ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO - repository civitas UGM

  

ADA MIGAS

DI LADANG PETANI

BOJONEGORO

Editor:

  Dr. Widodo, M.Sc, Defirentia One, SIP

  Danang Wahyuhono, SIP Universitas Gadjah Mada, 2013 Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)

ADA MIGAS DI LADANG PETANI BOJONEGORO

  Diterbitkan sebagai Laporan Awal Studi Pengembangan Wilayah

Bojonegoro Berbasis Agro, dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan serta

Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Industri Migas Dr. Widodo, MSc Ketua Tim Peneliti: Anggota Tim Peneliti: Ir. F. Trisakti Haryadi, MSi, PhD Ir. Yuni Suranindyah, M.S., PhD Eka Tarwaca Susila Putra, S.P., M.P., Ph.D Dr. Tri Anggraini Kusumastuti, S.P., M.P. Cuk Tri Noviandi, S.Pt M.Anim.Sc, PhD Asisten Peneliti dan Tim Penulis: Defirentia One M., SIP Danang Wahyuhono, SIP Winata Gigih Jumali Himawan Akhmaddin Saputra Dr. Widodo, M.Sc, Editor: Defirentia One, SIP Danang Wahyuhono, SIP Layout dan desain cover: Ulin Niam Fotografer: Himawan A. Saputra Winata Gigih Jumali

  ISBN : 978-602-951-805-4 Penerbit: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada, 2013

DAFTAR ISI

BAB I CATATAN AWAL TENTANG BOJONEGORO - 5 A. Ladang Migas Internasional - 6 B. Selayang Pandang Bojonegoro - 10 C. Kultur Agraris dan Kemiskinan - 13 D. Metode Penelitian- 18 BAB II DESA, PETANI, DAN MIGAS: SEBUAH SURVEI AWAL DI KECAMATAN TAMBAKREJO DAN KECAMATAN PURWOSARI - 21 A. Tambakrejo: Boleh Optimis, Wajib Waspada - 23

  1. Kondisi Pertanian - 23

  2. Kondisi Peternakan - 27

  3. Kondisi Sosial - 37

B. Purwosari: Meratas Peluang dan Tantangan - 40 1.

  Kondisi Pertanian - 40 2. Kondisi Peternakan - 43 3. Usaha Kecil dan Menengah - 45 4. Kondisi Sosial - 46 C. Analisis Situasi (SWOT Analysis) - 50

BAB III STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT - 55 A. Luaran (Outcome) dan Strategi Pencapaian - 56 B. Program Kegiatan - 58 BAB IV PENUTUP - 73 Kesimpulan - 74 Rekomendasi -75 DAFTAR PUSTAKA - 76

BAB I CATATAN AWAL TENTANG BOJONEGORO

  A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

A. Ladang Migas

Internasional

  alam dua dekade belakangan, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional karena potensi minyak dan gas (migas) yang begitu berlimpah. Industri migas di Indonesia dapat

  D

  ditemukan di beberapa kawasan, seperti kawasan lepas pantai, hutan, dan bahkan wilayah pedesaan. Menurut data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (1998), potensi migas Indonesia sebagian 1 besar ditemukan di kawasan lepas pantai (offshore) , misalnya di perairan Madu-ra, Kalimantan, dan Aceh. Sedangkan di Kabupaten Bojonegoro, industri migas sebagian besar ditemukan di kawasan pedesaan dan hutan, hanya sebagian kecil yang berada di kawasan perkotaan.

  Keberadaan beberapa sumur migas membentuk blok-blok migas di Bojonegoro yang kian hari semakin berkembang jumlahnya. Beberapa Blok migas antara lain Blok Cepu, Blok Tuban, Blok Gundih, Blok Nona dan Blok Blora. Dalam setiap blok tersebut terdapat beberapa lapangan migas, misalnya di Blok Cepu terdapat lapa-ngan Banyuurip, Jambaran dan Alastuwo Barat serta Timur. Di Blok Tuban terdapat lapangan Sukowati Pad A dan B, sedangkan di Blok Gundih terdapat lapangan Tiung Biru. Tersebarnya beberapa lapangan migas tersebut sudah mengindikasikan seberapa besar kekayaan alam yang terkandung di perut bumi daerah itu. Kendati 1 angka pastinya masih menjadi perdebatan, namun data yang

  

“Indonesia Raksasa Maritim Masih Tertidur Lelap”, http:// indomaritimeinstitute.org/2011/03/584/, 3 Desember 2013. dihimpun dalam Tabloid Flamma dari beberapa pihak berikut sudah menunjukkan angka yang cukup fantastis. Analisa kandungan migas di Blok Cepu adalah sebagai berikut : (i) menurut Drajat Wibowo yang seorang anggota DPR RI, kandungan minyaknya sebesar 700 juta barel dan gas sebesar 3,31 kaki trilyun kubik, (ii) menurut Kwik Kian Gie sebesar 2 Milyar barel, (iii) menurut exxon mobile sebesar 250 juta barel dengan kandungan gas yang belum bisa diperkirakan, (iv) serta dari data yang pernah dibertakan kompas sebesar 1,1 Milyar barel di kedalam kurang dari 1.700 meter dan 11 Milyar barel 2 . di atas kedalam 2.000 meter

  Awal tahun 2000an, ruang publik masyarakat Bojonegoro mulai diha-ngatkan dengan akan dimulainya pro-ses eksploitasi cadangan migas yang begitu besar yang selanjutnya dikenal dengan Blok Cepu. Harapan besar mulai muncul, sekalipun tak steril pula dari persoalan. Hampir bersamaan dengan Blok Cepu, dimulai pula aktivitas awal sumur migas di sekitar Kota Bojonegoro yang kemudian dinamai Blok Tuban. Keberadaan dua blok migas tersebut menjadi magnet bagi masyarakat lokal hingga internasional. Pasalnya, Bojonegoro yang selama ini dikenal sebagai kota jati tak lama kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi investor yang berkompetisi memperebutkan kesempatan bisnis migas. Awalnya hanya sayup- sayup terdengar, namun ditemukannya potensi migas Bojonegoro menjadi pemberitaan yang kian menarik bagi media lokal hingga internasional. Migas telah menjadi ikon baru Bojonegoro, hingga 3 media pun menjulukinya sebagai “Indonesia’s texas”. Kondisi sosial, ekonomi serta budaya masyarakat Bojonegoro sedikit banyak akan terpengaruh geliat industri migas. Keberadaan industri migas di wilayah pedesaan Bojonegoro, akan berhadapan 2 Lihat dalam Tabloid Flamma, edisi 30, Juni-Agustus 2008, Berharap Se-

  jahtera Dari Semburan Minyak: Licin Minyak Blok Cepu Agar Berkah Tak Jadi Musibah , diunduh dari http://www.ireyogya.org/id/flamma/licin-

3 Lihat Davies Ed, ‘Indonesia’s Texas? Rural Java Braces for Oil Boom’,

minyak-blok-cepu.html, pada tanggal 7 April 2011 http://www.reuters.com/article/2009/08/10/us-indonesia-oil-idUS-

  TRE57903420090810, 9 Agustus 2009.

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O dengan kultur masyarakat agraris, sehingga rentan berakibat pada terjadinya benturan sosial yang intensif. Hal ini disebabkan oleh ada-nya perbedaan kondisi sosial budaya masyarakat desa di lokasi industri migas yang ditandai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi relatif rendah. Dengan kondisi sosial ekonomi seperti itu, banyak masyarakat yang tidak mampu mengakses manfaat langsung dari keberadaan industri migas di wilayahnya. Tidak hanya itu, perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya yang terbentuk antara masyarakat lokal dengan para pendatang cenderung memunculkan kesenjangan serta kantong-kantong masyarakat yang eksklusif. Situasi dan kondisi sosial yang ada di industri migas sangat berpotensi menimbulkan ketegangan sosial baik antara masyarakat dengan pihak pendatang, masyarakat dengan perusahaan migas, antara masyarakat yang tidak mampu dengan masyarakat yang mampu mengakses manfaat langsung dari perusahaan, juga antara masyarakat dengan pemerintah. Pada akhirnya, masyarakat lokal sering hanya menjadi penonton dalam hiruk pikuk industri migas di wilayah mereka sendiri.

  Sementara itu, banyak laporan menunjukkan bahwa wilayah Bojonegoro sebagai pemilik potensi migas terbesar, masih menghadapi masalah kemiskinan di wilayah-wilayah berlokasinya sumur migas. Laporan tersebut dapat dilihat pada publikasi penelitian maupun pada situs-situs berita nasional dan internasional. Seperti yang dilaporkan Reuters, Bojonegoro se-bagai pemilik cadangan minyak mentah terbesar di Asia Tenggara mencapai 350 juta barel, 4 masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Laporan tersebut menegaskan bahwa terlepas dari kepemilikan cadangan minyak yang berlimpah, Kabupaten Bojonegoro termasuk dalam peringkat keempat kabupaten termiskin di Propinsi Jawa Timur. Fakta serupa juga diungkap oleh media lokal, Suara Banyuurip, bahwa dari total jumlah penduduk 1,4 juta jiwa, jumlah warga miskin mencapai 5 4 128.981 keluarga/rumah tangga miskin. 5 Ibid.

  Suara Banyuurip, Edisi 41 Tahun 2010, hal. 4. Laporan ini secara sederhana menggambarkan bahwa di daerah kaya migas sekalipun masih banyak masyarakat miskin yang hidup tidak sejahtera. Di lain pihak, Dana Bagi Hasil (DBH) baru diterima pasca operasional industri migas dilakukan, sementara inflasi sudah terjadi sejak eksplorasi dilakukan. Dengan masih banyaknya masyarakat miskin di kawasan ini, maka terjadinya inflasi akan memicu penurunan taraf kehidupan masyarakat. Belum lagi, kehadiran industri migas dipastikan akan memunculkan kompetisi di antara masyarakat untuk dapat mengakses manfaat langsung. Jika situasi tersebut tidak direspon maka dipastikan ketegangan dan konflik sosial menjadi hal yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kesejahteraan harus segera dilakukan dengan berbagai strategis dan upaya teknis.

  Dalam konteks ini, percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kesiapan masyarakat terhadap kehadiran industri menjadi hal yang urgen. Proses pembangunan masyarakat perlu berjalan secara linier dengan pembangunan industri migas dan harus diupayakan berjalan secara berkelanjutan. Hal tersebut berguna untuk meningkatkan partisipasi, kapasitas, serta aksesibilitas masyarakat dalam proses pembangunan, sehingga mereka dapat menerima manfaat langsung dari pembangunan. Masyarakat perlu mengenali kembali potensi-potensi yang ada di wilayahnya dan tidak serta merta menggantungkan kemakmuran dari hasil industri migas.

  

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

B. Selayang Pandang

Bojonegoro

  igas dan Bojonegoro kini menjadi fokus dan lokus studi yang makin banyak diminati para akademisi, aktivis sosial maupun mahasiswa. Persoalan yang diangkat dan realitas

  M

  yang diungkap pun bervariasi. Salah satu di antaranya adalah studi tentang bisnis militer di perusahaan pengeboran minyak Bojonegoro 6 . yang merupakan laporan penelitian dari Kontras pada tahun 2004 Lebih pada tawaran konsep pemberdayaan masyarakat di area kerja tambang, IRE Yogyakarta juga mengambil Bojonegoro sebagai salah satu wilayah studi, terutama dengan mengangkat kearifan lokal 7 sebagai dasar dari pemberdayaan masyarakat . Mengambil lokus desa sebagai inti dari dinamika sosial migas, studi dari Pradhikna Yunik telah mengungkap peran Civil Society Organization (CSO) dalam menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk penguatan kelembagaan desa di ring 1 migas, terutama dalam 8 . proses perencanaan pembangunan desa

  Secara garis besar, realitas yang hampir sama terlihat dari studi di atas. Bojonegoro terutama di wilayah kerja migas menjadi arena berbagai pemangku kepentingan untuk menjalankan perannya 6 masing-masing. Peran yang tentunya tak lepas dari berbagai

  Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bo- 7 jonegoro Jawa Timur , Kontras, Jakarta, 2004 Hudayana, Bambang, Koseptualisasi Pemberdayaan Masyarakat di

  Wilayah Industri Tambang dan Migas Berbasis Pada Kearifan Lokal , IRE 8 Yogyakarta, 2011.

  Nurhayati, Pradhikna, CSR Berbasi Community Based Development; Stdu Tentang Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Desa Bojo- negoro di Wilayah Kerja MCL

  , skripsi sarjana Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Yogyakarta 2012 kepentingan, salah satunya motif ekonomi politik. Studi awal yang dilaksanakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada ini difokuskan untuk melihat relasi antara migas dengan dampak dan potensi untuk pengembangan Bojonegoro sebagai lumbung pangan dan energi Indonesia.

  Kabupaten Bojonegoro sendiri adalah 1 dari 38 kabupaten dan kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Timur. Adapun batas wilayahnya adalah sebagai berikut; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Blora (Provinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Ngawi, sebelah utara dengan Kabupaten Tuban, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lamo-ngan, sebelah selatan berbatasan de-ngan Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Madiun. Terletak di garis Bujur Timur 112 25’ dan 112 09’ serta di antara Lintang Selatan 6 59 dan 7 37’, Kabupaten Bojonegoro memiliki luas wilayah 230.706 Ha (Bojonegoro Dalam Angka 2011). Dengan wilayah yang cukup luas tersebut, penggunaan tanah di dalamnya juga bervariasi (lihat tabel 1):

  

Tabel 1 Penggunaan Tanah di Kabupaten Bojonegoro

2009 2010 No Penggunaan Tanah Luas Area (%) Luas Area (%)

  

1 Tanah sawah 32,58 32,58

  

2 Tanah kering 22,42 22,42

  

3 Hutan Negara 40,15 40,15

  

4 Perkebunan 0,26 0,26

  

5 Lain-lain 4,59 4,59

Sumber : Bojonegoro Dalam Angka (BPS Kab. Bojonegoro, 2011)

  Sedangkan dilihat dari topografi, wilayah Bojonegoro secara umum berada di dataran rendah, terutama di bagian utara yaitu sepanjang aliran Bengawan Solo, yang membentang dari bagian barat daya yaitu Kecamatan Margomulyo sampai wilayah paling timur, yaitu Kecamatan Baureno. Wilayah Bojonegoro bagian selatan A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O berada di dataran tinggi, yaitu sepanjang Gunung Pandan, Kramat 9 . dan Gajah

  Sampai tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Bojonegoro mencapai 1.209.973 jiwa. Dengan rincian laki-laki 598.365 jiwa dan perempuan 611.608 jiwa yang tersebar di 28 kecamatan, 419 desa dan 11 kelurahan. Sebagian besar kultur masyarakatnya adalah Jawa seperti di daerah Solo atau Yogyakarta. Jawa Timur sub kultur Mataraman adalah sebutan populer termasuk di Bojonegoro. Kultur Samin adalah warna khusus yang ada di Bojonegoro, terutama di bagian barat. Kendati gerakan Samin terkenal dengan model pembangkangan yang khas terhadap kebijakan pemerintah di jaman kolonial, namun hal tersebut kurang teraktualisasi di masa kini. Dinamika sosial masyarakat Bojonegoro cenderung kalem dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah daerah yang dirasa kurang tepat. Secara umum demonstrasi atau model parlemen jalanan lain tidak begitu nampak intensif terjadi. Namun keadaan yang relatif kondusif tersebut, sempat bergejolak ketika masyarakat menunjukkan resistensinya terhadap negara dengan aksi penjarahan hutan. Akibat yang ditimbulkan adalah berkurangnya kuantitas area hutan produktif, yaitu hanya tersisa 26.160 hektar dan sebesar 17.280 hektar tidak lagi produktif.

9 BPS Kab. Bojonegoro, Bojonegoro Dalam Angka 2010

  

C. Kultur Agraris dan

Kemiskinan

  engan persoalan yang terjadi di sektor kehutanan, harapan pada potensi tersebut berkurang drastis. Degradasi lahan telah terjadi akibat penjarahan hutan. Dari Tabel 1 tentang

  D

  penggunaan lahan di atas, selain harapan pada sektor kehutanan, pertanian beserta sektor lain yang mempunyai kaitan seperti peternakan adalah sektor potensial. Pada tahun 2010, luas panen tanaman padi dan palawija adalah sebagai berikut;

  

Tabel 2 : Luas Panen Tanaman

Padi dan Palawija (Dalam Hektare)

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

Gambar 1.

Peta Produksi Tanaman Padi dan Palawija

di Kab. Bojonegoro

  Luasan panen tanaman padi dan palawija di atas tidak selalu berbanding lurus dengan penghasilan atau tingkat perekonomian petani. Sekalipun Nilai Tukar Petani mengalami kondisi yang relatif baik selama tiga tahun ke belakang, yaitu 102,45% pada tahun 2010, 102,65% untuk tahun 2012 10 serta 102,50% pada tahun 2012 , namun kondisi tersebut secara riil juga diba-yangi persoalan terkait menyusutan luasan lahan untuk pertanian.

10 Suyoto, Eksploitasi Migas Untuk Kesejahteraan Berkelanjutan, dalam

  Mengelola Pembangunan Daerah Penghasil Migas , Imago 2013 Kultur agraris dan kemiskinan, begitulah beberapa orang kerap mengaitkan dua hal tersebut sebagai karakteristik sosial ekonomi di Jawa. Kondisi ini pernah dipotret oleh seorang ilmuwan Australia, C.L.M Penders, yang melukiskan sejarah Bojonegoro sebagai sejarah kemiskinan, dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A

  Story of Endemic Poverty in North West East Java.

  Kondisi ini pula yang diidentifikasi oleh tim peneliti sebagai permasalahan yang mengemuka di sebagian wilayah Kabupaten Bojonegoro.

  

Gambar 2. Potret kemiskinan warga Bojonegoro

  Sebagaimana sebuah kenyataan yang berlawanan dengan keberlimpahan migas, kondisi masyarakat desa di sekitar area migas di Bojonegoro adalah tipikal masyarakat agraris dengan budaya kewirausahaan (entrepreneurship) yang rendah, ditambah dengan absennya tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh kuat diluar tokoh pemerintahan. Hal tersebut mengemuka ketika tim peneliti Universitas Gadjah Mada berdiskusi dengan beberapa warga Bojonegoro pada bulan Agustus 2013. Kondisi masyarakat seperti ini dapat berimplikasi pada ketidakoptimalan dana investasi di masyarakat (mismanajemen pengelolaan dana), serta kemungkinan terjadinya

  chaos ketika kepemimpinan di pemerintahan mengalami krisis.

  Dari hasil diskusi juga disebutkan, secara umum warga tidak banyak yang memiliki sawah, sehingga aktivitas bertani di sawah A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O hanya dilakukan oleh warga yang memiliki sawah. Tanaman padi tidak begitu menjanjikan secara ekonomis sebab biaya produksinya begitu mahal. Hal ini disebabkan karena kondisi wilayah yang kering dan me-ngandalkan sawah tadah hujan. Di sisi lain, banyak warga yang memanfaatkan pekarangan rumah untuk usaha produktif, misalnya untuk menanam pisang. Jenis pisang yang ditanam pun bervariasi seperti pisang raja, pisang kepok, pisang susu, pisang subliro, dan masih banyak jenis lainnya. Tanaman ini umumnya ditemukan hampir di semua pekarangan milik warga. Kondisi tanah sangat mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman pisang. Sampai saat ini pisang menjadi salah satu produk yang potensial. Potensi pisang dimanfaatkan warga sebagai sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain pisang, ketela pohon juga mudah didapat di wilayah tersebut, meskipun siklus hidup dan potensinya tidak sebaik tanaman pisang. Warga juga menanam jati sebagai bentuk investasi. Tanaman jati dapat dijadikan komoditas atau paling tidak digunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan pembuatan meubel di rumah. Masyarakat juga memelihara berbagai ternak antara lain kambing, ayam, dan sapi. Masyarakat beternak ayam sebagai sumber penghasilan, sedangkan ternak kambing umumnya untuk tabungan.

  Di sisi lain, budaya dan kehidupan wirausaha (entrepreneurship) tidak berkembang. Dengan kondisi masyarakat seperti ini, ketika menghadapi kehadiran uang dalam jumlah besar dapat dipastikan mereka cenderung konsumtif dan tidak mampu memanfaatkan uang tersebut untuk investasi (dikembangkan). Hal tersebut perlu diantisipasi sebab masyarakat begitu rentan terhadap dampak buruk inflasi. Di bidang sosial, ketiadaan tokoh yang mempunyai pengaruh kuat di luar tokoh pemerintah juga berdampak pada minimnya kepemimpinan di wilayah tersebut. Kepemimpinan yang ada hanya kepemimpinan formal (Peme-rintahan Desa). Selain itu, masyarakat juga minim wawasan serta pengalaman dalam berorganisasi. Kemampuan mengakses dan memanfaatkan informasi pun rendah. Di tambah pula, minimnya skill manajemen yang dimi-liki masyarakat menyebabkan mereka tidak siap menghadapi krisis. Situasi ini sangat rentan ketika pemerintah mengalami krisis karena akan melahirkan masyarakat tanpa kepemimpinan (anarki) sehingga mudah terjadi gejolak sosial.

  Mengacu pada permasalahan yang diuraikan di bagian atas, terlihat betapa pentingnya mengembangkan kewirausahaan sejak awal, membangun kapasitas ekonomi, dan melatih kepemimpinan. Kesemua proses itu tentunya berdasar pada persoalan dan berbasis pada potensi lokal yang telah dimiliki. Tujuannya agar masyarakat mampu mengelola potensi yang ada di desanya. Ketika masyarakat mampu memanfaatkan potensi dan asset desanya, maka keberdayaan akan tumbuh dari dalam. Sekaligus ketika masyarakat mampu berdaya harapannya tidak mudah pula dikuasai oleh elit-elit tertentu yang mendominasi dan mengambil manfaat langsung dari ketidakberdayaan masyarakat dalam hal ekonomi maupun sosial.

  

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

D. Metode Penelitian

  alam studi ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan mengedepankan teknik purpo-

  sive

  , yaitu peng-ambilan data disesuaikan dengan tujuan

  D

  dasar dari penelitian. Tujuan dasar dari penelitian ini adalah sebagai studi awal untuk potensi pengembangan pertanian (agro) di area kerja migas di Bojonegoro. Dengan area kerja perusahaan migas yang tersebar di berbagai wilayah, maka pemilihan wilayah peneli- tian dalam studi ini didasari pertimbangan tertentu.

  Dipilihnya dua kecamatan, yaitu Tambakrejo dan Purwosari se- bagai wilayah studi karena berada di wilayah ring 1 sumur migas Tiung Biru, yang hingga tahun 2013 dua wilayah tersebut berada dalam kondisi dinamis. Adapun sumur migas Tiung Biru dipilih seb- agai kawasan studi karena meskipun aktivitas migas sudah berlang- sung beberapa tahun lalu, namun solusi terhadap persoalan sosial- ekonomi dan pengembangan desa di wilayah tersebut masih minim. Dalam pengembangan desa area operasi migas di Kabupaten Bo- jonegoro, sebagian besar perhatian dan program pembangunan diarahkan ke wilayah kerja sumur migas Banyuurip yang memang saat ini tengah menjadi harapan nasional. Sumur Tiung Biru sendiri merupakan penghasil gas yang hingga saat ini o-perator utamanya ada Pertamina.

  Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengambilan data. Metode pertama adalah Focus Group Discussion (FGD). Teknik ini digunakan karena lebih efisien dan efektif untuk menarik infor- masi dari berbagai macam sumber informasi di tengah waktu yang terbatas. FGD dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Tambakrejo pada tanggal 5 Oktober 2013 yang diha-diri oleh kedua camat dari Pur- wosari dan Tambakrejo beserta stafnya serta beberapa kepala desa dari dua kecamatan tersebut, terutama desa-desa yang berada di sekitar area kerja sumur Tiung Biru.

  Kedua

  , untuk memperkuat hasil FGD, maka dilaksanakan observasi lapangan yang dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 2013 dengan me- ngunjungi desa-desa yang terdapat potensi menonjol sekaligus masih ada persoalan dalam pengembangan potensi tersebut. Potensi yang dimaksud adalah pertanian, terkait vegetasi tanaman yang tumbuh dan berkembang di wilayah itu; potensi peternakan, terutama ayam, kamb- ing, domba dan sapi; potensi UKM serta tak kalah penting dengan me- lihat kondisi sosial di desa.

  Ketiga

  , sekaligus dalam observasi tersebut digunakan untuk wawan- cara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan potensi yang ada di desa, seperti ketua dan anggota kelompok ternak, kelompok tani serta kepala desa.

  Keempat

  , pengambilan dan analisis data sekunder. Dalam peneli- tian ini, data sekunder diperoleh dari data peternakan dan pertanian di kedua wilayah kecamatan. Untuk lebih memperkuat, maka data BPS yaitu Bojonegoro dalam angka juga banyak digunakan. Penggunaan data sekunder untuk analisis juga banyak diambil dari berbagai media, terutama media lokal Bojonegoro yang mempunyai fokus pemberitaan pada isu migas dan dampak-dampak yang terjadi di desa sekitar migas. A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

BAB II DESA, PETANI, DAN MIGAS: SEBUAH STUDI AWAL DI KECAMATAN TAMBAKREJO DAN KECAMATAN PURWOSARI

  

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O ab II ini merupakan deskripsi tentang kondisi dua kecamatan yang menjadi wilayah studi, yaitu Kecamatan Tambakrejo dan Kecamatan Purwosari. Ketika kondisi makro dua kecamatan

  B

  tersebut mampu dijabarkan, lantas persoalan sekaligus potensi desa- desa yang ada di dalamnya dapat terpetakan. Dari studi dua kecamatan ini diharapkan dirumuskan solusi strategik dan rencana program yang akan dijalankan. Dengan demikian diharapkan pula program yang dirumuskan tidak saja berdasar nalar praktis tetapi berdasar realitas yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat lokal.

  

A. Tambakrejo: Boleh Optimis,

Wajib Waspada

  ambakrejo merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro. Kecamatan Tambakrejo terdiri dari 18 desa, 65 dusun, 95 RW, dan 1 T 378 RT. Jumlah penduduk di Kecamatan Tambakrejo 61.185 2 jiwa dengan komposisi 30.738 laki-laki dan 30.447 perempuan. Mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam dan beternak. Dengan kondisi wilayah hutan yang cukup luas, masyarakat diuntungkan dengan ketersediaan pakan ternak yang cukup, meliputi lamtoro gong, gliresyde, hijauan makanan ternak, rumput gajah, dan setaria.

  Letak geografis Kecamatan Tembakrejo, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Purwosari, Selatan dengan Kabupaten Ngawi, Timur dengan Kecamatan Ngambon, dan Barat dengan Kecamatan Ngraho. Luas wilayah 209.52 km² yang merupakan wilayah kecamatan terluas di Kabupaten Bojonegoro atau tepatnya menempati sekitar 9% dari luas wilayah Kabupaten (2.307 km²). Berada di ketinggian 200-300 m² di atas permukaan air laut menjadikan kecamatan ini secara umum berhawa panas.

1. Kondisi Pertanian

  Potensi pertanian di Kecamatan Tambakrejo meliputi padi, jagung, singkong, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Potensi unggulan

  

11 Profil Kecamatan Tambakrejo yang disampaikan oleh Camat Tambakre-

jo, Ngasiaji, S.Sos, M.Si dalam kegiatan audiensi dan Focus Group Dis- cussion (FGD) tim peneliti UGM, 5 Oktober 2013, di Kantor Kecamatan Tambakrejo.

  

12 Berdasarkan dokumen laporan yang disampaikan oleh Achmad Moe-

chid, Petugas Teknis Pelaksana Peternakan dan Perikanan Kecamatan Tambakrejo, 5 Oktober 2013.

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

Gambar 3. Tanaman jagung milik warga

  tanaman pangan ada tiga yaitu padi, jagung dan singkong. Dari luasan 3305 ha lahan padi, produksi mencapai 25 ribu ton per tahun. Ada pula potensi tanaman hortikultura seperti mangga, pisang, cabai, tomat, dan belimbing. Selain itu, warga juga menanam tembakau, hingga saat ini ada sekitar 48 ha tanaman tembakau. Rata-rata lahan yang terdapat di wilayah tersebut adalah sawah tadah hujan yaitu seluas 3305 ha. Selain itu, luasan untuk tegal sekitar 1860 ha dan pekarangan 1464 ha. Adapun luasan hutan secara keseluruhan mencapai 20.000 ha tapi yang digarap hanya berkisar 5000 ha.Tanaman pangan yang dikembangkan antara lain padi jagung kedelai dan ubi kayu.

  Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah Kecamatan Tambakrejo pada 5 Oktober 2013, diketahui bahwa ada beberapa masalah pertanian yang sering dihadapi masyarakat. Misalnya terkait tanaman padi, ketika panen raya, harga padi relatif rendah. Sedangkan tanaman jagung cukup potensial, luasan area tanam jagung ketika musim kemarau hampir 80 persen luasan area tanam padi, sedangkan 20 persen sisanya adalah

  

Gambar 4. Potensi ubi kayu

  area tanam tembakau dan kedelai. Hanya saja, sebagian besar jagung dijual mentah dan tidak banyak masyarakat yang mampu mengolah jagung menjadi produk olahan yang lebih bernilai jual. Jagung dari Tambakrejo umumnya dijual ke luar daerah, misalnya ke Magetan. Di Magetan, jagung dari Tambakrejo dibuat olahan emping jagung. Di Tambakrejo sendiri, ada warga yang mengolah jagung, namun saat ini pengolahannya masih sebatas menjadi cemilan marneng (jagung goreng).

  Selain itu, potensi ubi kayu juga cukup banyak. Ubi kayu biasanya disetor ke wilayah kecamatan lain, misalnya ke Kecamatan Margomulyo, sebab disana terdapat pabrik tepung. Masyarakat Tambakrejo juga mengharapkan agar diusahakan adanya pabrik tepung di wilayah mereka. Menurut warga, pasar ubi kayu di Tambakrejo lebih luas daripada Margomulyo, dengan potensi ubi kayu yang juga lebih besar yakni lebih dari 350 ha. Sehingga dengan adanya pabrik tepung harapannya bisa menambah pendapatan petani. Sebab selama ini bagi warga yang tidak bisa mengakses ke Margomulyo, hasil penjualan ubi kayu sangat murah. Masyarakat Tambakrejo pernah mendapatkan bantuan alat pembuat A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  modified cassava flour

  (mokaf), harapannya agar singkong bisa dibuat tepung pengganti gandum. Namun sayangnya tidak ada contoh tepung yang sudah jadi, sehingga tidak banyak produk olahan dari singkong menjadi tepung tersebut.

  Di Tambakrejo terdapat lahan kedelai wilis sangat luas. Seperti halnya jagung dan ubi kayu, kedelai juga banyak dijual mentahan dan tidak sampai dibuat produk olahan tempe atau tahu. Menurut warga, adanya bantuan dan pelatihan kepada masyarakat untuk mengolah kedelai sangat penting. Sehingga harapannya tidak hanya dibuat menjadi tahu atau tempe, tetapi juga bisa dibuat kecap. Sebagian warga tertarik untuk mengembangkan kedelai hitam “malika” yang dibudidayakan UGM sebagai bahan kecap.

  Untuk potensi pisang, aktivitas ekonominya telah mempunyai ruang khusus di Pasar Kacangan. Transaksi pisang di pasar tersebut cukup tinggi, yang sebagian besar merupakan produk lokal dari Tambakrejo dan sekitarnya. Macam-macam pisang yang dijual di Pasar Kacangan antara lain pisang raja (Rp 100 ribu per 10 sisir), pisang sobo pipit (Rp 8 ribu per sisir), pisang kepok abang (Rp 8 ribu per sisir), dan adapula nama lokal yang bisa menjadi trademark, yaitu pisang subliro (susu blirik bojonegoro). Warga menyetor pisang setiap hari, tetapi setiap hari pasaran legi pasar pisang lebih ramai dari biasanya. Pisang yang dibawa warga ada yang dijual sendiri dan ada pula yang dibeli oleh pengepul. Pada setiap pasaran legi, umumnya pengepul dapat mengumpulkan 3 truk pisang untuk kemudian disetor ke luar daerah (misal Surabaya). Dan setiap 1 truk pisang, pengepul mendapatkan hasil sebesar Rp 30 juta.

  Potensi pertanian yang cukup baik tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan air. Di Tambakrejo terdapat sumber pengairan berupa waduk sebagai strategi penampungan air yang masih bersifat tadah hujan. Terdapat dua waduk yaitu Waduk Watang yang terletak di Desa Tambakrejo dengan luas 5 ha dan Waduk Rowo Glandang yang terletak di Desa Gading dengan luas 6 ha. Waduk yang tidak saja untuk pengairan, tetapi juga sarana pengembangan potensi perikanan. Selain itu, ketersediaan air juga ditunjang adanya embung yang terdapat di Desa Napis dengan luas 2,5 ha. Namun adanya waduk dan embung belum cukup untuk melebihi target produksi padi, sehingga perlu ada sistem pengairan yang lebih teknis dengan adanya irigasi yang baik. Seperti pada umumnya di wilayah Bojonegoro, sawah di Tambakrejo merupakan sawah tadah hujan yang mengalami satu kali masa panen. Dengan sarana dan prasarana perairan yang lebih memadai, diharapkan kedepan bisa dua kali panen. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mempunyai program 1000 embung sampai tahun 2014. Namun ada sedikit kendala dalam pembuatan embung. Tanah perhutani sulit dilobi untuk pembuatan embung. Kendala lainnya, banyak embung yang sudah dibuat, tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena salah penempatan atau kurang strategis.

2. Kondisi Peternakan

  Selain bertani, masyarakat Tambakrejo pada umumnya juga beternak. Potensi ternak yang terdapat kecamatan tersebut antara lain sapi potong, kerbau, ayam buras, kambing, dan domba (lihat Tabel 1). Hanya saja, para peternak masih mengelola ternaknya secara tradisional. Menurut informasi dari petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) Peternakan Kecamatan Tambakrejo, banyak kendala yang dijumpai di lapangan antara lain:

  1. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)

  2. Ketrampilan (skill) beternak masih tradisional

  3. Lembaga/kelompok masih pasif

  4. Manajemen pengelolaan ternak 5. Permodalan. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro telah mencoba mengatasi persoalan tersebut diatas dengan berbagai kegiatan program bantuan baik teknis maupun fisik. Bahkan kemitraan antar sektor juga telah berjalan dengan dibentuknya kluster sapi potong di Desa Napis dengan nama kelompok ternak A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  “Lembu Seto” bekerja sama dengan Bank Indonesia Cabang Surabaya, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Adapun bantuan yang telah diberikan kepada kelompok ternak “Lembu Seto” antara lain:

  • Sewa kantor sekretariat “Lembu Seto” di Desa Napis • Mobil pick up Panther 1 unit
  • Biogas (dari Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur)
  • Bantuan ternak sapi betina 39 ekor, jantan 1 ekor dari Dinas Propinsi Jawa Timur • Rumput gadjah sebanyak 33 ribu stek
  • Vaksinasi AI dan SE pada ayam dan ternak sapi (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro)
  • Pembuatan kandang, bantuan dari Bank Indonesia • Bantuan 3 ekor sapi jantan dari Bank Indonesia • Peralatan kantor dan pembentukan KSU dari Bank Indonesia • Diesel 7 pk dari Bank Indonesia • Bantuan Strow Brahman 250 dosis dari Dinas Peternakan • Bantuan sarana jalan produksi 3 km dari Dirjen Peternakan pusat
  • Pembentukan kelompok ternak: peternak kecil, sedang

  (kambing/domba), dan peternak besar (sapi)

  • Bantuan pinjaman lunak/kredit sapi, kambing, domba dengan masa waktu pengembalian dua tahun tanpa bunga (0%).
  • Bantuan hibah lewat musrenbang desa: ternak kambing PE dan domba Merino • Bantuan CSR Pertamina EP Cepu di Desa Kalisumber • Kegiatan penyelamatan sapi betina produktif di Desa Tanjung (kelompok ternak sapi “Sekar Tanjung”) dan Desa Pengkol (Kelompok ternak “Nusa Bakti”)
  • Pemberian insentif sapi betina produktif untuk kelompok ternak sapi “Tunas Melati Unggul” di Desa Bakalan.

  Selain itu, di Kecamatan Tambakrejo sudah dikembangkan kegiatan inseminasi buatan untuk sapi dan kambing. Jumlah petugas inseminasi buatan di Tambakrejo ada 3 orang dengan pembagian wilayah kerja sebagai berikut:

  • Tambakrejo Timur meliputi Desa Dolokgede, Desa Sendangrejo, Desa Turi, Desa Mulyorejo, dan Desa Kacangan (Petugas IB: Rusharjito)
  • Tambakrejo Tengah meliputi Desa Kalisumber, Desa Malingmati, Desa Tambakrejo, Desa Bakalan, Desa Gamongan, dan Desa Jawik (Petugas IB: Teguh Budiarto)
  • Tambakrejo Barat meliputi Desa Gading, Desa Pengkol, Desa Tanjung, Desa Sukorejo, Desa Ngrancang, Desa Napis, dan Desa Jatimulyo (Petugas IB: Ahmad)

  

Gambar 5. Ternak sapi milik warga Tambakrejo

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  30 A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

TABEL 3. DATA POPULASI TERNAK BESAR DAN KECIL BULAN SEPTEMBER 2013

KECAMATAN TAMBAKREJO

NO DESA/KELURAHAN SAPI POTONG KERBAU AYAM KAMBING DOMBA JANTAN BETINA JANTAN BETINA RAS BURAS JANTAN BETINA JANTAN BETINA

  2 4 - 2645 247 347 181 296

  18 KALISUMBER 464 395 - - - 2595 174 325 239 385 JUMLAH 6933 8438

  17 GAMONGAN 437 425 - - - 2750 115 245 215 325

  16 TANJUNG 138 212 - - - 2341 197 352 127 316

  15 PENGKOL 156 289 - - - 2150 148 284 182 254

  14 GADING 125 215 - - - 1560 124 235 215 271

  13 SUKOREJO 305 405 - - - 3156 225 413 241 310

  12 JAWIK 190 227 - - - 2254 182 177 176 312

  11 BAKALAN 325 519 - - - 2147 234 284 274 385

  10 TAMBAKREJO 415 485

  1 JATIMULYO 345 517 - - - 1575 172 385 205 296

  6 21 - 3180 392 625 587 675

  9 MALINGMATI 478 729

  8 DOLOKGEDE 205 245 - - - 2175 142 185 157 289

  7 SENDANGREJO 281 274 - - - 1850 186 212 145 256

  6 KACANGAN 147 262 - - - 2250 167 325 259 375

  5 MULYOREJO 315 512 - - - 2185 234 281 210 301

  4 TURI 525 542 - - - 1725 145 185 159 225

  3 NGRANCANG 472 535 - - - 2450 171 215 132 256

  2 NAPIS 1610 1650 - - - 2150 245 425 189 310

  8 25 41138 3500 5500 3893 5837 Sumber: Laporan Unit Pelaksana Teknis Peternakan dan Perikanan Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro Hasil sensus pertanian pada 2011 menunjukkan populasi sapi 3 kurang lebih 18000 ekor. Ketika harga sapi melonjak, para peternak beramai-ramai menjual sehingga jumlah sapi menurun. Saat ini populasi sapi masih berkisar 15000an.

  

Gambar 6. Ternak domba milik warga di Desa Kalisumber, Kecamatan

Tambakrejo.

  Karakter masyarakat Tambakrejo agak unik karena termasuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan pola pikirnya masih tradisional. Menggeser pola pikir masyarakat peternak dari tradisonal menuju pola pikir yang mampu selaras dengan permintaan pasar adalah upaya kelompok ternak yang sudah mapan. Adapun beberapa aspek pola pikir masyarakat yang berusaha diperbaiki adalah : Pertama, SDM karena keterbatasan tingkat pendidikan.

  Kedua

  , kelembagaan. Kadang-kadang dalam pola pikir masyarakat bahwa bantuan itu untuk kelompok dan tidak ada manfaat untuk pribadi. Ketiga, aksesibilitas permodalan. Keempat, manajemen pengelolaan ternak.

  Kelompok “Lembu Seto” saat ini ditugasi mendampingi kluster

  

13 Berdasarkan dokumen laporan yang di-sampaikan oleh Achmad Moe- chid, Petugas Teknis Pelaksana Peternakan dan Perikanan Kecamatan Tambakrejo, 5 Oktober 2013.

A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O sapi potong di Desa Napis. Bisa dikatakan bantuan sapi untuk kelompok tersebut cukup lancar. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur memberi bantuann sekitar 40 ekor dengan 39 betina dan 1 pejantan. Sedangkan dari Bank Indonesia, kelompok ternak mendapatkan bantuan tiga pejantan dan sebuah mobil pick up untuk kendaraan operasional.

  Dengan bantuan dan dampingan tersebut menjadikan kelompok Lembu Seto cukup kuat kelembagaannya. Sekretariat dan keperluan administrasi sudah mencukupi serta ditunjang kemampuan SDM untuk mengeoperasionalkan teknologi informasi. Koperasi serba usaha kelompok juga telah berjalan dengan baik dan mampu memberikan manfaat pada anggota-nya.

  Potensi peternakan juga terdapat di Desa Kalisumber yang terletak di Kecamatan Tambakrejo sebelah utara dan berbatasan dengan Kecamatan Purwosari. Pada awalnya peternakan di Desa Kalisumber berjalan secara tradisonal, artinya telah dimiliki dan dikelola pribadi oleh warga di rumahnya masing-masing. Namun

  

Gambar 7. Ternak kambing jawa milik warga Desa Kalisumber dengan letak wilayah desa yang berada di titik utama aktivitas pengeboran gas Tiung Biru menjadikan kondisi sosial yang cukup dinamis yang lantas Pertamina memberikan respon berupa bantuan kambing dan domba pada warga namun dikelola secara kelompok. Atas rekomendasi Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro, Pertamina EP Cepu menunjuk Lembaga Pemantau Kegiatan Publik (LPKP) untuk melakukan pendampingan pengembangan ternak di Desa Kalisumber. Setelah itu dilanjutkan pembentukan tiga kelompok ternak (masing-masing kelompok terdiri dari 30 orang) yang dilakukan Pemerintah Desa Kalisumber beserta kelompok masyarakat. Adapun bantuan yang diberikan oleh Pertamina EP Cepu kepada tiga kelompok tersebut yaitu:

  • Kelompok Ternak “Maju Jaya” mendapat bantuan 30 ekor kambing betina dan 3 ekor pejantan Ettawa • Kelompok Ternak “Sumber Barokah” mendapat bantuan 20 ekor kambing betina, 10 ekor domba betina, 2 ekor pejantan Ettawa, dan 1 ekor pejantan Domba Garut • Kelompok Ternak “Barokah Jaya” mendapat bantuan 30 ekor kambing betin dan 3 ekor pejantan Ettawa.

  Dengan waktu pendampingan yang belum cukup lama, menjadikan sebagian peternak masih memiliki pola pikir lama dalam mengelola ternaknya. Jika ada kebutuhan mendesak atau tengah berada di musim hajatan maka ternak menjadi sumber uang melalui penjualan ternak tanpa memperhatikan umur dan tingkat produktivitasnya.

  Terlepas dari persoalan pola pikir peternak yang masih menggunakan pola lama, sisi positif juga tidak bisa dimungkiri telah muncul dari aktivitas pendampingan di Desa Kalisumber. Para peternak saat ini sudah mulai menggunakan kandang panggung, tidak lagi menggunakan kandang lemprak demi menjaga kesehatan hewan ternak. Mereka juga sudah mulai menggunakan pakan yang terbuat dari fermentasi sehingga cukup menghemat waktu dan biaya dalam beternak. Sampai sekarang, sudah ada 15 ekor yang beranak dan 20 ekor bunting. A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

Gambar 8. salah satu kandang kambing kelompok ternak Ustan Mandiri

  Kelompok ternak perlu pengetahuan dan teknis beternak yang maju. Artinya, perlu ada teknik perawatan khusus mulai dari pemilihan bibit, pemberian pakan, bahkan untuk pembuatan serta perawatan kandang. Kelompok ternak “Ustan Mandiri” yang dirintis di desa Dolokgede mencoba menerapkan sekaligus mengembangkan teknik beternak yang lebih efektif. Berbekal pengalaman ketika studi banding di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, anggota kelompok ternak “Ustan Mandiri” mendapatkan ilmu baru dalam memelihara ternak. Hingga sekarang kelompok ini sudah mengembangkan hewan ternak seperti kambing, domba merino, sapi, ayam kampung, bebek, dan lele.

  Populasi ternak kambing di kelompok “Ustan Mandiri” ada sekitar 40 ekor dengan lama pemeliharaan rata-rata 4 bulan. Menurut ketua kelompok ternak “Ustan Mandiri”, M. Ali, harga jual kambing cukup potensial. Harga jual kambing pejantan Rp 1,5 juta, harga beli Rp 1 juta, dan ketika Idul Adha harga jualnya naik menjadi Rp 1,8 juta. Sedangkan, harga jual kambing betina bisa mencapai selisih Rp 300 ribu dari harga beli yaitu kurang lebih Rp 1,2 juta untuk satu induk bunting. Harga beli anakan kambing (cempe) jantan berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu untuk setiap cempe betina berusia 3

  

Gambar 9. Domba merino milik kelompok ternak Ustan Mandiri

  bulan. Sementara untuk cempe jantan berusia 3 bulan harga belinya Rp 600 ribu. Hasil ternak kambing dijual di Pasar Ngambon setiap hari pasaran legi. Peternak lebih suka menjual ternak ke pasar daripada didatangi pembeli karena selisih harganya mencapai Rp 50 ribu-Rp 100 ribu per ekor. Hanya saja, untuk penjualannya masih menggunakan sistem taksiran bukan dihitung per kilogram berat badan kambing.

  Peternak juga mengembangkan teknologi pakan berupa fermentasi. Bahan yang digunakan antara lain kacang giling, dedak, katul, ampas tahu, tetes tebu, dan garam beryodium. Target ADG 1 kg/mg dan kebutuhan pakan 1,5 kg/hari/ekor. Untuk pakan tersebut peternak mengeluarkan biaya Rp 1100/kg. Hanya saja, untuk membuat pakan tersebut peternak masih memiliki kendala sebab alat chooper kurang bagus sehingga gilingan yang dihasilkan tidak bisa halus. Selain mengembangkan pakan, peternak juga memanfaatkan kotoran kambing. Kotoran kering dibuat menjadi pupuk kering, biasanya untuk kebutuhan sendiri. Biasanya 6 ekor kambing menghasilkan 2 karung kotoran, dengan kapasitas 25 kg per karung, dijual dengan harga Rp 50 ribu.

  Di Tambakrejo, peternak juga mengembangkan ayam buras dan bebek. Saat ini ada pilot projek pengembangan ternak ayam buras A D A M I G A S D I L A D A N G P E T A N I B O J O N E G O R O

  

Gambar 10. Ternak ayam di Desa Kacangan