PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN RUMAH TANGGA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGAPUSAN KDRT (Studi Kasus Polres Kota Palu) Madia Sartika Benny D. Yusman Awaliah Abstrak - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN RUMAH TANGG

  

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN

RUMAH TANGGA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004

TENTANG PENGAPUSAN KDRT (Studi Kasus Polres Kota Palu)

Madia Sartika

  

Benny D. Yusman

Awaliah

Abstrak

  

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penegakan hukum tentang

kekersan dalam rumah tangga di Indonesia dari prospektif sosiologi. Soerjono

soekanto mengatakan bahwa efektif atau tidaknya penegakan hukum dalam

masyarakat di tentukan oleh beberapa faktor, yaitu apatar hukum, asilitas hukum,

kesadaran hukum, kaidah hukum, dan budaya hukum. Prespektif sosiologis di

pilih dalam kajian karena penegakan hukum tidak lain adalah upaya

melaksanakan hukum dalam masyarakat yang meniscayakan terjadinya interaksi

antara hukum sebagai ketentuan normative dengan unsur-unsur dalam

masyarakat, seperti nilai, institusi, norma dan lain-lain. Hukum tentrang

kekerasan dalam rumah tangga yang di berlakukan melalui Undang-Undang No.

20 Tahun 2003 hingga saat ini belum sepenuhnya dapat di tegakan secara efekti untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT.

  Kata kunci : penegakan hukum, KDRT, prespektif sosiologis.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

  Setelah hampir tujuh tahun di KDRT hanya ada sebatas teks tertulis berlakukan, UU ini di satu sisi menuai saja tanpa di sertai upaya konkrit dan banyak pujian karena di anggap dapat sistematis untuk mewujudkannya. mengatasi sebagian persoalan KDRT Tulisan ini bermaksud menulusuri lebih dengan lebih mudah , namun di lain sisi dalam bagaimana pengalaman mengundang kritik yang tidak sedikit. penegakan hukum terhadap KDRT, Hal ini mengundang pertanyaan mengapa korban KDRT, baik laki-laki bagaimana menegakan hukum KDRT, maupun perempuan tidak selalu bisa di apakah aparat hukum serius lindungi oleh Negara dan masyarakat menerapkan Undang-Undang ini, atau sebagaimana yang di amanatkan oleh justru semangat melindungi koraban hukum. Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan untuk menggambarkan perilaku, baik berumah tangga, sebagaimana yang yang terbuka (overt) atau tertutup dikonsepsikan dalam Undang Undang (covert), baik yang bersifat menyerang Nomor 23 Tahun 2004 tentang (offensive) atau yang bertahan Penghapusan Kekerasan Dalam (defensive), yang disertai penggunaan

1 Rumah Tangga selanjutnya disebut kekuatan kepada orang lain. Oleh

  UU PKDRT, adalah sebagai berikut karena itu secara umum ada empat

  2 Kekerasan dalam Rumah Tangga jenis kekerasan:

  adalah setiap perbuatan terhadap 1. kekerasan terbuka, kekerasan yang seseorang terutama perempuan, yang diliat, seperti perkelahian berakibat timbulnya kesengsaraan atau 2. kekerasan tertutup, kekerasan yang penderitaan secara fisik, seksual, tersembunyi atau tidak dilakukan psikologis, dan/atau penelantaran seperti mengancam; rumah tangga termasuk ancaman untuk

  3. kekerasan agresif, kekerasan melakukan perbuatan, pemaksaan, atau dilakukan tidak untuk perampasan kemerdekaan secara perlindungan, tetapi untuk melawan hukum dalam lingkup rumah mendapatkan sesuatu, seperti tangga”. Sarana non penal inilah penjabalan; dan kekerasan sesungguhnya ruang bagi etiologi defensive, kekerasan yang kriminologi untuk berperan maksimal dilakukan untuk perlindungan diri. dalam mnembahas KDRT. Di sini Baik kekerasan agresif maupun etiologi criminal menerobos bagaimana defensive bisa bersifat terbuka atau efektifitasnya non penal dengan tertutup prespektif defenisi mempergunakan optic psikologi, kekerasan di atas lebih menekankan psikiatri dan sosiologi criminal untuk pada sifat dari sebuah kekerasan. membedah KDRT bahkan menawarkan Bagaimana sebuah kekerasan itu solusi agar penal menjadi ultimum disebut terbuka, tertutup, agresif,

  

remedium dan bukan primum dan ofensif. Kiranya ini akan dapat

. remedium 2 Douglas, Jack D. & Frances Chaput Waksler;

  Menurut Douglas dan Waksler

  Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan; Ghalia Indonesia; 2002, Hlm. 16 1 istilah kekerasan sebenarnya digunakan

Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

  dihubungkan dengan kekerasan macam apa yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.

  Sally E. Merry,

  3 “Kekerasan adalah... suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”.

  Sangat filosofis pendapat Sally ini, namun dapat ditangkap maknanya bahwa perilaku kekerasan sangat berkorelasi dengan kehausan akan bagaimana mengekspresikan dirinya, bahwa dialah yang memiliki kekuatan (power) dan karenanya dia pun patut melakukan apa saja termasuk kekerasan baik terhadap isterinya bahkan anak-anaknya.

  Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya bersifat fisik seperti melempar sesuatu, memukul, menampar, sampai membunuh. Namun juga bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman. Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan psikologi/kejiwaan. Dari kasus-kasus seperti di atas, ternyata masih banyak kasus kekerasan terhadap isteri yang tidak di 3 Blok Jurnal Hukum, Perlindungan Terhadap

  perempuan melalui Undang-undang Kekerasan

  laporkan dengan alasan, bahwa hal ini merupakan urusan intern keluarga. Suatu penomena dalam masyarakat, Indonesia yang menganggap bahwa menceritakan keburukan atau tindak kekerasan yang di lakukan oleh suami sendiri adalah seperti membuka aib keluarga sendiri pada hal kita ketahui bersama bahwa tindakan suami tersebut merupakan suatu tindakan kriminal.

  Pemahaman mengenai konsep perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

  4 Pengertian

  mengenai perkawinan diatur dalam

  Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“.

  Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Walaupun dalam 4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan

  Undang-undang Perkawinan, Liberty, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada beberapa pasal yang mampu menjerat perlakukan kekerasan ini, namun tindak kekerasan suami terhadap istri masih sering terjadi.

  Latar belakang diberlakukannya undang-undang ini adalah sebagaimana dapat dibaca dalam bagian menimbang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004,yang antara lain menyatakan:

  “Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus diha pus”.

  Berdasarkan Latar Belakang yang telah diuruaikan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kekerasan Rumah Tangga di Kota Palu

  2. Apa saja yang menjadi hambatan- hambatan dalam pemberian perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Rumah Tangga.

  Berdasarkan UU PKDRT bentuk perlindungan terhadap korban KDRT dapat berupa: Pertama, penanganan oleh pihak kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 hari dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama tenaga kesehatan, sosial, relawan, dan pendamping rohani untuk melindungi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruangan pelayanan khusus di kepolisisan dengan system dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Terhadap pelaku KDRT berdasarkan tugas dan wewenang kepolisian dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup disertai dengan surat perintah penahanan ataupun tanpa surat penagkapan dan penahanan yang dapat diberikan setelah 1 x 24 jam. perlindungan oleh pihak advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban

B. Rumusan Masalah

II. PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Polres Kota

  korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sidang pengadilan melalui koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja social. Diskriminasi terhadap perempuan sudah lama ditentang oleh masyarakat internasional dengan adanya Convention on the Elimination of Discrimination of All Forms against Women tahun 1978 (CEDAW). Konvensi ini sudah diratifikasi oleh pemerintah dengan Undang-undang Nomor

  7 Tahun 1984. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, maka menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut ke dalam hukum nasional. Salah satu perwujudan aturan dalam konvensi CEDAW ke dalam sistem hukum nasional kita adalah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya ditulis UU PKDRT). Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender untuk melindungi perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan dari pelanggaran HAM. CEDAW yang cukup revolusioner telah menjamin hak-hak perempuan perkawinan dan kesehatan. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya harus menjamin perolehan hak-hak secara de jure tetapi yang terpentingsecara de facto. Sesungguhnya CEDAW merupakan senjata ampuh bagi perempuan menentang segala bentuk diskriminasi.

  Sebelum adanya Undang- Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP (tentang Penganiayaan) dan

  Pasal 356 KUHP(Pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik aduan.

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

  Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun dan bunker. Beberapa unsur kata perlindungan :

  1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak,menjaga,memelihar a,merawat,menyelamatkan.

  2. Perlindungan: proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal

  (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan berlindung).

  3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi.

  4. Terlindung: tertutupi oleh sesuatu hingga tidak kelihatan.

  5. Lindungan: yang di lindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan.

  6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung.

  7. Melindungkan: membuat diri terlindung. Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu, dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan masyarakat lain. Dalam hubungan hukum ini. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

  Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule Of Lawkarena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep Rechtsct muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada konsep negara hukum (rule of Law ) yang dipelopori oleh A.V.Dice

  Menurut Grolman sebagai mana di kutip Yesmil Anwar memidanaan dalam hukum dimaksudkan sebagai cara untuk melindungi masyarakat dengan cara membuat pelakunya jera dan tidak membahayakan.

  5 Secara sosialogis Aparat hukum

  adalah orang atau pihak yang bertugas menerapkan hukum. Pengertian ini mencakup lingkup yang sangat luas, yakni meliputi petugas pada tingkat atas, menengah dan kebawah, juga meliputi tugas pelaporan, penyelidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum, petugas memiliki suatu pedoman yang memuat pengaturan di setiap tingkat maupun di setiap unit kerja.

  Kesadaran hukum umumnya dipahami sebagai kerelaan warga negara untuk tunduk pada hukum dalam arti mematuhi larangan dan menjalankan perintah yang tercantum dalam aturan hukum dan kesadaran atas nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada 5 Yesmil Anwar dan Andang, Pembaharuan

  Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana , atau tentang hukum yang di harapkan sejak diberlakukannya undang-undang

  6

  ada. Paradigma tersebut menurut PKDRT, komnas perempuan mencatat soetandyo kesadaran masyarakat akan peningkatan kasus KDRT yang didata hak-haknya dikatakan penting sebab oleh pengadilan negri dan pengadilan akan menjadikan warga bisa terhindar agama mengalami peningkatan paling dari perilaku diskriminatif dari orang tinggi dibandingkan dengan jumblah lain, termasuk pemerintah. Selain itu, KDRT dari lembaga-lembaga lain. mereka dapat menempuh langkah yang

  Pasal 11, pemerintah bertanggung tepat apabila dalam kenyataannya jawab dalam upaya pencegahan KDRT. benar-benar mengalami pelanggaran

  Pasal 12 (1) untuk melaksanakan hak. Dalam hal KDRT kesadaran ketentuan sebagaimana di maksud hukum yang diharapkan oleh undang- dalam pasal 11, pemerintah : undang setidak-tidaknya meliputi: a. Merumuskan kebijakan tentang

  1. Sadar bahwa ada hukum yang penghapusan kekerasan dalam melarang melakukan tindakan rumah tangga kekerasan terhadap sesama anggota

  b. Menyelenggarakan komunikasi, dalam suatu rumah tangga. informasi, dan edukasi tentang

  2. Sadar bahwa setiap anggota suatu kekerasan dalam rumah tangga rumah tangga memiliki hak c. Menyelengarakan sosialisasi terbebas dari perlakuan KDRT oleh dan advokasi tentang kekerasan anggota keluarga lainnya. dalam rumah tangga dan

  3. Sadar bahwa dalam diri setiap

  d. Mentelenggarakan pendidikan masyarakat melekat kewajiban dan pelatihan sensitif gender untuk memeberikan perlindungan dan isu kekerasan dalam rumah korban KDRT sesuai dengan tangga serta menetapkan kemampuan masing-masing. standard an akreditas pelayanan yang sensif gender.

  Tingkat kesadaran yang lebih tinggi dapat dilihat pada laporan komisi (2) ketentuan sebagaimana yang nasional perempuan. Bahwa satu tahun dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 6 oleh menteri. (3) mentri dapat

  Husain Kasim, H.M. Djafar Saidi dan Husen Alting, “Legal Awareness of Tax Obligation

  melakukan koordinasi dengan instansi

  and Retribution towards the increase of the Regional Original Revenue of City of Tidore Archipelago “, Paper, Pascasarjana Universitas terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

  7 Pasal 44 (1) Setiap orang yang

  melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000.00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana 7 Pasal 11 Undang-undang No. 23 Tahun 2004

  Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

  penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

  B. Hambatan-hambatan Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  1. Faktor hukumnya sendiri Ada sedikit permasalahan dalam hal ini, karena ternyata dalam UU Nomor

  23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak ditemukan pengertian yuridis dari rasa sakit, jatuh sakit, atau luka bera,padahal pengertian ini paling penting untuk menentukan dan membuktikan jenis perbuatan yang dilakukanolehpelaku/tersangka/terd akwa,karenanya pengertian- pengertian tersebut harus dicari dalam KUHP dan Yurisprudensi.

  Tindak pidana kekerasan fisik ini merupakan delik aduan. Jadi kasus kekerasan fisik bisa diadili di pengadilan bila ada aduan terlebih dahulu. Selain itu, Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT memungkinkan suatu delik aduan bisa di cabut.

  2. Faktor petugas penegak hukum Petugas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih banyak yang bersikap bias gender, bahkan acapkali menggunakan pendekatan victim blaming dan victim participating dalam merespon kasus kekerasan. Korban kekerasan memiliki keraguan, kekhawatiran, dan ketakutan untuk melaporkan kejadian yang dialami. Korban merasa takut pada proses hukum yang akan dijalani. Kesadaran dan kepekaan gender para penegak hukum masih kurang, sehingga kadang-kadang korban justru menjadi objek. Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Gender alam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPTPKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/ pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. (SPPT- PKKTP) menuntut adanya penegak hukum yang memiliki visi berkeadilan gender dan tidak bias gender Kasus KDRT terkadang sulit untuk diproses. Biasanya mengalami kesulitan dalam hal pembuktian (saksi biasanya tidak ada), perkara dicabut oleh korban sendiri (karena cinta/ karena perkara nafkah).Lembaga Kepolisian, ditemukan adanya kekurangsiapan

  Ruang Pelayanan Khususnya (RPK). Idealnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ditangani oleh polisi wanita. Namun demikian saat ini jumlah Polwan masih sangat terbatas.

  Lembaga Kejaksaan, yang melaksanakan tugasnya sebagai penuntut umum, berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2004. Selain itu Kejaksaan juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana, dalam hal ini tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Hakim, mempunyai andil besar dalam perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Hakim berhak memutuskan perkara, sehingga dengan adanya pidana yang dijatuhkan kepada pelaku bisa memberi perlindungan dan pencegahan terjadinya tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga. Hakim bebas menjatuhkan pidana kepada pelaku. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.

  3. Faktor sarana dan fasilitas. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Dalam hal sarana dan fasilitas, di wilayah hukum Polres Kota Palu telah ada LSM yang bergerak di bidang kewanitaan. Akan tetapi belum bisa maksimal dalam melakukan pendampingan. Terlebih wilayahnya sangat luas. Selain itu, belum adanya pendampingan korban oleh LSM untuk dengan memberikan pendampingan terhadap korban secara litigasi maupun non litigasi. Pendampingan ini penting, karena untuk dapat mengembalikan kepercayaan diri korban, dan juga untuk mengembalikan trauma.

   Kesimpulan

  1. Perlindungan oleh pihak advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT, serta mendapingi korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sidang pengadilan melalui koordinasi 8 Dorkas Setiawati Penyidik PPA

  (Perlindungan Perempuan dan Anak), Palu,

  dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja social. perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 tahundan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari setelah pelaku tersebut melakukan pelangaran atas peryatan yang ditandatanganinya mengenai kesangupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. pelayanan kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT.

8 III PENUTUP A.

  2. Hambatan atau kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban KDRT yaitu:Faktor hukumnya sendiri, di mana kelemahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu terletak pada delik aduan, dimana meskipun sudah jelas-jelas perbuatan yang dilakukan pelaku adalah tindak pidana dan bertentangan dengan Hak Asasi pengaduan dari korban maka undang ini dalam menyelesaikan pelaku tidak dapat dituntut atas kasus-kasus kekerasan rumah tangga tindak pidana yang dilakukannya. dengan baik sehingga dapat Faktor petugas penegak hukum, memberikan perlindungan kepada yaitu petugas penegak hukum isteri sebagai korban kekerasan (polisi, jaksa, hakim) masih banyak suami

  .

  yang bersikap bias gender, bahkan 2. perlu melengkapi Pemerintah acapkali menggunakan pendekatan berbagai peraturan-perundangan di victim blaming dan victim tingkat nasional, daerah yang telah participating dalam merespon kasus dibuat untuk mendukung kekerasan. penanganan komprehensif terkait kekerasan terhadap perempuan

  dengan menyediakan perangkat Adapun saran dari penulis pelaksanaan yang memadai, yaitu: termasuk mekanisme sosialisasi dan penguatan kapasitas di lingkungan

B. Saran

  1. para penegak hukum dan Untuk birokrasi negara dan lembaga- masyarakat, perlu diadakan lembaga penegak hukum. Petunjuk sosialisasi dan pelatihan-pelatihan teknis untuk memastikan tentang permasalahan kekerasan pelaksanaan yang tepat guna dan dalam rumah tangga, khususnya peka gender oleh aparat kekerasan terhadap isteri.Dengan pemerintahan di tingkat nasional adanya Undang-undang No. 23 hingga daerah Alokasi anggaran Tahun 2004 tentang Penghapusan negara secara berkelanjutan untuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelaksanaan dan monitoring- diharapkan semua pihak dapat evaluasi Sistem pendataan nasional memahami keberadaan undang- yang akurat dan relevan bagi undang ini, khususnya kepada perbaikan sistem penanganan petugas penegak hukum dapat kekerasan terhadap perempuan mengimplementasikan undang- kedepan.

DAFTAR PUSTAKA A.

   Buku-Buku

  Hatta, Mohammad, sistem peradilan pidana terpadu, Yogyakarta, Galang Press, 2008

  Friedman, Lawerence W, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta; 2011

  Romli Atmasasmita, Kapita selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995) Atmasasmita, Romli; Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System); Bina Cipta; Bandung; 1996

  Douglas, Jack D. & Frances Chaput Waksler; Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan; Ghalia Indonesia; 2002 B.

   Artikel internet

Blok Jurnal Hukum, Perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang

kekerasan dalam rumah tangga:analisa perbandingan antaraIndonesia dan India,

diakses 23 April 2009 diakses 23 April

2009

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di akses tanggal

  2009

  10 juli C.

   Peraturan perundang-undangan

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Peraturan Menteri pemberdayaan perempuan Nomor 1 Tahun 2010 tentang standar pelayanan minimal bagi layanan terpadu perempuan dan anak korban kekerasan

  Wawancara

  Wawancara dengan DorkasSetiawati selaku penyidik pembantu PPA Polres Palu, Tanggal 16 Juni 2016