DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK (Studi Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK)

  DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK (Studi Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK)

  (Jurnal) Oleh

  Ambar Widyaningrum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA

NARKOTIKA ANAK

(Studi Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK)

  

Oleh

Ambar Widyaningrum, Erna Dewi, Gunawan Jatmiko

(Email: ambarwidya.aw@gmail.com)

  Dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana penjatuhan putusan hakim pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak ini menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Dalam skripsi ini dibahas dua pokok permasalahan pertama mengapa terjadi disparitas pidana terhadap penyalahguna narkotika anak. Kedua apakah akibat disparitas terhadap terpidana anak. Pendekatan masalah yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan (Library research) dan studi lapangan (Field research). Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian. Hakim yang memutuskan perkara disparitas tindak pidana narkotika terhadap anak di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A, memberikan gambaran yang jelas tentang faktor pemidanaan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan oleh penulis, disparitas pidana terjadi karena ancaman pidananya berbeda-beda sesuai dengan tindak pidananya. Alasan terjadinya disparitas pidana antara putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dengan Putusan No.432/Pid.B/2014/PN.TK adalah karena beberapa faktor yaitu faktor yuridis dan non yuridis. Adapun dampak yang di timbulkan dari disparitas pidana terhadap putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dengan Putusan No.432/Pid.B/2014/PN.TK adalah dampak secara psikologis, krisis identitas, kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat dan mental anak itu sendiri. Terjadinya tanggapan ketidakadilan dikalangan masyarakat dikarenakan terjadinya perbedaan putusan saat persidangan. Saran dalam penelitian ini yaitu Pedoman pemidanaan sebaiknya diatur dalam KUHP, agar dapat mengurangi disparitas pidana dalam perkara putusan. Hal ini, dapat memberikan rasa keadilan kepada terpidana anak. Hakim sebaiknya mengutamakan pedoman pemberian pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dan hakim sebaiknya lebih mempertimbangkan dua faktor yaitu faktor yuridis dan faktor non yuridis untuk penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana anak Kata Kunci: Disparitas Pidana, Penyalahguna, Narkotika, Anak

  

ABSTRACT

THE CRIMINAL JUSTICE DISPARITIES ON NARCOTICS CRIME

COMMITTED BY CHILDREN

(Study of Verdict No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK and

No.432/Pid.B/2014/PN.TK)

  

By

Ambar Widyaningrum, Erna Dewi, Gunawan Jatmiko

(Email: ambarwidya.aw@gmail.com)

  A big difference in the imposition of a court decision against the perpetrators of the same or similar case is commonly called the Criminal Disparities. The imposition of criminal disparities against the verdict on criminal acts committed by children has become very attractive to be researched more deeply. In this research, there are two issues formulated as follows: first, what makes the criminal disparities occured against narcotics crime committed by children?; Second, how is the impact to the children inmates? This research used normative juridical approach. The data collection procedure was done through library research and field research. The data were analyzed using qualitative analysis in order to simplify the conclusions. The judges who decided the case of narcotics crime committed by children in the District Court of Tanjung Karang Class 1A has clarified a clear explanation about the verdict. Based on the results of the research and from the data analysis, the disparities occured because the punishment varies according to the criminal acts. The reason behind the disparities between the verdict No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK with verdict No. 432/Pid.B/2014/PN.TK was due to several factors: the juridical and non-juridical factors. As for the impact caused by the criminal disparities between the verdict No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK with verdict No. 432/Pid.B/2014/PN.TK included: the psychological impact, identity crises, social jealousy in societies and the children's mental health. The injustice verdict assumed by the society occured because of the difference in judgment at the time of the trial. It is suggested that the sentencing guidelines should be regulated in the Criminal Code, in order to reduce disparities in the verdict as it may serve a sense of justice to the children defendant. Judges should prioritize the provision of guidance for perpetrators of narcotics crime committed by children and should further consider two factors: juridical and non-juridical factors for punishment of narcotics crime committed by children.

  Keywords: Criminal Justice, Crime Committed, Narcotics, Children

I. PENDAHULUAN

  Disparitas pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. ap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara.

  Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan hadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Dalam bukunya

  Sentencing and Criminal Justice

  1

  , Andrew Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan pidana dalam suatu perkara pidana.

  Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang mulai timbul sejak ± 26 tahun yang lalu. Masalah ini makin besar dan meluas sehingga pada akhirnya dinyatakan sebagai masalah nasional yang dalam penanggulangannya perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Berdasarkan penelitan dan pengamatan berbagai pihak didapatkan data bahwa mereka yang menyalahgunakan narkotika kebanyakan tergolong dalam usia muda (anak-anak). Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional terdapat 8 % (delapan persen) anak usia 12-19 tahun pernah mencoba narkotika. Satu dari empat anak yang pernah mencoba narkotika

  menyatakan terus memakai atau menjadi pecandu.

  2 Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-

  Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pengertian penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

  Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana seperti halnya penyalahguna- an narkotika, sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu, karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan, perawat- an dan penanganan khusus.

  Upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang- undangan terkait, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang

  2Sadar BNN Maret 2011/Maulani KSG IV, “Terapi dan Rehabilitasi Korban Narkoba, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2013, 17:47

1 Andrew Ashwort, Sentencing anf Criminal

  Perspektif peradilan pidana anak, dalam sistim peradilan anak mempunyai kekhususan, dimana terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyeleng- garakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

  Pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara ini dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak nakal tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 tahun. Apabila usia anak pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun maka terhadap anak nakal tersebut dikenakan tindakan untuk diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Namun terhadap perbuatan yang tidak diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, anak yang belum berusia 12 (dua belas) tahun maka terhadapnya dapat dikenakan salah satu tindakan yang tersebut dalam

  Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penjatuhan pidana pada anak-anak menurut Jonkers, bahwa titik beratnya bukan pada pembalasan atau kehendak penguasa untuk memberi nestapa, tetapi adanya keinginan untuk memberikan kesempatan yang baik pada anak yang berbakat sebagai penjahat, untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna, apabila ditempatkan diluar lingkungan yang jahat atau tidak mengenal tata tertib.

  3 Pemilihan alternatif sanksi pidana di

  atas, nampaknya belum diakomodasi oleh Pengadilan Negeri Klas I-A Tanjung Karang, untuk dua putusan pidana anak di bawah ini : a.

  Petikan Putusan Nomor

  412/Pid.Sus/2014/PN.TK dengan terdakwa NUR MUHAMMAD RIZKI als. KITING Bin SYAHRIZAL (16 Tahun) telah terbukti secara sah dan mneyatakan bersalah melakukan tindak pi dana “Tanpa hak memiliki, menyimpan Narkotika

  Golongan I” dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2(dua) tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan 30(tiga puluh) hari latihan kerja; b.

  Petikan Putusan 432/Pid.B/2014/- PN.TK dengan terdakwa Derry Moh. Arifin als Ncek bin Nur (16 Tahun) dan Bahtiar Yusuf Habibie bin Muhammad Gusril (16 Tahun) menyatakan terdakwa Derry Moh. Arifin als Ncek bin Nur Muhammad dan Terdakwa Bahtiar Yusuf Habibie bin Muhammad Gusril tersebut diatas, terbukti sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

  “menyalahgunakan

  narkotika

  Golongan I bagi diri sendiri sebagaimana dalam” dakwaan

  3 Jonkers, Buku Pedoman Pidana Hindia Belanda , Bina Aksara, Jakarta, 2007, hlm. Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009, dan menjatuhkan pidana kepada Para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3(tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari;

  Berdasarkan kedua putusan tersebut, terlihat adanya perbedaan lamanya putusan pidana penjara bagi penyalahgunaan narkotika oleh anak. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana penjatuhan putusan hakim pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak ini menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.

  Terkait dengan putusan hakim terhadap kasus-kasus kenakalan anak penyalahguna narkotika di Lampung, (Studi Kasus Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No.432/Pid.B/2014/PN.TK) yang telah diselesaikan dan mendapat putusan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Disparitas Sanksi Pidana Terhadap Penyalahguna Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 412/Pid.Sus/- 2014/Pn.Tk Dan No. 432/Pid.B/- 2014/Pn.Tk” Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Mengapa terjadi disparitas pidana terhadap penyalahguna narkotika anak ? 2. Apakah akibat disparitas terhadap terpidana anak ?

  Pendekatan masalah yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan (Library research) dan studi lapangan (Field research). Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian. Hakim yang memutuskan perkara disparitas tindak pidana narkotika terhadap anak di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A, memberikan gambaran yang jelas tentang faktor pemidanaan.

  II. PEMBAHASAN A. Disparitas Pidana Terhadap Penyalahguna Narkotika Anak

  Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu: 1.

  Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama

  2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

  4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

  Disparitas pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. ap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas ini digolongkan menjadi dua hal, yaitu, Pertama, Faktor Internal ialah faktor yang bersumber dari pribadi hakim yang bersifat otonom serta tidak dapat dipisahkan, ia menyatu dengan atribut seseorang yang disebut sebagai insan peradilan (human

  equation ). Kedua, Faktor eksternal,

  yaitu faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang berasal dari luar diri hakim. Faktor Internal. Penegak Hukum adalah pilar penting dalam sistem peradilan Pidaana sebagai upaya menegakan kedaulatan Hukum. Hakim sebagai salah satu penegak hukum dituntut untuk benar benar bersikap professional dan mengutamakan nilai-nilai keadilan. Meski pada kenyataanya banyak terjadi kealpaan kepada para penegak huku, mulai dari Polisi, Jaksa, Advokat, bahkan Hakim itu sendiri. Mengikuti asumsi Lord Acton bahwa „kekuasaan cenderung korup‟, hal ini bisa menimpa seorang hakim, Hakim memiliki kuasa yang sangat besar di Peradilan, maka terbuka kemungkinan pula penyelahgunaan wewenang, baik saat memimpin peradilan, maupun dalam memberi putusan. Meskipun tidak menjadi faktor yang tunggal. Ada pula variabel lain, semacam minimnya sumber daya manusia di lemabag peradilan itu sendiri.

  Keinginan untuk menciptakan kemandirian penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dalam instruksinya No.KMA/015/INST/VI/1998 tanggal

  01 Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim meningkatkan profesionalisme untuk mewujudkan peradilan yang mampu melahirkan putusan berkualitas, yang berisikan nilai pathos (pertimbangan yuridis yang utama), ethos (integritas) sosiologis (sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), serta memiliki sifat logos (dapat diterima oleh akal sehat), untuk terciptanya kemandirian para penyeleggara kehakiman. Faktor internal erat kaitanya dengan kualitas moralitas hakim itu sendiri. Apabila memilki ketidakcakapan bisa dipastikan, banyak timbul disparitas putusan. Hal ini bisa ditelusuri mulai dari proses rekruitmen, integritas moral yang kurang, termasuk pula tingkat pendidikan/ keahlian. Sebagai bagian untuk mengurangi disparitas pidana, kualitas moral dari para penegak hukum itu sendiri. Perbaikan secara normative saja dirasa kurang, karena tanpa dukungan integritas dalam bentuk peningkatan kualitas seorang hakim, maka dipastikan materi perundang undangan yang bagus sulit untuk ditegakkan.

  Faktor eksternal, merupakan faktor yang determinan terhadap kepribadina seorang hakim dalam memberikan putusan. Faktor eksternal ini dapat dibagikan menjadi beberapa hal : Pertama, Faktor hukum atau peraturan perundang- undangan itu sendiri. Aturan yang mengatur tentang anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keduanya tidak mengatur secara tegas ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana anak. Ketiadaan batas maksimal dan batas minimum memberika keleluasaan hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Peluang ini menjadi bisa dimanfaatkan oleh para hakim yang kualitasnya kurang, sehingga berpengaruh kepada putusan. Kedua, Faktor keadaan pada diri pelaku/ terdakwa. Suatu pidana tidak lepas dari motif pelaku. Faktor faktor terbentuknya motfi tersebut pun terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal datang dalam diri pelaku, semisal pelau telah terbiasa melakukan kejahatan, dan bisa menjadikan dirinya puas. Disatu sisi motif kejahatan dalam diri seseorang bisa saja terbentuk dengan faktor lingkungan dan pergaulan. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana terhadap anak sebagai pelaku kejahatan pada dasarnya bersifat kasuistis. Hal ini didasarkan kepada : Pertama, Latar Belakang atau motif terdakwa melakukan tindak pidana, Kedua rekam jejak terdakwa dalam melakukan kejahatan (3) Peran terdakwa dalam kejahatan (4) Tingkat pemahaman terdakwa (5) Cara melakukan tindak pidana antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain berbeda; dan (6) Jumlah barang bukti.

  Analisis penulis menyatakan bahwa terjadinya disparitas pidana dalam kasus penyalahguna narkotika terhadap anak pada putusan Disparitas pidana yang terjadi dalam putusan No. 412/Pid.Sus/2014/- PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/- PN.TK karena perbedaan penerapan hukum atau undang-undang, pelaku pada putusan No. 412/Pid.Sus/2014/- PN.TK dijatuhkan sanksi putusan selama 2 (dua) tahun dikarenakan pada saat persidangan dikenakan

  Pasal 112 UU RI No. 35 Tahun 2009 sedangkan putusan No. 432/Pid.B/- 2014/PN.TK dijatuhkan sanksi selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari kerena pada saat persidangan itu juga dikenakan Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dan di dalam proses persidangan ini aspek yuridis non yuridis sudah terpenuhi.

  B. Akibat Disparitas Pidana Terhadap Penyalahguna Narkotika Anak.

  Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan p sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara. Adapun faktor pemicu terjadinya diparitas pidana yaitu :

  1. Masalah Falsafah Pemidanaan 2.

  Pedoman Pemidanaan 3. Masalah Patokan Pidana 4. Faktor yang bersumber dari diri

  Hakim sendiri Disparitas pidana memberikan dampak yang sangat berpengaruh tehadap terpidana. Menurut Eva Achjani Zulfa

  4

  untuk studi kasus Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/- PN.TK dan No.432/Pid.B/2014/- PN.TK menimbulkan dampak terhadap terpidana anak antara lain :

  1. Kecemburuan sosial tehadap institusi peradilan

  2. Psikologis dan mental terhadap anak

  3. Bullying di lingkungan sekitar anak Akibat disparitas pidana terhadap pelaku anak antara putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No.432/Pid.B/2014/PN.TK adalah lebih berpengaruh terhadap mental anak atau psikis anak itu sendiri, dampak positifnya si pelaku atau si terdakwa diputus sesuai dengan hukumannyadan merasa jera akan lebih baik perilaku terdakwa setelah keluar dari lapas. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan dalam diri anak itu akan timbul rasa kekecewaan terhadap peraturan dan hukum yang ditegakan oleh aparatur

  4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma

  penegak hukum. Dampak lain akibat disparitas pidana yang terjadi terhadap anak satu dengan yang lainnya yaitu lebih kepada perilaku, dalam hal ini terjadinya kesenjangan sifat atau perilaku anak terhadap anak lain, dimana yang awalnya mereka berteman akrab bisa menjadi bermusuhan atau tidak saling menegur atau menyapa, karena merasa tidak aduil antara putusan hakim yang dijatuhi terhadap pembinaan anak itu sendiri yaitu anak merasa kecewa, melamun dan malas dalam mengikuti program pembinaan.

  Pada dasarnya tujuan pidana anak bukan sekedar bertujuan memberika hukuman, akan tetapi juga bersifat perbaikan kondisi, dan perlindungan dan pemeliharaan anak, serta encega terjadinya pengulangan pidana. Dalam hal ini, Pidana yang diberikan Hakim kepada anak pada dasarnya adalah demi kebaikan anak di masa mendatang.

  Fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa hakim yang memiliki sikap progresif akan berbeda dengan Hakim yang konservatif dalam memberikan putusan. Hal ini dibuktikan dengan komitmen awal hakim untuk menegakan kebenaran yang hakiki kepada masyarakat. Kondisi Psikologi Hakim ini, pada dasarnya bergerak dari nuraninya, yang bersumber pada nilai yang dianutnya.

  Dampak yang paling signifikan dari putusan yang bersifat progressif adalah tumbuh kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Khususnya dalam menangani pidana anak. lembaga peradilan diperlukan menghindari anarksime dan menciptakan sebuah tertib hukum. Bagi lembaga peradilan sendiri, kepercayaan ini penting adalah wujud apresiatif masyarakat terhadap fungsi peradilan penegakan hukum. Kaitanya dengan disparitas putusan terhadap tindak pidana anak, disparitas akan menimbulkan rasa kecurigaan terhadap fungsi peradilan yang memutus berbeda suatu perkara, meski dengan pasal dan perbuatan yang sama. Hal yang ditakutkan adalah rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap fungsi peradilan, yang membuat efek domino akan adanya „tindakan main hakim sendiri‟ sebagai wujud aspirasi masyarakat yang marah. Pada akhirnya dewasa ini berkembang suatu konsep untuk lebih mengutamakan upaya non penal terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Namun upaya non penal ini tetap tidak keluar dari koridor jalur penegakan hukum, dengan tetap memperhatikan kepentingan anak. Hal ini bisa dibiang upaya komporomi untuk menyelamatkan masa depan anak, sebagai aset penting bangsa.

  Ada dua alasan penting mengapa anak harus dilindungi adalah:

  pertama , anak adalah generasi penerus dan masa depan bangsa. Kedua , anak adalah kelompok

  masyarakat yang rentan terhadap kejahatan. Negara memiliki fungsi untuk melindungi setiap warganya termasuk anak. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah membuat payung hukum yang berorientasi menegakan hak anak,

  Aturan ini penting, bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tetap wajib dilindungi hak- haknya dan sebisa mungkin dihindarikan dari upaya diskriminasi. Termasuk dalam hal ini adalah terhadap seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Putusan hakim merupakan puncak dari suatu perkara yang sedang berjalan. Dala hal ini hakim memang harus teliti dalam melihat dan mencermati fakta fakta yang ada dalam persidangan. Dimulai dari sikap kehati-hatian, menghindari kecerobohan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik. Pada dasarnya putusan Hakim sulit untuk diterima oleh kedua belah pihak, namun hakim setidak- tidaknya berusaha agar orang yang akan menerima putusan merasa lega dan puas. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan alasan-alasan atau pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

  Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. Undang- Undang Nomor

  48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada diri terdakwa. Kaitanya dengan disparitas hukuman, Disparitas merupakan wujud dari independensi hakim.

  Variabel yang menyebabkan hanya tunggal, namun faktor hakim adalah faktor yang paling berpengaruh. Karena merasa mengakhwatirkan, apabila terjadi kesewenang wenangan. Upaya kedepan yang dilakukan adalah membuat pedoman baku dalam pemidanaan, dan yang meminimalisir penfasiran dari hakim.

  Pada dasarnya, Hakim bukan tidak menyadari persoalan disparitas ini. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan, hakim agung di tingkat kasasi berusaha mengoreksi vonis tersebut dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional. Penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang didasarkan kepada tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Menurut Eva Achjani Zulfa, ide tentang penjatuhan pidana yang bersifat proporsional ini kemudian berkembang menjadi sebuah usaha untuk mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara. Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan, sehingga langkah kompromi yang perlu dilakukan adalah membuat pedoman pemidanaan.

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti

  Pasal 14a, Pasal 30 dan Pasal 63-71. Selain itu, dalam Rancangan Undang- Undang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Hakim wajib memper- timbangkan sebelum menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, sikap batin pembuat melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, maaf dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

  III. PENUTUP A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Disparitas pidana yang terjadi dalam putusan No. 412/Pid.Sus- /2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/- 2014/PN.TK karena perbedaan penerapan hukum atau undang- undang, pelaku pada putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dijatuh- kan sanksi putusan selama 2 (dua) tahun dikarenakan pada saat persidangan dikenakan Pasal 112 UU RI No. 35 Tahun 2009 sedangkan putusan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK dijatuh- kan sanksi selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari kerena pada saat persidangan itu juga dikenakan Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dan di dalam proses persidangan ini aspek yuridis non yuridis sudah terpenuhi.

  Disparitas pidana bisa terjadi dipandang dari segi kasus, disparitas pun dapat dipengaruh oleh aparat penegak hukum mempengaruhi, jaksa yang mempunyai hak menuntut dan lembaga-lembaga hukum yang lain pun mempunyai hak. Terdapat beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya disparitas pidana ini yaitu faktor yuridis dan non yuridis.

  412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK adalah dampak secara psikologis, krisis identitas, kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat dan mental anak itu sendiri. Terjadinya tanggapan ketidak- adilan dikalangan masyarakat dikarenakan terjadinya perbedaan putusan saat persidangan.

  3. Hendaknya ditingkatkan dalam fasilitas yang mendukung di dalam Bapas, agar terpidana anak tidak merasakan dampak negatif dari pelaksanaan pemidanaan.

2. Dampak terjadinya disparitas pada putusan No.

DAFTAR PUSTAKA

  2. Hakim sebaiknya mengutama- kan pedoman pemberian pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mempertimbangkan dua faktor yaitu faktor subjektif dan faktor objektif untuk penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana anak.

  Pedoman pemidanaan sebaiknya diatur dalam KUHP, agar dapat mengurangi disparitas pidana dalam perkara putusan. Hal ini, dapat memberikan rasa keadilan kepada terpidana anak.

  Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1.

  26 Tahun 2002 Tentang Hak Asasi Manusia. No. HP : 081271108906

  Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2014 perbaharuan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

  Undang-Undang Nomor

  11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  5 Tahun 1997 Tentang Psikoptropika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor

  Undang-Undang Nomor

  Penerapan undang-undang dapat memberikan rasa keadilan tetapi dari segi pandang undang-undang itu sendiri dilatar belakangi oleh aparat hukum itu sendiri seperti jaksa atau hakim yang memutuskan perkara. Dalam kasus ini, Undang-undang yang digunakan adalah Undang-undang Sistem Peradilan Anak.

  Sadar BNN Maret 2011/Maulani KSG

  Pedoman Pidana Hindia Belanda , Bina Aksara, Jakarta.

  Jonkers. 2007. Buku

  Pergeseran Paradigma Pemidanaan , Indonesia.

  Ashwort, Andrew. 2005. Sentencing anf Criminal Justice . Zulfa, Eva Achjani. 2011.

  IV, “Terapi dan Rehabilitasi Korban Narkoba,