

  Language & Language & Grammar Other

  Interpretation Symbolic Systems Innate Intentionality:

  The Possibility of Ideas Language Of Private and: Animals; Language Machine;

  Syntax: People

  Pragmatics: Formal Logic Types of Implication Semantics Hermeneutics

  Theory of Meaning: 1. Meaning & Truth; 2. Names, Descriptions, and Indexical Signs; 3. Subject & Predicates

  (Honderich, 1995: h. 937).

  Berdasarkan alur pemikiran Honderich di atas, maka problem bahasa ilmiah melibatkan

  

presupposition of language , nature of language, dan Semiotics. Dalam konteks

Presupposition of language aspek intensionalitas terletak pada language and people. Dalam

  konteks Nature of Language tidak hanya melibatkan grammar, tetapi juga bahasa dan sistem simbol lainnya (Language and other symbolic systems)

  • – terutama yang terkait dengan objek yang dibicarakan

  —juga bahasa dan interpretasi (Language and Interpretation). Dalam konteks semiotika, keempat aspek yang mencakup: sintaksis, semantis, pragmatis, dan hermeneutis diperlukan secara simultan bagi pemahaman dan pengayaan bahasa ilmiah. Kendatipun demikian aspek semantis pada umumnya lebih besar porsinya, karena unsur- unsur yang terkait dengan teori arti (Theory of Meaning) merupakan basis utama untuk memahami makna bahasa ilmiah, sehingga memerlukan dukungan makna dan kebenaran (Meaning & Truth); nama, deskripsi dan tanda-tanda indeks (Names, Descriptions, and Indexical Sign) ; serta relasi subjek dan predikat (Subject & Predicates).

  Bahasa ilmiah yang komunikatif secara lebih luas melibatkan berbagi dimensi kebahasaan, sehingga presupposition of language yang terletak pada bahasa privat juga diperlukan. Bahasa privat adalah kebiasaan yang sudah mengakar pada diri sesorang ketika ia berkomunikasi dengan pihak lain. Di samping itu innate ideas, bakat bawaan ikut memengaruhi corak kebahasaan yang ia ungkapkan. Dengan demikian bahasa ilmiah yang komunikatif melibatkan banyak hal, sehingga harus mampu bersifat fleksibel tanpa mengorbankan aturan ilmiah yang diiperlukan.

BAB II PEMIKIRAN BEBERAPA FILSUF TENTANG BAHASA ILMIAH Pemikiran tentang bahasa ilmiah menarik minat beberapa filsuf dan ahli linguistik, karena

  mereka menyadari bahwa bahasa ilmiah memiliki kekhasan yang berbeda dengan bahasa sehari- hari. Bahasa ilmiah lebih dominan pada ranah kognitif daripada ranah afektif, meskipun cita rasa bahasa yang mengeksprseikan suasana hati sulit untuk dihindari, namun paling tidak diminimalisasikan. Para filsuf yang akan dibahas di bawah ini mencoba menyusun kerangka bahasa ilmiah menurut cara pandangnya masing-masing sesuai dengan latarbelakang filosofis yang mereka miliki.

1. Ferdinand de Saussure

  Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology), sedangkan Peirce menamakan studi tentang tanda dengan istilah semiotika. Peirce mengatakan bahwa tanda dihubungkan dengan objeknya melalui kemiripan (iconic), hubungan kausal (indexical), atau lantaran adanya kesepakatan yang mengikat (symbol). Saussure menegaskan dua kata kunci sebagai cara analisis semiologi, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier) artinya sesuatu yang digunakan untuk memberi tanda, sedangkan petanda (signified) artinya sesuatu atau hal yang ditandai. Saussure melihat tanda sebagai oposisi biner, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait, yakni penanda dan petanda (Danesi, 2010: 36). Pendekatan Peirce bersifat trikotomi, sedangkan pendekatan Saussure bersifat diadis ((Berger, 1989:11-12). Kedua pendekatan tersebut berkembang dalam tradisi yang berbeda, pendekatan Saussure selanjutnya dikenal sebagai pendekatan struktural, sedangkan pendekatan Peirce lebih dikenal sebagai pendekatan pragmatis.

  Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Harimurti Kridalaksana dalam kata pengantar Linguistik Umum menjelaskan bahwa Saussure membayangkan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tanda dalam kehidupan masyarakat. Disiplin ilmu tersebut mempelajari antara lain sumber tanda dan kaidah yang mengatur tanda tersebut. Ilmu tersebut dinamakan Saussure, semiologi. Semiologi itu didasarkan pada asumsi bahwa selama perbuatan manusia membawa dan mengandung makna dan berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu terjadi. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Harimurti, 1996: 26). Interkoneksi antara tanda yang satu dengan tanda yang lain akan membentuk sistem, sistem yang dimaksudkan Saussure di sini adalah sistem kebahasaan, linguistik.

  Saussure mendefinisikan semiologi sebagai bidang studi yang meliputi seluruh persoalan linguistik sebagai suatu kasus yang khusus (Sowa, 2000: 1). Saussure menurut Georges Mounin, dapat dipandang sebagai tokoh dalam bukunya Cours de linguistique generale, karena Saussure telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar ilmu umum tentang semua sistem tanda (atau tentang semua simbol), sistem-sistem itu membuat manusia bisa berkomunikasi di antara mereka” (Martinet, 2010:2). Ada lima pokok pikiran penting Saussure yang perlu mendapat perhatian, yakni pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic dan diachronic; (5) Syntagmatic dan associative (paradigmatik). Kelima hal tersebut terkait dengan sistem kebahasaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

  Pertama; bahasa sebagai sistem tanda yang terdiri atas dua bagian, yaitu signifier

  (penanda) dan signified (petanda). Signifier (penanda) adalah aspek material bahasa berupa bunyi dan coretan yang bermakna, apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran, konsep dari bahasa. Kedua unsur tersebut saling terkait dalam sistem bahasa, penanda dan petanda merupakan kesatuan ibarat dua sisi dari sehelai kertas. Hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) menurut Saussure bersifat arbitrer, semena, sebarang atau berubah-ubah. Setiap tanda dalam jaringan system diibaratkan dua sisi pada selembar kertas (Sobur, 2009 :46). Hubungan penanda dan petanda secara bersamaan membentuk tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain, sehingga keduanya membentuk suatu kesatuan, yaitu tanda, yang seringkali dinamakan struktur (Hoed, 2008: 90).

  Kedua; bahasa sebagai sistem nilai terdiri atas bentuk dan materi atau isi. Bentuk dan isi dapat diibaratkan dengan permainan catur yang fungsinya dibatasi aturan permainan. Contoh: penumpang yang biasa naik bis Trans Yogya setiap hari akan menganggap dan mengatakan bahwa ia naik bis yang sama, meskipun bis lainnya, dan sopirnya berbeda. Bentuk atau wadah bis itu sama, yakni Trans Yogya, tapi isinya berubah-ubah. Contoh lain: kata “perang” misalnya dapat diucapkan secara berlainan oleh orang yang berbeda (presiden, Panglima ABRI, politikus, orang awam), meskipun demikian kata tersebut “perang” sebagai bagian dari suatu sistem bahasa, pada hakikatnya tetap sama, yang berbeda hanyalah isi atau materi psikologis si penyampainya.

  Ketiga; ada tiga istilah dalam bahasa Perancis yaitu langage, langue, parole.

  

Langage adalah kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia sebagai pembawaan,

  meskipun pembawaan ini harus dikembangkan dalam lingkungan masyarakat pengguna bahasa dan stimulus yang mendukungnya. Langage ini mengacu pada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parole. Langue merupakan sistem sosial, bukan tindakan yang direncanakan sendiri, karena langue merupakan bentuk perjanjian bersama.

  

Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya. Langue

merupakan tataran konsep dan kaidah. Langue dapat dibandingkan dengan permainan catur.

  Seseorang yang ingin bermain catur tidak harus mengetahui bahwa permainan tersebut berasal dari Persia. Orang tersebut juga tidak perlu mengetahui buah catur itu terbuat dari gading, kayu, plastik. Asal-usul permainan dan bahan untuk membuat catur itu tidak relevan untuk memahami permainan catur, yang penting adalah aturan permainannya sebagaimana halnya bahasa. Unit dasar langue adalah kata. Parole adalah bahasa yang hidup (living

  

speech ), bahasa sebagaimana yang terlihat dalam penggunaannya. Parole adalah tataran

  praktek berbahasa dalam masyarakat. Parole lebih terarah pada faktor pribadi pengguna bahasa, unit dasarnya adalah kalimat, bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual, karena memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya (Sobur, 2009: 51-52; Hoed, 2008: 49-50). Parole adalah aktivitas berbicara, sedangkan langue lebih merupakan sistem abstrak yang mendasari parole. Keduanya memiliki hubungan yang erat dan komplementer, parole sebagai implementasi terus-menerus dari sistem dasar yang ada dalam langue (Hartley, 2010: 222).

  Keempat; studi bahasa ada dua, yaitu synchronic dan diachronic. Synchronic adalah studi yang mendeskripsikan tentang keadaan tertentu suatu bahasa pada suatu masa.

  Sinkronis mengandung arti bertepatan dengan waktu, sehingga bahasa dipelajari tanpa mempersoalkan urutan waktu. Diakronis artinya menelusuri waktu, sehingga studi diakronik atas bahasa adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah bahasa tertentu dari masa ke masa (Bertens, 2001: 184). Sinkronis merupakan telaah tentang tanda pada suatu saat di dalam waktu, biasanya saat ini. Diakronis merupakan telaah tentang bagaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam perkembangan waktu. Danesi mencontohkan analisis diakronis dengan melihat kata person (pribadi). Kata person pada zaman Yunani Kuno, ada hubungannya dengan topeng yang dipakai seorang aktor pada saat ia sedang bermain di atas panggung. Selanjutnya kata person berubah maknanya menjadi karakter si pemakai topeng, dan makna ini dipertahankan dalam dunia teater dengan istilah dramatis personae, karakter pelaku drama. Dewasa ini, kata person memiliki makna seorang manusia yang hidup, berinteraksi, mengungkapkan perasaan, mengatur rona wajah yang sesuai, dan seterusnya (Danesi, 2010: 36).

  Kelima; hubungan kata sebagai rangkaian bunyi dan konsep bersifat syntagmatic

  dan associative. Sintagmatis artinya kumpulan tanda yang tersusun secara logis sehingga membentuk makna. Contoh: Seekor ayam bertengger di atas pagar. Kata “ayam” dikombinasikan dengan “seekor”, “bertengger”, “di atas”, “pagar” sehingga membentuk rangkaian yang membentuk sintagma. Asosiatif atau paradigmatis artinya hubungan yang saling menggantikan dalam kaitannya dengan sintagmatik. Misalnya: “ayam” bisa digantikan dengan “burung”, “itik”, namun pengubahan itu tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, sehingga rangkaian bunyi atau konsep itu adalah:”seekor burung bertengger di atas pagar” (Sobur, 2009: 54-55). Relasi yang bersifat sintagmatik menurut Saussure adalah relasi antara sejumlah unsur yang berkaitan satu sama lain dalam ruang dan waktu yang sama, biasa dinamakan in praesentia. Relasi yang bersifat asosiatif merupakan relasi antara unsur dengan unsur lain yang diasosiasikan, sehingga tidak terletak dalam ruang dan waktu yang sama, biasa juga dinamakan relasi in absentia (Hoed, 2008: 51).

  Para ahli semiotika menempatkan Saussure dalam kedudukannya sebagai seorang strukturalis, karena Saussure mementingkan relasi antar komponen. Ada tiga prinsip dasar strukturalisme, yaitu (1) struktur dan sistem selalu hadir bersama, (2) struktur dan sistem bersifat abstrak dan merupakan sebuah construct, bangun, (3) struktur dan sistem merupakan satuan yang bersifat tertutup dan memenuhi dirinya sendiri (Hoed, 2008: 51).

2. John Dewey (1859-1952)

  William James, Peirce, dan John Dewey adalah tokoh pragmatisme yang hidup sezaman, meskipun usia Dewey lebih muda daripada Peirce dan James, namun sumbangsih Dewey terhadap pemikiran pragmatisme tidak perlu diragukan. Charles Sanders Peirce dalam

  Volume 8 mengemukakan pokok pemikiran Dewey tentang hakikat logika

  Collected Papers

  dalam kaitannya dengan sains. Dewey sendiri pernah menulis surat pada tanggal 11 Januari tahun 1904 dari Universitas Chicago yang menyebutkan bahwa ia pernah mengirimkan sebuah buku dan mengungkapkan rasa terimakasih dan utang budinya kepada Peirce (Peirce, Volume 8, 1998: 180). Hubungan ilmiah di antara kedua filsuf pragmatisme ini dapat dikatakan saling mempengaruhi.

  Minat Dewey terhadap filsafat menjadikannya menggagas rekonstruksi dalam filsafat. Filsafat itu timbul dari suatu situasi sosial tertentu yang didasarkan pada tiga tesis utama.

  

Pertama , hasrat manusia untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan pokok seperti:

  makanan dan tempat berteduh akan mewarnai cara hidup dan tradisi kelompok. Kedua, manusia tidak selalu hidup di dunia sesuai dengan hasrat-hasratnya, sehingga dibutuhkan pengetahuan positif tentang fakta-fakta. Ketiga, di saat pengetahuan manusia meningkat, maka kepercayaan-kepercayaan tradisional akan ditentang atau dilawan. Pada akhirnya filsafat berubah menjadi kebenaran positif dan empiris (Mudhofir, 2001: 128-129).

  Dewey secara sistematis membedakan antara pengetahuan sebagai keluaran (outcome) dari penelitian khusus dan kecerdasan (intelligence) sebagai produk dan ungkapan kumulatif makna yang diperoleh dalam kasus-kasus khusus. Fungsi pengetahuan bagi Dewey adalah menyusun suatu pengalaman yang secara bebas dapat digunakan dalam pengalaman- pengalaman lain. Istilah bebas digunakan Dewey untuk membedakan fungsi pengetahuan dengan kebiasaan (habit

  ), Dewey menegaskan dalam pernyataan berikut:”The function of

  

knowledge is to make one experience freely available in other experiences ” (Dewey, 1951:

521).

  Dewey dipandang sebagai tokoh instrumentalisme, karena menurut pendapatnya instrumentalisme adalah sebuah teori bukan tentang disposisi pribadi dan kepuasan dalam mengetahui sesuatu, melainkan tentang objek nyata ilmu yang mengacu pada hal fisik. Dewey menegaskan hal itu dalam pernyataan berikut:”Instrumentalism is a theory not about

  

personal disposition and satisfaction in knowing but about the proper objects of science,

  

proper being defined in terms of physics ” (Dewey, 1951: 528). Donald A.Piatt memandang

  Dewey sebagai seorang filsuf yang kompleks dalam arti, di satu pihak bisa dikatakan sebagai seorang filsuf empiris dan naturalis karena menjabarkan peran pemikiran atas dasar materi, namun di pihak lain dapat dipandang seorang filsuf rasionalis karena menekankan peran kecerdasan dalam perilaku hidup manusia. Persoalan yang timbul menurut Piatt ialah; bagaimana mungkin seorang filsuf instrumentalis, eksperimentalis, bahkan empiris dapat sekaligus menjadi seorang filsuf rasionalis? Piatt menjawab bahwa Dewey lebih tepat dianggap sebagai seorang filsuf kontekstualis yang menempatkan pemikirannya sebagai pengantar ke dalam eksistensi alami, di mana alam itu sendiri diberi penjelasan melalui pemikiran. Apa yang dikatakan sebagai pengantar itu menurut Piatt tidak lebih dari sekadar instrumen, alat yang sifatnya melayani penjelasan ilmiah tentang realitas (Piatt, 1951: 110). Instrumen inilah yang diperlukan bagi informasi sekaligus komunikasi dalam dunia ilmiah.

  Dewey menyatakan ada dua sifat pengetahuan sains yang sangat penting yaitu,

  

pertama bahwa pengetahuan sains jauh lebih dapat diandalkan daripada pengetahuan

  manusia dalam bidang-bidang lain; kedua sains juga lebih bermanfaat bagi manusia dalam membuat perbedaan bagi kehidupan manusia sehari-hari. Dewey dalam kapasitasnya sebagai sorang tokoh pragmatis berpandangan bahwa segala jenis kegiatan mengetahui pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan khas manusiawi. Sains bagi Dewey merupakan bentuk penyelidikan kritis terhadap diri sendiri serta berdisiplin tinggi, dengan struktur logika yang dapat diterapkan dan membawa manfaat bagi sebagian besar penyelidikan lainnya. Pada awal menghadapi masalah, maka tuntutan pertama yang diperlukan ialah menjernihkannya dengan cara merumuskan masalah tersebut. Setelah itu barulah memikirkan cara pemecahan atau solusi yang mungkin bagi permasalah itu. Tahap berikutnya adalah menguji solusi tersebut secara eksperimental, manakala melalui berbagai macam bentuk pengujian terbukti bahwa solusi yang diajukan itu salah, maka ilmuwan harus berpikir ulang dari awal. Sebaliknya manakala ternyata solusi itu berhasil, berarti ilmuwan yang bersangkutan dapat menyelesaikan masalah, sehingga dapat melangkah lebih lanjut (Magee, 2001: 190-191).

  Gagasan filosofis Dewey tentang pengalaman membentuk metode empiris yang bercorak naturalistis. Dewey menegaskan bahwa filsafatnya bersifat holistis dan pandangan empirisnya mengarah pada subjektivisme, karena bagi Dewey segala sesuatu itu adalah latar depan secara langsung (immediate foreground), sehingga tidak ada ruang yang dibiarkan untuk alam sebagai latarbelakangnya (Dewey, 1951: 529). Meskipun titik tolak pemikirannya adalah pengalaman, namun aspek empiris diolah melalui pemikiran yang kritis, sehingga kebenaran terpatri pada kemampuan pikir manusia dalam mengolah pengalaman yang ada di luar dirinya.

  Peirce sendiri mengomentari pemikiran Dewey sebagai hal yang sangat mengesankan dalam pernyataan berikut: ”I will therefore write to express how your position appears as viewed from mine. I am

  

struck with the literary tone of your men, a sort of maturity which bespeaks the advantage

of studying under you and thoroughly applaud your efforts to set them on their legs. But I

must say to you that your style of reasoning about reasoning has to my mind. The usual

fault that when men touch on this subject, they seem to think that no reasoning can be too

loose, that indeed there is a merit in such slipshod arguments as they themselves would not

dream of using in any other branch of science” (Peirce, Volume 8: 180).

  (“Karena itu saya akan menulis untuk mengekspresikan bagaimana posisi anda muncul seperti yang saya lihat. Saya terkesan dengan nada sastra anda yang bersemangat, semacam kematangan yang mengindikasikan keuntungan dari belajar di bawah pengawasan anda dan memuji upaya anda untuk mengatur mereka. Tapi saya harus mengatakan kepada anda bahwa gaya penalaran anda tentang penalaran merasuk ke pikiran saya. Kesalahan standar ketika laki-laki menyentuh persoalan ini, mereka tampaknya berpikir bahwa penalaran tidak dapat terlalu longgar, bahwa memang ada manfaat dalam argumen serampangan seperti mereka sendiri tidak akan bermimpi untuk menggunakannya di setiap cabang ilmu pengetahuan lainnya ”).

  Kendatipun demikian kunci penting dari alur berpikir yang ditawarkan John Dewey ini adalah sikap berpikir kritis yang dapat didefinisikan sebagai suatu pertimbangan yang aktif,

  

persistent (terus menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan

  yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya Konsep berpikir kritis dalam pandangan John Dewey memberi tekanan pada proses aktif yang memperlihatkan bahwa orang yang berpikir kritis memikirkan berbagai hal secara lebih mendalam, mengajukan berbagai pertanyaan untuk menemukan informasi yang lebih relevan tentang sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya. Ia tidak menerima begitu saja atau pasif terhadap pendapat orang lain (Fisher, 2008: 2). Ada semacam kegelisahan yang bergolak dalam pemikiran dan perasaan orang yang berpikir kritis, sehingga ia berusaha memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang objek yang menjadi sumber kegelisahannya itu. Mereka yang berpikir kritis akan mengembangkan sikap tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan atau menerima pendapat orang lain. Mereka yang berpikir kritis akan selalu aktif, berperanserta dalam memasuki wilayah yang menjadi materi perbincangan tentang suatu objek.

  Peirce mengomentari pandangan Dewey tentang landasan logis dalam metode ilmiah sebagai berikut. Pertama; tidak ada suatu perintang jalan yang permanen bagi penyelidikan atas kebenaran, sehingga dalam perkembangan ilmiah memperlihatkan bahwa metode genetik mengarah pada kesimpulan yang salah, sedangkan metode lain yang dipandang rendah justeru lebih berharga. Kedua; lantaran cara Dewey yang memperdebatkan bahwa setiap penyelidikan yang harus dilakukan secara genetik adalah metode yang buruk, maka perlu adanya pertimbangan penting dalam kesimpulan akhir yang akan diperoleh. Ketiga; Peirce mempertimbangkan adanya beberapa premis yang saling bertentangan dengan keyakinan studi sejarah selama beberapa tahun dan juga pengalaman pribadinya, maka menurutnya ada beberapa bidang ilmu yang dapat eksis dan harus dipelajari secara genetik, sedangkan yang lainnya tidak dapat dilakukan karena gagal total. Contohnya adalah matematika murni, bidang fisika umum dan dinamis, kimia (Peirce, Volume 8, 1998: 183). Pertukaran pikiran dan saling koreksi di antara sesama filsuf merupakan hal yang lazim terjadi, sekaligus menunjukkan adanya saling pengaruh di antara mereka satu sama lain.

  Berpikir (think) bagi Dewey selalu dalam kaitannya dengan pikiran yang dipergunakan (mind in use). Apa yang dimaksudkan dengan kecerdasan dan pemikiran terkait dengan keputusan, deliberasi, refleksi, dan penalaran. Berpikir menurut Dewey mengandung dorongan ganda, di satu pihak berfungsi untuk meningkatkan makna pengalaman yang sekarang, di pihak lain mengarahkan solusi baru di luar hal yang mungkin melalui dorongan semata atau tindakan rutin (Allport, 1951: 276-278). Berpikir kritis sebagai proses yang terus-menerus dan teliti menurut Dewey, berarti berpikir yang reflektif, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan atau membuat suatu keputusan tanpa memikir ulang hasil yang akan diperoleh. Hal yang paling penting dalam berpikir kritis ini adalah alasan yang mendukung suatu keyakinan atau keputusan yang diambil dan kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. Atau dengan kata lain, apa hal yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meyakini sesuatu dan implikasi dari keyakinan-keyakinan tersebut (Fischer, 2009: 2-3).

  Ide pokok John Dewey tersebut di atas sejalan dengan pemikiran Peirce yang menolak pengetahuan sebagai fakta yang bersifat impersonal. Menurut Peirce, manusia memperoleh pengetahuan dalam kedudukan sebagai partisipan, bukan sekadar sebagai penonton. Ilmuwan merupakan pihak yang berkepentingan, sedangkan pengetahuan lebih merupakan instrumen. Hal terpenting dalam pengetahuan itu adalah kemampuan manusia untuk menjelaskan, sehingga manusia dapat mengandalkan pengetahuan tersebut sejauh ia berfungsi dan memberikan hasil yang akurat. Peirce mengatakan:

  “Knowledge is an instrument, perhaps the most important instrument for survival that

  we have: we use our knowledge. And because the most useful thing about it is its explanatory power we will rely on it, as on any explanation, for only so long as it yields accurate results; ….. This means that scientific knowledge is not a body of certainties but a body of explanations

  ” (Magee, 1998: 187). (“Pengetahuan adalah alat, mungkin instrumen yang paling penting untuk kelangsungan hidup yang kita miliki: kita menggunakan pengetahuan kita. Dan karena hal yang paling berguna tentang itu adalah kekuatan penjelasan yang akan kita jadikan sebagai pedoman, seperti pada penjelasan apapun, hanya selama itu mendatangkan hasil yang akurat;

  …. Ini berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah suatu bentuk yang penuh kepastian, melainkan bentuk penjelasan ”).

  Pengetahuan ilmiah bukanlah merupakan seperangkat kepastian, melainkan seperangkat penjelasan. Penjelasan membutuhkan penalaran dan argumentasi dalam upaya meyakinkan pihak lain atas kebenaran yang diungkapkan seorang filsuf atau ilmuwan.

3. Bertrand Russell

  Russell pada mulanya mengikuti garis pemikiran Moore sebagai upaya untuk menentang pengaruh neo-hegelianisme di Inggeris dengan betitik tolak pada akal sehat (common sense). Russell dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuh Moore. Penggunaan bahasa biasa bagi maksud filsafat sebagaimana yang diinginkan Moore menurut Russell, tidaklah tepat. Russell tidak sekedar bermaksud mengarahkan teknik analisis yang diajukan oleh Moore itu untuk menentang ungkapan kosong dari kaum Hegelian, akan tetapi Russell juga mencoba untuk membentuk filsafat yang bercorak ilmiah dengan cara menerapkan metode ilmiah pada filsafat (Charlesworth,1959 : 49). Russell menegaskan bahwa dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya seorang filsuf menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk (abominable), juga merupakan penghalang besar bagi kemajuan filsafat (Charlesworth,1959 : 51-52). Berbagai bentuk kalimat menurut Russell mengungkapkan pertanyaan (interogative), mengungkapkan harapan (optative), kalimat seru (exclamatory), dan menunjukkan perintah (imperative) mengandung maksud-maksud tertentu, bersifat indikatif, sehingga masing-masing mengandung logika tersendiri (Russell,1980: 30).

  Russell berupaya menentukan titik-tolak pemikirannya berdasarkan bahasa logika, sebab Russell berkeyakinan bahwa teknik analisis yang didasarkan pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas. Persoalan logis menjadi sangat penting bagi Russell, karena hal itu merupakan kondisi terbentuknya simbolisme yang akurat, artinya setiap kalimat mengandung arti yang terbatas dan pasti, meski dalam kenyataannya, bahasa biasanya kabur, sehingga apa yang disampaikan tidak pernah benar- benar tepat. Salah satu hal yang penting menurut Russell adalah kondisi simbolisme terhadap keunikan makna atau acuan dalam simbol atau kombinasi simbol. Sebuah bahasa logis yang sempurna harus mengandung aturan sintaksis yang dapat mencegah bahasa yang tidak bermakna, dan salah satu langkah yang tepat adalah dengan meletakkan simbol tunggal yang memiliki makna unik dan terbatas (Russell, 1995: 8).

  Meskipun Russell tidak secara tegas menolak tugas filsafat yang dijalankan oleh para filsuf terdahulu —pembahasan tentang dunia secara menyeluruh—namun ia tidak menyetujui pandangan para filsuf sebelumnya yang menganggap bahwa itulah tugas filsafat yang paling utama. Tugas filsafat pada hakikatnya adalah analisis logis yang diikuti oleh sintesis logis.

  Walaupun pembahasan atau pembentukan yang bersifat menyeluruh merupakan bagian dari tugas filsafat, namun Russell tidak percaya bahwa hal itu merupakan bagian yang paling penting. Bagian terpenting menurut Russell justru terkandung dalam kritik dan penjelasan terhadap pernyataan yang mungkin untuk dijawab sebagai dasar dan pengakuan yang tidak dapat diganggu gugat (Charlesworth,1959 : 49).