ANALISA MANAJEMEN RANTAI PASOK AGRIBISNIS TEMBAKAU SELOPURO BLITAR BAGI KESEJAHTERAAN PETANI LOKAL Kuntoro Boga Andri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km.4, PO Box 188 Malang, 65101, Indonesia kuntorogmail.com AB
ANALISA MANAJEMEN RANTAI PASOK AGRIBISNIS TEMBAKAU
SELOPURO BLITAR BAGI KESEJAHTERAAN PETANI LOKAL
Kuntoro Boga Andri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km.4, PO Box 188 Malang, 65101, Indonesia
kuntoro@gmail.com
ABSTRAK
Jawa Timur memiliki berbagai jenis tembakau lokal. Dari hasil survey keragaaan tembakau di Jawa dan Madura diketahui di Propinsi ini terdapat sekitar 15 jenis tembakau. Kontribusi agribisnis tembakau lokal Selopuro di Blitar terhadap perekonomian dan manfaat sosial oleh pengusahaan tembakau baik kearah hulu (backward linkage) maupun kearah hilir (onward linkage) sangat besar. Meskipun sentra produksinya di Kecamatan Selopuro, namun areal pengembangan agribisnis tembakau ini telah berkembang sampai ke Kabupaten Malang, Kediri dan Tulungagung. Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus sampai dengan Desember 2009, melalui kegiatan survey lapang, diskusi kelompok (FGD), dan studi pustaka melalui dokumen yang diperoleh dari dinas terkait, pemerintah daerah dan industri tembakau lokal. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengidentifikasi manfaat secara ekonomi dan sosial bagi petani lokal, (b) Mengidentifikasi struktur pasar komoditas ini, (c) Identifikasi dan analisa mekanisme tataniaga komoditas yang telah berjalan, (d) Menentukan strategi dan kebijakan perbaikan tataniaga dan manajemen tembakau lokal ini. Hasil penelitian menunjukkan, terdapat masalah-masalah internal yang dihadapi dalam rantai pasok agribisnis tembakau Selopuro. Masalah internal dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu di tingkat on-farm, off farm dan kelembagaan. Pengembangan agribisnis tembakau lokal ini harus terkendali dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi perdesaan, sosial, dan memberikan lapangan pekerjaan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup yang sehat dan memenuhi kebutuhan industry rokok dan konsumen tembakau. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan pemahaman: (a) Perlunya memperhatikan keseimbangan antara permintaan dan penyediaan (supply and demand) produk ini, (b) Agribisnis tembakau yang efisien serta menjaga lingkungan hidup yang sehat (tanah, air, udara,flora dan fauna), (c) Menjaga kelangsungan pengusahaan tembakau dengan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, (d) Menerapkan Good
Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufactural Practices (GMP) dalam
pengusahaan tembakau, (e) Menjaga kelangsungan agribisnis melalui kemitraan yang baik dengan lembaga-lembaga terkait baik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta. Kata kunci: Tembakau selopuro, analisa rantai pasok, tanaman tradisional, produk unggulan lokal, Blitar
PENDAHULUAN
Jawa Timur memiliki berbagai jenis tembakau. Dari hasil survey keragaaan tembakau di Jawa dan Madura pada tahun 1989 diketahui bahwa di Propinsi Jawa Timur terdapat sekitar 15 jenis tembakau. Berdasarkan waktu penanamannya, jenis tembakau dibagi atas dua jenis yaitu: 1) tembakau bahan cerutu (Na- Oogst disingkat NO) yang ditanam pada akhir musim kemarau dan dipanen pada musim hujan, 2) tembakau bahan sigaret atau keretek (Voor-Oogst disingkat VO) yang ditanam pada akhir musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Areal tanamannya tersebar mulai dari bagian paling barat (Kabupaten Ngawi) sampai bagian paling timur (Kabupaten Banyuwangi)(Abdulrachman, et al., 1998, Murdiyati et al., 2004).
Dari sisi sejarahnya, pertama kali tembakau ditanam di pulau Jawa pada tahun 1600 oleh orang
- –orang Portugis, kemudian pada tahun 1650 penanamannya mulai tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1830 benih yang diperkenalkan dari Manila Filipina ditanam di Kerawang dan Pasuruan. Antara tahun 1870
- – 1875 terjadi perluasan areal tanaman tembakau, dan banyak dikembangkan di wilayah Jawa Timur seperti Kediri, Pasuruan (Malang), Besuki, Probolinggo, Lumajang dan Selopuro (Blitar). Pada saat itu, umumnya varietas tembakau yang ditanam adalah keturunan hibrida tembakau Manila dan Havana (Balittas, 1989) (Santoso, 2001, Murdiyati et al., 2004).
Kontribusi agribisnis tembakau terhadap perekonomian dan manfaat sosial oleh pengusahaan tembakau baik kearah hulu (backward linkage) maupun kearah hilir (onward linkage) di wilayah Jawa Timur temasuk Blitar sangat besar. Saat ini areal penanaman tembakau tersebar di 21 kabupaten dengan luas rata-rata per tahun sebesar 110.813 ha dengan total produksi sebesar 83.292 ton Sebagian besar jenis tembakau yang diusahakan adalah tembakau Voor-Oogst (102.742 ha) dan sisanya adalah tembakau Na-Oogst (8.071 ha)(Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 2008, Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 2009).
Dari pengamatan dan beberapa pengkajian yang telah dilaksanakan sebelumnya, permasalahan utama dalam mengembangkan komoditas tembakau dari Selopuro adalah aspek pemasaran. Pada aspek pemasaran ini posisi petani sebagai pengasil komoditas tembakau sangatlah lemah ditandai dengan tidak adanya daya tawar yang kuat serta panjangnya tata niaga. Masih adanya ketidak sempurnaan pasar dan informasi yang asimetris menyebabkan tingginya biaya transaksi dalam pemasaran produk pertanian (Dietrich, 1994). Untuk meningkatkan efisiensi yang menguntungkan sistem ekonomi secara keseluruhan dan secara kusus meningkatkan pendapatan petani tembakau, maka sangatlah diperlukan sinergi antara petani tembakau, pelaku tataniaga dan pabrik rokok untuk mendapatkan tata niaga yang efektif dan efisien bagi para pemain didalamnya
Efektifitas tata niaga komoditas dan saprotan penunjang khususnya untuk agribisnis tembakau merupakan hal yang penting dalam keberhasilan pengembangan industri tembakau di wilayah pengembangan Selopuro-Blitar. Pertama yang perlu dilihat dalam kegiatan ini adalah keunggulan dari komoditas tembakau Selopuro secara ekonomi kepada petani maupun secara sosial kepada masyarakat setempat. Selanjutnya diteliti mengenai kondisi tata niaga dari komoditas yang diteliti, seberapa besar posisi tawar petani, seberapa efisiennya rantai pasar yang ada, dan mekanisme yang berjalan melalui pendekatan metoda menejemen rantai pasok (SCM).
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengidentifikasi manfaat secara ekonomi dan sosial bagi petani lokal, (b) Mengidentifikasi struktur pasar komoditas ini, (c) Identifikasi dan analisa mekanisme tataniaga komoditas yang telah berjalan, (d) Menentukan strategi dan kebijakan perbaikan tataniaga dan manajemen tembakau lokal ini. Dengan diperolehnya strategi perbaikan Manajemen Rantai Pasok dari komodits tembakau Selopuro Blitar di Jawa Timur, maka akan mendukung pengembangan agribisnis di wilayah tersebut yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan perekonomian daerah. Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus sampai dengan Desember 2009, melalui kegiatan survey lapang, diskusi kelompok (FGD), dan studi pustaka melalui dokumen yang diperoleh dari dinas terkait, pemerintah daerah dan industri tembakau lokal. Pengkajian dilaksanakan pada beberapa wilayah yaitu: (1) Wilayah lokasi produksi dari komoditas tembakau Selopuro Blitar, (2) Kawasan pasar sekitarnya dalam kaitannya dengan aliran/rantai pasok hasil komoditas unggulan ini, (3) Kunjungan ke pelaku pasar, gudang dan industri tembakau/rokok.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Wilayah Produksi Tembakau SelopuroWilayah penanaman tembakau lokal di Jawa Timur, tersebar di 20 Kabupaten/Kota seperti yang disajikan pada Tabel 1. Lokasi lahan yang selama ini dipergunakan untuk penanaman tembakau lokal seperti Selopuro memang merupakan areal lahan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas tembakau yang dikehendaki pasar dan memiliki bentuk pengolahan lahan tembakau spesifik lokasi (Site Specific Tabacco Land Management = SSTLM). Kendala produksi tembakau seperti yang dijumpai di wilayah Blitar umumnya terletak pada perubahan cuaca global yang sulit diprediksi dan pengolahan tanah tidak dilakukan untuk menciptakan struktur tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tembakau.
Tabel 1. Produksi dan Luas Areal Tembakau di Jawa Timur, Tahun 2007 No Kabupaten Areal Produksi
Target Realisasi Target Realisasi
1 Ponorogo
64
14
2 Mojokerto 184 241
3 Blitar 597 384 500 423
4 Magetan 707 490
5 Banyuwangi 816 367
6 Nganjuk 898 1.697
7 Tuban 150 1.044 135 923
8 Tulungagung 1.087 910
9 Lumajang 2.387 1.116 3.510 2.022
10 Ngawi 1.667 1.333 1.500 1.081
11 Situbondo 1.882 1.330
12 Jombang 5.278 3.695 4.750 2.582
13 Lamongan 4.620 3.526
14 Sampang 5.261 3.119
15 Bojonegoro 12.014 6.646 9.900 8.309
16 Bondowoso 7.521 6.651 6.650 5.423
17 Probolinggo 9.596 9.804 12.475 11.765
18 Jember 11.354 14.763
19 Sumenenp 11.750 19.412 7050 8.930
20 Pamekasan 27.917 31.367 16.750 16.625 Jumlah 82.503 101.771 67.395 72.457
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 2008
Berdasarkan data Tabel 1, realisasi produksi dari petani tembakau di Blitar, khususnya Selopuro dan sekitarnya masih sangat rendah dibandingkan kabupaten lain di Jawa Timur. Melihat kecilnya pasokan tembakau dari wilayah ini maka ada dua pendekatan sederhana yang dapat diambil dengan asumsi permintaan pasar tembakau tetap yaitu pertama dengan meningkatkan luasan areal pertanaman sejalan/pararel dengan dengan perbaikan tataniaga pertembakauan di wilayah ini, dan atau yang kedua membina petani tembakau tradisional untuk meningkatkan kualitas hasil produk mereka sehingga kesejahteraan pelaku agribisnis tembakau akan meningkat.
Berdasarkan hasil survei di lapangan dapat dijumpai masalah-masalah internal yang dihadapi dalam sistim produksi tembakau Selopuro. Masalah internal dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu di tingkat on-farm, off farm dan kelembagaan. Pada tingkat on- farm permasalahan ini meliputi: telah terdapat indikasi degradasi lahan diberbagai wilayah penghasil tembakau, penyediaan air untuk kebutuhan tanaman yang semakin berkurang terutama pada musim kemarau, penanaman tembakau yang cenderung berkembang ke wilayah di luar spesifik lokasi, penguasaan lahan oleh petani yang semakin sempit dan belum bersertifikat, penyediaan sarana produksi (pupuk, benih, pestisida) yang belum memadai, sumber daya manusia pada pengusahaan tembakau pada umumnya belum mampu menyesuaikan dengan tuntutan teknologi budidaya. Semua hal diatas telah mengakibatkan sulitnya produktifitas dan kualitas sesuai harapan pasar.
Pada tingkat off-farm permasalahan ini meliputi: perkembangan selera pasar baik didalam maupun di luar negeri, impor tembakau yang belum bisa disubtitusi, perdagangan antar daerah (kabupaten, propinsi) telah menyebabkan sulitnya mempertahankan spesifik lokasi jenis tembakau akibat tercampurnya berbagai jenis tembakau, persyaratan konsumen semakin meningkat dalam hal ambang atas kandungan residu pestisida, kandungan bahan kimiaberbahaya lainnya dan tuntutan kandungan tar dan nikotin rendah, banyaknya rokok illegal, registrasi mesin rokok pada industry belum diatur, tenaga kerja yang berkaitan dengan tembakau baik di on-farm maupun off- farm belum terdata lengkap, serta ketergantungan industri rokok terhadap “saos” impor.
Masalah kelembagaan pada tingkat petani belum seluruhnya terbentuk organisasi yang dapat berperan aktif di dalam menampung segala kepentingan petani. Pada tingkat birokrat belum ada kelembagaan sentral (propnsi dan kabupaten) yang bersifat koordinatif dan komperehensif. Belum ada koordinasi di bidang penelitian secara terpadu baik antar pemangku kepentingan (stakeholders).
Tembakau Selopuro merupakan bahan baku rokok kretek. Meskipun sentra produksinya di Kecamatan Selopuro, namun areal penanamannya saat ini telah berkembang sampai ke Kabupaten Malang dan Tulungagung (Tabel 2). Varietas lokal yang ditanam petani setempat berfariasi sesuai dengan selera dan kebiasaan masing masing. Varietas yang paling banyak di tanam adalah Kanongo, diikuti Rejeb Emprit, Rejeb Jahe dan rejeb Lulang, serta sisanya menanam Sompok dan Tukluk. Kontribusi dari usaha tembakau ini bagi petani yang menanamnya berkisar antara 20-40%.
Menurut informasi pedagang pengepul, anak buah bandol, dan bandol sendiri, tembakau ini memiliki karakteristik yang spesifik, khususnya pada aroma . Sehingga diidentifikasi bahwa sesungguhnya tembakau jenis ini lebih banyak dipakasi sebagai bahan campuran dan sekaligus pemberi aroma dan sasa dalam racikan rokok kretek. Selain itu jenis tembakau ini juga sangat populer untuk digunakan sebagai bahan baku utama rokok linting atau penjualan tradisional melalui pasar dan pabrik rokok kecil. Tabel 2. Jenis dan Lokasi penanaman Tembakau Selopuro
Jenis Tembakau Varietas Lokasi(Kabupaten) Prosessing Tembakau Selopuro Kenogo Blitar Rajangan
Rejeb Lulang Malang Rejeb jahe Tulungagung
Rejeb emprit Sompok
Tukluk Sumber: Survey lapang, 2009
Analisa Rantai Pasok Tembakau Selopuro
Perilaku pasar berkaitan dengan penyediaan (supply) dan permintaan (demand), cara, bentuk dan waktu penyajian, kebijakan-kebijakan penjual dan pembeli (policies), jalur pemasaran (marketing channels), pendekatan-pendekatan (approcahes). Sebagai komoditas yang tidak diawasi, maka tembakau merupakan produk pasar bebas yang dapat diperdagangkan oleh siapapun dan kapanpun tanpa hambatan regulasi. Namun ada regulasi lokal (daerah) antara lain Perda yang mungkin perlu atau mungkin mengganggu sistim perdagangan bebasnya untuk mendapatkan efisiensi yang lebih baik.
Petani Tembakau Selopuro (1500 – 3000 orang)
4 Kecamatan (Selopuro, Wlingi, Talun, Gandusari) Luas 200 – 500 Ha ( 1 kali tanam / tahun)
60% 10 % 30 % Pedagang Pengepul 50 %
Bandol (4 Orang
20 - 30 Orang (di 4 Kecamatan)
di 4 Kecamatan) Pedagang antar Daerah
90 % 20 % 30 % (3-5 orang dari Luar
Kabupaten) Juragan
(di Kec. Wlingi) 10 % Pengecer Pengecer
Industri Rokok (PT Gudang Garam dan PT Bentoel)
Pasar Tradisional dan Pabrik Rokok Kecil Konsumen Lokal
(Home Industri) (Rokok linthing)
Gambar 1. Rantai Pasok (Alur, Pelaku, dan Pangsa Pasar) Tembakau Selopuro Sumber: Survey lapang, 2009
Skema alur pemasaran tembakau tingkat lokal dan regional dapat dilihat pada Gambar 1, termasuk aliran produk tembakau Selopuro, pelaku yang dominan bermain dalampasar tembakau serta pangsa pasar yang mereka kuasai. Pasar tembakau keseluruhannya bermuara pada pabrikan rokok atau (hanya sebagian kecil) langsung ke konsumen, tertentu sebagai pembeli akhir sesuai tingkatnya. Untuk tembakau Selopuro terdapat dua pelaku pembeli tembakau, yaitu sebagai pasokan lokal (Pasar lokal) dan dari pangsa tembakau di wilayah tersebut dikuasai oleh satu chanel pemasaran (pembeli), maka sifat perdagangannnya sangat dimungkinkan bersifat monopsony. Dalam kondisi ini posisi tawar petani sangat lemah terutama terhadap alasa-alasan kualitas, kelebihan persediaan dan lain sebagainya. Posisi pengusaha kecil dan pedagang tembakau di pasar tradisional juga akan sama dengan posisi petani ketika menghadapi pembeli akhir.
Belum adanya informasi yang menjamin terhadap kontinuitas permintaan dan suplai (kualitas dan jumlah) dari produsen dan konsumen sehingga harga sering merugikan salah satu pihak, akibatnya tercipat iklim usaha yang kurang kondusif. Sistem perdaganan tembakau didalam negeri tidak dapat dibatasi oleh wilayah adminstratif sehingga menyebabkan terjadinya migrasi berbagai jenis tembakau antar daerah, kabupaten maupun propinsi. Kondisi demikian dapat menyebabkan penurunan kualitas dan harga tembakau asli yang sudah berkembang dengan kualitas spesifik disuatu lokasi/wilayah tertentu. Apabila pencemaran kualitas tembakau terjadi terus menerus pada tembakau asli di suatu lokasi tertentu, maka pada suatu saat dapat mengancam hilangnya cirri mutu tembakau asli tersebut yang sudah memiliki pasar yang baik.
Permasalahan lain timbul akibat system perdagangan dan pemasaran bebas yang telah berlangsung selama ini antara lain harga dan kualitas belum seluruhnya transparan/dipahami sehingga “posisi tawar” petani lemah, petani lebih suka menjual kepada pedagang (cepat, mudah), meskipun menggunakan sistim tebasan/ijon, masih terdapat ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan tembakau baik dalam jumlah dan mutu, standar mutu tembakau belum dapat diimplementasikan secara optimal, kemitraan antara petani tembakau dengan pabrik rokok belum dapat berjalan secara optimal, supply dan harga tidak stabil dan kualitas tidak susuai dengan kebutuhan pasar.
Analisa SWOT Tembakau Selopuro
Strategi pengembangan agribisnis tembakau dan industri hasil tembakau disusun melalui pendekatan SWOT. Ruang lingkup SWOT yang meliputi: varietas, lahan, teknik budidaya, pengolahan, perdagangan dan pemasaran, ketenaga kerjaan, sumber daya manusia, penelitian, aspek lingkungan, kelembagaan, peraturan dan regulasi untuk pengusahaan tembakau Selopuro (Tabel 3). Peran serta Sumber Daya Manusia yang professional sangant dibutuhkan pada seluruh mata rantai pengusahaan tembakau mulai dari petani, pedagang, pengusaha dan penyelenggara pemerintahan. Setiap pelaku dan faktor yang mempengaruhi agribisnis tembakau dianalisa baik secara langsung maupun dari informasi pihak lain dengan kesimpulan sebagaimana diuraikan dibawah ini:
a. SDM tingakat Petani
Pada umumnya petani tembakau memiliki beberapa karakter sebagai berikut: 1. Petani belum menguasai budidaya tembakau, analisa usahatani dan professional.
Oleh karena itu diperlukan pelatihan, penyuluhan, dan forum-forum temu kemitraan Petani tembakau adalah petani yang berani mengambil resko (risk taker) 3. Peminat generasi muda untuk mengusahakan tembakau yang mempunyai tingkat kesulitan dan resiko tinggi, makin lama makin berkurang terutama dengan luasan lahan yang semakin sempit dan kesulitan mendapat modal.
4. Organisasi petani umumnya belum cukup kuatikut berperan dalam perencanaan dan penataan pertembakauan, selain itu petani kurang mendapatkan informasi pasar.
b. SDM tingakat pedagang (Pengepul dan Bandol)
Pedagang pada tingkat lokal dan regional masih lemah dalam hal negosiasi sehingga perlu meningkatkan kemampuan negosiasi, mencari peluang pasar dan kemampuan menjabarkan kepentingan pembeli c. SDM tingkat pengusaha (Juragan) Pengusaha diharapkan melengkapi karyawannya dengan: 1. Petugas lapangan yang mampu dalam alih teknologi yang dikehendaki pasar 2. Staf yang mampu memberikan pelatihan kepada para petani tembakau tentang
Good Tabacco Practices
Pembentukan tim terpadu dari semua pemangku kepentingan pengusahaan tembakau untuk mewujudkan regulasi land use
2. Penelitian kesesuaian lahan berbasis wilayah agroekologi 3.
Penelitian pemuliaan dana pemurnian benih bagi varietas-varietas Selopuro yang sesuai dengan selera pasar,
g. Penelitian dan Pengembangan 1.
Pelatihan kemampuan bisnis secara professional bagi semua pemangku kepentingan
2. Pelatihan peran dagang (blanding) sebagai motivator dan innovator bagi petani 3.
f. Sumber Daya Manusia Kaderisasi dan motivasi intensif pada petani, pengusaha dan aparat pemerintah dalam bentuk pelatihan, workshop pertembakauan, seminar, studi banding, dsb
4. Implementasi model, teknolgi dan aplikasi pengelolaan bahan organic
2. Implementasi dukungan perda di masing-masing Kabupaten/Kota 3.
d. SDM tingkat penyelenggara pemerintah Beberapa kelemahan pada pemerintah dalam upaya mendukung pengusahaan tembakau antara lain:
Dilakukan pemetaan kesesuaian lahan di masing – masing wilayah sentra tembakau sesuai dengan spesifikasi komoditi
e. Lahan 1.
9. Memiliki dan memberdayakan SDM bidang penelitian dan pengembangan.
8. Memiliki SDM yang professional di bidang pertembakauan, antara lain memiliki kemampuan pendekatan terpadu (integrated approach).
Lemahnya koordinasi, komunikasi dan informasi antar instansi 5. Sedikitnya pendidikan khusus yang beriorientasi kepada bisnis tembakau 6. Dengan demikian pemerintah perlumelaksanakan hal-hal sebagai berikut: 7. Mengadakan pendidikan khusus, pelatihan pelatih (training of trainers), seminar dan workshop yang berorientasi kepada bisnis tembakau.
3. Lambatnya atau terhentinya kaderisasi 4.
2. Terbatasnya dan labilnya aparat (akibat mutasi) menjadi sebab terbatasnya pengetahuan pertembakauan
1. Terbatasnya Anggaran Pemerintah di bidang pertembakauan menyebabkan lemahnya perhatian dan minat aparat pemerintah dibidang pertembakauan.
Peningkatan teknologi budidaya dan prosesing yang ramah lingkungan sesuai dengan GAP
4. Peningkatan ketrampilan petani antara lain melalui demonstrasi lapan, pelatihan dan sekolah lapang
5. Peningkatan teknologi budidaya, prosesing dan SDM 6.
Meningkatkan sarana dan prasarana teknologi budidaya melalui semua pemangku kepentingan (stake holder)
7. Penelitian memantapkan kelembagaan dan kemitraan 8.
Mencari alternative sarana produksi pengganti yang lebih efektif dan efesien dengan tidak mempengaruhi kualitas
9. Penelitian teknik budidaya multiple cropping dan pergiliran tanaman 10.
Mengupayakan usaha tembakau lebih menguntungkan 11. Penelitian produk tembakau “aman” 12. Meningkatkan komunikasi antar masyarakat pertembakauan dalam rangka pelaksanaan penelitian dan pengembangan antara lain melalui media
- –media lokakarya, seminar dan publikasi.
h. Kelembagaan 1.
Membentuk/memberdayakan kelembagaan dari tingkat desa sampai kabupaten 2. Membentuk/memberdayakan kelembagaan petani melalui kelompok/koperasi petani hamparan tembakau dalam rangka kemitraan dan menerima dana yang bergulir 3. Membentuk dan mengembangkan POKJA pengelolaan dana bergulir yang bersumber dari cukai rokok yang beranggotakan asosiasi-asosiasi terkait dalam rangka fasilitasi kemitraan dan pembinaan petani 4. Pembentukan asosiasi petani tembakau untuk memperkuat posisi tawar.
i. Pemasaran 1.
Menyusun regulasi pengusahaan tembakau (a.l. perlindungan spesifik wilayah, supply, demand, penempatan gudang pembelian di sentra produksi tembakau, dll)
2. Melaksanakan promosi tembakau di luar wilayah produksi 3.
Meberdayakan Market Intelegent dan penetrasi pasar 4. Mengadakan pertemuan berkala bagi pemangku kepentingan pertembakauan dalam rangka meningkatkan koordinasi j. Harga
Harga tembakau sangat ditentukan oleh mutu. Ini berarti sekalipun produktivitas meningkat, namun apabila mutunya rendah, tidak akan memberikan manfaat yang memadai (Santoso, 2001). Pada tahun 2008, tembakau selopuro mutu I rata rata hanya bisa mencapai harga Rp 24.000,00/kg, mutu II Rp 18.500,00/kg, mutu III Rp 15.500,00/kg, dan mutu IV Rp 13.000,00/kg. Namun harga tembakau tahun 2009 sebenarnya masih lebih baik jika dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 terjadi hujan salah mongso, sehingga harga tembakau turun. Biasanya dipanen tembakau alang, yaitu tembakau yang kena hujan. Tembakau alang mutunya cukup, namun harganya relatif tidak terlalu mahal. Apabila mutu tembakau jelek, maka harga tembakau akan anjlok. Keadaan seperti itu membuat petani merana, karena tembakau harus dijual dengan harga murah. Pabrik rokok kecil masih mau membeli tembakau dengan mutu seperti itu, walaupun dengan dana yang terbatas. Bagi pabrik rokok besar meskipun
- Menyempurnakan dan memperbanyak alat perajang
Cuaca tidak menentu Biaya Rajang, dan harga TK tinggi Tercampur benda asing
Belum semua kemitraan permanen Menjamin peningkatan kualitas dalam kemudahan pemasaran hasil
e. Kemitraan Hanya antara petani dan upline pemasarannya dan informal
Optimalisasi usahatani tembakau Resiko kegagalan factor penyimpangan iklim dan permodalan
Keterbatas modal dan efesiensi usahatani
Ketersedian modal kecil Penyimpangna iklim global d. Usaha tani Mampu mengusahakan budidaya tembakau
Teknologi peningkatan kualitas tersedia
Meningkatnya harga sarana produksi secara c. Produksi Kuantitas cukup Kualitas belum sesuai harapan
Koordinasi stakeholders dgn GTP
Produksi
Perkembangan teknologi budidaya yang cepat dan menjadi tuntutan pasar b. Sarana
Belum seluruh petani melaksanakan GTP Acuan untuk melaksanakan GTP sudah tersedia
Merupakan tanaman budidaya, berani menanggung resiko (taking risk)
a. Teknologi Budidaya
II. BUDIDAYA
(curing) Prosesing lebih mudah -Tergantung pada panas matahari
Belum adanya kemitraan karena tidak ada pembinaan dan informasi pasar
b. Lokasi Spesifik lokasi Daerah khusus tembakau selopuro di 4 kecamatan di Blitar dan wilayah Malang dan Tulungagung ± 500 Ha
harga turun tidak berarti keuntungan meningkat, karena mutu tembakau tidak memenuhi standar mereka. Tetapi berapapun besar kerugian yang ditanggung pabrik rokok sebagai pemakai, masih lebih besar kerugian yang dialami oleh petani. Hal ini terutama karena para petani harus menghidupi keluarganya dengan bertumpu pada panen tembakau saja. Tabel 3. Analisa SWOT Agribisnis Tembakau Selopuro Blitar
No PERIHAL S(Kekuatan) W(Kelemahan) O(Peluang) T(Ancaman) Komoditi
a. Varietas Banyak jenisnya Sudah beradaptasi dengan lingkungan geografis setempat Ketersediaan plasma nutfah Baku (fast), baik asli maupun dari industri
Masih banyak kul- tivan belum dilepas Belum ada penangkaran benih khusus Beberapa hanya sebagian campuran Degenerasi varitas
Memurnikan varietas lokal Merakit varietas unggul spesifik lokasi Memberdayakan kelompok tani pengangkar benih
Kemurnian varietas tidak terkontrol Mutu beragam Ketidak pastian harga Sulit dikembangkan Kompetisi dgn tembakau lokal lain Tuntutannya kualitas
Pengembangannya masih sangat terbatas Indikasi geografis Terdesak komoditas dan tembakau lain
Peningkatan migrasi tembakau antar daerah Kampanye anti rokok dan FCTC Menjamurnya industry rokok belum berijin d. Pengolahan
Degradasi lahan Alih fungsi lahan Pengembangan ke wilayah tidak sesuai c. Pasar
(Supply and
demand )
Masih dibudidayakan Tidak dapat disubstitusi Bahan baku utama rokok kretek Tanaman bernilai ekonomi tinggi Potensi pasokan
Fluktuasi produksi,mutu dan harga Pasar bersifat Oligopoli Posisi tawar petani masih lemah Informasi pasar
Penguatan kemitraan Dukungan Perda untuk menguatkan posisi tawar petani Kebutuhan dalam negeri cukup baik dan meningkatnya peluang ekspor
- Sarana cukup Belum tersedia tepat waktu, jumlah dan
Kampanye anti merokok dan FCTC
Belum seluruhnya terpogram
Belum seluruhnya menguasai dan melaksanakan
IPTEK
Bermodal terbatas Peningkatan kualitas pedagang Belum ada program/anggaran
Memahami kualitas yang dikehendaki Belum ada kaderisasi c Ditingkat
Pengusaha Mempunyai tenaga yang handal dgn kaderisasi yang baik
Kurang perencanaan kaderisasi Dengan kaderisasi akan tercipta iklim usaha yang baik
VI. ASPEK LINGKUNGAN a Penggunaan tanah
V. SDM a Ditingkat petani
Dapat ditanam ditanah marginal dan sebagai tanaman yang bernilai ekonomi tinggi
Kesuburan tanah semakin menurun Potensi tanah dapat menghasilkan tembakau spesifik
Alih fungsi tanah dan pergeseran lokasi tanaman diluar lokasi yang spesifik b Sosial
Ekonomi Komoditi pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan Adanya SRP dan CSR
Ketidakstabilan pendapatan dari usahatani tembakau
Pemerintah masih mendukung usahatani tembakau
Secara cultural petani mengambil resiko Telah terbentuk organisasi petani
Bekerja di sector pertanian bukan prioritas utama
No PERIHAL S(Kekuatan) W(Kelemahan) O(Peluang) T(Ancaman)
Blitar memiliki areal dan lokasi potensial penghasil bahan baku tembakau untuk industry rokok
III. PERDAGANGAN DAN PEMASARAN
a. Lokal Harga sesuai kualitas Harga dan kualitas belum transparan dan “posisi tawar” petani lemah
Industri membutuhkan bahan baku tembakau
Pengaruh mutasi tembakau antar wilayah yang dapat mencampur kualitas
Mata rantai pemasaran dapat dipantau Petani menjual kepada perantara (cepat, mudah)
Pengendalian mata rantai pemasaran Pedagang mengambil sharing keuntungan yang besar
Ketidakseimbangan penawaran dan permintaan bahan baku tembakau baik jumlah maupun mutu
Pada umumnya masih tradisional Adanya inovasi teknologi tepat guna
Adanya tembakau dari daerh lain Perlu dibuat standar mutu untuk jenis tembakau selopuro
Standar mutu tembakau belum diimplementasikan
Kebijakan cukai terhadap industry tembakau lokal
Dibeberapa wilayah penghasil tembakau sudah terbentuk kelompok tani
Posisi tawar petani dalam perdagangan tembakau masih lemah Kemitraan belum dapat berjalan
IV. KETENAGAKERJAAN a Jumlah TK(Petani)
Usaha tani tembakau banyak menyerap tenaga kerja pedesaan
- Tersedia cukup tenaga kerja yang mampu untuk menjadi kader
- Persaingan dengan kesempatan pekerjaan lain b Ditingkat Pedagang Menjembatani kepentingan petani- pengusaha
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Pengembangan agribisnis tembakau Selopuro - Blitar harus terkendali dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi perdesaan, sosial, dan memberikan lapangan pekerjaan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup yang sehat dan memenuhi kebutuhan industry rokok dan konsumen tembakau. Pengusahaan budidaya tembakau ini tetap perlu dipertahankan selama belum diketemukan komoditi pengganti yang mempunyai nilai seimbang dengan nilai tembakau. Semua mata rantai proses produksi mulai dari petani, pekerja, pengolah hasil, dan pabrik rokok harus bekerja sebagai mitra usaha. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan pemahaman dan kebijakan: 1.
Agribisnis tembakau Selopuro di Blitar harus memperhatikan keseimbangan antara permintaan dan penyediaan (supply and demand).
2. Agribisnis tembakau Selopuro yang efisien serta menjaga lingkungan hidup yang sehat (tanah, air, udara,flora dan fauna).
3. Menjaga kelangsungan pengusahaan tembakau di wilayah Kabupaten Blitar, umumnya dan jenis tembakau di Selopuro pada kususnya dengan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia.
4. Menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufactural
Practices (GMP) dalam pengusahaan tembakau untuk memenuhi Social
Responsbility Program (SRP).5. Menjaga kelangsungan pengusahaan tembakau di Kabupaten Blitar dan Propinsi Jawa Timur secara luas dalam menghadapi dampak perubahan iklim global dan perkembangan teknologi perlu dilakukan kerjasama yang baik dengan lembaga- lembaga terkait baik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, Tri Sudaryono dan Mahfud. C, 1998. Rakitan Teknologi Budidaya Tembakau Madura. Rakitan Teknologi. Balai Studi Teknologi Pertanian Karangploso.
Dietrich, M., 1994, “Transaction Cost Economics and Beyond”, Routledge, London. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 2008, Laporan Tahunan Dinas Perkebunan 2008.
Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur. 2009. Program Perkebunan Propinsi Jawa Timur. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.
Murdiyati. A.S., Suwarso, Mukani dan A. Herwati, 2004. Budidaya Tembakau Madura Rendah Nikotin. Petunjuk Teknis Rakitan Teknologi Pertanian. Balai Studi Teknologi Pertanian Jawa Timur. 113 – 121.
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, 2008. Rencana Induk Pengusahaan Tembakau dan Industri Hasil Tembakau Jawa Timur. Santoso, Thomas, 2001. Tata Niaga Tembakau di Madura, Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001: 96 – 105.