I. PENDAHULUAN - PENERAPAN UPAYA HUKUM PAKSA

PENERAPAN UPAYA HUKUM PAKSA BERUPA PEMBAYARAN UANG

  1 PAKSA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

  2 Oleh : H. UJANG ABDULLAH, SH.,M.Si

I. PENDAHULUAN

  Dalam kurun waktu 15 tahun sejak beroperasinya Pengadilan Tata Usaha Negara orang merupakan perwujudan Negara hukum di Republik Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan Negara yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, telah cukup banyak yang dilakukan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kesewenang- wenangan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, walaupun tidak sedikit para pencari keadilan masih merasakan kekecewaan yang diakibatkan masih adanya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dilaksanakan oleh Badan/PejabatTata Usaha Negara.

  Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara baru akan berwibawa dan ada artinya bagi pencari keadilan, apabila putusan-putusannya dapat dilaksanakan oleh aparatur Tata Usaha Negara yang bersangkutan sesuai dengan isi diktum Putusan Pengadilan tersebut.

  Dengan kata lain masalah yang paling mendasar dari eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara justru terletak pada ditaatinya atau tidak kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam putusan Pengadilan tersebut oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.

  Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada kesadaran Badan/PejabatTata Usaha Negara dengan peneguran berjenjang secara hirarki (floating form) sebagaiman diatur dalam Pasal 1

  16 UU Nomor 5 Tahun 1986, ternyata tidak cukup efektif dapat memaksa Pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan Putusan Hakim Peradilan Tata

1 Makalah disampaikan dalam Buku Perpisahan Hakim Agung Mahkamah Agung RI Ibu Titi Nurmala Siagian, SH., MH yang sudah diperbaharui.

  Usaha Negara. Hal tersebut terlihat dari beberapa putusan yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu antara lain.

  3

  1. Sengketa pengelolaan sarang burung di Tabalong, yang telah diputus pada tahun 1994, meskipun telah dilalui prosedur eksekusi samai tingkat presiden, ternyata Bupati Tabalong tetap tidak dilaksanakan Putusan Peradilan Tata Negara tersebut.

  2. Kasus perparkiran di kota Medan, meskipun Kepala Dinas Perparkiran Kotamadya Medan telah dihukum untuk mencabut keputusan yang diterbitkannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dan telah dilakukan peneguran sampai tingkat Presiden, ternyata pihak Dinas Perparkiran tidak dilaksanakan Putusan Hakim Medan tersebut.

  3. Kasus pembongkaran Restoran Bali, Sky Light Restaurant di mana Bupati Gianyar Bali, nekat membongkar restaurant tersebut. Padahal sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara telah memerintahkan agar Surat Perintah Bongkar yang diterbitkannya cacat hukum dan dinyatakan batal.

  Oleh karena itu pemberlakuan lembaga paksa berupa pembayaran uang paksa (dwangsom/astreinte) sebagaimana disebutkan dalam pasal 116 UU Nomor 9 Tahun 2004 yang berbunyi :

  "dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap Pejabat yang bersangkutan dikenakan Upaya Paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa

  4 Diharapkan dapat membawa perubahan terhadap kesadaran

  Badan/Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan isi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, setidaknya dapat menimbulkan dampak psikologis untuk memaksa pejabat yang bersangkutan menimbulkan dampak psikologis untuk memaksa Pejabat yang bersangkutan agar menghormati Putusan Pengadilan disamping diharapkan pula dapat 3 Supandi, SH., M.Hum. Problematika Penerapan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara Daerah. Makalah Workshop, Jakarta, 28 Agustus 2004. Hal 1. 4 Lihat ketentuan pasal 116 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5

  meningkatkan kepercayan masyarakat terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara.

  Akan tetapi setelah dua tahun diberlakukannya ketentuan paksa tersebut, para Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara belum dapat menerapkannya secara optimal karena belum ada peraturan pelaksanaannya untuk menerapkan ketentuan tersebut, oleh karena itu penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai permasalahan yang berkaitan dengan penerapan lembaga upaya paksa tersebut.

II. PERMASALAHAN

  Uang paksa/dwangsom adalah pembayaran sejumlah uang yang dibayar sekaligus atau dengan cara diangsur kepada orang atau ahli warisannya, atau hukum badan perdata yang bebankan tergugat (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) karena tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkcracht Van Gewijsde) dan hal tersebut menimbulkan kerugian

  5 material terhadap orang atau badan hukum perdata.

  Dalam penerapannya di Peradilan Tata Usaha Negara, pada prateknya terdapat beberapa permasalahan hukum perlu mendapat perhatian, antara lain :

  1. Jenis putusan apa yang dikenakan Upaya Paksa?

  2. Kepada siapa uang paksa dibebankan?

  3. Sejak kapan uang paksa tersebut diberlakunkan?

  4. Apakah Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sudah dapat menerapkan lembaga Upaya Paksa tersebut meskipun Peraturan Pelaksana Upaya Paksa belum ada?

  5. Bagaimana mekanisme pembayaran uang paksa?

5 Bambang Sugiono, SH., MH. Penerapan Upaya Paksa dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

  III PEMBAHASAN

3.1. Jenis Putusan yang Dapat dikenakan Upaya Paksa

  Menurut sifatnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan deklaratoir yaitu yang bersifat menerangkan saja.

  Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau menimbulkan

  keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah, sedangkan menurut isi putusan berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (7) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa : Gugatan ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur.

  Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak semua putusan dapat dikenakan Upaya Paksa melainkan hanya putusan putusan yang memenuhi syarat saja, antara lain : a. Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan, yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan temyata dalil-dalil dari posita gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan telah dapat mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat; b. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti :

  Kewajiban mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang - dinyatakan batal/tidak sah.

  • Kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti.
  • Kewajiban mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
  • Kewajiban membayar ganti rugi.
  • Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.
c. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht

  Van Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut.

  Sehingga macam isi dan sifat putusan yang lain seperti putusan yang sifatnya deklatoir, gugatan tidak diterima, gugatan gugur, apalagi gugatan ditolak tidak dapat dikenakan Upaya Paksa karena bukan putusan yang bersifat condemnatoir.

3.2 Beban Pembayaran Uang Paksa

  Mengenai beban pertanggungjawaban pejabat public atas kerugian pihak ketiga, Bambang Sugiono, SH., MH. Dengan menyitir pendapat Kranenburg dan Vesting menyatakan terdapat dua teori,

  6

  yaitu : Pertama : Teori Fautes Personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya mengakibatkan kerugian;

  Kedua : Teori Fautes de Service, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian kepada pihak ketiga dibebankan kepada instansi pejabat yang bersangkutan.

  7 Sedangkan Supandi, SH.,MHum. Menyatakan bahwa secara

  teori seseorang Pejabat yang sedang menjalankan tugasnya maka ia adalah sedang melaksanakan peran Negara, oleh karenanya manakala di dalam menjalankan peran/tugasnya tersebut mengakibatkan kerugian orang/masyarakat sepanjang tugas-tugas tersebut dilaksanakan menurutkan hukum, maka adalah benar apabila 6 kerugian yang diderita orang/masyarakat tersebut dibebankan

  Arifin Marpaung, SH., M.Hum. Implementasi Teknis Pelaksanaan Lemabag-lembaga Baru dalam UU Nomor 9 Tahun 2004 dan Solusi Pemecahannya. Makalah Rakernas MA, Denpasar 18-22 September 7 2005. Hal. 14.

  

Supandi, SH., M.Hum. Problematika Penerapan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara pembayarannya kepada Negara karena itu tergolong "kesalahan dinas". Hal mana berbeda dengan ketika seorang pejabat tidak mematuhi putusan hakim ( yang dapat disamakan dengan tidak mematuhi hukum), maka pada saat itu justru ia tidak sedang menjalankan peran Negara ( karena secara ideal, menjalankan peran Negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum), oleh karenanya resiko dari ketidakpatuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan Negara tetapi harus ditanggung secara pribadi dari orang yang sedang menjabat, karena hal tersebut adalah "kesalahan pribadi". Hal mana sejalan dengan teori 'kesalahan' yang dikembangkan dari yurisprudensi Counseil d'Etat yang pada pokoknya membedakan antara kesalahan dinas ( Faute de Serve )

  8 dan kesalahan pribadi (Faute Personalle).

  Penulis sependapat dengan pendapat tersebut, karena Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum secara pribadi. Sehingga beban pembayaran uang paksa harus dibebankan kepadanya, walaupun dalam praktek dapat timbul kesulitan apabila dalam tahap pelaksanaan ternyata pejabat yang bersangkutan pindah tugas di luar wilayah Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan atau di luar wilayah KPKN yang berbeda dan apabila temyata gajinya tidak cukup untuk membayar uang paksa. Akan tetapi hal tersebut dapat diatsi dengan menjalin koordinasi antara Pengadilan Tata Usaha Negara yang satu dengan yang lain dan cara pembayaran

  

9

dilakukan dengan cara diangsur.

8 Paulus Effendi Lotulung. Beberapa Sistem tentang Kontrol sebagai Hukum terhadap Pemerintah. PT.

  Buana Ilmu Populer, Jakarta. 1996. Hal. 15

3.3 Waktu Berlakunva Uang Paksa

  Menurut ketentuan pasal 116 UU no.9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan : Ayat (1) .........dst.

  Ayat (2) .........dst. Ayat (3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (9) huruf b dan c kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan kepada Ketua Pehgadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

  Ayat (4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa.....dst. Ayat (5) ......dst.

  Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemberlakuan pembayaran uang paksa dilakukan sejak saat berakhirnya masa penegoran/ perintah Ketua pengadilan Tata Usaha sebaimana dimaksud pasal 116 ayat (3) UU no.9 Tahun 2004 (oleh karenanya dalam surat Penetapan / Perintah Ketua harus disebutkan limit waktu pelaksanaan Putusan Pengadilan) dan selanjutnya setelah limit waktu pelaksanaan Putusan Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat Penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPN yang berwenang yang berisi perintah agar Kepala KPN tersebut memotong gaji Tergugat setiap bulan yang besarnya ditentukan dalam Amar Putusan sampai dengan Tergugat

  10 mematuhi isi putusan sampai yang telah berkekuatan hukum tetap.

4.4 Penerapan Upaya Pakasa oleh Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

  Dalam praktek hakim Pengadilan Tata Usaha Negara lebih sering menasehatkan kepada Penggugat agar tidak mencantumkan permintaan Upaya Paksa dalam petitumnya dengan alasan ketentuan

  pasal 116 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2004 tersebut belum ada peraturan pelaksanaan (non executabel). Akan tetapi ada kalanya Penggugat tidak mau menuruti nasehat tersebut dan tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam petitum gugatannya dengan harapan agar Tergugat mau segera melaksanakan isi Putusan Pengadilan.

  Permasalahan hukumnya apabila dalam persidangan ternyata posita gugatan Penggugat terbukti dan gugatan Penggugat harus dikabulkan, apakah petitum Upaya Paksa harus dikabulkan? Juga mengingat peraturan pelaksanaannya belum ada?

  Beberapa Putusan yang sering Penulis jumpai kebanyakan menolak petitum Upaya naksa tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksanaanya sehingga tidak dapat diterapkan, menurut hemat Penulis tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang berpendapat seperti itu seharusnya Hakim tidak dapat menolak petitum Upaya paksa tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksanaannya karena menurut ketentuan pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dan selanjutnya dalam pasal 28 ayat (1) ketentuan tersebut dinyatakan juga Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, apalagi ketentuan mengenai Upaya Paksa termasuk dalam lapangan hukum acara sehingga Hakim harus menerapkan sesuai ketentuan yang telah ditentukan. Persoalan apakah Putusan tersebut dapat dilaksanakan atau tidak adalah persoalan tersendiri yang harus dicari solusinya. Setidaknya dengan berani memutus persoalan Upaya Paksa diharapkan dapat menimbulkan aspek psikologis agar tergugat mau melaksanakan isi Putusan Pengadilan.

3.5 Mekanisme Pembayaran Uang Paksa

  Pelaksanakan pembayaran uang paksa agar dapat berjalan secara efektif memerlukan kerjasama antara MA, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan baik dalam bentuk Surat Keputusan Bersama atau bentuk lainnya karena mekanisme pembayarannya memerlukan kerjasama antar instansi tersebut.

  Menurut Penulis, mekanisme pelaksanaan pembayaran uang paksa adalah berikut :

  1. Setelah 3 bulan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap tidak ditaati oleh Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara), maka Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar Pejabat yang bersangkutan melaksanakan isi Putusan Pengadilan (pasal 116 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2004).

  2. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menerbitkan Penetapan yang berisi perintah kepada Tergugat untuk melaksanakan isi Putusan Pengadilan dengan disertai limit waktu (batas waktu) untuk melaksanakannya, missal dalam waktu 7 hari setelah penetapan diterbitkan.

  3. Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dengan disertai salinan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikirimkan oleh jurusita kepada Tergugat, dan salinannya ditembuskan kepada atasan Tergugat, bendaharawan rutin instansi Tergugat dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) setempat.

  4. Segera setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan tentang berkekuatan hukum tetap tersebut, Bendaharawan rutin mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) gaji Tergugat yang telah disesuaikan dengan besarnya uang paksa yang dibebankan kepada Pejabat (Tergugat) yang bersangkutan untuk permintaan gaji bulan berikutnya.

  5. KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditujukan kepada Penggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara setempat.

  6. Dengan SPM tersebut Jurusita Pengadilan Tata Usaha Negara setempat mencairkan uang paksa pada Bank yang telah ditunjuk.

  7. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah uang dicairkan, Jurisita sudah harus menyerahkan pembayaran uang paksa tersebut kepada Penggugat atau ahli warisnya.

IV. PENUTUP

4.1 Simpulan:

  o Penerapan lembaga Upaya Paksa di Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat menimbulkan dampak psikologis kepada

  Badan/PejabatTata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara. o

  Pelaksanaan Upaya Paksa di Peradilan Tata Usaha Negara belum dapat secara efektif karena belum ada peraturan pelaksanaannya. o

  Hanya Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Tergugat saja yang dapat dikenakan Upaya Paksa. o

  Beban pembayaran uang paksa sebaiknya dibebankan kepada Badan/PejabatTata Usaha Negara secara pribadi karena perbuatan tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan tersebut tergolong dalam kesalahan pribadi bukan kesalahan dinas. o Dalam pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada

  Penggugat agar tidak mencantumkan Petitum Upaya paksa karena belum ada peraturan pelaksanaannya, akan tetapi apabila Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan

  pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4.2 Rekomendasi :

  o MA diharapkan segera menerbitkan PERMA atau Surat Edaran atau Petunjuk Pelaksana (juklak) atau Petunjuk Teknis (juknis) agar ketentuan Pasal 116 ayat (4) UU Nomor 9 Tahgn 2004 yang berkaitan dengan Upaya Paksa dapat diterapkan oleh Hakim Peradilan Tata Usaha Negara secara efektif. o

  MA diharapkan dapat segera membuat Surat Keputusan Bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) dan Menteri Keuangan agar mekanisme pembayaranuang paksa dapat dilaksnakan. o

  Diharapkan Mahkamah Agung dapat memberikan tindakan untuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif pada Peradilan TIJN sebagai bahan usulan kepada pemerintah untuk penerbitan Peraturan Pemerintah agar ketentuan Pasal 116 ayat (4) UU No.9 Tahun2004 dapat di terapkan secara efektif. o

  Sebagai sumbangsih Penulis bersama-bersama Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah membahas konsep RPP dari PTUN Kendari (dibuat oleh H. Bambang Hariyanto, SH., MH. Dan Maftuh Effendi, SH,) dan menghasilkan konsep usulan RPP tersebut (sebagaimana terlampir).

BAHAN BACAAN

  1. Arifin Marpaung, SH.,MHum., Implementasi Telmis Pelalcsanaan Lembaga

  

lembaga Baru dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Solusi

Pemecahannya, Makalah Rakernas MA-RI, Derpasar, 2004.

  2. Bambang Sugiono, SH.,MHum., Penerapan Upaya Paksa Dalam

  Pelalrsanaan Putusan PTUN, Makalah Workshop, Jakarta, 28 Agustus 2004.

  3. Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH., Beberapa Sistem tentqng Kontrol

  

sebagai Hukum terhadap Pemerintah. PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta,

1996.

  4. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH., Penerapan Eksekusi Putusan PTUN terhadap Pejabat Daerah, Makalah Workshop, Jakarta,28 Agustus 2004.

  5. Supandi, SH., MHum., Problematika Penerapan Eluekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, makalah Workshop,28 Agustus 2004.

  6. Ujang Abdullah, SH., Msi., Putusan dan Pelalrsanaan Putusan Pengadilan

  Tata Usaha Negara dalam Praktek, Makalah Bintek di Pemerintah Kabupaten Bangkalan, Madura, September 2006.

  7. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  8. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

  

NASKAH LEGISLATIF ( LEGISLATIVE DRAFTING )

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR......TAHUN.......

TENTANG

  

TATA CARA PELAKSANAAN UANG PAKSA ( DWANGSOM ), DAN

SANKSI ADMINISTRATIF PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

  Menimbang : a. bahwa Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 9Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menetapkan bahwa dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif.

  b. bahwa untuk mengatur tata cara pelaksanaannya dipandang perlu diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa (dwangsom) dan Sanksi Administratif pada Peradilan Tata Usaha Negara.

  Mengingat : 1. Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya;

  2. Undang-undang Nomor B Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999;

  3. Undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004;

  4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan TataUsaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang undang Nomor 9 Tahun 2004;

  5. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN

  MENETAPKAN : PEMTURAN PEMERII\ITAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN UANG PAKSA (DWANGSOM) DAN SANKSI ADMINISTRASI PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

  BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Uang Paksa ( dwangsom ) adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Hakim dalam amar putusan yang dibebankan kepada Tergugat dan diberlakukan apabila Tergugat tidak melaksanakan hukuman yang ditetapkan.

  2. Sanksi administratif adalah hukuman yang ditetapkan oleh Badan/Pejabat TUN berdasar perintah Hakim kepada atasan Tergugat atau pejabat yang berwenang menghukum agar Tergugat dijatuhi hukuman yang ditetapkan Oatam putusan.

  3. Ketua Pengadilan adalah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara atau Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

  4. Putusan Peradilan adalah putusan Peradilan Tata Usaha Negra yang telah berkekuatan hukum tetap.

  5. Jurusita adalah jurusita pada Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

  

BAB II

UANG PAKSA ( DWANGSOM )

Pasal 2

  1. Tuntutan pembayaran uang paksa diajukan bersama-sama dalam surat gugatan.

  2. Dalam hal gugatan Penggugat tidak mengajukan permohonan pembayaran uang paksa maka para Hakim pada waktu pemeriksaaan persiapan dapat memberikan saran agar mencantumkan petitum pembayaran uang paksa dalam surat gugatannya.

  3. Pengajuan hukuman berupa uang paksa dituangkan dalam amar putusan.

  

Pasal 3

Uang paksa hanya dikenakan dalam putusan yang berisi :

  a. Pencabutan keputusan tata usaha negara b. Penerbitan keputusan tata usaha yang negara baru.

  c. Pencabutan keputusan tata usaha negara dan penerbitan keputusan tata usaha negara yang baru; d. Rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.

  

Pasal 4

  1. Pembayaran uang paksa dibayar dari keuangan pribadi tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan dilaksanakan.

  2. Besaran uang paksa sejumlah tunjangan jabatan dari tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan harus dilaksanakan.

  3. Pejabat yang diminta untuk memotong tunjangan jabatan tergugat untuk memenuhi pembayaran unag paksa Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) atau Kepala Kantor dan kas Daerah (KPKD) atau pejabat yang mempunyai kewenagan untuk itu.

  4. Pemotongan tunjangan jabatan tergugat untuk memenuhi pembayaran uang paksa tersebut akan terus dibayar setiap bulannya sampai dengan Tergugat melaksanakan putusan.

  5. Uang hasil pemotongan tunjangan jabatan tersebut diserahkan kepada penggugat setiap bulannya sampai dengan tergugat melaksanakan putusan.

  6. Pembayaran uang paksa terhenti secara hukum terhitung sejak pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan.

Pasal 5 Tata cara pembayaran uang paksa dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

  1. Salinan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya pada tingkat pertama selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

  2. Setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap dikirimkan, ternyata tergugat tidak melaksanakan putusan, maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.

  3. Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi perintah kepada tergugat untuk melaksanakan putusan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan penggugat.

  4. Dalam hal tergugat tetap tidak bersdia melaksankan putusan ini, maka Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan untuk memberlakukan hukuman pembayaran uang paksa yang berisi perintah pemotongan tunjangan jabatan tergugat.

  5. Penetapan Ketua Pengadilan beserta putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh jurusita dikirimkan kepada Tergugat, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) setempat, atasan tergugat dan Bendahara Rutin Instansi terggugat bekerja.

  6. Setelah menerima penetapan Ketua Pengadilan tentang perintah pemotongan tunjangan jabatan tergugat, Kepala KPKN melakukan pemotongan tunjangan jabatan tergugat sebagai pembayaran uang paksa dan selanjutnya menyerahkan pembayaran uang paksa tersebut kepada Penggugat.

  

BAB III

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 6

1. Tuntutan sanksi administratif diajukan bersama-sama dalam surat gugatan.

  2. Dalam hal gugatan Penggugat tidak mengajukan tuntutan sanksi adminstratif, maka Hakim dalam acara pemeriksaan persiapan dapat memberikan saran bahwa untuk kepentingan eksekusi putusan, penggugat dapat mencantumkan tuntutan sanksi administratif dalam surat gugatannya.

  3. Penjatuhan hukuman berupa perintah pemberian sanksi administratif dituangkan dalam amar putusan.

  

Pasal 7

Sanksi administratif dijatuhkan oleh Badan/Pejabat TUN atas perintah Hakim yang dituangkan dalam amar putusan.

Pasal 8

Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada atasan pejabat yang bersangkutan atau pejabat yang berwenang untuk menghukum.

Pasal 9

Tata cara pelaksanaan sanksi administratif dilakukan melalui tahapan sebagai

  berikut :

  1. Salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya pada tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

  2. Setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap dikirimkan, ternyata tergugat tidak melaksanakan putusan, maka penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan.

  3. Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi perintah kepada tergugat untuk melaksanakan putusan selambat-lambatnya 7 (tujuh)hari sejak diterimanya permohonan penggugat.

  4. Dalam hal tergugat tetap tidak bersedia melaksanakan putusan ini, maka Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi perintah kepada atasan tergugat atau pejabat yang berwenang menghukum untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada tergugat.

  5. Penetapan Ketua Pengadilan beserta putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh jurusita dikirimkan kepada Tergugat, atasan tergugat dan Bendahara Rutin Instansi tergugat bekerja.

  6. Setelah menerima penetapan Ketua Pengadilan, atasan tergugat atau pejabat yang berwenang menghukum menjatuhkan sanksi administratif kepada tergugat.

  

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

1. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

  2. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

  

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 11

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka seluruh putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang belum dilaksanakan oleh Tergugat, meskipun tidak

  mencantumkan Lembaga Paksa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administratif, oleh Ketua Pengadilan karena jabatannya (ambteselve) dapat diberlakukan ketentuan ini.