PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (Studi Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dam Korban (Studi pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(2)

5. Bapak Shafruddin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Sudirman Mechsan, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Terima Kasih Kepada Kedua Orang Tuaku,dan Kakak,Adik Adik Ku Yang Sangat Ku Sang Yang Selama Ini Menyemangati,Kalian Tak Akan Ku Lupakan

10. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

11. Buat teman seperjuanganku,Nando,Nanda,Borneo,Ariza,Catur, terimakasih atas hari-hari penuh tawa yang telah kita lewati bersama.

Semoga amal kebaikan serta ketulusan hati kalian semua mendapat imbalan dan rahmat dari Allah SWT. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis,


(3)

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA

PEMERKOSAAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 13 TAHUN 2006 TENTANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (Studi Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)

Nama Mahasiswa : Forandra Rachman No. Pokok Mahasiswa : 0742011158

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman., S.H., M.H. Maya Shafira ., S.H., M.H. NI P. 19611231 198903 1 023 NI P. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NI P. 19620817 198703 2 003


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman., S.H., M.H. ...

Sekretaris/ Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Shafruddin, S.H., M.H. ...

2. PJ. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NI P. 19621109 198703 1 003


(5)

Teriring do a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT

atas rahmat dan hidayah-Nya serta Junjungan Tinggi Rasulullah

Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayahanda Akuan Effendie dan Ibunda Nirva Diana

tercinta, yang telah merawat dan membesarkanku dengan

penuh cinta dan selalu memberikanku kasih sayang serta do a

restu yang selalu dihaturkan dan dipanjatkan kepada Allah

SWT, demi keberhasilanku

dan masa depanku

adikku Annisa Sarastia dan Dzikrikal Khawarismi

serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih

sayang,

do a dan dukungannya

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani,

memberikan dukungan dan do anya untuk keberhasilanku,

terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu

yang kita lalui bersama


(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan salah satu fenomena sosial yang selalu ada dan melekat pada setiap kehidupan masyarakat terbebas dari kejahatan. Kejahatan disini dapat dilakukan oleh pelaku dengan tindakan ancaman dan kekerasan. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan tarhadap perempuan, ini terjadi karena adanya niat tertentu, peluang serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan dilakukan hingga melipat gandakan terjadinya perbuatan tersebut.

Perempuan korban pemerkosaan pada dasamya mengalami penderitaan yang sangat dilematis. Secara fisik, berarti mereka telah hilang keperawanan (Virginitas) atau kemungkinan korban hamil, secara psikis (emosional) pemerkosaan berarti trauma dan penderitaan seumur hidup oleh karena kehilangan harapan akan masa depan. Pandangan masyarakat yang cenderung "menyalahkan korban" (blamed in the victim) semakin membuat korban tidak dipedulikan keberadaannya. Keadaan demikian membuat korban lebih sulit dalam menentukan jalan hidup, korban menjadi tidak berdaya dan putus Korban menjadi tidak bersemangat nasibnya bila tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar.

Peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan makin meningkat dari tahun ketahun, baik secara kualitas maupun kuantitas hal ini ditandai dengan terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang disertai tindak pidana lain hal ini seharusnya mulai menjadi masalah serius terutama diwilayah Bandar Lampung, dimana pada tahun 2008 sampai dengan bulan November 2011 ada 71 kasus kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan.


(7)

Angka ini akan bertambah besar dengan kejadian yang tidak terpantau oleh media massa atau korban tidak melaporkan kejadian. Tindakan ini dilakukan karena, rasa malu korban dan keluarga, korban malu dan merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini tidak menjamin dipidananya pelaku, lebihlebih bila secara sosial maupun ekonomi kedudukan pelaku dan keluarga pelaku lebih tinggi.

Prosedur pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan pengadilan yang harus dilalui oleh korban menambah daftar penderitaan bagi korban karena hanya menjadi saksi dalam hal ini adalah saksi korban. Melihat sudut kepentingan korban, jelas bahwa pendekatan hukum pidana tidak memadai karena mengandung kelemahan-kelemahan prosedural seperti keharusan adanya dua saksi, visum atau alat bukti lain, tetapi hukum pidana juga tidak menaruh perhatian akan penderitaan traumatik pada korban.

Menyikapi peristiwa pemerkosaan yang terjadi, pelaku rata-rata mendapatkan pidana dari 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah pasal 281 KUHP. Pidana ini dirasakan ringan bila dibandingkan dengan derita dan depresi yang dialami korban seumur hidup. Tidak terlepas dari produk

hukum yang ada, bahwa hukum masih sarat dengan nilai kekuasaan. Perlu kiranya pengetahuan demi kepastian dan tertib hukum untuk mengembangkan wibawa hukum serta penguasa sebagai abdi dan pengayom masyarakat (Arif Gosita, 1985:41).

Perempuan korban pemerkosaan dapat menuntut ganti kerugian akibat perbuatan pelaku jika perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadiian Negeri menimbulkan kerugian bagi korban. Pengajuan dapat dilakukan


(8)

selambat-lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana, tetapi masih berlaku pandangan bahwa kalau korban ingin menuntut ganti rugi maka dia (korban) harus menempuh jalan yang tidak mudah dan pada kenyataan hanya sekedar formalitas saja

Berlangsungnnya budaya kekuasaan saat ini menggambarkan hubungan hukum yang tidak menjamin kepastian kepentingan publik, karena seperti apapun kepandaian ahli hukum dalam menyusun hukum tetulis dan memberikan sanksi berat terhadap pelanggaran hukum. Hal ini tetap tidak akan merubah keadaan dimana hukum akan berlaku sejauh hubungan dengan orang yang tidak mampu, sedangkan bagi golongan elit, hukum berada dalam genggaman tangan mereka (Setiawan, 1997;71)

Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan satu-satunya pasal yang secara eksplisit menyebut kata pemerkosaan. Pasal ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menetukan adanya pidana minunal yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemerkosaan, menurut Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Pun pidana minimal yang diberikan

hanya 3 (tiga) tahun penjara. Hal ini dirasakan masih jauh dari harapan korban pernerkosaan untuk kembali merasa normal dalam kehidupan bermasyarakat selanjutnya.

Atas pemikiran yang telah tetuang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian skripsi berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang Undang nomor 13 Tahun 2006. (Studi Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)


(9)

1. Permasalahan

Permasalahan yang akan diajukan penulis dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana perlindungan hukum diberikan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban?

2. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup subtansi penelitian ini tidak terlalu luas dan tersusun secara sistematis maka penulis membatasi ruang Iingkup hukum pidana, terutama mengenai pembahasan permasalahan perlindungan terhadap wanita yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan setelah berlakunya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban beserta peraturan

pelaksanaannya. Adapun lokasi penelitian adalah pada kepolisian Resort Kota Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tajuan penelitian

Berdasarkan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :


(10)

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum diberikan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban?

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum?

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006.

b. Kegunaan Praktis '

Penelitian ini untuk menambah wawasan berpikir dan mampu memberikan, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan kajian kepada pihak-pihak yang memerlukan dan dapa.t dijadikan bahan awal guna dilakukannya penelitian lebih lanjut.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1) Kerangka Teoritis

Penegakan hukum terdapat didalamnya pasangan nilai-nilai yang perlu diserasikan umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai


(11)

ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedanglcan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan, Kaidahkaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi dari pada penegakan hukum secara konsepsional.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan mi akan dibatasi pada undang-undang saja.


(12)

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dan penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas di sini, dengan cara mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dan kehidupan masyarakat Indonesia.

2) Koseptual

Setiap Penelitian merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep dan merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah atau pengertian. Konsepsional dijadikan sebagai kerangka acuan, pada dasarnya untuk pemahaman terhadap permasalahan yang timbul dalam penelitian ini.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini, maka di bawah ini terdapat beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami penelitian ini, antara lain:


(13)

1. Korban kejahatan adalah mereka (perempuan) yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kebutuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi yang menderita (Arif Gosita, 1985:41). 2. Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki atau

lebih terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut dan atas hukum yang berlaku adalah melanggar (Sooetandyo, W).

3. Kejahatan Kesusilaan adalah kejahatan yang dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melanggar norma-norma kehidupan (HAM) yang mana sifatnya mutlak dimiliki setiap manusia sejak lahir, dengan terjadinya kejahatan kesusilaan tersebut maka harga diri dan masa depan seseorang tidak ada lagi (Wirjono prodjodikoro, 1984:115-116). 4. Perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita/perempuan yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kamanusiaan serta kekerasan dapat terjadi di dalam masyarakat, tempat kerja atau lingkungan sosial (LSM DAMAR).

5. Tidak ada seorang perempuan yang diperkosa karena penampilannya, melainkan karena kemauan pelaku yang tinggi/besar untuk memperkosa perempuan tersebut (ELSAPA, 1997).

6. ELSAPA adalah lembaga Advokasi Perempuan dan Anak yang terbentuk atas keprihatinan terhadap semakin bertambahnya pelaku kekerasan, ketidakadilan dan tidak demokrasinya terhadap perempuan dan anak-anak.

7. LSM DAMAR adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial khususnya pemerhati masalah wanita dan anak-anak, DAMAR merupakan nama baru dari ELSAPA yang berganti nama pada tanggal 10 Februari 2000.


(14)

8. Rumah Aman adalah Rumah/tempat yang dipergunakan untuk mengamankan dan memulihkan kondisi traumatik korban pemerkosaan (kesusilaan).

Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) merupakan bagian dari Satuan Reskrim polri yang khusus menangani tindak pidan kesusilaan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini memuat uraian secara keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengapa penulis membuat jadwal " Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban ". Kemudian akan dirumuskan permasalahan dan ruang lingkup untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian.


(15)

Selanjutnya diuraikan kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan pemahaman kepada pengertian-pengertaian tentang pokok bahasan dalam ha1 ini, pokok bahasan memuat pengertian korban kejahatan pemerkosaan, perempuan sebagai korban pemerkosaan, faktorfaktor yang mempengaruhi upaya hukum. Faktor-faktor pendukung dan penghambat fungsionalisasi hukum pidana dan upaya-upaya fungsionalisasi hukum pidana.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan metode yang dipergunkan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau tata cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang proses Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum.


(16)

Bab ini berisikan kesimpulan secara singkat dari hasil penelitian dan beberapa saran penulis dengan pemecahan permasalahan yang dibahas.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita, 1985,Masalah Korban Kejahaatan,Akademika Pressinda. Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian tlukum, IiiPress, Jakarta

---,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Raja Grafindo Persada, 2011

Rama K, Tri.2001. Kamus Lengkap Bahasa Indondesia.Karya Agung. Surabaya

Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM.DAMAR ) ELSAPA, 1997. Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Pemerkosaan

Peranan korban mempengaruhi penilaian penentuan hak dan kewajiban serta. penyelesaian pada suatu tindak pidana. Korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional mengenai pembuatan dirinya sebagai korban.

1) Mendapat perlindungan, bantuan penasehat hukum dan mempergunakan upaya hukum. 2) Melaporkan kepada pihak kepolisian secara cepat dan memberikan keterangan yang

jelas.

3) Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan. 4) Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku. 5) Menolak saksi bila hal itu dapat membahayakan dirinya.

Beberapa hak dan kewajiban korban yang perlu mendapat perhatian untuk mempertimbangkan manfaat agar diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi keadilan dan kepastian hukum, dimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan

pidana adalah keterangan saksi dan korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dimana penegakkan hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana ini mengatami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan korban, disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun fisikis dari pihak tertentu.


(18)

B. Pengertian Korban Kejahatan Pemerkosaan

1. Korban Kejahatan

Korban kejahatan adalah mereka yang menderita secara, jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat perbuatan orang lain untuk mencari pemenuhan kebutuhan diri disini pengertiannya adalah korban perorangan atau individual yang disebut dengan viktimisasi primer, dan korban bukan perorangan atau misalnya suatu badan atau organisasi atau lembaga, pihak adalah impersonal, kolektif komersial yang disebut viktimisasi skunder (Arif Gosita, 1585:79).

Masyarakat terutama korban makin tipis kepercayaan kepada hukum, bukan hanya karena pidana pengadilan terhadap pelaku dinilai terlalu ringan, tetapi berkaitan juga dengan dua hal mendasar:

Pertama, konstruksi yuridis hukum (KUHP) itu sendiri terhadap kejahatan keji semacam itu sejak lahir memang diskriminatif terhadap wanita. Konstruksi hipotesis pasal 285 KUHP dibangun dengan pandangan positivis-rasional sebagaimana membangun pasal pasal kriminal lain yang dalam konteks ini sama sekali tidak memasukkan derita korban pada rancangan yuridisnya.

Kedua, berkaitan dengan birokrasi penegakan hukum itu sendiri yang dinilai "tidak manusiawi dan menyakitkan" buat korban disbanding pemerkosa itu sendiri. Prosedur berperkara yang harus dilalui korban atau keluarganya dinilai dan dirasakan "berbelit", sekaligus memperlama penyelesaian kasus dan memperpanjang penderitaan korban. Sebaliknya korban pemerkosaan, mereka kehilangan kehormatan dan harga diri yang tidak mungkin diganti, dibeli atau


(19)

disembuhkan sekalipun mencincang pelaku hingga mati berkali-kali (Suparrnan Marzuki, 1997:100-102).

Kajahatan kekerasan terhadap perempuan, khususnya pemerkosaan disatu sisi dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan juga mencemaskan perempuan, masyarakat dan kemanusian. Disisi lain terdapat realitas sosialbudaya, Yaitu "menyuburkan" pemerkosaan seperti mitos-mitos berkaitan, dengan jenis kelamin, budaya "diskriminatif', budaya "tukang suap", hukum yang. "tidak adil". Kejahatan sekarang rneningkat, resiko menjadi korban menjadi lebih besar, sebab pokoknya adalah karena kemunduran otoritas institusional dan kewibawaan hukum (Arif Gosita, 1985:57).

Peningkatan korban kejahatan terjadi karena kurangnya usaha pencegahan yang dilakukan seperti penyuluhan dan pembiaran penyimpangan disengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu. Pencurahan perhatian Hukum Pidana Indonesia lebih dititikberatkan pada pelaku daripada korban. Selain itu, UndangUndang Pidana Indonesia seolah-olah membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara pelaku dan korban.

2. Pemerkosaan

Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang Ielaki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan hukum yang berlaku adalah melanggar. Pengertian seperti ini, apa yang disebut pemerkosaan disatu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dilain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa (perkosaan terjadi karena penampilan korban yang memancing nafsu birahi pelaku) (Soetandyo W, 1997:25).


(20)

Pemerkosaan diklasifikasikan dalam 5 kategori :

1. Sadistic Rape, yaitu pemerkosaan sadis yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan desdruktif.

2. Anger Rape, yaitu pemerkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sarana untuk menyatakan serta melepaskan geram dan amarah yang tertahan.

3. Dominatio Rape, yaitu pemerkosaan karena dorongan keinginan pelaku untuk atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

4. Seductive Rape, yaitu pemerkosaan karena dorongan situasi "merangsang" yang diciptakan kedua belah pihak.

5. Exploitation Rape, yaitu pemerkosaan yang diperolehnya keuntungan atau situasi dimana wanita bersangkutan dalam posisi tergantung secara ekonomis.

Melihat kenyataannya tindak pidana pemerkosaan bisa merupakan kombinasi kelima hal tersebut diatas

Terutama untuk wilayah hukum Bandar Lampung terjadi pada kategori Seductive Rape, yaitu meIibatkan pelaku tunggal sebagai pelaku pemerkosaan karena dorongan situasi“merangsang" yang diciptakan kedua belah pihak (Workshop Draft Kebijakan Pelayanan Perempuan Korban kekerasan di Bandar Lampung, 17 Januari 2007).

Pemerkosaan telah dikenal dan diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan, yaitu pasal 285 KUHP, berbunyi :

"Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".


(21)

Perkosaan yang dimaksud adalah : Adanya pemaksaan, Korban bukan istri sendiri, Adanya persetubuhan (Penjelasan KUHP Pasal 285)

Unsur-unsur diatas berlaku secara kumulatif artinya untuk dapat dikatakan suatu pemerkosaan harus memenuhi unsur tersebut.

Pemberitaan yang dieksploitasi media massa tentang pemerkosaan tidak dibahas sampai putusan hakim terakhir, tetapi terbatas hanya pada penyidikan terhadap pelaku. Tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum ini tidak diketahui langsung oleh korban dan keluarganya, masyarakat yang membaca berita di media massa mengakibatkan korban merasa tidak dianggap sama sekali di mata hukum dan masyarakat. Jangankan mengadu kepihak terkait, untuk menceritakan pada keluarga terdekatpun tidak dilakukan, disebabkan ada ancaman pelaku kepada korban untuk melakukan tindak pidana lain yang merugikan korban.

Tindak pemerkosaan di Bandar Lampung secara umum dilakukan orang yang sudah kenal korban dengan perencanaan yang baik, mengamati kegiaatan seharihari dan akan melakukan perhitungan kapan kesempatan baik bagi pelaku untuk melakukan pemerkosaan. Unsur yang ada memang kesempatan, tetapi sebenarnya hal yang lebih dominan dalam tindak pidana pemerkosaan ini adalah kemauan pelaku dan tidak datang dari korban (S.N Laila 2008).

Bila seorang perempuan diperkosa, tidak jarang kesalahan dan tanggung jawab terjadinya peristiwa tersebut malah dilimpahkan pada diri mereka (korban). Sebuah mitos yang hidup dan berkembang bahwa perempuan pada dasarnya penggoda.


(22)

Berdasarkan penelitian ELSAPA tahun 1997 menyimpulkan tidak ada perempuan diperkosa karena penampilan, melainkan kemauan pelaku yang tinggi untuk memperkosa perempuan tersebut.

Pemerkosaan dapat menimpa siapa saja yang kebanyakan kaum perempuan tanpa membedakan penampilan, usia, bagaimana hubungan antara keduanya (korban dan pelaku) serta dari kelas mana dan sebagainya. Lokasi dan waktu tindak pidana pemerkosaan dilakukan tidak dapat ditentukan, semua tergantung pada kesempatan yang ada bagi pelaku.

Penelitian korban pemerkosaan melalui Draft Kebijakan Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan di Bandar Lampung pada awal 2009 menyebutkan, korban pemerkosaan banyaklah yang masih belia (dibawah umur), sementara korban lainya diatas 18 tahun berpenampilan wajar. Bahkan pada tahun 2008 teradapat 6 (enam) kasus korban pemerkosaan yang korbannya adalah anak/remaja dibawah umur (belum dewasa) dan lebih tragis lagi korban diperkosa kerabat atau orang yang hubungannya dekat dengan korban.

Perwujudan ketimpangan historis dari hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan telah mengakibatkan dominasi dan deskriminasi kaum laki-laki terhadap perempuan yang merupakan hambatan bagi kemajuan mereka Hal ini tidak dapat dipungkiri melihat pada apa yang telah dialami kaum perempuan Indonesia umumnya.

C. Perempuan Sebagai Korban Pemerkosaan

Perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Sepanjang perjalanan sejarah, perempuan tidak jarang menjadi objek dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dan bukti-bukti serta kerentanan perempuan selalu dapat dihadirkan.


(23)

Diberbagai tempat, tindak kekerasan terhadap perempuan ini telah menjadi sesuatu yang patut mendapat perhatian. Lebih tragis lagi apabila perkawinan dianggap sebagai legitimasi formal kekuasaan laki-laki terhadap jiwa raga perempuan.

Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang memberikan tuntutan moral dan bukan tuntutan yuridis-formal bagi relasi suami-istri, diantaranya adalah surat AthThalaq :65

"Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, janganlah kamu menyusahkan mereka sehingga meyempitkan atau menyesatkan hati mereka".

Demikan pula banyak hadist menganjurkan suami untuk berlaku baik terhadap istri mereka, diantaranya hadist Riwayat Moeslim :

"Kamu suami punya hak atas istrimu begitu pula istrimu punya hak atas kamu, mereka adalah amanat Allah ditanganmu karena itu kamu harus memperlakukan mereka dengan kebaikan".

Metihat cerminan dimana kemuliaan seorang perempuan sangat tinggi baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dimata Allah, alangkah menyesal dan meruginya ia (perempuan) bila sampai kehilangan kehormatan akibat perbuatan laki-laki tidak bertanggung jawab.

Pada kejahatan pemerkosaan kolektif diketahui, bahwa sebagian besar para penjahat mempunyai citra yang mengecilkan harga diri perempuan. Perempuan adalah objek yang harus menurut, tunduk dan menderita. Tidak pernah didapatkan suatu ikatan berperasaan terhadap perempuan tersebut untuk menjalani hidup tanpa harus ada tekanan dari manapun. Ia harus dimilki dan dikuasai oleh laki-laki (Arif Gosita, 1985:89).


(24)

Dari sinilah muncul angggapan-anggapan bahwa perempuan itu bertanggung jawab atas pemerkosaan yang menimpa diri mereka, bahwa perempuan memang "ingin" diperkosa bahkan "minta" diperkosa. Hal tersebut merupakan salah satu alasan atas rendahnya pidana yang diberikan pada pemerkosa karena sistem hukum mencerminkan pensikapan masyarakat terhadap kasus perkosaan. menjatuhkan vonis bersalah kepada laki-laki yang dituduh melakukan pemerkosaan.

Perempuan yang diperkosa dikatakan oleh masyarakat sebagai barang rusak, kotor dan ternoda. Anggapan seperti ini dilestarikan oleh masyarakat, sehingga tidak heran perempuan korban pemerkosaan akan sulit mendapatkan suami bahkan yang bersuami dapat diceraikan.

Setiap kasus yang ada berhubungan dengan korban antar orang-perorangan, tetapi terjadinya korban dapat juga struktural. Pelaku dan korban keduanya mempunyai suatu struktur yang sedikit banyak kabur atau tidak jelas. Seseorang dapat merasa dirinya sebagai korban dari struktur yang ada. Dia dapat merasa sebagai pelaku bila tidak dapat menjelaskan perannya sebagai saksi dalam sidang pengadilan.

Perempuan korban pemerkosaan banyak memilih diam dan tidak menceritakan kepada siapapun juga kejadian yang menimpa diri mereka untuk selama-lamanya. Ini menjelaskan secara gamblang kesulitan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika masyarakat menuntut pengakuan dari korban pemerkosaan massal pada mei tahun 1998.

Stigma dan pidana yang dijatuhkan masyarakat terhadap korban pemerkosaan membuat perempuan tidak bisa bersikap seperti korban kejahatan politik lain, seperti penculikan dan penyiksaan, mereka bisa berkeliling untuk membuata ceramah dan bercerita dengan penuh


(25)

harga diri peristiwa yamg menimpanya secara lebih ritual dan kejam. Perempuan menjadi korban pemerkosaan untuk kedua kali disaat ia harus membuktikan bahwa ia telah dipekosa dan menjadi korban untuk ketiga kalinya disaat masyarakat menghakimi mereka dengan memposisikan korban sebagai barang rusak, kotor dan ternoda serta tidak berharga.

Korban pemerkosaan menjadi korban dan yang menjadikan korban adalah orang lain. Walaupun secara teoritis badan hukum atau badan lain yang bukan orangperorangan secara fisik dapat juga menjadi korban atau pembuat korban. Pada hakekatnya yang menjadi korban adalah pendukung, penganut, badan atau organisasi tersebut yang merasa tersinggung perasaannya.

Seringkali dapat dikatakan masyarakat sendirilah yang salah dalam hal ini, karena dianggap memberikan kesempatan pada hal tertentu. Tertuang pada pasal yang selain pasal 285 KUHP terdapat pasal 286; 287; 288 KUHP, masyarakat berperan untuk mengurangi lebih banyak korban. Hampir setiap negara dan masyarakat sedikit banyak adalah kriminogen dan dapat menimbulkan korban.

Pasal-pasal yang mengatur tentang wanita selain Pasal 285 KUHP Pidana , ada pasal lain yaitu 286; 287 ayat (I), (2); 288 ayat(1), (2), (3) KHUP. Bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pada pasal 286 KUHP tindak pidana yang dilakukan sama dengan Pasal 285 KUHP, hanya pasal ini dijelaskan tindak pidana yang dilakukan terhadap wanita dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan. Wanita disini menjadi korban karena perbuatan orang lain. Pasal 287 lain lagi, pidana dapat diberikau atas pengaduan korban. Tindak pidana ini


(26)

merupakan delik aduan, yaitu tindakan dapat dikatakan tindak pidana dan dapat dipidana untuk diajukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari yang dirugikan (korban). Dipidananya pelaku tergantung bagaimana korban melaporkan terlebih dahulu secara cepat perbuatan itu dilakukan. Merupakan tindak pidana cabul pada ayat ke-2 nya.

2) Pasal 288 KUHP tindak pidana dilakukan dalam perkawinan. Apabila setelah perkawinan yang sah tindakan dilakukan tanpa persetujuan wanita dpat dikatakan kejahatan dalam keluarga atau bisa mengakibatkan Marital Rape (kejahatan kekerasan dalam keluarga).

Selain dari pada pasal tersebut juga, wanita korban pemerkosan pada dasarnya dapat menunutut ganti rugi atau rehabilitasi terhadap apa yang telah dialaminya sesuai aturan pada KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yaitu

pada Pasal 98 tentang ganti rugi, berbunyi :

(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk mengabulkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim mengajukan putusan".

Kemungkinan lain yang timbul bahwa korban tidak mengharapkan dapat merubah keadaan sosial dan dianggap sebagai nasibnya segala sesuatu yang telah terjadi. Keadaan ini korban


(27)

sedikit banyak ikut serta dalam menciptakan iklim yang memudahkan dirinya menjadi korban. Korban disini tidak dapat menyalahkan orang lain secara penuh dalam hal ini menjadi korban. Mengenai kerugian korban atas yang menimpanya, ia dapat menuntut ganti kerugian sesuai deritanya. Pasal 98 KUHP telah mengatur itu, dengan prosedur yang memang tidak menerangkan secara terperinci tetapi cukup dapat dimengerti oleh korban. Korban mempunyai hak dan kewajiban yang akan disebutkan berikutnya.

D. Kedudukan dan Peranan Korban Pemerkosaan dari Aspek Yuridis

Berbicara mengenai kedudukan korban dalam tindak pidana akan menyinggung peranan serta hak dan kewajiban korban. Peranan korban mempengaruhi penilaiaan penentuan hak dan kewajiban serta penyelesaian pada suatu tindak pidana. Korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional mengenai pembuatan dirinya sebagai korban. Pertimbangan penentuan hak dan kewajiban adalah taraf keterlibatan tanggung jawab fungsional dalam tindakan pidana.

Hak dan kewajiban korban dalam tindak pidanan adalah sebagai berikut (Arif Gosita, 1983:52)

Hak korban :

1. Mendapat kompensasi atas penderitaan sesuai kemampuan pelaku memberikan dan taraf keterlibatan atau peranan korban dalam terjadinya kejahatan.

2. Menolak kompensasi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukan).


(28)

4. Menolak saksi bila hal itu dapat membahayakan dirinya.

5. Mendapat perlindungan, bantuan penasehat hukum dan mempergunakan upaya hukum.

Kewajiban korban:

1. Melaporkan kepada pihak kepolisian secara cepat dan memberikan keterangan yang jelas. 2. Berpartisipasi mengurangi jumlah korban lebih banyak lagi.

3. Mencegah kehancuran pelaku baik oleh diri sendiri maupun orang lain. 4. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku. 5. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.

Beberapa hak dan kewajiban korban yang perlu mendapat perhatian untuk mempertimbangkan manfaat agar diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi keadilan dan kepastian hukum. Kita harus bekerja mempertimbangkan kemampuan subyektif mereka diasuh sedemikian rupa, sehingga dapat merasakan ada keadilan tindakan yang diberikan pada mereka (pengayoman). Studi forensicpsikiatri paling berguna sesuai dengan kesedian penerima pidana.


(29)

Kedudukan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam tatanan masyarakat bernegara, bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja, proses panjang telah berlangsunghingga masyarakat di seluruh dunia sepakat untuk menempatkan hukum sebagai salah satu pedomantertulis yang harus dipatuhidalam rangka mencapai ketertiban, keamanan dan keadilan bersama. Namun demikian dalam proses pelaksanaannya, terjadi beragam permasalahan sehingga hukum tidak bisa begitu saja ditegakkan, faktor-faktor sosial budaya, kondisi psikologis, tendensi politik dan berbagai kepentingan individu serta kelompok sering mempengaruhi penegakan atau upaya hukum.

Masalah pokok yang dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor yang mungkin mempegaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatif nya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor- faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri atau undang-undang. 2. Faktor penegak hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas. 4. Faktor masyarakat.


(30)

DAFTAR PUSTAKA

Gosita, Arif,Masalah Korban Kejahaatan ,Akademika Pressindo, Jakarta. 1985 Muhammad, Abdul Kadir,Etika Profesi Hukum, , Citra Aditya Bakti, Bandung. 2001 ELSAPA.Lembaga Advokasi Permpuan dan Anak.Karya Agung. Surabaya. 1997 LSM.DAMAR. Lembaga Swadaya Masyarakat.

Soekanto, Soerjono.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakcm Hukum.Raja Cmafindo Persada, 2011


(31)

II. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan ditunjang oleh pendekatan secara yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama atau mempergunakan data sekunder yang diantaranya ialah dengan mempelajari dan menelaah perundang-undangan, asasasas, mempelajari kaedah hukum, teori-teori, doktrin-doktrin hukum, pandangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan tinjauan Yuridis mengenai Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dikaitkan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban beserta paraturan Pelaksanaannya di Bandar Lampung. Pendekatan ini dikenal dengan nama pendekatan kepustakaan atau studi dokumentasi, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, surat keputusan serta dokumen resmi yang berhubungan dengan penelitian ini.

Pendekatan yuridis empiris dilakukan melalui penelitian lapangan dengan melihat hukum dan kenyataan, dengan tidak menyampingkan pokok permasalahan yang akan diangkat.

B. Jenis dan Sumber Data

Setiap penelitian adalah gejala-gejala yang dihadapi ingin diungkapkan kebenarannya dan hasil gejala tersebut disebut data, (Soejono-Soekanto, 1986:7). Adapaun dalam mendapatkan data


(32)

atau jawaban yang tepat dalam membahas penelitian ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan hukum baik bahan hukum primer, skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, seperti : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

3. Undang-undang no 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan dan pendapat membantu menganalisa mengenai bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum yang terkait dengan penulisan.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi informasi, petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa kamus dan pendapat-pendapat, bukubuku tentang hukum dan teknologi telekomunikasi, artikel-artikel mengenai perlindungan hukum yang diberi kepada wanita korban tindak pidana pemerkosaan.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan berhubungan dengan masalah yang dibahas, bertujuan untuk mendapatkan fakta dan


(33)

tanggapan dari responden mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Undangundang no 13 Tahun 2006 ( Tentang Perlindungan Saksi dan Korban )

C. Penentaan Populasi dan Sampel

1) Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga ( Singarimbun, 1989 : 152 ). Populasi dalam penelitian ini adalah Anggota kepolisian, Anggota hakim di pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lembaga swadaya masyarakat, dan Korban pemerkosaan di Bandar Lampung.

2) Sampel adalah sebagai individu yang diselidiki dalam suatu peneltian (Singarimbun, 1989: 153). Dalam menentukan metode patposive sampling yaitu suatu metode mengambil sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas petimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dalam pencapaian tujuan penulisan skripisi ini adalah sebagai berikut :

a. Anggota Kepolisian Kota Besar Bandar-Lampung : 2 Orang b. Hakim Anggota di Pengadilan Negeri Tanjung-Karang : 1 Orang c. Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) : 2 Orang d. Korban Pemerkosaan di Bandar Lampung : 1 Orang Jumlah : 6 Orang


(34)

1. Prosedur Pengumpnlan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Studi Kepustakaan(Library Research)

Studi kepustakaan yaitu prosedur pengumpulan data sekunder melalui buku-buku, literature-literatur, atau perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi lapangan (Field Research)

Yaitu prosedur pengumpulan data primer secara langsung terhadap objek penelitian, untuk memperoleh data yang valid dalam bentuk data primer dilakukan dengan cara antara lain : observasi yaitu prosedur pengumpulan data primer secara langsung terhadap penelitian yang dilakukan di Sat Reskrim Unit PPA. Observasi dilakukan guna mengetahui jenis perlindungan apa yang diberikan kepada korban pemerkosaan.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan setelah semua data berhasil dikumpulkan, baik dari perpustakaan maupun dari lapangan, kemudian diperiksa guna mengetahui terhadap kekurangan atau kesalahan. Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan menggunakan metode :


(35)

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b. Klasifikasi, yaitu proses pengelompokan data sesuai dengan bidang pokok bahasan memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematisasi Data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasa secara sistematisasi sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Untuk menganalisa data dipergunakan secara kualitatif dan didukung oleh analisis secara kualitatif. Analisis kualitatif di pergunakan untuk mengaji aspek-aspek normatif mengenai perlindungan terhadap wanita yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan setelah berlakunya UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta peraturan pelaksanaannya di wilayah hukum Bandar lampung serta faktor penghamabat dalam proses penyidikan terhadap kasus pemerkosaan.

DAFTAR PUSTAKA

Gosita, Arif,Masalah Korban Kejahaatan ,Akademika Pressindo, Jakarta. 1985 Muhammad, Abdul Kadir,Etika Profesi Hukum, ,Citra Aditya Bakti, Bandung. 2001 ELSAPA.Lembaga Advokasi Permpuan dan Anak.Karya Agung. Surabaya. 1997 LSM.DAMAR. Lembaga Swadaya Masyarakat.

Soekanto, Soerjono.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Raja Crrafmdo Persada, 2011


(36)

(37)

1

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan:

1) Perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan sejauh ini masih mengacu kepada Pasal 285 KUHAP terutama dalam hal penyidikan. Meskipun dalam pasal tersebut hanya mengatur tentang sanksi/ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku, Pihak penyidik tetap memperhatikan kondisi korban baik fisik maupun psikisnya.

Dalam hal pemberian perlindungan terhadap wanita yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan, sejauh ini yang dilakukan pihak penyidik bekerjasama dengan instansi dan element masyarakat (Dinas Sosial dan LSM Damar) antar lain:

a. Mengamankan jiwa korban dari berbagai macam ancaman pihak luar (pelaku).

b. Memulihkan kondisi fisik korban yang hampir semua korban pemerkosaan mengalami luka (tindak kekerasan).

c. Memperhatikan dan berupaya memulihkan kondisi psikis korban yang mana tetap diutamakan dari pihak keluarga yang berperan penuh dalam hal ini.

d. Selama dalam proses pemeriksaan saksi (korban) disarankan agar korban tingga/berada di Rumah Aman yang disediakan oleh Dinas Sosial, LSM Damar dan Polisi. Hal ini bertujuan agar korban


(38)

2

memperoleh suasana yang tenang sehingga kondisi korban dapat segera pulih.

Menurut Undang-undang Nomor: 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dan berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana.

2) Kendala maupun hambatan yang ditemui oleh penyidik dalam proses penanganan perkara pemerkosaan antara lain:

a. Korban sulit ditemui untuk dilakukan pemeriksaan, hal ini dikarenakan korban merasa malu atas peristiwa yang dialami, terlebih belum siapnya korban untuk bertemu dengan orang lain.

b. Tidak adanya saksi-saksi yang mendukung pemeriksaan perkara tersebut selain saksi korban.


(39)

3

c. Pengaduan masyarakat untuk permintaaan perlindungan kepada pihak kepolisian terlalu kaku.

d. Batas waktu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam hal memutuskan dalam memberikan perlindungan terlalu singkat.

e. Tidak ada mekanisme perlindungan sementara bagi saksi korban dalam kondisi darurat.

f. Tidak adanya kerjasama antara LPSK dengan lembaga lain dan masyarakat secara lebih efektif.


(40)

4

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka pada akhir penulisan ini penulis memberikan saran sebagai berikut:

1.a. Sebaiknya dalam pemberian perlindungan hukum kepada korban tindak pidana pemerkosaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 selain pada KUHAP.

b. Agar kiranya pihak kepolisian bekerjasama dengan instansi dan LSM terkait lebih intensif dalam melakukan penyuluhan mengenai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

2.a. Sebaiknya dibentuk Unit Polisi Wanita yang khusus memeriksa atau menyelidiki korban perkosaan agar ia (korban) bisa lebih terbuka dan berterus terang akan keadaan dirinya dan tidak malu sehingga pidana dapat diberikan paling maksimal kepada pelaku.

b. Agar pihak yang berhak melakukan permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi/korban.

c. Sebaiknya untuk perlindungan seperti relokasi dan penggantian identitas jangka waktu keputusan pemberian perlindungan haruslah ditambah dan diperlukan mekanisme perlindungan sementara bagi saksi dalam kondisi darurat.

d. Agar LPSK dibantu oleh lembaga lainnya dalam memberikan perlindungan dan pelaksanaan UU ini harus membuka peluang peran serta masyarakat dalam melakukan perlindungan terhadap saksi.


(41)

(42)

(43)

(44)

(45)

(46)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAPOR TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 15 26

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi (Justice Collaborator) Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

1 8 50

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 5 19

EFEKTIVITAS PASAL 5 UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Pada Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung)

0 2 3

Optimalisasi Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 2

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 35

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 52

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 4